Jangan lupa Vote ya :)
Mei berdecih. “Dih. Siapa juga yang tebar pesona?” “Ya situlah, siapa lagi? Ngapain coba senyum-senyum ke Dodi Cs? Dah tahu mereka itu kumpulan playboy sejak SMA hanya gara-gara populer sebagai anak basket, padahal gue yang paling sering cetak skor tiap tandingan, bukan mereka.” Mei mengerutkan kening karena Juna tiba-tiba mengomel tidak jelas. “Terus, elu sekarang nyesel kenapa nggak jadi playboy juga kayak mereka? Salah sendiri situ sibuk bucin sama Raya, kayak nggak ada cewek lain aja yang bisa lu pacaran selain dia. Sukurin. Nyesel emang datang belakangan sih ya? Kalau duluan namanya pendaftaran, bukan penyesalan,” sindir Mei sambil mengibaskan tangan, melepaskan diri dari tangan Juna yang sejak tadi menggandengnya. “Dih, ngapa tiba-tiba Raya dibawa-bawa sih?” “Loh, emangnya elu punya mantan di SMA selain Raya?” Juna membuang napas lelahnya. Bertengar mulut dengan perempuan memang menyebalkan! Kenapa pula Meilani tiba-tiba membahas mantan? “Bos ...! Bos!“ Mei dan Juna menole
Raya menoleh kepada Kevin yang juga tertegun menatap Mei dan Juna yang sedang berpelukan di tepi danau, suaminya itu bahkan nyaris lupa cara berkedip. Rambatan nyeri terasa menjalar ke dalam dada Raya melihat sorot tidak rela dalam tatapan Kevin. Raya menunduk dan memandangi jemarinya, di mana cincin kawinnya melingkar cantik. Kevin yang menyematkan cincin indah ini, tetapi Raya sadar jika Kevin hanya menyematkan cincin ini tanpa benar-benar menyematkan seluruh cintanya ke dalam pernikahan mereka. Sebab sebagian hatinya masih tertinggal dalam diri Meilani yang kini telah menikah dengan Juna, pria yang pernah begitu mencintai Raya dengan segenap ketulusannya yang nyata. “Ray, temani gue, yuk? Ada yang mau gue beli buat Mei,” ajak Kevin kala itu, sewaktu mereka masih berkuliah di kampus yang sama di Amerika. Ternyata Kevin menuju toko perhiasan dan membeli cincin. Kevin bilang akan melamar Mei saat kembali ke Jakarta bulan depan. “Ukuran jarinya Mei sama kayak elu ‘kan?” Kevin bertan
Juna mengendurkan pelukannya dari Mei saat ponselnya berdering, menerima teleponnya sebentar, dan mengantonginya lagi di saku jas. “Kita diminta menemui Opa,” katanya, lalu mengecup kening Mei yang sedang mendongak menatapnya. “Kalau ntar gue ketemu Anjani di sana, lu nggak takut mandul?” Juna terbahak-bahak, suaranya yang keras membuat orang-orang yang mendengar menoleh dan tersenyum kecil, ikut senang melihat kegembiraan sang pengantin di hari bahagianya ini. “Tenang aja, barusan si Jojon bilang, Jani nggak akan mungkin sampai ke lokasi ini. Sebab Jojon terpaksa mengerahkan anak buahnya untuk menculik dan menyekapnya di tempat yang jauh. Kalaupun Jani berhasil lolos, pesta kita sudah bubar begitu dia sampai sini.” Mei mendelik. “Hah? Jangan gila!” Juna mengedikkan bahu. “Daripada gue kena sumpah mandul? Gue kan cuma berusaha menyelamatkan masa depan kita, bagaimanapun caranya, Jani nggak boleh mencapai tempat ini,” sahutnya acuh tak acuh. Kemudian menggamit lengan Mei dan membaw
“Ray, bangunlah. Sudah pagi.” Kevin menepuk-nepuk pipi istrinya yang masih bergelung di bawah selimut tebalnya sepagi ini, oh tapi jam 9 tidak bisa dikatakan pagi baginya. Bahkan sinar matahari sudah cukup terasa panas sengatannya saat dia memotong rumput sambil berjemur di halaman rumahnya tadi. “Ayo turun, kita sarapan bareng,” lanjutnya sambil mengguncang lengan Raya. “Jam berapa sekarang?” Raya mengulet dan mengucek mata. “Jam 9 lewat.” Tangan Raya menggapai-gapai nakas, mengambil ponselnya. “Ahh, kan hari Minggu, Kev. Santai kenapa, sih?” protes Raya karena Kevin menyingkap selimut dan membuat kulit tubuhnya yang berbalut piyama satin meremang dingin tersapu hawa AC. “Nggak cukup apa, semalam main hape sampai begadang?” tegur Kevin sambil geleng-geleng kepala. Padahal Kevin sangat ingin punya waktu tidur malam yang cukup, tetapi karena pekerjaan yang terus-terusan menumpuk, dia terpaksa begadang sampai lewat tengah malam, hampir setiap hari. Sedangkan istrinya yang punya wakt
