Suka cerita ini? Beri komentar dan VOTE ya :)
Mei pergi ke Dufan untuk melepaskan kemarahan. Menjerit sekeras-kerasnya di atas ketinggian wahana ekstrim yang dinaikinya. Menangis sepuasnya di atas wahana yang mengayun-ayunkan tubuhnya di udara. Kepala di kaki, kaki di kepala. Seperti itulah kehidupan yang dialaminya selama ini. Seperti itulah sulitnya dia mencari uang. Tapi Mei tak pernah mengeluh, dia tetap bekerja giat. Tapi. Tak ada yang menghargainya. Kerja baik dan kerja kerasnya selalu berujung sia-sia. Namun kemudian, terngiang nasehat maminya semasa hidup dulu, “Apapun yang terjadi tetaplah bersyukur, Mei. Dan berbahagialah. Bahagia itu hak kita, hak semua orang. Bahagia tak butuh alasan. Kau hanya perlu merasa seperti itu, setiap saat.” “Maaf, Mam. Mei lupa tentang itu,” gumamnya sambil menghapus air mata. Lalu Mei menjerit lagi, saat rollercoaster yang dinaikinya melesat, meliuk, memutar, dan meluncur dengan kecepatan yang mengaduk-aduk adrenalinnya. Tapi kemudian tertawa lega. Mei keluar dari area Dufan setelah pua
Dirga, papa Kevin, menginterogasi Mei detik itu juga. Raut tak suka tergambar jelas dalam wajah lelah Dirga yang baru saja sampai dari Amerika. Perasaan pria paruh baya itu dirambati cemas. Bagaimana kalau putera kesayangannya ini sampai menghamili anak orang di usia yang masih belia? Meskipun anak-anak itu bersumpah cuma berciuman dan baru pertama kali melakukannya. Tapi, bagaimana dengan besok? Apalagi Dirga jarang di rumah karena sibuk berbisnis. Dirga harusnya curiga saat cctv di beberapa titik rumah mereka sering mati. Pasti Kevin yang sengaja mematikan demi menyelundupkan gadis itu ke rumah. Setelah puas mengorek keterangan dari Mei, Dirga berkata, “Ini terakhir kalinya kau ke rumah ini. Kalau punya urusan dengan Kevin, langsung selesaikan saja saat di sekolah. Sekarang pulanglah.” “Pa!” protes Kevin. “Kev. It’s oke.” Mei mengisyaratkan agar Kevin jangan mendebat papanya, seraya tersenyum meskipun matanya tampak ingin menangis. Kevin terdiam. Lalu menyambar ponselnya dan mene
“Kev!” Mei mendorong Kevin agar menjauh, setelah lelaki itu puas menciumnya. Kevin menatap Mei yang terbelalak syok kepadanya. Meski bibirnya terkatup rapat, tetapi mata wanita itu menyoratkan banyak hal. Bahwa benar, memang ada cinta di antara mereka. Hanya saja, Mei tak sanggup mengakuinya karena keadaan dan status Kevin yang sudah jadi suami orang. “Jangan gila, Kev. Elu suami Raya, teman dekat gue! Seharusnya elu tanyain hal ini sejak dulu sebelum elu menikahi Raya, kenapa baru sekarang? Jangan bikin gue jadi serendah ini, Kev. Kalau gue meladeni elu ..., guelah yang bakal dicap pelakor! Orang-orang nggak peduli siapa yang memulai perselingkuhan duluan, bagi mereka tetap aja gue yang salah,” cecar Mei dengan air mata yang menganak sungai di pipi. Kecewa menerima sikap Kevin yang telah menciumnya secara paksa. Kevin tertunduk usai tertampar kata-kata Mei. Kevin merasa dirinya begitu egois. Buat apa pula dia memaksa Mei mengakui sebuah rasa yang jelas-jelas sudah dia ketahui send
Juna baru saja menutup rapat virtualnya dengan tim lapangan yang sedang mengerjakan proyek pemugaran hotelnya. Pria berhidung mancung itu mengerutkan kening melihat nama penelepon yang terpampang di layar ponselnya. “Kevin? Tumben?” gumamnya. Mereka memang sudah lama tak saling menelepon lagi, terutama sejak Kevin resmi bertunangan dengan Raya. Hubungan baik mereka seperti terputus begitu saja sejak saat itu. “Halo, Kev?” Juna akhirnya mengangkat telepon. “Jun? Lu di mana?” tanya Kevin tanpa basa-basi. “Ada apaan?” Juna menyahut malas-malasan. “Lu di Jakarta ‘kan?” “Hmm, ngapain emang?” jawab Juna sambil bersedekap dan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Buruan sini sekarang, Mei kecelakaan.” Juna tersentak. “Mei? Dia lagi sama elu?” “Lu datang aja dulu sini. Gue share loc rumah sakitnya.” “Oke, gue ke situ sekarang. Tapi inget ya, Kev. Lu itu suami Raya. Lu jangan macam-macam sama si Mei, teman bini lu sendiri.” Tapi Kevin malah menutup teleponnya tanpa menjawab sepatah ka
