Setelah lamaran gila itu, teman-teman menyerbu Mei dan memberinya selamat.
“Wah! Waah, haredaang! Sumpah. Gue masih nggak percaya dengan apa yang gue lihat barusan, which is kita semua nggak ada yang tahu kapan elu jadian sama Juna?”
“Gilaaa! Napa jadinya lu yang tau-tau dilamar sih? Gue yang udah jalan 5 tahun aja masih digantungin sama cowok gue. But. Jujurly, lu sukses bikin kita semua syok, Mei!”
“Ternyata selama ini lu jomblo palsu ..., sialan lu!”
“Tapi, elu sama ... Juna? OMG. Really?”
Mei terdiam seribu bahasa. Dia sendiri masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia yang beberapa menit lalu masih menjomblo, tiba-tiba saja sekarang punya calon suami? Dan ciuman tadi? Astaga!
“Jun, kita perlu bicara,” desis Mei sambil menarik Juna keluar dari ruangan setelah berhasil menghindari rentetan pertanyaan teman-teman yang bisa membuatnya diare akut.
“Take it easy ..., kita bakal banyak bicara setelah ini, Mei. Kita sekarang kan couple.”
“Fake couple!” ketus Mei sewot. Ah. Andai saja Juna bisa melihat kepalanya yang terasa mengebul ini.
“Tapi mulai sekarang, orang-orang menganggapnya gitu. We’re couple. Don’t forget about that,” bisik Juna sambil merangkul pundak Mei dan tersenyum menang setiap kali berpapasan dengan teman-teman yang menyapa dan mengucapkan selamat.
“Jun,” panggil Mei setelah duduk berdua saja di dalam mobil Juna dan jauh dari pantauan orang-orang. Tapi Mei tak jua melanjutkan kata-katanya. Dia malah menggigiti bibir.
“Hmm?” Juna menoleh. Melihat Mei menggigiti bibirnya seperti itu, serta merta membuat jantungnya berdenyut dengan cara tak biasa. Ah. Bagaimanapun, mereka pernah berciuman tadi. Ciuman yang cukup panas dan mengejutkan. Sisi lain dari seorang Meilani yang selama ini dipikirnya dingin.
“Kok diam? Mau ngomong apa, Mei? Ngomong aja nggak usah sungkan-sungkan.”
“Menurut lu ..., apa Kevin dan Raya bakal percaya tentang hubungan palsu kita?”
Juna terbahak mendengarnya.
“Malah ketawa!” Mei mendengkus sebal.
“Emangnya lu nggak liat muka mereka pas kita kissing secara live tadi? Wadaww! A-ampun, sumpah ... a-ampun.” Juna meringis karena Mei mencubitinya.
“Awas kalau lu bahas-bahas lagi soal ciuman itu!”
Juna tergelak. “Lu belum lihat group chat angkatan kita ya? Pada ngeshare video kita kissing tuh!”
“What?” Mei terbelalak ngeri. “Aaaaah! Ini semua gara-gara lu!” omelnya sambil meninju lengan Juna.
Juna malah nyengir. “Loh. Bagus, kan? Misi kita berarti sukses!”
“Cih!” Mei melengos, tapi dalam hatinya diam-diam merasa lega. Sebelum acara lempar bunga tadi, Mei pergi ke restroom. Saat berada dalam bilik toilet, dia tak sengaja menguping obrolan Sarah dan Tania yang baru memasuki restroom sambil membicarakan dirinya.
“Eh, Tan. Kasihan ya si Mei, kayaknya dia masih belum bisa move on juga dari Kevin. Lu lihat nggak sih? Sejak acara akad nikah sampai resepsi, tatapannya ke Kevin dalem banget. Bisa-bisa dia nangis darah ntar malam.” Suara Sarah terdengar membuka obrolan.
“Ya gimana nggak nangis, Sar? Gila lu, bayangin aja, udah sejak kapan tau dia diam-diam suka sama Kevin. Eh, si Kevin malah nikahnya sama Raya, bestie sendiri. Pasti nyeseklah gila.” Tania terdengar antusias menanggapinya.
“Poor Meilani. Tapi better kita tetap pura-pura nggak tahu ajalah, kalau sebenarnya selama ini dia tuh secret admirernya Kevin,” ujar Sarah di antara suara air kran yang mengucur.
