Dukung penulis dan novel ini dengan klik VOTE.
Mei melipat tangannya di perut sambil menunggu kedatangan Juna di sebuah kafe, tapi sudah 3 jam menunggu, pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Juna mengiriminya pesan dua kali, yang pertama dua jam lalu, menyuruhnya menunggu. Dan yang kedua sejam yang lalu, katanya masih di jalan. Mei melirik arloji di pergelangan tangannya, sudah jam 9 malam. Mau tak mau Mei beranjak dari kursi menuju kasir dan membayar pesanannya. Lalu melangkah gontai. Tak menyangka ketidakhadiran Juna bakal memberinya efek kecewa seperti ini. ‘Lagipula, buat apa aku betulan menunggunya hanya karena dia menyuruhku menunggu? Aku bisa saja memutuskan pulang sejak tadi, tapi kenapa aku menunggu?’ pikirnya sebal pada diri sendiri. ‘Kenapa aku mengulangi kesalahan yang sama? Aku sudah lelah, setia menunggu Kevin bertahun-tahun mengatakan cinta, tapi justru berakhir dengan menerima kartu undangan pernikahannya dengan Raya, teman dekatku sendiri. Dan sekarang mau-maunya aku dikerjai Juna, mau saja disuruh m
Mei turun dari taksi, memandangi lobi apartemen di depannya, kemudian ganti menatap jari manisnya yang kini telah kosong dari cincin pertunangannya dengan Juna. Ada rasa ringan sekaligus berat yang kini bermain-main dalam hatinya. Bodoh. Bisa-bisanya dia melepas pria tampan, menyenangkan, dan juga mapan. Bukankah setidaknya pria itu tak mempermainkan perasaannya seperti Kevin? Juna bahkan sudah terang-terangan menjelaskannya sejak awal, “Jangan overthinking tentang hubungan kita, Mei. Just have fun with me. Tak mengapalah awalnya kita pura-pura saling cinta, maybe oneday ... kita bisa fall in love betulan.” Kemudian terngiang lagi kata-kata Anjani, “Are you sure he loves you, Mei? I tell you, he loves Raya so much. You hanya akan berakhir seperti I dan cewek-cewek lain, yang cuma dijadiin objek pengalih perhatiannya dari Raya. Siap-siap aja, you bakal ditendang keluar kalau dia udah bosan. Better you run!” Ah. Kenapa tiba-tiba terselip rasa takut dalam hati Mei kala mendengarnya? Ap
“Oh, bagus! Jadi selama ini diam-diam kau mengongkosi Mei, hah? JAWAB!” cecar Dilla. Danu memijiti kepalanya yang mendadak pening. Bakal panjang kalau berurusan uang dengan istrinya. Dilla berkacak pinggang. Melototi Mei dengan tajam. “Tahu diri kenapa sih, Mei? Bukannya balas budi ganti memberi, ini malah minta-minta. Memangnya matamu buta? Lihat itu Riki dan Ivan, anak-anak Tante, kedua sepupumu yang masih perlu sekolah. Masih butuh banyak biaya. Harusnya kau gantian membantu, bukannya malah minta-mintain uang Om Danu di belakang Tante!” Mei tambah pusing. Belum juga uang tersebut didapat, tapi sudah kena damprat. Dilla jenis orang yang sangat sulit diberi pengertian dan hanya ingin mendengar apa yang ingin dia dengar. Sebagai suami yang sudah menikahinya bertahun-tahun, Danu tahu hal itu. Namun dia tetap pasang badan demi melindungi Mei. “Ma, dengar dulu. Mei jobless sekarang__” Belum selesai Danu berbicara, Dilla sudah naik darah. “APA? Jadi kamu pengangguran sekarang, Mei
