Klik VOTE dan simpan novel ini di pustakamu, ya :)
Juna meringis, menyesali mulut besarnya yang keceplosan soal cewek. “Nah, nggak berani kan, lu?” ketus Mei sambil mengancingkan kembali piyamanya. Juna menelan ludah sambil mencuri tatap pada gundukan buah dada Mei yang masih ingin dibelainya. “Apa lu, lihat-lihat? Dasar, mesum!” Mei beranjak dari ranjang, tetapi dengan cepat Juna menahan lengan wanita itu dan menariknya hingga Mei terduduk di pangkuannya. “Apaan sih, lu!” Mei meronta. Bayangan Juna yang pernah bercinta dengan perempuan selain dirinya, secara tiba-tiba menggigit egonya sebagai calon istri Juna. “Maafin gue, Mei. Itu kan masa lalu, nggak bisa gue apa-apain lagi karena udah lewat. Tapi gue bisa membenahi diri gue di masa kini dan masa depan. I’m yours, Mei. Mulai sekarang, I belong to you and you belong to me. Oke?” bisik Juna seraya memeluk Mei erat-erat, semakin kuat Mei meronta minta dilepaskan, sekuat itu pula Juna mengencangkan pelukannya. Hingga Mei akhirnya lelah dan terdiam. “Maafin gue ya, Mei?” bisik Ju
Terjadilah hari ini, pernikahan sakral tanpa keberadaan orangtua kedua mempelai, karena semuanya sudah meninggal, juga tiada pendampingan dari keluarga dekat Mei. Namun Mei bisa merasakan support teramat besar dari orang-orang yang mendukung dirinya dan Juna, terutama Opa Tomo yang tiada lelahnya tersenyum seraya menitikkan air mata haru sepanjang akad nikahnya tadi berlangsung. Mata Mei berkaca-kaca, dia menahannya sebisa mungkin. Jika menangis maka akan sulit bagi Mei untuk menghentikan laju air matanya. Dan tangan Juna yang sejak tadi menggenggamnya erat-erat, sangat membantu Mei untuk tenang. Ucapan selamatpun mengalir deras kepadanya dan juga Juna. Para undangan bergantian menyalami dan memeluk mereka. Saat melihat sosok Raya hadir dalam resepsi pernikahannya dan sedang berbaur dengan tamu lainnya, Mei menginjak kaki Juna. “Apaan sih, Maemunah?” bisik Juna yang terkaget-kaget tapi tetap berusaha menjaga senyumnya di depan kamera. “Kenapa ada Raya di sini? Lu nggak takut mand
Alunan musik instrumental piano menambah kesyahduan acara pernikahan ini. Orang-orang terlihat nyaman, bebas makan dan minum menikmati sajian. Percakapan dan gelak tawa terdengar ramai hingga setiap sudut taman. Inilah pesta yang sebenarnya, kemeriahan yang mencapai setiap sudut tempat. Sementara MC sedang memandu acara dan mengajak para tamu undangan bersenang-senang dengan games berhadiah, Juna malah mengajak Mei berkeliling, menemui beberapa teman lama mereka yang tengah asyik mengobrol saja di sudut taman sambil merokok. Juna lebih suka seperti ini, aktif berbaur daripada duduk-duduk saja di pelaminan dan berjarak dengan teman-temannya yang berharga. “Ngapain lu sampai sini, pengantin kok malah sibuk keliling. Bukannya duduk-duduk aja mumpung lagi jadi raja dan ratu sehari,” tegur Dodi, teman Juna semasa SMA. Dodi Cs terkejut karena Juna dan Mei malah menyambangi mereka, meninggalkan pelaminan. “Justru itu, gue ini kan ceritanya raja yang perhatian sama rakyatnya. Makanya gue p
Mei berdecih. “Dih. Siapa juga yang tebar pesona?” “Ya situlah, siapa lagi? Ngapain coba senyum-senyum ke Dodi Cs? Dah tahu mereka itu kumpulan playboy sejak SMA hanya gara-gara populer sebagai anak basket, padahal gue yang paling sering cetak skor tiap tandingan, bukan mereka.” Mei mengerutkan kening karena Juna tiba-tiba mengomel tidak jelas. “Terus, elu sekarang nyesel kenapa nggak jadi playboy juga kayak mereka? Salah sendiri situ sibuk bucin sama Raya, kayak nggak ada cewek lain aja yang bisa lu pacaran selain dia. Sukurin. Nyesel emang datang belakangan sih ya? Kalau duluan namanya pendaftaran, bukan penyesalan,” sindir Mei sambil mengibaskan tangan, melepaskan diri dari tangan Juna yang sejak tadi menggandengnya. “Dih, ngapa tiba-tiba Raya dibawa-bawa sih?” “Loh, emangnya elu punya mantan di SMA selain Raya?” Juna membuang napas lelahnya. Bertengar mulut dengan perempuan memang menyebalkan! Kenapa pula Meilani tiba-tiba membahas mantan? “Bos ...! Bos!“ Mei dan Juna menole
