Yuk, dukung penulis denggan cara klik VOTE cerita ini.
“Oh, bagus! Jadi selama ini diam-diam kau mengongkosi Mei, hah? JAWAB!” cecar Dilla. Danu memijiti kepalanya yang mendadak pening. Bakal panjang kalau berurusan uang dengan istrinya. Dilla berkacak pinggang. Melototi Mei dengan tajam. “Tahu diri kenapa sih, Mei? Bukannya balas budi ganti memberi, ini malah minta-minta. Memangnya matamu buta? Lihat itu Riki dan Ivan, anak-anak Tante, kedua sepupumu yang masih perlu sekolah. Masih butuh banyak biaya. Harusnya kau gantian membantu, bukannya malah minta-mintain uang Om Danu di belakang Tante!” Mei tambah pusing. Belum juga uang tersebut didapat, tapi sudah kena damprat. Dilla jenis orang yang sangat sulit diberi pengertian dan hanya ingin mendengar apa yang ingin dia dengar. Sebagai suami yang sudah menikahinya bertahun-tahun, Danu tahu hal itu. Namun dia tetap pasang badan demi melindungi Mei. “Ma, dengar dulu. Mei jobless sekarang__” Belum selesai Danu berbicara, Dilla sudah naik darah. “APA? Jadi kamu pengangguran sekarang, Mei
Tak terasa sudah sebulan ini Mei menjalani profesinya sebagai asisten pribadi Hans. Pria itu memang tetaplah Hans yang mata keranjang dan penyuka daun muda. Tetapi setidaknya Hans tak kurang ajar padanya dan menjaga profesionalitas. Mei tak luput dari kesalahan pada saat awal-awal bekerja dengannya dulu. Tapi Hans langsung menegurnya. Hans memberitahu kesalahan Mei dengan jelas. Mengulangi intruksinya dengan tegas. Membuat Mei cepat belajar dan dapat menghindari kesalahan yang sama. “Sepertinya si bos jarang mengomel sejak kamu kerja di sini,” komentar Tika melihat perubahan sikap bosnya. Tika adalah private personal assistant yang bertugas membantu Hans mengurusi hal-hal yang bersifat personal, sama dengan posisi Mei. Namun berhubung Amel sedang bedrest pasca operasi usus buntu, maka Hans meminta Mei menggantikan posisi Amel sementara waktu. Sebab Mei sempat kerja tandem dengan personal assistant eksekutifnya itu. “Memangnya om Hans suka mengomel?” Mei malah bertanya balik. Tik
Sejak bekerja dengan Hans, Mei merasa tantenya mulai memberi perhatian lebih kepadanya. Mei tak lagi dibebani pekerjaan rumah tangga seperti biasanya. Tak lagi menyiapkan sendiri sarapannya. Tante Dilla melayani Mei sama seperti dia melayani anak-anaknya yang lain. “Makan yang banyak, Mei. Supaya kau energik bekerja sepagi ini. Hans bilang sangat puas dengan pekerjaanmu. Kau memenuhi ekspektasi asisten pribadi idealnya,” kata Dilla sembari menyodorkan setangkup sandwich buatannya untuk Mei. Dilla terus-terusan mengoceh tentang Hans, tanpa menyadari kerutan wajah suaminya yang tampak kesal mendengarnya. Danu sebenarnya cemas. Dia sangat mengenal Hans yang sudah jadi buaya darat sejak sekolah dulu. Bahkan temannya itu sudah melepas keperjakaannya sejak masih SMA. Hans tak bisa tahan lama-lama melihat wanita cantik. Keberadaan Mei di sekitar Hans sungguh membuat Danu merasa tak tenang. “Kalau Hans berbuat kurang sopan kepadamu, jangan segan-segan melawan, Mei. Jangan takut. Bilang ke
Gala Dinner itu selesai hampir tengah malam, Hans bersikeras mengantar Meilani pulang meski gadis itu bilang Danu akan menjemputnya. “Masa iya Danu tak percaya padaku?” ujar Hans seraya terkekeh saat menggiring Meilani memasuki alphard hitam yang telah menunggu mereka. ‘Memang tidak,’ sahut Mei dalam hati. “Lagipula Dilla tadi menelepon, bilang kalau Danu sedang ke luar kota. Tantemu itu menitipkan kau padaku. Bersyukurlah kau punya tante seperti Dilla, biar cerewet tapi diam-diam dia perhatian padamu.” Mei tersenyum pahit. Tante Dilla memang berubah menjadi sangat perhatian padanya, tapi baru sebulan ini saja, sejak dirinya mau bekerja dengan Hans. Mei menyandarkan tubuh lelahnya di jok kulit mobil Hans yang terasa nyaman. “Istirahatlah, Mei. Kau kelihatan tegang karena seharian memikirkan pekerjaan yang tak pernah habis, bukan? Maaf kalau aku terlalu banyak memberimu pekerjaan. Santailah sekarang,” kata Hans di sebelahnya. Dan Hans masih saja mengoceh, tetapi Mei sudah tak men
