Jangan lupa masukkan novel ini ke dalam pustakamu, ya. Lalu klik Vote :)
Utomo duduk dan menyandarkan punggung seraya menatap foto berbingkai putih di atas meja kerjanya. Di sana, tampak Juna kecil yang menggemaskan sedang berpose lucu diantara kedua orangtuanya yang kini telah meninggal. Seketika pria sepuh itu menghela napas dalam-dalam kala gelenyar nyeri masih saja merambati hatinya, meski sudah sekian lama hari berkabut duka itu telah berlalu. “Kenapa kalian pergi begitu cepat?” desahnya dengan mata terpejam. Kilasan masa lalupun tergambar kembali dalam benaknya, bagai putaran video. Hari itu, seorang pria berjas putih menatap Utomo dan Wirawan secara bergantian dari balik meja kerjanya yang dipenuhi banyak berkas, di bagian dada jasnya tertempel papan nama bertuliskan ‘dr Joe Ahmad Prameswara, SpBS.’ “Cedera kepala berat yang dialami Nyonya Sekar akibat kecelakaan itu, menimbulkan kerusakan yang sangat parah di bagian otaknya,” jelas dokter Joe seraya menunjuk pada sebuah hasil CT Scan milik Sekar, ibunda Juna, “Batang otak ini merupakan bagian pa
Hari ini, Juna mengajak Mei menemui dan berkenalan dengan kakeknya, sekaligus meminta restunya. “Aku akan tetap menikahimu, meskipun Opa nggak setuju,” ucapnya sambil menggenggam erat tangan Mei dan rasanya telapak tangan wanita itu terasa dingin dalam genggamannya, pasti karena gugup. “Ayo,” ajak Juna seraya merengkuh pinggul Mei. “Opa ada di sana, sedang menunggu kita,” bisiknya. Mei tercekat dan mengikuti langkah Juna. Wanita itu terperangah memandangi betapa luasnya halaman rumah ini. Dalam pikiran Mei sebelumnya, rumah yang akan dilihatnya nanti adalah rumah sederhana namun asri menyenangkan, dan ya, tempat ini sangat asri menyenangkan, tapi sama sekali tidak sederhana. Rumah dengan bangunan utamanya yang bergaya joglo ini terlihat antik dan juga klasik. Terlihat kokoh dan artistik karena berbahan kayu jati dengan kualitas terbaik. Mei begitu gugup kala mengulurkan tangannya kepada seorang pria sepuh bersandal jepit, memakai celana pendek dan berkaos oblong. Pria tua yang selur
Juna dan Mei berpamitan pulang saat hari sudah malam. “Menginaplah, Jun. Kalau kamarmu bisa bicara, dia juga pasti akan bilang kangen ingin kau tempati lagi barang sesaat,” bujuk Opa Tomo. Juna menepuk-nepuk punggung tangan sang kakek yang masih erat menggenggam tangannya. “Besok ada pekerjaan yang harus Juna selesaikan, Opa,” jawabnya lembut. “Kau masih saja sibuk bekerja padahal hari pernikahanmu sudah di depan mata? Ambillah cuti dan fokus dengan pernikahanmu.” Opa Tomo geleng-geleng kepala Juna masih saja sesantai itu jelang hari pernikahannya yang sudah tinggal hitungan hari. “Opa kan tahu, kami tidak menggelarnya secara mewah dan besar-besaran. Dan sudah ada WO yang mengurusnya. Kami terima beres. Makanya Juna punya banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, dan Mei bisa rileks dengan dirinya sendiri tanpa pusing mengurusi tetek-bengek pernikahan.” Utomo tertawa lirih. “Kudengar dari asisten pribadimu, bahkan Meilani enggan memesan gaun pengantin dan pilih menyewa saja? Buk
Mei memandangi swimming pool yang membiru di bawah sana. Itu adalah view favoritnya. Mei betah berlama-lama duduk di balkon hanya untuk memandanginya saja. Tadi Juna sudah mengajaknya melihat-lihat rumah baru yang rencananya akan ditempati mereka setelah menikah. Rumah seluas 500 meter persegi yang berdiri di lahan seluas 1.500 meter persegi itu terasa sangat besar setelah dirinya terbiasa tinggal di apartemen Juna yang lebih sempit namun sangat fungsional ini. Jika boleh memilih, Mei lebih suka tinggal di apartemen ini saja daripada di rumah itu. Apartemen ini terasa jauh lebih hangat dan menyenangkan bagi Mei. Kemudian Mei menghela napas. Memikirkan pernikahannya yang sebentar lagi akan terjadi tanpa kehadiran keluarga dekatnya. Om Danu mendekam di penjara dan menolak kunjungannya, sedangkan tante Dilla dirawat di rumah sakit karena serangan stroke, membuat sepupunya, Riki dan Ivan kalang kabut merawat sang mama. Andai Mei di sana, pasti Mei yang bakal mengurus semuanya. Selama ini