Tak terasa sudah sebulan ini Mei menjalani profesinya sebagai asisten pribadi Hans. Pria itu memang tetaplah Hans yang mata keranjang dan penyuka daun muda. Tetapi setidaknya Hans tak kurang ajar padanya dan menjaga profesionalitas. Mei tak luput dari kesalahan pada saat awal-awal bekerja dengannya dulu. Tapi Hans langsung menegurnya. Hans memberitahu kesalahan Mei dengan jelas. Mengulangi intruksinya dengan tegas. Membuat Mei cepat belajar dan dapat menghindari kesalahan yang sama. “Sepertinya si bos jarang mengomel sejak kamu kerja di sini,” komentar Tika melihat perubahan sikap bosnya. Tika adalah private personal assistant yang bertugas membantu Hans mengurusi hal-hal yang bersifat personal, sama dengan posisi Mei. Namun berhubung Amel sedang bedrest pasca operasi usus buntu, maka Hans meminta Mei menggantikan posisi Amel sementara waktu. Sebab Mei sempat kerja tandem dengan personal assistant eksekutifnya itu. “Memangnya om Hans suka mengomel?” Mei malah bertanya balik. Tik
Sejak bekerja dengan Hans, Mei merasa tantenya mulai memberi perhatian lebih kepadanya. Mei tak lagi dibebani pekerjaan rumah tangga seperti biasanya. Tak lagi menyiapkan sendiri sarapannya. Tante Dilla melayani Mei sama seperti dia melayani anak-anaknya yang lain. “Makan yang banyak, Mei. Supaya kau energik bekerja sepagi ini. Hans bilang sangat puas dengan pekerjaanmu. Kau memenuhi ekspektasi asisten pribadi idealnya,” kata Dilla sembari menyodorkan setangkup sandwich buatannya untuk Mei. Dilla terus-terusan mengoceh tentang Hans, tanpa menyadari kerutan wajah suaminya yang tampak kesal mendengarnya. Danu sebenarnya cemas. Dia sangat mengenal Hans yang sudah jadi buaya darat sejak sekolah dulu. Bahkan temannya itu sudah melepas keperjakaannya sejak masih SMA. Hans tak bisa tahan lama-lama melihat wanita cantik. Keberadaan Mei di sekitar Hans sungguh membuat Danu merasa tak tenang. “Kalau Hans berbuat kurang sopan kepadamu, jangan segan-segan melawan, Mei. Jangan takut. Bilang ke
Gala Dinner itu selesai hampir tengah malam, Hans bersikeras mengantar Meilani pulang meski gadis itu bilang Danu akan menjemputnya. “Masa iya Danu tak percaya padaku?” ujar Hans seraya terkekeh saat menggiring Meilani memasuki alphard hitam yang telah menunggu mereka. ‘Memang tidak,’ sahut Mei dalam hati. “Lagipula Dilla tadi menelepon, bilang kalau Danu sedang ke luar kota. Tantemu itu menitipkan kau padaku. Bersyukurlah kau punya tante seperti Dilla, biar cerewet tapi diam-diam dia perhatian padamu.” Mei tersenyum pahit. Tante Dilla memang berubah menjadi sangat perhatian padanya, tapi baru sebulan ini saja, sejak dirinya mau bekerja dengan Hans. Mei menyandarkan tubuh lelahnya di jok kulit mobil Hans yang terasa nyaman. “Istirahatlah, Mei. Kau kelihatan tegang karena seharian memikirkan pekerjaan yang tak pernah habis, bukan? Maaf kalau aku terlalu banyak memberimu pekerjaan. Santailah sekarang,” kata Hans di sebelahnya. Dan Hans masih saja mengoceh, tetapi Mei sudah tak men
Mei mengucek mata dan terkejut melihat Danu di sebelahnya. “Eh, Om Danu?” desahnya sambil berpikir keras. Sepertinya dia tadi sedang berada di dalam mobil Hans? “Om tadi menjemputmu sebelum Hans sempat membawamu pergi. Sudah Om bilang ‘kan, jangan lengah. Kau harusnya menelepon Om saja kalau tak jadi pulang dengan taksi.” Meski Danu mengatakannya dengan pelan, tapi Mei bisa menangkap kemarahan dalam nada suaranya. “Eh. I-iya maaf, Om.” “Jangan lupa kalau bosmu itu buaya, Mei. Om tahu sekali bagaimana Hans sejak dulu. Dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan yang dia mau, dan dia sedang mengincarmu. Tetaplah waspada.” Mei mengangguk-angguk mendengar omnya mendadak secerewet tante Dilla. “Tidurlah lagi kalau masih mengantuk. Nanti Om bangunkan kalau sudah sampai rumah.” Tapi, Mei tak bisa tidur lagi. Dia memegangi bibirnya dengan jantung berdegub kencang. Dia tadi sempat bermimpi Kevin menciumnya. Dan, ciuman itu terasa sangat nyata. “Mei. Mei? Tolong bukain pintu pagarn