Mei mengucek mata dan terkejut melihat Danu di sebelahnya. “Eh, Om Danu?” desahnya sambil berpikir keras. Sepertinya dia tadi sedang berada di dalam mobil Hans? “Om tadi menjemputmu sebelum Hans sempat membawamu pergi. Sudah Om bilang ‘kan, jangan lengah. Kau harusnya menelepon Om saja kalau tak jadi pulang dengan taksi.” Meski Danu mengatakannya dengan pelan, tapi Mei bisa menangkap kemarahan dalam nada suaranya. “Eh. I-iya maaf, Om.” “Jangan lupa kalau bosmu itu buaya, Mei. Om tahu sekali bagaimana Hans sejak dulu. Dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan yang dia mau, dan dia sedang mengincarmu. Tetaplah waspada.” Mei mengangguk-angguk mendengar omnya mendadak secerewet tante Dilla. “Tidurlah lagi kalau masih mengantuk. Nanti Om bangunkan kalau sudah sampai rumah.” Tapi, Mei tak bisa tidur lagi. Dia memegangi bibirnya dengan jantung berdegub kencang. Dia tadi sempat bermimpi Kevin menciumnya. Dan, ciuman itu terasa sangat nyata. “Mei. Mei? Tolong bukain pintu pagarn
Amel sudah sehat dan masuk kerja. Menjalani lagi fungsinya sebagai personal assistant eksekutif. Dengan demikian Mei harus kembali pada posisinya sebagai private personal assistant yang akan menangani urusan Hans yang lebih pribadi. “Pak Bos lagi punya mainan baru, namanya Vanda. Ini akun instagramnya. Cari tahu apa saja kesukaan Vanda, catat merk apa saja yang sering dipakainya. Sebentar lagi valentine, si bos pasti bakal menghujaninya dengan hadiah yang Vanda banget,” pesan Tika saat Hans menyuruhnya agar memberikan tugas itu pada Meilani saja. Sedangkan Tika harus menangani urusan lain. Tak lama kemudian, Hans meneleponnya, “Mei. Belikan apa saja yang kira-kira cocok untuk Vanda.” Lalu menyebutkan sejumlah budget yang membuat Mei menelan ludah saking banyaknya. “Baik, Om.” Mei menjawab sambil melirik Tika. “Aku harus belanja untuk Vanda,” katanya setelah Hans menutup telepon. “Well. Selamat bersenang-senang.” Tika menepuk-nepuk pundak Meilani. Mei mencebik. “Tapi senyummu meng
Mei ingin menjerit kesal gara-gara insiden kondom sialan pesanan Hans, yang membuatnya harus menanggung malu sebesar ini di depan Juna, Raya, dan juga ... Kevin! Sial. Kenapa sih dia punya bos bermuka ranjang seperti Hans? Sampai-sampai kondom tak pernah absen dari daftar belanjaan pesanannya. Lagi-lagi. Demi gengsi dan harga diri, Mei tak sanggup menolak sandiwara yang ditawarkan Juna padanya tadi, berpura-pura sebagai pasangan romantis di depan Raya dan Kevin. Sampai akhirnya mereka berpisah di depan pintu lift. Raya dan Kevin akan naik ke lantai atas, sedangkan dia dan Juna akan ke bawah. Sebelum berpisah, Raya memeluknya sambil cipika-cipiki. “Awas hamil, Mei. Kondom bisa bocor loh. Udahlah, nikah aja ... biar mainnya juga tenang,” bisiknya sembari terkikik. Aaagh. Sialan! Mei benar-benar malu. Setelah Raya dan Kevin menghilang dibalik lift yang tertutup, Mei buru-buru memasang jarak dari Juna. Keduanya sama-sama membisu saat memasuki lift yang membawa mereka turun ke lantai d
Kesedihan Juna terasa meluap saat ingatannya menampilkan kembali sebuah momen bersama Raya, beberapa saat setelah kabar angin tentang pertunangan wanita yang dicintainya itu dengan Kevin berembus sampai ke telinganya. “Raya, please. Why him? Kalau lelaki itu bukan Kevin, gue masih bisa terima,” kata Juna saat nekat menemui Raya ke rumahnya kala itu. “So what kalau Kevin?” “Ray, Meilani suka sama Kevin sejak SMA. And you know that! Masa elu tega mengkhianati bestie sendiri?” “Mengkhianati? Siapa? Gue? Halo ...? Salah gue ya, kalau Kevin sukanya malah sama gue?” “Kevin? Suka sama elu?” Juna terbahak-bahak. Bah! Juna mungkin cowok pe’ak, rada sableng. Tapi bukan berarti Juna tak punya kepekaan. Diam-diam, Juna sering iseng mengamati interaksi Mei dengan Kevin sejak SMA. Sejak dia tak sengaja memungut sebait puisi yang dituliskan gadis itu untuk Kevin. Juna juga bisa melihat jelas perbedaan sorot mata Kevin saat lelaki itu sedang menatap Mei atau Raya. Dan ciuman Kevin kepada Mei