Yuk, klik VOTE :)
Mei ingin menjerit kesal gara-gara insiden kondom sialan pesanan Hans, yang membuatnya harus menanggung malu sebesar ini di depan Juna, Raya, dan juga ... Kevin! Sial. Kenapa sih dia punya bos bermuka ranjang seperti Hans? Sampai-sampai kondom tak pernah absen dari daftar belanjaan pesanannya. Lagi-lagi. Demi gengsi dan harga diri, Mei tak sanggup menolak sandiwara yang ditawarkan Juna padanya tadi, berpura-pura sebagai pasangan romantis di depan Raya dan Kevin. Sampai akhirnya mereka berpisah di depan pintu lift. Raya dan Kevin akan naik ke lantai atas, sedangkan dia dan Juna akan ke bawah. Sebelum berpisah, Raya memeluknya sambil cipika-cipiki. “Awas hamil, Mei. Kondom bisa bocor loh. Udahlah, nikah aja ... biar mainnya juga tenang,” bisiknya sembari terkikik. Aaagh. Sialan! Mei benar-benar malu. Setelah Raya dan Kevin menghilang dibalik lift yang tertutup, Mei buru-buru memasang jarak dari Juna. Keduanya sama-sama membisu saat memasuki lift yang membawa mereka turun ke lantai d
Kesedihan Juna terasa meluap saat ingatannya menampilkan kembali sebuah momen bersama Raya, beberapa saat setelah kabar angin tentang pertunangan wanita yang dicintainya itu dengan Kevin berembus sampai ke telinganya. “Raya, please. Why him? Kalau lelaki itu bukan Kevin, gue masih bisa terima,” kata Juna saat nekat menemui Raya ke rumahnya kala itu. “So what kalau Kevin?” “Ray, Meilani suka sama Kevin sejak SMA. And you know that! Masa elu tega mengkhianati bestie sendiri?” “Mengkhianati? Siapa? Gue? Halo ...? Salah gue ya, kalau Kevin sukanya malah sama gue?” “Kevin? Suka sama elu?” Juna terbahak-bahak. Bah! Juna mungkin cowok pe’ak, rada sableng. Tapi bukan berarti Juna tak punya kepekaan. Diam-diam, Juna sering iseng mengamati interaksi Mei dengan Kevin sejak SMA. Sejak dia tak sengaja memungut sebait puisi yang dituliskan gadis itu untuk Kevin. Juna juga bisa melihat jelas perbedaan sorot mata Kevin saat lelaki itu sedang menatap Mei atau Raya. Dan ciuman Kevin kepada Mei
Mei baru saja selesai menata ruangan dan hadiah-hadiah valentine untuk Vanda di sebuah unit apartemen Hans, sesuai permintaan si bos. Lalu memotret dan mengirimkannya kepada Hans sebagai laporan jika tugasnya sudah selesai. Tapi Hans mendadak ingin memindahkan acaranya di hotel saja. “Mei. Aku berubah pikiran. Aku akan melamar Vanda malam ini, dia ternyata tipeku. Siapkan dinner spesial dan cincin yang cantik. Ukurannya sama denganmu,” kata Hans seenaknya. Mei menepuk jidat. Tiba-tiba? Dengan waktu sesempit ini? Tapi Mei pantang menolak tanpa berusaha lebih dulu. There is a will, there is a way. Mei menelepon sebuah hotel bintang lima untuk reservasi. Lalu meluncur ke sana bersama barang-barangnya yang merepotkan. Usai check in dan menerima kartu akses dari hotel, Mei berlari-lari kecil menuju kamar. Cekatan menata semua hadiah untuk Vanda sambil sebentar-sebentar mengecek arlojinya. Dia tak punya banyak waktu lagi. Usai menata semua hadiah dan segala pernak-perniknya, Mei mening
Meski lelah, tapi Mei lega bukan main. Candle light dinner yang dipersiapkannya secara dadakan untuk Hans tadi berjalan sukses dan tak menimbulkan komplain apapun dari Hans. Bahkan berlangsung manis. Vanda menyukai cincinnya. Juga hadiah-hadiahnya. Tentu saja. Semuanya barang mahal. Hans tadi memujinya, “Terima kasih, Mei. Kau memang lincah dan gesit. Tak salah aku menerimamu sebagai asisten pribadiku.” Tapi kemudian pria itu mendesah pelan. “Andai saja tak ada Danu antara kita, bukan Vanda yang kulamar tapi kamu. Sayangnya Danu telanjur menganggapku hidung belang. Padahal aku betul-betul ingin menikahi dan menyenangkanmu, Mei. Bukan menjadikanmu selinganku saja. Aku terpaksa cari wanita lain, daripada pistol Danu meledak di kepalaku. Wanita ada banyak, tapi nyawaku cuma satu,” aku Hans blak-blakan. Mei tak kaget tentang pistol yang dibicarakan Hans. Dia pernah melihat om Danu menaklukkan kawanan debt collector yang menyerang papinya. Om Danu melibas siapa saja yang menagih utang pad
