Jangan lupa, simpan novel ini di pustakamu, lalu komen, dan klik Vote yaa.
Juna dan Mei berpamitan pulang saat hari sudah malam. “Menginaplah, Jun. Kalau kamarmu bisa bicara, dia juga pasti akan bilang kangen ingin kau tempati lagi barang sesaat,” bujuk Opa Tomo. Juna menepuk-nepuk punggung tangan sang kakek yang masih erat menggenggam tangannya. “Besok ada pekerjaan yang harus Juna selesaikan, Opa,” jawabnya lembut. “Kau masih saja sibuk bekerja padahal hari pernikahanmu sudah di depan mata? Ambillah cuti dan fokus dengan pernikahanmu.” Opa Tomo geleng-geleng kepala Juna masih saja sesantai itu jelang hari pernikahannya yang sudah tinggal hitungan hari. “Opa kan tahu, kami tidak menggelarnya secara mewah dan besar-besaran. Dan sudah ada WO yang mengurusnya. Kami terima beres. Makanya Juna punya banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, dan Mei bisa rileks dengan dirinya sendiri tanpa pusing mengurusi tetek-bengek pernikahan.” Utomo tertawa lirih. “Kudengar dari asisten pribadimu, bahkan Meilani enggan memesan gaun pengantin dan pilih menyewa saja? Buk
Mei memandangi swimming pool yang membiru di bawah sana. Itu adalah view favoritnya. Mei betah berlama-lama duduk di balkon hanya untuk memandanginya saja. Tadi Juna sudah mengajaknya melihat-lihat rumah baru yang rencananya akan ditempati mereka setelah menikah. Rumah seluas 500 meter persegi yang berdiri di lahan seluas 1.500 meter persegi itu terasa sangat besar setelah dirinya terbiasa tinggal di apartemen Juna yang lebih sempit namun sangat fungsional ini. Jika boleh memilih, Mei lebih suka tinggal di apartemen ini saja daripada di rumah itu. Apartemen ini terasa jauh lebih hangat dan menyenangkan bagi Mei. Kemudian Mei menghela napas. Memikirkan pernikahannya yang sebentar lagi akan terjadi tanpa kehadiran keluarga dekatnya. Om Danu mendekam di penjara dan menolak kunjungannya, sedangkan tante Dilla dirawat di rumah sakit karena serangan stroke, membuat sepupunya, Riki dan Ivan kalang kabut merawat sang mama. Andai Mei di sana, pasti Mei yang bakal mengurus semuanya. Selama ini
Juna meringis, menyesali mulut besarnya yang keceplosan soal cewek. “Nah, nggak berani kan, lu?” ketus Mei sambil mengancingkan kembali piyamanya. Juna menelan ludah sambil mencuri tatap pada gundukan buah dada Mei yang masih ingin dibelainya. “Apa lu, lihat-lihat? Dasar, mesum!” Mei beranjak dari ranjang, tetapi dengan cepat Juna menahan lengan wanita itu dan menariknya hingga Mei terduduk di pangkuannya. “Apaan sih, lu!” Mei meronta. Bayangan Juna yang pernah bercinta dengan perempuan selain dirinya, secara tiba-tiba menggigit egonya sebagai calon istri Juna. “Maafin gue, Mei. Itu kan masa lalu, nggak bisa gue apa-apain lagi karena udah lewat. Tapi gue bisa membenahi diri gue di masa kini dan masa depan. I’m yours, Mei. Mulai sekarang, I belong to you and you belong to me. Oke?” bisik Juna seraya memeluk Mei erat-erat, semakin kuat Mei meronta minta dilepaskan, sekuat itu pula Juna mengencangkan pelukannya. Hingga Mei akhirnya lelah dan terdiam. “Maafin gue ya, Mei?” bisik Ju
