Yuk, dukung penulis dengan klik VOTE cerita ini.
Mei membuka mata dan tersentak melihat lengan Juna berada di atas perutnya, sementara kepala pria itu tergolek di sisi bantalnya. Mei ingin mengomel dan membangunkannya, tetapi ditahannya niat itu, sebab dengkuran halus Juna membuat ruang perawatan VIP yang luas dan ditempatinya sendirian ini tak terasa sepi lagi baginya. “Jun? Bangun, sudah pagi,” bisik Mei seraya menepuk-nepuk kecil pipi Juna yang terlelap. “Hmm?” Juna akhirnya terbangun dan mengucek matanya. “Eh. Sudah bangun lu, Maemunah? Mau pipis? Gue anterin, yuk?” ujar Juna seraya tersenyum lembut. Mei menggeleng dan ingin dibantu suster saja, tetapi Juna sudah keburu menggendong tubuhnya duluan, seakan tubuh Mei seringan kapas di tangan pria itu. Usai mengantar Mei ke kamar mandi untuk pipis dan gosok gigi, Juna menyuapinya sarapan dan membujuk Mei agar menghabiskannya. “Nah, gitu dong. Biar nggak mubazir makanannya. Elu sendiri pernah ngomelin gue waktu nggak ngabisin makanan yang elu traktir waktu itu,” oceh Juna. Mei t
“Eh, Ray? Masuklah.” Mei bisa merasakan suara Juna yang berubah gugup saat melihat kehadiran Raya bersama Sarah dan Tania. “Kevin mana, nggak ikut?” lanjut Juna seraya mengambil alih bingkisan buah untuk Mei dari tangan mantan pacarnya itu. “Jadwalnya padat banget hari ini. Mana bisa dia ninggalin urusan yang sangat penting buat hal lain?” sahut Raya dengan senyumnya yang terlihat ramah, tetapi Mei bisa merasakan arti dalam kalimat itu, bahwa Mei bukanlah sesuatu yang dianggap penting bagi Kevin dibanding urusannya yang lain. “Ya ampun, Mei. Gimana ceritanya kok bisa-bisanya elu kecelakaan gini sih?” Sarah menghampiri Mei yang tergolek di ranjang perawatan, melewati Juna dan Raya yang masih saling bertatapan. “Yaa gitu deh,” cengir Mei sembari bergantian membalas pelukan Sarah dan Tania. “Thank’s, ya,” ucapnya saat Tania mengulurkan sebuket bunga untuknya. “Get well soon, Mei,” ujar Tania dan Sarah nyaris berbarengan. Mei mengangguk dan tersenyum. Tapi senyum itu tak benar-benar
“Makasih, Jun. Gue janji bakal membayar semua ini,” ucap Mei kala Juna mengatakan sudah melunasi tagihan rumah sakitnya. Dan Mei sudah diperbolehkan pulang sekarang. “Udahlah, Maemunah. Nggak usah dipikirin. Elu juga dulu sering bantuin gue, kan?” “Kapan?” “Dulu waktu SMA, gue sering lupa bawa uang terus utang jajan ke elu tiap ketemu di kantin, tapi sampai detik ini gue belum pernah bayar. Anggap aja udah gue lunasi sekarang.” Seketika Mei terpingkal-pingkal. “Ah. Ada-ada aja elu, mah! Utang lu dulu itu kan nggak seberapa, gue ikhlas kok. Itu kan nggak sebanding dengan biaya rumah sakit gue ini,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala. “Ya sudah, gue juga ikhlas kok bayarin biaya rumah sakit elu ini. Jadi, nggak ada lagi istilah utang-utangan antara kita.” “Thank’s, Jun." Mei terharu. “Oke, udah nggak ada yang ketinggalan ‘kan? Yuk, kita pulang sekarang.” Seorang suster tersenyum ramah ketika berpapasan dengan mereka di koridor rumah sakit. "Semoga lekas pulih ya, Mbak Mei. Hati-
“Apa-apaan sih, Tante? Itu urusan Mei, jangan libatkan Juna.” Mei menahan getar dalam suaranya. Dia tak ingin terlihat takut, meski memang begitulah kenyataannya. Juna tak tahu apa-apa soal utangnya ini. Dan Mei memang belum siap untuk membahasnya. Sebab dalam pikirannya, lelaki manapun bakal kabur sejauh-jauhnya jika mendengar utang yang sedang ditanggung calon pasangan hidupnya. Siapa juga yang sudi dihadiahi beban utang sebesar itu oleh pasangannya sendiri? Orang menikah umumnya ingin bahagia, bukan ingin ditambahi beban utang. “Bah! Kemana nyalimu tadi? Ternyata secepat itu menciut.” Dilla terkekeh menang karena telah memegang kartu As milik Mei, yaitu tentang utangnya yang sangat besar. Di sofa sana, Hans ikut terkekeh sembari menyalakan sebatang rokok, lalu mengembuskannya penuh kenikmatan seraya menonton drama di depannya. Rasa penasaran tampak berkilat dalam sorot matanya. Dipandanginya lekat-lekat pemuda yang tengah pasang badan untuk Meilani itu. Mei menoleh kepada Juna d