“Arjunaaa! Ngapain lu cium-cium bibir gue?” Arjuna tersentak melihat Mei tiba-tiba membuka mata dan mendelik marah kepadanya. Tapi kemudian pria itu terkekeh santai. “Eh, udah bangun lu, Maemunah? Gue kira lelap tidur,” cengirnya. “Gue kan cuma akting, Mei. Biar Kevin jengah dan lekas minggat dari sini. Kenapa? Lu keberatan Kevin jadi terusir karena keberadaan gue?” cecar Juna kemudian. Mei terdiam sesaat, lalu menyahut pelan, “Thank’s.” Juna menyipitkan mata, ‘Thank’s?’ pikirnya bertanya-tanya dan memandangi Mei seraya menilai-nilai sikap si cantik itu. “Well. Kevin sudah pulang, lu juga bisa pulang sekarang.” Juna dibuat tertegun oleh ucapan Mei barusan. Kemudian pria itu berdecak pelan. “Ngusir, nih? Kebetulan, gue juga bukan pengangguran. Banyak banget urusan yang gue tinggalin gara-gara harus ke sini. Oke, gue cabut sekarang. Get well soon, Maemunah,” sahutnya seraya melambaikan tangannya kepada Mei disertai senyum dan kedipan mata. Kemudian melenggang pergi dengan gayanya ya
Mei membuka mata dan tersentak melihat lengan Juna berada di atas perutnya, sementara kepala pria itu tergolek di sisi bantalnya. Mei ingin mengomel dan membangunkannya, tetapi ditahannya niat itu, sebab dengkuran halus Juna membuat ruang perawatan VIP yang luas dan ditempatinya sendirian ini tak terasa sepi lagi baginya. “Jun? Bangun, sudah pagi,” bisik Mei seraya menepuk-nepuk kecil pipi Juna yang terlelap. “Hmm?” Juna akhirnya terbangun dan mengucek matanya. “Eh. Sudah bangun lu, Maemunah? Mau pipis? Gue anterin, yuk?” ujar Juna seraya tersenyum lembut. Mei menggeleng dan ingin dibantu suster saja, tetapi Juna sudah keburu menggendong tubuhnya duluan, seakan tubuh Mei seringan kapas di tangan pria itu. Usai mengantar Mei ke kamar mandi untuk pipis dan gosok gigi, Juna menyuapinya sarapan dan membujuk Mei agar menghabiskannya. “Nah, gitu dong. Biar nggak mubazir makanannya. Elu sendiri pernah ngomelin gue waktu nggak ngabisin makanan yang elu traktir waktu itu,” oceh Juna. Mei t
“Eh, Ray? Masuklah.” Mei bisa merasakan suara Juna yang berubah gugup saat melihat kehadiran Raya bersama Sarah dan Tania. “Kevin mana, nggak ikut?” lanjut Juna seraya mengambil alih bingkisan buah untuk Mei dari tangan mantan pacarnya itu. “Jadwalnya padat banget hari ini. Mana bisa dia ninggalin urusan yang sangat penting buat hal lain?” sahut Raya dengan senyumnya yang terlihat ramah, tetapi Mei bisa merasakan arti dalam kalimat itu, bahwa Mei bukanlah sesuatu yang dianggap penting bagi Kevin dibanding urusannya yang lain. “Ya ampun, Mei. Gimana ceritanya kok bisa-bisanya elu kecelakaan gini sih?” Sarah menghampiri Mei yang tergolek di ranjang perawatan, melewati Juna dan Raya yang masih saling bertatapan. “Yaa gitu deh,” cengir Mei sembari bergantian membalas pelukan Sarah dan Tania. “Thank’s, ya,” ucapnya saat Tania mengulurkan sebuket bunga untuknya. “Get well soon, Mei,” ujar Tania dan Sarah nyaris berbarengan. Mei mengangguk dan tersenyum. Tapi senyum itu tak benar-benar
“Makasih, Jun. Gue janji bakal membayar semua ini,” ucap Mei kala Juna mengatakan sudah melunasi tagihan rumah sakitnya. Dan Mei sudah diperbolehkan pulang sekarang. “Udahlah, Maemunah. Nggak usah dipikirin. Elu juga dulu sering bantuin gue, kan?” “Kapan?” “Dulu waktu SMA, gue sering lupa bawa uang terus utang jajan ke elu tiap ketemu di kantin, tapi sampai detik ini gue belum pernah bayar. Anggap aja udah gue lunasi sekarang.” Seketika Mei terpingkal-pingkal. “Ah. Ada-ada aja elu, mah! Utang lu dulu itu kan nggak seberapa, gue ikhlas kok. Itu kan nggak sebanding dengan biaya rumah sakit gue ini,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala. “Ya sudah, gue juga ikhlas kok bayarin biaya rumah sakit elu ini. Jadi, nggak ada lagi istilah utang-utangan antara kita.” “Thank’s, Jun." Mei terharu. “Oke, udah nggak ada yang ketinggalan ‘kan? Yuk, kita pulang sekarang.” Seorang suster tersenyum ramah ketika berpapasan dengan mereka di koridor rumah sakit. "Semoga lekas pulih ya, Mbak Mei. Hati-