Terjadilah hari ini, pernikahan sakral tanpa keberadaan orangtua kedua mempelai, karena semuanya sudah meninggal, juga tiada pendampingan dari keluarga dekat Mei. Namun Mei bisa merasakan support teramat besar dari orang-orang yang mendukung dirinya dan Juna, terutama Opa Tomo yang tiada lelahnya tersenyum seraya menitikkan air mata haru sepanjang akad nikahnya tadi berlangsung. Mata Mei berkaca-kaca, dia menahannya sebisa mungkin. Jika menangis maka akan sulit bagi Mei untuk menghentikan laju air matanya. Dan tangan Juna yang sejak tadi menggenggamnya erat-erat, sangat membantu Mei untuk tenang. Ucapan selamatpun mengalir deras kepadanya dan juga Juna. Para undangan bergantian menyalami dan memeluk mereka. Saat melihat sosok Raya hadir dalam resepsi pernikahannya dan sedang berbaur dengan tamu lainnya, Mei menginjak kaki Juna. “Apaan sih, Maemunah?” bisik Juna yang terkaget-kaget tapi tetap berusaha menjaga senyumnya di depan kamera. “Kenapa ada Raya di sini? Lu nggak takut mand
Alunan musik instrumental piano menambah kesyahduan acara pernikahan ini. Orang-orang terlihat nyaman, bebas makan dan minum menikmati sajian. Percakapan dan gelak tawa terdengar ramai hingga setiap sudut taman. Inilah pesta yang sebenarnya, kemeriahan yang mencapai setiap sudut tempat. Sementara MC sedang memandu acara dan mengajak para tamu undangan bersenang-senang dengan games berhadiah, Juna malah mengajak Mei berkeliling, menemui beberapa teman lama mereka yang tengah asyik mengobrol saja di sudut taman sambil merokok. Juna lebih suka seperti ini, aktif berbaur daripada duduk-duduk saja di pelaminan dan berjarak dengan teman-temannya yang berharga. “Ngapain lu sampai sini, pengantin kok malah sibuk keliling. Bukannya duduk-duduk aja mumpung lagi jadi raja dan ratu sehari,” tegur Dodi, teman Juna semasa SMA. Dodi Cs terkejut karena Juna dan Mei malah menyambangi mereka, meninggalkan pelaminan. “Justru itu, gue ini kan ceritanya raja yang perhatian sama rakyatnya. Makanya gue p
Mei berdecih. “Dih. Siapa juga yang tebar pesona?” “Ya situlah, siapa lagi? Ngapain coba senyum-senyum ke Dodi Cs? Dah tahu mereka itu kumpulan playboy sejak SMA hanya gara-gara populer sebagai anak basket, padahal gue yang paling sering cetak skor tiap tandingan, bukan mereka.” Mei mengerutkan kening karena Juna tiba-tiba mengomel tidak jelas. “Terus, elu sekarang nyesel kenapa nggak jadi playboy juga kayak mereka? Salah sendiri situ sibuk bucin sama Raya, kayak nggak ada cewek lain aja yang bisa lu pacaran selain dia. Sukurin. Nyesel emang datang belakangan sih ya? Kalau duluan namanya pendaftaran, bukan penyesalan,” sindir Mei sambil mengibaskan tangan, melepaskan diri dari tangan Juna yang sejak tadi menggandengnya. “Dih, ngapa tiba-tiba Raya dibawa-bawa sih?” “Loh, emangnya elu punya mantan di SMA selain Raya?” Juna membuang napas lelahnya. Bertengar mulut dengan perempuan memang menyebalkan! Kenapa pula Meilani tiba-tiba membahas mantan? “Bos ...! Bos!“ Mei dan Juna menole
Raya menoleh kepada Kevin yang juga tertegun menatap Mei dan Juna yang sedang berpelukan di tepi danau, suaminya itu bahkan nyaris lupa cara berkedip. Rambatan nyeri terasa menjalar ke dalam dada Raya melihat sorot tidak rela dalam tatapan Kevin. Raya menunduk dan memandangi jemarinya, di mana cincin kawinnya melingkar cantik. Kevin yang menyematkan cincin indah ini, tetapi Raya sadar jika Kevin hanya menyematkan cincin ini tanpa benar-benar menyematkan seluruh cintanya ke dalam pernikahan mereka. Sebab sebagian hatinya masih tertinggal dalam diri Meilani yang kini telah menikah dengan Juna, pria yang pernah begitu mencintai Raya dengan segenap ketulusannya yang nyata. “Ray, temani gue, yuk? Ada yang mau gue beli buat Mei,” ajak Kevin kala itu, sewaktu mereka masih berkuliah di kampus yang sama di Amerika. Ternyata Kevin menuju toko perhiasan dan membeli cincin. Kevin bilang akan melamar Mei saat kembali ke Jakarta bulan depan. “Ukuran jarinya Mei sama kayak elu ‘kan?” Kevin bertan
