Mei baru saja memasuki kamar saat ponselnya berdering.
“Halo, Jun?”
“Udah sampai rumah, Mei?”
Ada rasa hangat yang merambati perasaan Mei demi mendengar pertanyaan Juna. Sudah sangat lama tiada orang yang menanyakan hal sarat perhatian semacam itu padanya.
“Baru aja sampai nih.”
“Hah? Gila, baru aja sampai? Yang bener aja, Mei?”
Mei tertawa renyah mendengar suara Juna yang ramai.
“Apa gue bilang? Lu bisa sinting kalau nganterin gue pulang tadi. Nih buktinya, cuma dengar gue baru nyampe rumah jam segini aja lu udah gila, kan?”
“Masa? Tapi kok lu nggak gila, Mei? Padahal tiap hari lu bolak-balik Jakarta-Depok?”
“Belum aja.”
Juna terbahak-bahak hingga Mei harus menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara tawa Juna yang keras.
“Pindah sini aja ke apartemen gue sebelum lu beneran gila, Mei!”
“Kumpul kebo dong?”
“Gue kan ganteng, dan lu cakep. Masa visual kayak kita dibilang kumpulan kebo sih?”
Mei terkikik. Terhibur celotehan Juna.
“Mei, video call, yuk?”
“Nggak, ah.”
“Napa? Insecure lu, Mei? Kamar lu jorok berantakan ya?”
“Sembarangan!”
“Terus kenapa dong nggak mau video call?”
“Gue lagi di kamar dan ini area privasi gue.”
“Gue kan calon suami lu, Mei?”
“Baru calon, belum sah jadi suami.”
“Yaelah, Mei ....”
“Eh. Btw, Jun. Soal penawaran elu kemarin tentang rencana pernikahan kita. Better kita bikin kontrak pernikahan, hitam di atas putih. The point is, biar aturan dalam hubungan kita nanti jelas. Jangan sampai ada toxic relationship."
“Whatever you want, Mei. Selama kau merasa nyaman dengan hubungan kita."
Mei tersenyum mendengarnya. Ucapan Juna terasa menyenangkan hati. Jawaban lelaki itu tepat seperti yang diinginkannya. “Thank’s, Jun.” Mei berbisik dengan wajah tersipu, untung saja Juna tak melihatnya. Mei pun menjitak kepalanya sendiri. Kenapa sikapnya seperti orang sedang pacaran sungguhan saja? Jelas-jelas dia sadar dasar hubungan ini seperti apa. Sama sekali tak ada kaitannya dengan romantisme.
“MEILANI ...!” bentak tante Dilla sambil mendobrak pintu kamarnya.
“Eh, i-iya ..., Tan?”
“Budeg ya kamu? Dipanggilin dari tadi nggak nyahutin. Punya kuping tuh dipakai ...,” omel si tante sambil menjewer kuping Mei seperti anak kecil.
Mei meringis menahan sakit. “A-aduh ..., aww..., i-iya. Maaf ..., Tan.”
“Buruan bikin kopi sana, dua cangkir buat Om Danu dan tamunya! Ngapain aja kamu? Enak aja ..., malah ketawa-ketawa teleponan. Ingat ya ..., kamu tuh di sini numpang! Jangan sok-sokan capek mau istirahat segala kayak nyonya rumah aja. Kerja keras itu emang sudah kewajibanmu buat bayar utang pengobatan ibumu yang penyakitan itu. Jangan manja! Sisa utang kamu masih jauh dari lunas. Dah. Buruan sana bikin kopi.”
Mei mengangguk dan menunduk, menghindari pelototan tantenya yang mengerikan. Lalu mengelusi dadanya saat si tante menutup pintu kamarnya dengan membantingnya hingga menimbulkan suara berdebum keras yang tak enak.