Meilani menoleh ke arah rumah tantenya dengan mata berkedip menahan tangis, namun entah apa lagi yang perlu ditangisinya? Selama ini dia tak pernah punya keberanian sebesar ini untuk keluar dari sana hanya karena takut hidup sendiri. Tapi sekarang dia tak sendiri lagi, bukan? Sudah ada seorang Arjuna di sisinya. “Mei, ayo masuklah,” bujuk Juna. Pria itu bisa memahami apa yang tengah menggelayuti pikiran Mei saat ini. Bagaimanapun, di rumah itu tinggallah satu-satunya keluarga yang dimiliki gadis ini. Tapi, keluarga macam apa yang tega memeras dan merenggut kebahagiaan anggota keluarganya sendiri? Bahkan tantenya yang serakah itu tega menyodorkan keponakan kandungnya ini kepada duda genit hanya demi duit. Bahkan berniat menikahkan Meilani secara paksa dengan pria yang lebih pantas menjadi ayahnya, lagi-lagi demi uang. Seakan derajat uang jauh lebih tinggi kedudukannya daripada harkat dan martabat seorang manusia, padahal manusia adalah ciptaan Tuhan nan paling mulia dibanding makhluk
Utomo duduk dan menyandarkan punggung seraya menatap foto berbingkai putih di atas meja kerjanya. Di sana, tampak Juna kecil yang menggemaskan sedang berpose lucu diantara kedua orangtuanya yang kini telah meninggal. Seketika pria sepuh itu menghela napas dalam-dalam kala gelenyar nyeri masih saja merambati hatinya, meski sudah sekian lama hari berkabut duka itu telah berlalu. “Kenapa kalian pergi begitu cepat?” desahnya dengan mata terpejam. Kilasan masa lalupun tergambar kembali dalam benaknya, bagai putaran video. Hari itu, seorang pria berjas putih menatap Utomo dan Wirawan secara bergantian dari balik meja kerjanya yang dipenuhi banyak berkas, di bagian dada jasnya tertempel papan nama bertuliskan ‘dr Joe Ahmad Prameswara, SpBS.’ “Cedera kepala berat yang dialami Nyonya Sekar akibat kecelakaan itu, menimbulkan kerusakan yang sangat parah di bagian otaknya,” jelas dokter Joe seraya menunjuk pada sebuah hasil CT Scan milik Sekar, ibunda Juna, “Batang otak ini merupakan bagian pa
Hari ini, Juna mengajak Mei menemui dan berkenalan dengan kakeknya, sekaligus meminta restunya. “Aku akan tetap menikahimu, meskipun Opa nggak setuju,” ucapnya sambil menggenggam erat tangan Mei dan rasanya telapak tangan wanita itu terasa dingin dalam genggamannya, pasti karena gugup. “Ayo,” ajak Juna seraya merengkuh pinggul Mei. “Opa ada di sana, sedang menunggu kita,” bisiknya. Mei tercekat dan mengikuti langkah Juna. Wanita itu terperangah memandangi betapa luasnya halaman rumah ini. Dalam pikiran Mei sebelumnya, rumah yang akan dilihatnya nanti adalah rumah sederhana namun asri menyenangkan, dan ya, tempat ini sangat asri menyenangkan, tapi sama sekali tidak sederhana. Rumah dengan bangunan utamanya yang bergaya joglo ini terlihat antik dan juga klasik. Terlihat kokoh dan artistik karena berbahan kayu jati dengan kualitas terbaik. Mei begitu gugup kala mengulurkan tangannya kepada seorang pria sepuh bersandal jepit, memakai celana pendek dan berkaos oblong. Pria tua yang selur
Juna dan Mei berpamitan pulang saat hari sudah malam. “Menginaplah, Jun. Kalau kamarmu bisa bicara, dia juga pasti akan bilang kangen ingin kau tempati lagi barang sesaat,” bujuk Opa Tomo. Juna menepuk-nepuk punggung tangan sang kakek yang masih erat menggenggam tangannya. “Besok ada pekerjaan yang harus Juna selesaikan, Opa,” jawabnya lembut. “Kau masih saja sibuk bekerja padahal hari pernikahanmu sudah di depan mata? Ambillah cuti dan fokus dengan pernikahanmu.” Opa Tomo geleng-geleng kepala Juna masih saja sesantai itu jelang hari pernikahannya yang sudah tinggal hitungan hari. “Opa kan tahu, kami tidak menggelarnya secara mewah dan besar-besaran. Dan sudah ada WO yang mengurusnya. Kami terima beres. Makanya Juna punya banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, dan Mei bisa rileks dengan dirinya sendiri tanpa pusing mengurusi tetek-bengek pernikahan.” Utomo tertawa lirih. “Kudengar dari asisten pribadimu, bahkan Meilani enggan memesan gaun pengantin dan pilih menyewa saja? Buk