Juna mengendurkan pelukannya dari Mei saat ponselnya berdering, menerima teleponnya sebentar, dan mengantonginya lagi di saku jas. “Kita diminta menemui Opa,” katanya, lalu mengecup kening Mei yang sedang mendongak menatapnya. “Kalau ntar gue ketemu Anjani di sana, lu nggak takut mandul?” Juna terbahak-bahak, suaranya yang keras membuat orang-orang yang mendengar menoleh dan tersenyum kecil, ikut senang melihat kegembiraan sang pengantin di hari bahagianya ini. “Tenang aja, barusan si Jojon bilang, Jani nggak akan mungkin sampai ke lokasi ini. Sebab Jojon terpaksa mengerahkan anak buahnya untuk menculik dan menyekapnya di tempat yang jauh. Kalaupun Jani berhasil lolos, pesta kita sudah bubar begitu dia sampai sini.” Mei mendelik. “Hah? Jangan gila!” Juna mengedikkan bahu. “Daripada gue kena sumpah mandul? Gue kan cuma berusaha menyelamatkan masa depan kita, bagaimanapun caranya, Jani nggak boleh mencapai tempat ini,” sahutnya acuh tak acuh. Kemudian menggamit lengan Mei dan membaw
Mei meletakkan Cinta di box tidurnya secara perlahan setelah selesai mengganti diapers untuk bayi cantiknya yang menggemaskan itu, kini anak keduanya itu sudah berusia 3 bulan. Juna menepuk-nepuk lembut pipi puterinya. “Selamat bobok, cintanya mami dan papi,” bisiknya dengan hati berbunga-bunga. Setelah memastikan Cinta tidur nyaman, Juna menoleh kepada Mei yang sedang memerah ASI. Air susu Mei melimpah ruah, sampai-sampai Mei membeli kulkas baru khusus untuk menyimpan stok ASI bagi sang buah hati. Mei bertekad akan memberi Cinta ASI eksklusif selama 6 bulan, sama seperti Vi dulu. “Masih lama, Mi?” Juna manyun memerhatikan Mei sibuk dengan alat perahnya. “Bantuin sini, malah bengong! Biar cepat beres ini,” omel Mei. Juna pun nyengir dan membantu Mei menuliskan tanggal hari ini di setiap label botol ASI itu, kemudian memasukkannya ke dalam kulkas yang ada di dalam kamar mereka. Sementara Mei membereskan alat-alat pemerah ASI, mencuci, mengelap, dan menyimpan kembali dengan rapi. “S
“Mami, bangun! Ini sudah jam berapa?” Juna menarik selimut Mei, menepuk-nepuk istrinya yang malah lebih erat lagi memeluk guling. Juna geleng-geleng kepala. Sepertinya Mei bangun kesiangan lagi, padahal biasanya Mei itu morning person. Istrinya itu sigap melayani apa saja kebutuhannya dan juga Vi. Rajin mempersiapkan keberangkatan Juna ke kantor, dan juga mempersiapkan sendiri box makanan untuk Vi. Tapi sudah seminggu ini, makanan untuk Vi diurus pegawainya. Demikian pula persiapan sarapan untuk mereka. Juna rindu sarapannya dipersiapkan sendiri oleh sang istri tercinta. “Banguun, ... Maemunah.” Juna menarik guling Mei, tapi kemudian Mei mengalungkan lengannya di leher Juna. Membuat Juna terkekeh dan menciumi wajah istrinya. “Jun, ngantuk banget gue loh. Masih kepingin bobok.” Juna pun mengecupi pipi istrinya yang masih memejamkan mata. Mei kelihatan sangat mengantuk memang. Juna jadi tak tega menyuruhnya bangun dan menyelimutinya lagi. Juna mandi pagi dan berganti pakaian, memasa