Mei terduduk di tepi kasur dan memegangi telinganya yang sakit akibat jeweran tadi. Tapi hati dan perasaannya yang terasa lebih sakit. “I miss you, Mam ..., I miss you so much,” desahnya sambil terisak pelan. Ia merindukan ibu yang melahirkannya, yang tak pernah mengasarinya seperti ini, baik dengan kata-kata apalagi tindakan.
Mei buru-buru menghapus air mata dan bergegas ke dapur. Melupakan ponsel yang tadi ia geletakkan begitu saja saat si tante menyerbu masuk kamarnya. Ponsel itu masih aktif menyala tanpa Mei sadari. Sehingga Juna tanpa sengaja bisa ikut mendengar apa yang baru saja terjadi.
***
Mei menuju ruang tamu dan menghidangkan dua cangkir kopi yang mengepulkan aroma segar dan khas. “Silakan diminum, Om.” Mei mempersilakan usai meletakkannya di meja.
“Wah. Siapa ini, Danu?” ujar si tamu seraya memandangi wanita cantik di depannya.
“Ini Meilani keponakanku. Mei, kenalin ini teman Om, namanya Hans,” kata Om Danu memperkenalkan tamunya.
“Hans ini pengusaha sukses loh, Mei,” celetuk tante Dilla.
Mei mengulurkan tangan kepada Hans dan pria berkumis itu menyambut uluran tangannya sambil tersenyum, menatap Mei lurus-lurus. Mei buru-buru menarik tangannya, jengah mendapati kilatan mata Hans yang memandanginya seperti sedang melihat sepotong kue yang lezat.
“Oh, jadi ini yang namanya Meilani? Dilla memang pernah cerita soal kamu. Katanya dia punya keponakan yang cantik dan juga pintar. Kupikir tantemu cuma membual, karena cantik dan pintar itu jarang sekali kutemui dalam satu paket. Sekarang aku percaya,” kata Hans sambil terkekeh hingga sekumpulan lemak di perutnya ikut bergoyang.
Mei risih dipuji sedemikian oleh pria yang sudah menjadi om-om. Apalagi sepanjang bicara, tatapan Hans yang berkilat nakal tak henti-hentinya memindai Mei dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan berhenti cukup lama di sepasang tungkai Mei yang indah.
“Nah. Sekarang baru percaya kau, Hans? Aku tak omong kosong 'kan?” cecar Dilla dengan mata berkilat puas.
“Iya, Dilla. Percaya. Kan sudah kubilang tadi.”
“Eh. Bisakah kau pekerjakan Mei di kantormu, Hans? Dia sudah 5 tahun bekerja di perusahaan kecil, dan posisinya masih saja mentok sebagai staf purchasing,"desak Dilla lekas mengambil kesempatan. Mumpung dia bertemu langsung dengan Hans sekarang. Kalau titip omongan ini lewat Danu, suaminya, Dilla tak yakin bakal disampaikan.
"Oya? Wah, tahu begitu aku pasti akan menempatkan Mei di kantorku sejak dulu. Kenapa kamu baru bilang sekkarang?"
Dilla tersenyum seraya melirik dongkol pada suaminya karena tak pernah meminta langsung kepada Hans untuk mempekerjaan Mei di perusahaannya sejak dulu.
"Kenapa tak kau jadikan Mei sekretarismu saja, Hans? Kau sendiri yang bilang kalau Mei cantik dan juga pintar. Cocok banget kan buat posisi sekretaris presiden direktur?"
Mei menelan ludah gugup mendengar ucapan tantenya, 'Apa dipikir jadi sekretaris itu hanya perlu modal cantik dan pintar saja?' pikirnya sebal. Mei tentu tahu seperti apa beban kerja sekretaris seorang presiden direktur. Sedangkan Mei sama sekali tak berpengalaman sebagai sekretaris.
“Sayangnya aku sudah punya sekretaris,” sahut Hans seraya tersenyum sejenak pada Dilla. Lalu pria bertubuh tambun itu menjentikkkan jarinya, “Ah kebetulan ..., aku sedang butuh personal assistant. Nah, kau bisa mengisi posisi itu, Mei," lanjut Hans seraya menoleh dan menganguk kepada Mei yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Nah!” Dilla ikut-ikut menjentikkan jarinya dengan mata berbinar senang.
