Klik VOTE cerita ini, yuk!
Mei mengucek mata dan terkejut melihat Danu di sebelahnya. “Eh, Om Danu?” desahnya sambil berpikir keras. Sepertinya dia tadi sedang berada di dalam mobil Hans? “Om tadi menjemputmu sebelum Hans sempat membawamu pergi. Sudah Om bilang ‘kan, jangan lengah. Kau harusnya menelepon Om saja kalau tak jadi pulang dengan taksi.” Meski Danu mengatakannya dengan pelan, tapi Mei bisa menangkap kemarahan dalam nada suaranya. “Eh. I-iya maaf, Om.” “Jangan lupa kalau bosmu itu buaya, Mei. Om tahu sekali bagaimana Hans sejak dulu. Dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan yang dia mau, dan dia sedang mengincarmu. Tetaplah waspada.” Mei mengangguk-angguk mendengar omnya mendadak secerewet tante Dilla. “Tidurlah lagi kalau masih mengantuk. Nanti Om bangunkan kalau sudah sampai rumah.” Tapi, Mei tak bisa tidur lagi. Dia memegangi bibirnya dengan jantung berdegub kencang. Dia tadi sempat bermimpi Kevin menciumnya. Dan, ciuman itu terasa sangat nyata. “Mei. Mei? Tolong bukain pintu pagarn
Amel sudah sehat dan masuk kerja. Menjalani lagi fungsinya sebagai personal assistant eksekutif. Dengan demikian Mei harus kembali pada posisinya sebagai private personal assistant yang akan menangani urusan Hans yang lebih pribadi. “Pak Bos lagi punya mainan baru, namanya Vanda. Ini akun instagramnya. Cari tahu apa saja kesukaan Vanda, catat merk apa saja yang sering dipakainya. Sebentar lagi valentine, si bos pasti bakal menghujaninya dengan hadiah yang Vanda banget,” pesan Tika saat Hans menyuruhnya agar memberikan tugas itu pada Meilani saja. Sedangkan Tika harus menangani urusan lain. Tak lama kemudian, Hans meneleponnya, “Mei. Belikan apa saja yang kira-kira cocok untuk Vanda.” Lalu menyebutkan sejumlah budget yang membuat Mei menelan ludah saking banyaknya. “Baik, Om.” Mei menjawab sambil melirik Tika. “Aku harus belanja untuk Vanda,” katanya setelah Hans menutup telepon. “Well. Selamat bersenang-senang.” Tika menepuk-nepuk pundak Meilani. Mei mencebik. “Tapi senyummu meng
Mei ingin menjerit kesal gara-gara insiden kondom sialan pesanan Hans, yang membuatnya harus menanggung malu sebesar ini di depan Juna, Raya, dan juga ... Kevin! Sial. Kenapa sih dia punya bos bermuka ranjang seperti Hans? Sampai-sampai kondom tak pernah absen dari daftar belanjaan pesanannya. Lagi-lagi. Demi gengsi dan harga diri, Mei tak sanggup menolak sandiwara yang ditawarkan Juna padanya tadi, berpura-pura sebagai pasangan romantis di depan Raya dan Kevin. Sampai akhirnya mereka berpisah di depan pintu lift. Raya dan Kevin akan naik ke lantai atas, sedangkan dia dan Juna akan ke bawah. Sebelum berpisah, Raya memeluknya sambil cipika-cipiki. “Awas hamil, Mei. Kondom bisa bocor loh. Udahlah, nikah aja ... biar mainnya juga tenang,” bisiknya sembari terkikik. Aaagh. Sialan! Mei benar-benar malu. Setelah Raya dan Kevin menghilang dibalik lift yang tertutup, Mei buru-buru memasang jarak dari Juna. Keduanya sama-sama membisu saat memasuki lift yang membawa mereka turun ke lantai d
Kesedihan Juna terasa meluap saat ingatannya menampilkan kembali sebuah momen bersama Raya, beberapa saat setelah kabar angin tentang pertunangan wanita yang dicintainya itu dengan Kevin berembus sampai ke telinganya. “Raya, please. Why him? Kalau lelaki itu bukan Kevin, gue masih bisa terima,” kata Juna saat nekat menemui Raya ke rumahnya kala itu. “So what kalau Kevin?” “Ray, Meilani suka sama Kevin sejak SMA. And you know that! Masa elu tega mengkhianati bestie sendiri?” “Mengkhianati? Siapa? Gue? Halo ...? Salah gue ya, kalau Kevin sukanya malah sama gue?” “Kevin? Suka sama elu?” Juna terbahak-bahak. Bah! Juna mungkin cowok pe’ak, rada sableng. Tapi bukan berarti Juna tak punya kepekaan. Diam-diam, Juna sering iseng mengamati interaksi Mei dengan Kevin sejak SMA. Sejak dia tak sengaja memungut sebait puisi yang dituliskan gadis itu untuk Kevin. Juna juga bisa melihat jelas perbedaan sorot mata Kevin saat lelaki itu sedang menatap Mei atau Raya. Dan ciuman Kevin kepada Mei