Mei tersenyum puas usai melakukan rapat final dengan manager pengelola gedung Utomo Group. Mei menyabet tempat di lantai dasar gedung Utomo Group yang sebelumnya disewa oleh sebuah restoran franchise asing. Mei ingin menancapkan taring bisnisnya di gedung utama milik kakek suaminya sendiri.Juna pikir istrinya kian menggilai bisnis dan ingin semakin banyak mereguk laba berlipat-lipat. Namun Juna dibuat terkejut saat Mei memaparkan sesuatu kepadanya, bahwa Mei akan memberikan diskon khusus bagi para pegawai Utomo Group yang makan di restoran itu dalam jangka waktu selama mereka berstatus pegawai Utomo Group, yaitu diskon 90% bagi kalangan pegawai kelas bawah semisal security, OB, cleaning service, dan diskon 60% bagi kalangan staf biasa.“Biar apa gitu, Mei?”“Biar mereka merasa dihargai, dan mereka bisa pakai diskonannya buat kepentingan mereka yang lain, atau buat ditabung. Soalnya, Jun, ... gue pernah jadi pegawai rendahan kayak mereka, budget makan siang itu mehong dan berasa bange
“Mei, serius ... elu nggak kepengen ngadain resepsi buat pernikahan kita ini?” Juna diam-diam ingin mewujudkan pesta pernikahan impian yang ingin digelarnya secara mewah. Sebagai wujud kegembiraannya memenangkan hati Mei kembali.“Ogah. Kan udah gue bilang ogah. Berisik amat sig elu masih nanyain melulu, Jun?”Juna manyun. “Emang kenapa sih, Mei?” rengeknya sambil memeluk Mei dari belakang, sementara Mei sedang sibuk meracik bumbu untuk makan malam mereka nanti.“Buat apa elu buang-buang duit cuma buat menjamu para sosialita yang fake itu, heh? Gue ingat banget ya, pas gue lagi melarat gimana sikap mereka ke gue. Gue tuh kayak sampah tahu nggak di mata mereka. Anna dan teman-temannya itu! Papasan sama gue di mall kagak ada yang mau noleh barang seorang, padahal gue udah sapa duluan baek-baek,” oceh Mei sambil menggeprek lengkuas sekuat-kuatnya sampai penyet, seakan lengkuas itu adalah perwujudan Anna dan teman-temannya.Jantung Juna nyaris mencelat kaget mendengarnya. ‘Dih, serem juga
Mei dan Juna menginap di sebuah presidential suite. Di sinilah mereka pernah melewati malam pertama pada pernikahan mereka yang terdahulu. Pada malam rujuknya mereka kali ini, Mei dan Juna kembali memilih ruangan yang sama, ruangan yang menyimpan sejuta kenangan tentang mereka. Ruangan ini menjadi saksi bisu, bahwa ada rasa membara yang mengikat Mei dan Juna, sejak dulu sampai sekarang, tak pernah padam. Jika keduanya dulu merasa canggung saat memasuki ruangan ini dalam balutan gaun pengantin, sekarang tidak lagi. Begitu Juna menutup pintu hotel, dia langsung mengangkat tubuh istrinya itu ke ranjang, melucuti pakaian Mei dengan tak sabar. Sudah halal, bukan? Tangan Juna bergerak cepat menyingkirkan segala macam penghalang, dan matanya berbinar-binar begitu tubuh polos Meilani kini terpampang nyata. Mei ternyata masih tetap luar biasa dan semengagumkan dulu. “Bisa-bisanya Mei, elu udah jadi emak-emak tapi body masih mulus langsing singset kayak gini?” pujinya sambil membelai perut Mei
“Buset, ribet amat sih mau rujuk kebanyakan syarat administrasi! Nggak bisa nikah di KUA hari ini dong gue? Mau tuntasin ibadah nikah yang mulia kok ada-ada aja ya ujiannya?” oceh Juna saat menelepon Jonathan. “Ya udah, Jon, elu buruan daftarin dan urusin semua persyaratan rujuk buat gue dan Mei di KUA. Gue sama Mei nikah siri aja dulu hari ini! Biar cepat sah dan halal,” pungkasnya. Mei tertawa mendenngar ocehan Juna yang teramat ramai. “Beneran mau nikah hari ini? Ntar ajalah ... tanggung, nikah di KUA yang resmi sekalian, tunggu Jojon kelar beresin syarat administrasinya dulu, Jun.” “Eits, nggak bisa! Ibadah loh ini, Maemunah ...! Ibadah itu jangan ditunda-tunda. Jangan dengerin bujuk rayu setan buat nunda-nunda ibadah kita.” Mei terpingkal-pingkal. “Cih. Bisa aja nih orang modusnya, ... bilang aja udah nggak tahan pengen grepe-grepe gue!” cibirnya. Juna nyengir. “Itu kan ibadah juga, Mami sayang, ... yang membedakan kita sama kucing! Kucing mau kawin tinggal kawin, kalau kita