“Eh, inget nggak lu, Sar? Pas Raya kasih undangannya ke si Mei? Si Mei kan no said congrats sama sekali gila.”
“Yes. I remember. Awkward banget kan itu.”
“Heran. Betah banget si Mei ngejomblo cuma buat mengagumi Kevin doang.”
“Mending kalau Kevinnya peduli. Better cari yang lain aja ‘kan? Keburu karatan, ya nggak?”
“Ya iyalah! Ponakan gue yang SMP aja dah punya cowok serenteng. Masa dia yang udah 28 nggak bisa move on pindah gebetan? Emangnya cowok di bumi ini cuma Kevin doang?” seloroh Tania. Lalu keduanya tertawa. Menertawakan Mei.
Seketika Mei memegangi dadanya yang meledak-ledak kaget. Kalau yang dianggapnya teman dekat saja seperti itu, bagaimana dengan yang lain? Mei menahan sesak yang kian menghimpit dadanya dengan rasa perih.
Mungkin, karena itulah yang membuat Mei tak pikir panjang menerima saja sebuket bunga yang diulurkan Juna di depan orang-orang tadi. Demi melindungi harga dirinya di depan teman-temannya sendiri. Juga melindungi gengsinya di depan Kevin yang selama ini kerap menggantungkan perasaannya.
***
“Btw. Ciuman gue tadi nggak gratis. Lu janji, kalau gue bisa bikin Raya dan Kevin tercengang, lu bakal bayar 3 kali lipat,” ucap Mei sambil mengetikkan info rekening dan mengirimkannya kepada Juna. Bagaimanapun, Mei membutuhkan uang itu.
Juna terpingkal-pingkal hingga matanya berair. “Jadi, cerita itu benar rupanya. Tentang elu yang sangat menyukai uang.”
Mei tertawa sinis. “Semua orang menyukai uang. Gue realistis, bukan matrealistis,” ketusnya.
“It’s not a big deal,” sahut Juna sambil mengetik sesuatu di layar ponsel canggihnya. “Done. Limapuluh juta,” kata Juna begitu santai, seakan yang sedang dibicarakannya itu hanyalah uang limapuluh ribu saja.
Mei tersentak. Matanya melotot sebesar jengkol saat Juna menunjukkan bukti transfernya. Hanya untuk sebuah ciuman?
“W-what? Li-limapuluh juta? Are you kidding me?”
“Napa? Kurang?” tanya Juna dengan nada menantang.
“Lu gila, Jun??”
“Why? Bukannya lu suka uang? Selama ini elu overworking demi money kan? So, I gave you.”
Mei menelan ludah dan berkedip-kedip memandangi Juna. “Tak ada makan siang gratis, apalagi uang sebanyak ini. Say what do you want?” desahnya sambil bersedekap.
“Marry me. Menikahlah denganku, Mei.”
Mei bisa merasakan keseriusan dalam nada suara Juna. “Why me?” desaknya tak mengerti.
“Because you are Meilani.” Juna tersenyum dengan sorot mata melembut kala mengucapkannya.
Untuk sejenak sanggup menghentikan detak jantung Mei karena dilamar dan dipandangi sedemikian rupa oleh pria setampan Juna. Tetapi dengan cepat Mei menguasai keadaan. “So what?” ujarnya seraya mengedikkan dagu.
Juna geleng-geleng dan berdecih. “Yaelah ... masih nanya. Kan kita dalam misi yang sama, Maemunah!” sahutnya sambil menjitak pelan kening Mei.
Mei seketika menabok lengan Juna yang seenaknya mengganti namanya jadi Maemunah. Tapi cowok sableng itu malah terkikik.
“Kebetulan kita berdualah yang lagi sama-sama patah hati, Mei. Lu patah karena Kevin, dan gue karena Raya. Kebetulan juga kita sama-sama jomblo. Dan semua orang sama-sama memandang kita seperti pecundang yang kalah perang. Tapi pertunjukan kita tadi sukses bikin mereka syok berat. See? Cara pandang mereka ke kita mulai berubah. Harga diri kita akhirnya terselamatkan, Mei!”
“Jadi, elu mau melanjutkan sandiwara tadi sampai jenjang pernikahan betulan?”