Raya menoleh kepada Kevin yang juga tertegun menatap Mei dan Juna yang sedang berpelukan di tepi danau, suaminya itu bahkan nyaris lupa cara berkedip. Rambatan nyeri terasa menjalar ke dalam dada Raya melihat sorot tidak rela dalam tatapan Kevin. Raya menunduk dan memandangi jemarinya, di mana cincin kawinnya melingkar cantik. Kevin yang menyematkan cincin indah ini, tetapi Raya sadar jika Kevin hanya menyematkan cincin ini tanpa benar-benar menyematkan seluruh cintanya ke dalam pernikahan mereka. Sebab sebagian hatinya masih tertinggal dalam diri Meilani yang kini telah menikah dengan Juna, pria yang pernah begitu mencintai Raya dengan segenap ketulusannya yang nyata. “Ray, temani gue, yuk? Ada yang mau gue beli buat Mei,” ajak Kevin kala itu, sewaktu mereka masih berkuliah di kampus yang sama di Amerika. Ternyata Kevin menuju toko perhiasan dan membeli cincin. Kevin bilang akan melamar Mei saat kembali ke Jakarta bulan depan. “Ukuran jarinya Mei sama kayak elu ‘kan?” Kevin bertan
Juna mengendurkan pelukannya dari Mei saat ponselnya berdering, menerima teleponnya sebentar, dan mengantonginya lagi di saku jas. “Kita diminta menemui Opa,” katanya, lalu mengecup kening Mei yang sedang mendongak menatapnya. “Kalau ntar gue ketemu Anjani di sana, lu nggak takut mandul?” Juna terbahak-bahak, suaranya yang keras membuat orang-orang yang mendengar menoleh dan tersenyum kecil, ikut senang melihat kegembiraan sang pengantin di hari bahagianya ini. “Tenang aja, barusan si Jojon bilang, Jani nggak akan mungkin sampai ke lokasi ini. Sebab Jojon terpaksa mengerahkan anak buahnya untuk menculik dan menyekapnya di tempat yang jauh. Kalaupun Jani berhasil lolos, pesta kita sudah bubar begitu dia sampai sini.” Mei mendelik. “Hah? Jangan gila!” Juna mengedikkan bahu. “Daripada gue kena sumpah mandul? Gue kan cuma berusaha menyelamatkan masa depan kita, bagaimanapun caranya, Jani nggak boleh mencapai tempat ini,” sahutnya acuh tak acuh. Kemudian menggamit lengan Mei dan membaw
“Ray, bangunlah. Sudah pagi.” Kevin menepuk-nepuk pipi istrinya yang masih bergelung di bawah selimut tebalnya sepagi ini, oh tapi jam 9 tidak bisa dikatakan pagi baginya. Bahkan sinar matahari sudah cukup terasa panas sengatannya saat dia memotong rumput sambil berjemur di halaman rumahnya tadi. “Ayo turun, kita sarapan bareng,” lanjutnya sambil mengguncang lengan Raya. “Jam berapa sekarang?” Raya mengulet dan mengucek mata. “Jam 9 lewat.” Tangan Raya menggapai-gapai nakas, mengambil ponselnya. “Ahh, kan hari Minggu, Kev. Santai kenapa, sih?” protes Raya karena Kevin menyingkap selimut dan membuat kulit tubuhnya yang berbalut piyama satin meremang dingin tersapu hawa AC. “Nggak cukup apa, semalam main hape sampai begadang?” tegur Kevin sambil geleng-geleng kepala. Padahal Kevin sangat ingin punya waktu tidur malam yang cukup, tetapi karena pekerjaan yang terus-terusan menumpuk, dia terpaksa begadang sampai lewat tengah malam, hampir setiap hari. Sedangkan istrinya yang punya wakt
Mei terbangun karena sebuah tangan membelai-belai bokongnya yang telanjang tapi kemudian meremasnya dengan kuat. “Junaa, ... jangan rese!” omel Mei sambil menggeliat bangun, namun tangan itu malah bergerak meremasi bagian tubuhnya yang lain lagi. Dan pada saat Mei membuka lagi mulutnya untuk mengomel, bibir Juna sudah keburu membungkamnya dengan ciuman yang panas dan dalam. “Please. Badan gue rasanya remuk redam,” keluh Mei saat Juna mulai menindih tubuhnya. Mei heran bagaimana bisa pria ini masih memiliki stamina setelah apa yang mereka lakukan semalaman. Bahkan Mei masih merasakan nyeri yang menyengat di area kewanitaannya yang telah ditembus Juna dalam percintaan mereka yang pertama. “Elu wajib olahraga rutin mulai sekarang. Bercinta itu butuh energi dan stamina yang stabil, Maemunah. Jangan pasrah diam-diam aja kayak gedebog pisang. Come on, mana Mei yang erotis macam penari gurun semalam?” Mei mencubit pinggang Juna dan membuat pria itu terkekeh dan berguling dari atas tubuhnya