Mei justru lekas menggeleng. “Terima kasih, Om. Ta-tapi maaf, saya sudah telanjur nyaman dengan lingkungan kerja saya,” jawabnya terasa naif.
Dilla mengatupkan bibir rapat-rapat dan rahangnya tampak mengeras menahan kesal.
Hans tergelak. “Jangan terjebak dalam zona nyaman terus, Mei. Itu tak akan membuatmu cepat sukses dan banyak uang. Sesekali kau perlu move on, cari peluang gaji yang lebih tinggi, lalu ciptakan lagi suasana kerja yang nyaman di tempat barumu.” Pria itu malah menasihatinya.
Mei tak menampik kebenaran dalam kata-kata Hans, dia hanya enggan bekerja bersama pria yang terkesan mesum itu.
“Ah, sebut saja berapa gaji yang kau minta,” desak Hans sambil tak henti-hentinya menatap Mei. Meski berpakaian rumahan sederhana dan tanpa riasan, tapi kecantikan alami Mei memenuhi seleranya.
Melihat Mei terdiam, Hans terkekeh. “Baiklah. Bagaimana kalau kau jadi istriku saja, Cantik?”
Mei tercekat. Sedangkan tantenya menyahut dengan cepat, “Wah. Kenapa tidak, Hans? Kau sudah lama menduda dan Mei lama sekali menjomblo. Pas!” Lalu Dilla tersenyum penuh arti kepada Mei.
Seketika Mei memucat.
***
“Sudahlah. Terima saja lamaran Hans!” cecar Dilla setelah Hans pulang. “Tapi, Tan. Dia itu duda dan lebih pantas jadi ayah Mei. Lagipula Mei bukan jomlo. Ada pria yang sudah melamar Mei.” “Halah! Putusin aja. Pria itu nggak bakal sebanding dengan Hans yang jelas-jelas tajir melintir. Lagipula, apa gunanya menikahi pria itu kalau hanya akan menyeretnya jadi miskin?” “Maksud Tante?” “Ingat, Mei. Kau masih punya cicilan utang 1 milliar padaku. Kalau kau mau menikahinya, lunasi dulu semua sisa utangmu secara kontan! Baru kau boleh keluar dari rumah ini dengan calon suamimu itu!" “Tan. Tolong jangan seperti itu. Cukup Mei yang menanggung utang ini, jangan bawa-bawa calon suami Mei.” “Makanya! Justru Tante sedang memberimu solusi sekarang. Uang 1 miliar itu kecil saja bagi Hans. Jika kau menikah dengannya, dia pasti bakal memberimu lebih dari itu.” “Nggak mau, Tan!” Plak! Dilla membalas penolakan Mei itu dengan sebuah tamparan keras. Mei mengusapi pipinya yang terasa panas sambil
Juna rupanya sudah melakukan reservasi untuk makan siang mereka di sebuah restoran di sekitar Thamrin, tak begitu jauh dari gedung perkantoran tempat Mei bekerja. Mei jadi mengerutkan kening memikirkan ongkos makan siang yang mahal ini. Menu-menu di restoran ini tentu saja tak terjangkau kantongnya. Mei pernah sekali ke sini dulu, pada saat Raya merayakan ulang tahun dan mentraktirnya, sebelum teman dekatnya itu berangkat kuliah ke Amerika.“Jun, split bill? Atau elu yang traktir?” bisik Mei sebelum benar-benar mencapai tempat duduk mereka.“Pertanyaan lu nyinggung harga diri gue amat sih, Mei. Gue yang bayarlah gila. Masa bayar sendiri-sendiri, yang bener aja!”Mendengar pernyataan Juna membuat Mei akhirnya bisa bernapas lega.“Pesan gih yang paling mahal. Awas kalau pesan yang murah-murah, ntar dompet gue terhina.”Mei terkekeh. “Anjay ... sultan,” selorohnya sambil membolak-balik buku menu.“Dih. Beneran? Cuma segini doang yang lu pesen, Mei? Tambah lagi, gih!” Juna malah mengomel