Amel sudah sehat dan masuk kerja. Menjalani lagi fungsinya sebagai personal assistant eksekutif. Dengan demikian Mei harus kembali pada posisinya sebagai private personal assistant yang akan menangani urusan Hans yang lebih pribadi. “Pak Bos lagi punya mainan baru, namanya Vanda. Ini akun instagramnya. Cari tahu apa saja kesukaan Vanda, catat merk apa saja yang sering dipakainya. Sebentar lagi valentine, si bos pasti bakal menghujaninya dengan hadiah yang Vanda banget,” pesan Tika saat Hans menyuruhnya agar memberikan tugas itu pada Meilani saja. Sedangkan Tika harus menangani urusan lain. Tak lama kemudian, Hans meneleponnya, “Mei. Belikan apa saja yang kira-kira cocok untuk Vanda.” Lalu menyebutkan sejumlah budget yang membuat Mei menelan ludah saking banyaknya. “Baik, Om.” Mei menjawab sambil melirik Tika. “Aku harus belanja untuk Vanda,” katanya setelah Hans menutup telepon. “Well. Selamat bersenang-senang.” Tika menepuk-nepuk pundak Meilani. Mei mencebik. “Tapi senyummu meng
Mei meletakkan Cinta di box tidurnya secara perlahan setelah selesai mengganti diapers untuk bayi cantiknya yang menggemaskan itu, kini anak keduanya itu sudah berusia 3 bulan. Juna menepuk-nepuk lembut pipi puterinya. “Selamat bobok, cintanya mami dan papi,” bisiknya dengan hati berbunga-bunga. Setelah memastikan Cinta tidur nyaman, Juna menoleh kepada Mei yang sedang memerah ASI. Air susu Mei melimpah ruah, sampai-sampai Mei membeli kulkas baru khusus untuk menyimpan stok ASI bagi sang buah hati. Mei bertekad akan memberi Cinta ASI eksklusif selama 6 bulan, sama seperti Vi dulu. “Masih lama, Mi?” Juna manyun memerhatikan Mei sibuk dengan alat perahnya. “Bantuin sini, malah bengong! Biar cepat beres ini,” omel Mei. Juna pun nyengir dan membantu Mei menuliskan tanggal hari ini di setiap label botol ASI itu, kemudian memasukkannya ke dalam kulkas yang ada di dalam kamar mereka. Sementara Mei membereskan alat-alat pemerah ASI, mencuci, mengelap, dan menyimpan kembali dengan rapi. “S
“Mami, bangun! Ini sudah jam berapa?” Juna menarik selimut Mei, menepuk-nepuk istrinya yang malah lebih erat lagi memeluk guling. Juna geleng-geleng kepala. Sepertinya Mei bangun kesiangan lagi, padahal biasanya Mei itu morning person. Istrinya itu sigap melayani apa saja kebutuhannya dan juga Vi. Rajin mempersiapkan keberangkatan Juna ke kantor, dan juga mempersiapkan sendiri box makanan untuk Vi. Tapi sudah seminggu ini, makanan untuk Vi diurus pegawainya. Demikian pula persiapan sarapan untuk mereka. Juna rindu sarapannya dipersiapkan sendiri oleh sang istri tercinta. “Banguun, ... Maemunah.” Juna menarik guling Mei, tapi kemudian Mei mengalungkan lengannya di leher Juna. Membuat Juna terkekeh dan menciumi wajah istrinya. “Jun, ngantuk banget gue loh. Masih kepingin bobok.” Juna pun mengecupi pipi istrinya yang masih memejamkan mata. Mei kelihatan sangat mengantuk memang. Juna jadi tak tega menyuruhnya bangun dan menyelimutinya lagi. Juna mandi pagi dan berganti pakaian, memasa