Mei pergi ke Dufan untuk melepaskan kemarahan. Menjerit sekeras-kerasnya di atas ketinggian wahana ekstrim yang dinaikinya. Menangis sepuasnya di atas wahana yang mengayun-ayunkan tubuhnya di udara. Kepala di kaki, kaki di kepala. Seperti itulah kehidupan yang dialaminya selama ini. Seperti itulah sulitnya dia mencari uang. Tapi Mei tak pernah mengeluh, dia tetap bekerja giat. Tapi. Tak ada yang menghargainya. Kerja baik dan kerja kerasnya selalu berujung sia-sia. Namun kemudian, terngiang nasehat maminya semasa hidup dulu, “Apapun yang terjadi tetaplah bersyukur, Mei. Dan berbahagialah. Bahagia itu hak kita, hak semua orang. Bahagia tak butuh alasan. Kau hanya perlu merasa seperti itu, setiap saat.” “Maaf, Mam. Mei lupa tentang itu,” gumamnya sambil menghapus air mata. Lalu Mei menjerit lagi, saat rollercoaster yang dinaikinya melesat, meliuk, memutar, dan meluncur dengan kecepatan yang mengaduk-aduk adrenalinnya. Tapi kemudian tertawa lega. Mei keluar dari area Dufan setelah pua
Dirga, papa Kevin, menginterogasi Mei detik itu juga. Raut tak suka tergambar jelas dalam wajah lelah Dirga yang baru saja sampai dari Amerika. Perasaan pria paruh baya itu dirambati cemas. Bagaimana kalau putera kesayangannya ini sampai menghamili anak orang di usia yang masih belia? Meskipun anak-anak itu bersumpah cuma berciuman dan baru pertama kali melakukannya. Tapi, bagaimana dengan besok? Apalagi Dirga jarang di rumah karena sibuk berbisnis. Dirga harusnya curiga saat cctv di beberapa titik rumah mereka sering mati. Pasti Kevin yang sengaja mematikan demi menyelundupkan gadis itu ke rumah. Setelah puas mengorek keterangan dari Mei, Dirga berkata, “Ini terakhir kalinya kau ke rumah ini. Kalau punya urusan dengan Kevin, langsung selesaikan saja saat di sekolah. Sekarang pulanglah.” “Pa!” protes Kevin. “Kev. It’s oke.” Mei mengisyaratkan agar Kevin jangan mendebat papanya, seraya tersenyum meskipun matanya tampak ingin menangis. Kevin terdiam. Lalu menyambar ponselnya dan mene
“Kev!” Mei mendorong Kevin agar menjauh, setelah lelaki itu puas menciumnya. Kevin menatap Mei yang terbelalak syok kepadanya. Meski bibirnya terkatup rapat, tetapi mata wanita itu menyoratkan banyak hal. Bahwa benar, memang ada cinta di antara mereka. Hanya saja, Mei tak sanggup mengakuinya karena keadaan dan status Kevin yang sudah jadi suami orang. “Jangan gila, Kev. Elu suami Raya, teman dekat gue! Seharusnya elu tanyain hal ini sejak dulu sebelum elu menikahi Raya, kenapa baru sekarang? Jangan bikin gue jadi serendah ini, Kev. Kalau gue meladeni elu ..., guelah yang bakal dicap pelakor! Orang-orang nggak peduli siapa yang memulai perselingkuhan duluan, bagi mereka tetap aja gue yang salah,” cecar Mei dengan air mata yang menganak sungai di pipi. Kecewa menerima sikap Kevin yang telah menciumnya secara paksa. Kevin tertunduk usai tertampar kata-kata Mei. Kevin merasa dirinya begitu egois. Buat apa pula dia memaksa Mei mengakui sebuah rasa yang jelas-jelas sudah dia ketahui send
Juna baru saja menutup rapat virtualnya dengan tim lapangan yang sedang mengerjakan proyek pemugaran hotelnya. Pria berhidung mancung itu mengerutkan kening melihat nama penelepon yang terpampang di layar ponselnya. “Kevin? Tumben?” gumamnya. Mereka memang sudah lama tak saling menelepon lagi, terutama sejak Kevin resmi bertunangan dengan Raya. Hubungan baik mereka seperti terputus begitu saja sejak saat itu. “Halo, Kev?” Juna akhirnya mengangkat telepon. “Jun? Lu di mana?” tanya Kevin tanpa basa-basi. “Ada apaan?” Juna menyahut malas-malasan. “Lu di Jakarta ‘kan?” “Hmm, ngapain emang?” jawab Juna sambil bersedekap dan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Buruan sini sekarang, Mei kecelakaan.” Juna tersentak. “Mei? Dia lagi sama elu?” “Lu datang aja dulu sini. Gue share loc rumah sakitnya.” “Oke, gue ke situ sekarang. Tapi inget ya, Kev. Lu itu suami Raya. Lu jangan macam-macam sama si Mei, teman bini lu sendiri.” Tapi Kevin malah menutup teleponnya tanpa menjawab sepatah ka