Mei buru-buru ke dapur, meneguk segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena menahan gondok kepada Juna yang malah mengusilinya soal penggrebegan tadi. Wajah Mei jadi merah padam, bukan hanya karena marah pada keadaan. Tapi dia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan ke Vincent? Tadi dia mengecek i*******m dan benar saja, kejadian tadi sudah tayang di I* TV milik Anna dan meraih banyak penonton. “Tuh, kan. Netizen malah belain kita dan kasih selamat sekalian. Orang-orang sekarang sudah tahu soal anak kita, Mei. Juga tentang kita yang sudah rujuk. Dahlah ... yuk, jadiin real aja?” Juna meletakkan ponsel setelah ikut mengecek dan membaca komentar yang berseliweran di I* itu. Juna kemudian merangkul Mei yang duduk menunduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang pening. Juna memijiti pundak Mei hingga wanita itu terlihat sedikit nyaman. Mei menangis sambil mengatakan kalau dia takut Vincent marah, takut Vincent kecewa kepadanya. Mei juga meminta saran dan pendapat
“Gue kangen banget sama Vi, Mei. Please? Gue sekarang tahu kenapa gue langsung jatuh cinta sama Vi sejak awal ketemu dulu. Dan semakin ke sini gue semakin sering kangen sama dia. Ternyata itu yang namanya ikatan batin. Iya ‘kan? Elu sendiri tadi bilang, bakal beri gue ruang buat mencurahkan kasih sayang gue ke Vi?” Mei memutar bola mata. “Iya, tapi nggak gini juga keleus ..., lu lihat ini jam berapa sekarang? Jam 12 malam. Gila lu mau masuk-masuk kamar janda tengah malam gini.” Juna tertegun. Setelah pembicaraan seriusnya tadi, sekarang Mei dengan cepat kembali ke mode cablak. Juna garuk-garuk kepala. “Dih, cepat juga waktu berlalu ya, Mei?” “Ya iyalah, dodol. Situ aja nangisnya berapa jam sendiri?” “Njirr ..., jangan cerita ke siapa-siapa ya, Mei. Tengsin gue.” “Wani piro?” Lalu Mei terkekeh jahat. “Cih. Lu kayak John Wick aja, Mei!” seloroh Juna. Karena John Wick suka menantang imbalan Juna dengan dua kata yang sama itu, ‘wani piro’. “John Wick? Keanu Reeves?” Mei kebingunga
Juna merengkuh kedua tangan Mei. Tangan Mei terasa hangat dalam genggaman Juna yang dingin. “Mei ...,” panggil Juna seraya mengecup lembut punggung tangan wanita itu, “gue udah tahu semuanya, ... siapa sebenarnya Vi,” ucapnya begitu lirih. “Sorry ..., I’m too late.” Juna mendesahkan sejuta penyesalan. Juna berlutut di depan Mei seraya mendongak, mempertemukan tatapan mereka. “Mei ...,” panggilnya lagi, karena wanita itu tak jua bersuara sejak tadi. Mei membeku dalam kediaman panjangnya. “Gue sungguh-sungguh minta maaf. Mungkin permintaan maaf gue ini nggak sepadan dengan penderitaan yang sudah elu lewati seorang diri selama ini.” Juna mengetatkan genggamannya seiring pecutan sesal yang kian melecut-lecut dalam hatinya. Juna baru tahu dari Anjani ..., jika ternyata Mei dalam kondisi mengandung darah dagingnya saat Juna menceraikannya dulu. Saat Juna mengusirnya siang itu, meninggalkan rumahnya di bawah terik cahaya mentari yang membakar kulit, dengan berjalan kaki. Ya ..., berjalan ka