Mei tersenyum puas usai melakukan rapat final dengan manager pengelola gedung Utomo Group. Mei menyabet tempat di lantai dasar gedung Utomo Group yang sebelumnya disewa oleh sebuah restoran franchise asing. Mei ingin menancapkan taring bisnisnya di gedung utama milik kakek suaminya sendiri.Juna pikir istrinya kian menggilai bisnis dan ingin semakin banyak mereguk laba berlipat-lipat. Namun Juna dibuat terkejut saat Mei memaparkan sesuatu kepadanya, bahwa Mei akan memberikan diskon khusus bagi para pegawai Utomo Group yang makan di restoran itu dalam jangka waktu selama mereka berstatus pegawai Utomo Group, yaitu diskon 90% bagi kalangan pegawai kelas bawah semisal security, OB, cleaning service, dan diskon 60% bagi kalangan staf biasa.“Biar apa gitu, Mei?”“Biar mereka merasa dihargai, dan mereka bisa pakai diskonannya buat kepentingan mereka yang lain, atau buat ditabung. Soalnya, Jun, ... gue pernah jadi pegawai rendahan kayak mereka, budget makan siang itu mehong dan berasa bange
“Mei, serius ... elu nggak kepengen ngadain resepsi buat pernikahan kita ini?” Juna diam-diam ingin mewujudkan pesta pernikahan impian yang ingin digelarnya secara mewah. Sebagai wujud kegembiraannya memenangkan hati Mei kembali.“Ogah. Kan udah gue bilang ogah. Berisik amat sig elu masih nanyain melulu, Jun?”Juna manyun. “Emang kenapa sih, Mei?” rengeknya sambil memeluk Mei dari belakang, sementara Mei sedang sibuk meracik bumbu untuk makan malam mereka nanti.“Buat apa elu buang-buang duit cuma buat menjamu para sosialita yang fake itu, heh? Gue ingat banget ya, pas gue lagi melarat gimana sikap mereka ke gue. Gue tuh kayak sampah tahu nggak di mata mereka. Anna dan teman-temannya itu! Papasan sama gue di mall kagak ada yang mau noleh barang seorang, padahal gue udah sapa duluan baek-baek,” oceh Mei sambil menggeprek lengkuas sekuat-kuatnya sampai penyet, seakan lengkuas itu adalah perwujudan Anna dan teman-temannya.Jantung Juna nyaris mencelat kaget mendengarnya. ‘Dih, serem juga
Mei dan Juna menginap di sebuah presidential suite. Di sinilah mereka pernah melewati malam pertama pada pernikahan mereka yang terdahulu. Pada malam rujuknya mereka kali ini, Mei dan Juna kembali memilih ruangan yang sama, ruangan yang menyimpan sejuta kenangan tentang mereka. Ruangan ini menjadi saksi bisu, bahwa ada rasa membara yang mengikat Mei dan Juna, sejak dulu sampai sekarang, tak pernah padam. Jika keduanya dulu merasa canggung saat memasuki ruangan ini dalam balutan gaun pengantin, sekarang tidak lagi. Begitu Juna menutup pintu hotel, dia langsung mengangkat tubuh istrinya itu ke ranjang, melucuti pakaian Mei dengan tak sabar. Sudah halal, bukan? Tangan Juna bergerak cepat menyingkirkan segala macam penghalang, dan matanya berbinar-binar begitu tubuh polos Meilani kini terpampang nyata. Mei ternyata masih tetap luar biasa dan semengagumkan dulu. “Bisa-bisanya Mei, elu udah jadi emak-emak tapi body masih mulus langsing singset kayak gini?” pujinya sambil membelai perut Mei
“Buset, ribet amat sih mau rujuk kebanyakan syarat administrasi! Nggak bisa nikah di KUA hari ini dong gue? Mau tuntasin ibadah nikah yang mulia kok ada-ada aja ya ujiannya?” oceh Juna saat menelepon Jonathan. “Ya udah, Jon, elu buruan daftarin dan urusin semua persyaratan rujuk buat gue dan Mei di KUA. Gue sama Mei nikah siri aja dulu hari ini! Biar cepat sah dan halal,” pungkasnya. Mei tertawa mendenngar ocehan Juna yang teramat ramai. “Beneran mau nikah hari ini? Ntar ajalah ... tanggung, nikah di KUA yang resmi sekalian, tunggu Jojon kelar beresin syarat administrasinya dulu, Jun.” “Eits, nggak bisa! Ibadah loh ini, Maemunah ...! Ibadah itu jangan ditunda-tunda. Jangan dengerin bujuk rayu setan buat nunda-nunda ibadah kita.” Mei terpingkal-pingkal. “Cih. Bisa aja nih orang modusnya, ... bilang aja udah nggak tahan pengen grepe-grepe gue!” cibirnya. Juna nyengir. “Itu kan ibadah juga, Mami sayang, ... yang membedakan kita sama kucing! Kucing mau kawin tinggal kawin, kalau kita