Pada mulanya Mei justru sangat tidak menyukai Kevin. Cowok itu benar-benar dingin padanya. Padahal Mei sering berbaik-baik menyapa dan bersikap ramah. “Kev, ini buku elu jatuh,” katanya saat melihat sebuah komik meluncur dari meja Kevin lalu tergeletak di kaki kursi cowok itu. Mei memungut dan mengulurkannya pada si pemilik. Dan Kevin menyambarnya dengan cepat tanpa berterima kasih. Bahkan menoleh padanya saja tidak.“Lu punya utang yang belum dibayar ya ke dia?” seloroh Raya yang menjadi teman sebangkunya saat itu. Mei pun menggeleng lugu.Raya terkekeh pelan. “Perasaan tuh cowok sengak mulu deh sama lu, ada masalah apa sih kalian?” celetuk Raya membuat Mei kebingungan. Memangnya apa salah Mei?Lalu Mei teringat pada momen pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Kevin di TPU Tanah Kusir. Saat itu Mei ikut maminya berziarah ke sana. Di tengah rapalan doanya untuk mendiang sang nenek, Mei mendengar isak tangis yang mengganggu kekhusyukannya berdoa. Diapun menoleh ke sumber suara.
“Awas, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!” Mei naksir Kevin? Hoho. Tak mungkin. Mei tak sudi naksir cowok sedingin kulkas itu. Pokoknya, no way! Hingga pada akhirnya, takdir mempertemukan keduanya dengan situasi dan kondisi yang tak pernah Mei bayangkan sebelumnya. Sore itu, Mei bolak-balik melirik Baby-G di pergelangan tangan, tapi jarum jam di sana tak bergerak jauh dari angka terakhir yang dilihatnya tadi. “Pak Pur lama amat sih,” keluhnya mulai lelah. Sudah hampir sejam dia menunggu, tapi mobil pribadi yang biasa mengantar-jemputnya tak kunjung tiba. Mei mendongak ke langit senja. Lalu duduk di teras ruko tempat lesnya. Semua teman-temannya sudah pulang. Dia gelisah sendirian. Kemudian menelepon maminya, “Mam? Kok Pak Pur tumben telat menjemput Mei?” “Duh. Memangnya papi belum bilangin Mei ya?” “Bilangin apa, Mam?” “Pak Pur sudah nggak bekerja lagi sama kita mulai hari ini, Sayang. Makanya, tadi papi yang anterin Mei sekolah dan ke tempat les.” “Loh. Kenapa, Mam?” Terdengar na
“Wah! Parah lu, Ray. Bikin kulit mulus cewek gue jadi merah kayak gini. Cubitan lu tuh sakit, tahu nggak?” tegur Juna sambil merengkuh pinggang Mei dan menarik wanita itu lebih rapat dengannya. Mei tercekat kaget, seketika lamunan tentang masa lalunya bersama Kevin buyar. “Kulitmu nggak sampai lecet kan, sweetheart?” Juna mengecek sekali lagi bekas cubitan Raya di lengan Mei. ‘Lebay!’ pikir Mei. Dia belum terbiasa menerima kemesraan seperti itu. Terlebih Juna melakukanya di depan orang lain dan orang itu adalah Kevin, mantan gebetannnya. Dan juga di depan Raya, mantan pacar Juna. Sedangkan Raya pun terperangah tak percaya. Seorang Juna yang pernah begitu bucin padanya, mendadak bisa sengak mengomelinya demi wanita lain? Meski wanita lain itu sekarang adalah pacar barunya, tapi tetap saja Raya merasa tersingkirkan setelah beberapa tahun dirinya sempat menjadi satu-satunya ratu yang bertahta di hati pria itu. “Eh. Elu ngomelin gue, Jun?” ketus Raya. “Ya iyalah, emang siapa lagi?