Juna meringis, menyesali mulut besarnya yang keceplosan soal cewek. “Nah, nggak berani kan, lu?” ketus Mei sambil mengancingkan kembali piyamanya. Juna menelan ludah sambil mencuri tatap pada gundukan buah dada Mei yang masih ingin dibelainya. “Apa lu, lihat-lihat? Dasar, mesum!” Mei beranjak dari ranjang, tetapi dengan cepat Juna menahan lengan wanita itu dan menariknya hingga Mei terduduk di pangkuannya. “Apaan sih, lu!” Mei meronta. Bayangan Juna yang pernah bercinta dengan perempuan selain dirinya, secara tiba-tiba menggigit egonya sebagai calon istri Juna. “Maafin gue, Mei. Itu kan masa lalu, nggak bisa gue apa-apain lagi karena udah lewat. Tapi gue bisa membenahi diri gue di masa kini dan masa depan. I’m yours, Mei. Mulai sekarang, I belong to you and you belong to me. Oke?” bisik Juna seraya memeluk Mei erat-erat, semakin kuat Mei meronta minta dilepaskan, sekuat itu pula Juna mengencangkan pelukannya. Hingga Mei akhirnya lelah dan terdiam. “Maafin gue ya, Mei?” bisik Ju
Terjadilah hari ini, pernikahan sakral tanpa keberadaan orangtua kedua mempelai, karena semuanya sudah meninggal, juga tiada pendampingan dari keluarga dekat Mei. Namun Mei bisa merasakan support teramat besar dari orang-orang yang mendukung dirinya dan Juna, terutama Opa Tomo yang tiada lelahnya tersenyum seraya menitikkan air mata haru sepanjang akad nikahnya tadi berlangsung. Mata Mei berkaca-kaca, dia menahannya sebisa mungkin. Jika menangis maka akan sulit bagi Mei untuk menghentikan laju air matanya. Dan tangan Juna yang sejak tadi menggenggamnya erat-erat, sangat membantu Mei untuk tenang. Ucapan selamatpun mengalir deras kepadanya dan juga Juna. Para undangan bergantian menyalami dan memeluk mereka. Saat melihat sosok Raya hadir dalam resepsi pernikahannya dan sedang berbaur dengan tamu lainnya, Mei menginjak kaki Juna. “Apaan sih, Maemunah?” bisik Juna yang terkaget-kaget tapi tetap berusaha menjaga senyumnya di depan kamera. “Kenapa ada Raya di sini? Lu nggak takut mand
Alunan musik instrumental piano menambah kesyahduan acara pernikahan ini. Orang-orang terlihat nyaman, bebas makan dan minum menikmati sajian. Percakapan dan gelak tawa terdengar ramai hingga setiap sudut taman. Inilah pesta yang sebenarnya, kemeriahan yang mencapai setiap sudut tempat. Sementara MC sedang memandu acara dan mengajak para tamu undangan bersenang-senang dengan games berhadiah, Juna malah mengajak Mei berkeliling, menemui beberapa teman lama mereka yang tengah asyik mengobrol saja di sudut taman sambil merokok. Juna lebih suka seperti ini, aktif berbaur daripada duduk-duduk saja di pelaminan dan berjarak dengan teman-temannya yang berharga. “Ngapain lu sampai sini, pengantin kok malah sibuk keliling. Bukannya duduk-duduk aja mumpung lagi jadi raja dan ratu sehari,” tegur Dodi, teman Juna semasa SMA. Dodi Cs terkejut karena Juna dan Mei malah menyambangi mereka, meninggalkan pelaminan. “Justru itu, gue ini kan ceritanya raja yang perhatian sama rakyatnya. Makanya gue p
Mei berdecih. “Dih. Siapa juga yang tebar pesona?” “Ya situlah, siapa lagi? Ngapain coba senyum-senyum ke Dodi Cs? Dah tahu mereka itu kumpulan playboy sejak SMA hanya gara-gara populer sebagai anak basket, padahal gue yang paling sering cetak skor tiap tandingan, bukan mereka.” Mei mengerutkan kening karena Juna tiba-tiba mengomel tidak jelas. “Terus, elu sekarang nyesel kenapa nggak jadi playboy juga kayak mereka? Salah sendiri situ sibuk bucin sama Raya, kayak nggak ada cewek lain aja yang bisa lu pacaran selain dia. Sukurin. Nyesel emang datang belakangan sih ya? Kalau duluan namanya pendaftaran, bukan penyesalan,” sindir Mei sambil mengibaskan tangan, melepaskan diri dari tangan Juna yang sejak tadi menggandengnya. “Dih, ngapa tiba-tiba Raya dibawa-bawa sih?” “Loh, emangnya elu punya mantan di SMA selain Raya?” Juna membuang napas lelahnya. Bertengar mulut dengan perempuan memang menyebalkan! Kenapa pula Meilani tiba-tiba membahas mantan? “Bos ...! Bos!“ Mei dan Juna menole