Mei baru saja selesai menata ruangan dan hadiah-hadiah valentine untuk Vanda di sebuah unit apartemen Hans, sesuai permintaan si bos. Lalu memotret dan mengirimkannya kepada Hans sebagai laporan jika tugasnya sudah selesai. Tapi Hans mendadak ingin memindahkan acaranya di hotel saja. “Mei. Aku berubah pikiran. Aku akan melamar Vanda malam ini, dia ternyata tipeku. Siapkan dinner spesial dan cincin yang cantik. Ukurannya sama denganmu,” kata Hans seenaknya. Mei menepuk jidat. Tiba-tiba? Dengan waktu sesempit ini? Tapi Mei pantang menolak tanpa berusaha lebih dulu. There is a will, there is a way. Mei menelepon sebuah hotel bintang lima untuk reservasi. Lalu meluncur ke sana bersama barang-barangnya yang merepotkan. Usai check in dan menerima kartu akses dari hotel, Mei berlari-lari kecil menuju kamar. Cekatan menata semua hadiah untuk Vanda sambil sebentar-sebentar mengecek arlojinya. Dia tak punya banyak waktu lagi. Usai menata semua hadiah dan segala pernak-perniknya, Mei mening
Meski lelah, tapi Mei lega bukan main. Candle light dinner yang dipersiapkannya secara dadakan untuk Hans tadi berjalan sukses dan tak menimbulkan komplain apapun dari Hans. Bahkan berlangsung manis. Vanda menyukai cincinnya. Juga hadiah-hadiahnya. Tentu saja. Semuanya barang mahal. Hans tadi memujinya, “Terima kasih, Mei. Kau memang lincah dan gesit. Tak salah aku menerimamu sebagai asisten pribadiku.” Tapi kemudian pria itu mendesah pelan. “Andai saja tak ada Danu antara kita, bukan Vanda yang kulamar tapi kamu. Sayangnya Danu telanjur menganggapku hidung belang. Padahal aku betul-betul ingin menikahi dan menyenangkanmu, Mei. Bukan menjadikanmu selinganku saja. Aku terpaksa cari wanita lain, daripada pistol Danu meledak di kepalaku. Wanita ada banyak, tapi nyawaku cuma satu,” aku Hans blak-blakan. Mei tak kaget tentang pistol yang dibicarakan Hans. Dia pernah melihat om Danu menaklukkan kawanan debt collector yang menyerang papinya. Om Danu melibas siapa saja yang menagih utang pad
Mei pergi ke Dufan untuk melepaskan kemarahan. Menjerit sekeras-kerasnya di atas ketinggian wahana ekstrim yang dinaikinya. Menangis sepuasnya di atas wahana yang mengayun-ayunkan tubuhnya di udara. Kepala di kaki, kaki di kepala. Seperti itulah kehidupan yang dialaminya selama ini. Seperti itulah sulitnya dia mencari uang. Tapi Mei tak pernah mengeluh, dia tetap bekerja giat. Tapi. Tak ada yang menghargainya. Kerja baik dan kerja kerasnya selalu berujung sia-sia. Namun kemudian, terngiang nasehat maminya semasa hidup dulu, “Apapun yang terjadi tetaplah bersyukur, Mei. Dan berbahagialah. Bahagia itu hak kita, hak semua orang. Bahagia tak butuh alasan. Kau hanya perlu merasa seperti itu, setiap saat.” “Maaf, Mam. Mei lupa tentang itu,” gumamnya sambil menghapus air mata. Lalu Mei menjerit lagi, saat rollercoaster yang dinaikinya melesat, meliuk, memutar, dan meluncur dengan kecepatan yang mengaduk-aduk adrenalinnya. Tapi kemudian tertawa lega. Mei keluar dari area Dufan setelah pua
Dirga, papa Kevin, menginterogasi Mei detik itu juga. Raut tak suka tergambar jelas dalam wajah lelah Dirga yang baru saja sampai dari Amerika. Perasaan pria paruh baya itu dirambati cemas. Bagaimana kalau putera kesayangannya ini sampai menghamili anak orang di usia yang masih belia? Meskipun anak-anak itu bersumpah cuma berciuman dan baru pertama kali melakukannya. Tapi, bagaimana dengan besok? Apalagi Dirga jarang di rumah karena sibuk berbisnis. Dirga harusnya curiga saat cctv di beberapa titik rumah mereka sering mati. Pasti Kevin yang sengaja mematikan demi menyelundupkan gadis itu ke rumah. Setelah puas mengorek keterangan dari Mei, Dirga berkata, “Ini terakhir kalinya kau ke rumah ini. Kalau punya urusan dengan Kevin, langsung selesaikan saja saat di sekolah. Sekarang pulanglah.” “Pa!” protes Kevin. “Kev. It’s oke.” Mei mengisyaratkan agar Kevin jangan mendebat papanya, seraya tersenyum meskipun matanya tampak ingin menangis. Kevin terdiam. Lalu menyambar ponselnya dan mene