“Wait! Bukannya waktu itu lu masih nembak gue ngajakin balikan, Jun? Padahal lu tadi bilang udah jadian sama Mei saat itu?” cecar Raya seraya tertawa menang. “Ah. Lu kalau ngarang cerita yang make sense dong!” ketusnya sambil geleng-geleng kepala tak percaya. Juna baru menyadari plot hole dalam kebohongannya. Alangkah bodohnya dia karena dulu kerap mengemis cinta wanita itu. Membuat cerita tentang hubungan asmaranya dengan Mei kali ini menjadi janggal. “He’s right.” Mei tiba-tiba menyahut. “Kami memang udah jadian saat itu. Tapi belum terlalu serius seperti sekarang. Gue nggak keberatan kalau dia ninggalin gue buat cewek lain, selama cewek itu elu. Karena gue tahu, bagaimana Juna mencintai elu sejak dulu, Ray. Dia tulus dan betulan sayang sama elu,” lanjutnya. Pengakuan Mei membuat seisi meja terdiam. Juna lega karena Mei cepat tanggap memperbaiki alur kebohongannya tadi. Namun di sisi lain, Juna merasa tak enak karena Mei jusru merendahkan dirinya sendiri demi mengembalikan harga d
Mei terbangun jam 4 pagi seperti biasa. Dengan cepat dia mempersiapkan keberangkatannya ke kantor. Tapi Tante Dilla menghadang tepat di pintu kamar saat Mei baru kembali dari kamar mandi. “Semalam Hans menelepon, menanyakan kesiapanmu jadi asisten pribadinya. Dia mau menggajimu 20 juta, Mei. Itu penawaran yang sangat besar,” katanya sambil bersedekap. Bahkan si tante belum mencuci wajahnya, tapi sudah menggonggong saja sepagi ini. “Tan, Mei nggak nyaman dekat-dekat dengan om Hans. Apalagi sampai menjadi asisten pribadinya.” “Kau tidak akan pernah kaya dengan gajimu sekarang yang cuma 6 juta!” ‘Tentu saja, apalagi selama ini gaji itu selalu habis buat bayar cicilan KTA gara-gara Tante,’ ketus Mei dalam hati. “Bukankah yang penting cicilan 1 milliar ke Tante itu lunas? Soal Mei bakal kaya atau tidak, biar itu jadi tanggung jawab Mei.” “Oh! Sudah berani membantah kamu ya?” Dilla hampir melayangkan tangannya ke pipi Mei, untung saja Om Danu tiba-tiba muncul dan menahan tangan istrinya
Kevin memandangi layar ponsel Raya dengan gelisah. Mei tak jua mengangkat panggilannya. Lalu pria itu mendesah seraya menghapus jejak teleponnya tadi sampai benar-benar bersih agar Raya tak menyadari kalau dia baru saja meminjam ponselnya. Dia terpaksa melakukan ini demi bisa berbicara lagi dengan Mei. Kevin menceburkan diri ke kolam renang pribadi di rumahnya, melawan dingin yang memeluk tubuh atletisnya. Lalu mengapung dalam diam usai berenang beberapa putaran. Meski tubuhnya terlihat tenang, tapi pikirannya bergerak lincah. Melompati waktu demi waktu hingga sampai di masa lalu. Kembali ke masa-masa kebersamaannya dengan Meilani.Hari itu hujan deras, Kevin melihat Mei berteduh di pinggiran sebuah toko saat mobilnya berjalan melambat di jalan itu. Dia buru-buru menyuruh Pak Bono menepi, mengambil payung dan menyusul Mei. Membujuknya naik mobil.“Lu nggak sabar nunggu jemputan lagi ya? Mungkin sopir lu lagi kena macet. Lu sih bukannya nungguin aja dulu di sekolah,” oceh Kevin sambil