Mei buru-buru ke dapur, meneguk segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena menahan gondok kepada Juna yang malah mengusilinya soal penggrebegan tadi. Wajah Mei jadi merah padam, bukan hanya karena marah pada keadaan. Tapi dia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan ke Vincent? Tadi dia mengecek i*******m dan benar saja, kejadian tadi sudah tayang di I* TV milik Anna dan meraih banyak penonton. “Tuh, kan. Netizen malah belain kita dan kasih selamat sekalian. Orang-orang sekarang sudah tahu soal anak kita, Mei. Juga tentang kita yang sudah rujuk. Dahlah ... yuk, jadiin real aja?” Juna meletakkan ponsel setelah ikut mengecek dan membaca komentar yang berseliweran di I* itu. Juna kemudian merangkul Mei yang duduk menunduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang pening. Juna memijiti pundak Mei hingga wanita itu terlihat sedikit nyaman. Mei menangis sambil mengatakan kalau dia takut Vincent marah, takut Vincent kecewa kepadanya. Mei juga meminta saran dan pendapat
“Gue kangen banget sama Vi, Mei. Please? Gue sekarang tahu kenapa gue langsung jatuh cinta sama Vi sejak awal ketemu dulu. Dan semakin ke sini gue semakin sering kangen sama dia. Ternyata itu yang namanya ikatan batin. Iya ‘kan? Elu sendiri tadi bilang, bakal beri gue ruang buat mencurahkan kasih sayang gue ke Vi?” Mei memutar bola mata. “Iya, tapi nggak gini juga keleus ..., lu lihat ini jam berapa sekarang? Jam 12 malam. Gila lu mau masuk-masuk kamar janda tengah malam gini.” Juna tertegun. Setelah pembicaraan seriusnya tadi, sekarang Mei dengan cepat kembali ke mode cablak. Juna garuk-garuk kepala. “Dih, cepat juga waktu berlalu ya, Mei?” “Ya iyalah, dodol. Situ aja nangisnya berapa jam sendiri?” “Njirr ..., jangan cerita ke siapa-siapa ya, Mei. Tengsin gue.” “Wani piro?” Lalu Mei terkekeh jahat. “Cih. Lu kayak John Wick aja, Mei!” seloroh Juna. Karena John Wick suka menantang imbalan Juna dengan dua kata yang sama itu, ‘wani piro’. “John Wick? Keanu Reeves?” Mei kebingunga
Juna merengkuh kedua tangan Mei. Tangan Mei terasa hangat dalam genggaman Juna yang dingin. “Mei ...,” panggil Juna seraya mengecup lembut punggung tangan wanita itu, “gue udah tahu semuanya, ... siapa sebenarnya Vi,” ucapnya begitu lirih. “Sorry ..., I’m too late.” Juna mendesahkan sejuta penyesalan. Juna berlutut di depan Mei seraya mendongak, mempertemukan tatapan mereka. “Mei ...,” panggilnya lagi, karena wanita itu tak jua bersuara sejak tadi. Mei membeku dalam kediaman panjangnya. “Gue sungguh-sungguh minta maaf. Mungkin permintaan maaf gue ini nggak sepadan dengan penderitaan yang sudah elu lewati seorang diri selama ini.” Juna mengetatkan genggamannya seiring pecutan sesal yang kian melecut-lecut dalam hatinya. Juna baru tahu dari Anjani ..., jika ternyata Mei dalam kondisi mengandung darah dagingnya saat Juna menceraikannya dulu. Saat Juna mengusirnya siang itu, meninggalkan rumahnya di bawah terik cahaya mentari yang membakar kulit, dengan berjalan kaki. Ya ..., berjalan ka