Mei terbangun karena sebuah tangan membelai-belai bokongnya yang telanjang tapi kemudian meremasnya dengan kuat. “Junaa, ... jangan rese!” omel Mei sambil menggeliat bangun, namun tangan itu malah bergerak meremasi bagian tubuhnya yang lain lagi. Dan pada saat Mei membuka lagi mulutnya untuk mengomel, bibir Juna sudah keburu membungkamnya dengan ciuman yang panas dan dalam. “Please. Badan gue rasanya remuk redam,” keluh Mei saat Juna mulai menindih tubuhnya. Mei heran bagaimana bisa pria ini masih memiliki stamina setelah apa yang mereka lakukan semalaman. Bahkan Mei masih merasakan nyeri yang menyengat di area kewanitaannya yang telah ditembus Juna dalam percintaan mereka yang pertama. “Elu wajib olahraga rutin mulai sekarang. Bercinta itu butuh energi dan stamina yang stabil, Maemunah. Jangan pasrah diam-diam aja kayak gedebog pisang. Come on, mana Mei yang erotis macam penari gurun semalam?” Mei mencubit pinggang Juna dan membuat pria itu terkekeh dan berguling dari atas tubuhnya
Kevin baru saja menyelesaikan sarapannya saat Raya turun setelah mandi selama hampir satu jam. Entah apa saja yang dilakukannya di kamar mandi dengan waktu selama itu. Untung saja ada beberapa kamar mandi di rumah mereka yang besar ini, sehingga Kevin tak perlu mengantre menunggu istrinya selasai mandi baru dia mandi. “Letakkan dulu hapenya,” kata Kevin sambil mengambil gawai dari tangan Raya. Raya memberengut, tapi menurut. Wajah cantik itu tersenyum melihat Kevin menyendokkan nasi beserta lauk pauknya. “Ini namanya kamu sarapan sekalian makan siang,” tutur Kevin seraya menyodorkan sepiring makanan kepada istrinya. “Makasih, Sayang.” Raya mengedipkan sebelah mata. Kevin tersenyum melihat Raya yang lahap menyantap makanan, melupakan dietnya. Mungkin karena pembantu baru mereka yang jago sekali masak. “Mubazir kalau cuma dicicip dikit,” seloroh Raya sambil menambahkan lagi lauk-pauk ke dalam piringnya. “Makan yang banyak, awas jangan sampai tersedak.” Kevin mengisi lagi gelas minu
“Ray. Please. Be wise. Jangan libatkan mantan dan masa lalu dalam rumah tangga kita. Juna ya Juna, aku ya aku. Kami orang yang berbeda. Dan dia itu mantan, sedangkan aku suamimu. Hargailah aku. Jangan membanding-bandingkan kami.” Kevin menegur dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin, meskipun dalam hatinya menahan marah. Dia sungguh terkejut dan kecewa melihat sikap Raya yang kekanakan ini. Kevin juga masih sulit melupakan Mei, tapi setidaknya dia masih sadar diri dengan tidak pernah menyeret-nyeret Mei dalam permasalahan pribadinya dengan Raya.Raya bersedekap dan memandangi suaminya dengan tatapan kesal. “Kev, maksudku ..., perempuan juga butuh dilayani dan diperhatikan. Ingat seperti apa kau memperlakukan Mei dulu? Kau bahkan rela menerima hukuman dari papamu, asal kau tetap bisa mengantar-jemput Mei setiap hari, biar dia nggak perlu keluar ongkos gara-gara orangtuanya bangkrut dan tak sanggup memberinya uang saku lebih. Nah, bisakah kau bersikap seperti itu kepadaku sekarang
Juna mengarahkan mobil ke McD Sarinah Thamrin yang buka 24 jam, tempat legendaris yang kerap menjadi tongkrongan anak-anak muda di masa itu. Begitu mobil selesai terparkir, Mei buru-buru mengajak Sarah dan Tania turun lebih dulu. “Jun, tolong elu bantuin turun Raya, ya? Sementara kita mau cari tempat duduk dulu,” katanya diikuti Sarah dan Tania yang mengikuti inisiatif Mei yang tampaknya berniat sekali mencomblangi Raya dengan Juna. “Tungguin gue, ‘napa?” cegah Raya tak rela ditinggal berdua saja dengan Juna yang senyum-senyum senang. “Kaki elu kan sakit, Ray, pelan-pelan aja turunnya biar dibantuin Juna,” sahut Mei. “Nggak ah, kalian aja sini yang bantuin gue,” protes Raya. “Sorry, gue kebelet pipis, Ray. Mau buru-buru ke toilet.” Sarah menjawab sambil menyikut Tania. “Sama, gue juga. Sementara kita berdua ke toilet, Mei biar take in tempat duduk dulu. Elu sama Juna aja deh yang nggak ngapa-ngapain,” timpal Tania sambil melambaikan tangan kepada Raya. Kemudian ketiga gadis itu p