“Why not?”
“Tapi, Jun. Kita kan nggak saling cinta.”
“Mei, apa itu penting sekarang?”
Mei menghela napas panjang. Betul juga, yang terpenting sekarang menyelamatkan dulu gengsi dan harga diri mereka di mata orang-orang. Tapi, tetap saja ... bukankah pernikahan itu sesuatu yang sakral? Sanggupkah Mei mempermainkannya demi kemarahan dan balas dendam?
Juna seakan bisa merasakan kegalauan wanita itu. Maka direngkuhnya kedua tangan Mei dan digenggamnya erat-erat. “Nggak perlu overthinking, Mei. Kita jalani saja rencana ini pelan-pelan, yang penting elu nyaman. Oke?”
***
Meilani. Cuma itu saja namanya. Singkat dan padat. Sesingkat dan sepadat jawabannya setiap kali Juna menanyakan sesuatu padanya semasa SMA dulu, “Mei ..., lihat Raya nggak?”Gadis itu cuma menjawab, ‘ke kantin’ atau ‘nggak tahu’. Kadang malah menunjuk langsung arah keberadaan Raya tanpa menoleh sama sekali pada Juna, sedangkan tatapannya tetap terpaku pada buku yang dibacanya.“Woi, gue ini lagi tanya ya, ... bukannya lagi mau minta sumbangan. Pelit amat sih lu kalau ngomong!” Juna mendengkus sambil berlalu pergi. Tapi Juna tak pernah kapok menanyai Mei tentang Raya, lagi dan lagi, sambil menyodorinya sebatang coklat, baru Mei menoleh dan tersenyum kepadanya. Setidaknya Mei bakal menjawab dengan jujur dan apa adanya meski irit kata, tak seperti teman-teman Raya lainnya, yang kerap menatapnya dengan sorot mata menghakimi dan mencemooh upaya pendekatannya. Padahal Raya yang Juna kejar-kejar, bukan mereka.Brug!“Makanya ..., lihat-lihat dong kalau jalan,” goda Juna suatu kali, sengaja m
Mei berkedip-kedip takjub memandangi cincin bermata berlian dengan rangka platinum yang melingkari jari manisnya. Indah. Seindah perasaan yang melingkupi dirinya saat ini. Padahal Mei sadar jika pernikahan yang akan dijalaninya dengan Juna nanti didasari kepalsuan. Tapi setidaknya Juna tak memberikan cincin yang palsu padanya.Secara mengejutkan, esoknya Juna membawanya ke gerai Tiffany & Co setelah Mei mengangguk, menerima lamarannya dalam mobil. Dan Juna membelikan cincin indah ini untuknya. Padahal Mei tak keberatan dengan cincin sederhana yang sudah diberikan Juna sebelumnya.“Jangan, sebenarnya itu cincin pengasuh gue yang sudah lama meninggal. Gue menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Cincin itu biasanya gue pakai di kelingking setiap kali gue lagi cemas. Ide lamaran kemarin itu dadakan, gue nggak ada persiapan cincin buat elu. Jadi gue pakai cincin itu buat sementara.”“Jadi, kemarin itu elu lagi cemas? Makanya datang ke resepsi Raya memakai cincin itu?”“Begitulah,” aku Juna s
Mei baru saja memasuki kamar saat ponselnya berdering.“Halo, Jun?”“Udah sampai rumah, Mei?”Ada rasa hangat yang merambati perasaan Mei demi mendengar pertanyaan Juna. Sudah sangat lama tiada orang yang menanyakan hal sarat perhatian semacam itu padanya.“Baru aja sampai nih.”“Hah? Gila, baru aja sampai? Yang bener aja, Mei?”Mei tertawa renyah mendengar suara Juna yang ramai.“Apa gue bilang? Lu bisa sinting kalau nganterin gue pulang tadi. Nih buktinya, cuma dengar gue baru nyampe rumah jam segini aja lu udah gila, kan?”“Masa? Tapi kok lu nggak gila, Mei? Padahal tiap hari lu bolak-balik Jakarta-Depok?”“Belum aja.”Juna terbahak-bahak hingga Mei harus menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara tawa Juna yang keras.“Pindah sini aja ke apartemen gue sebelum lu beneran gila, Mei!”“Kumpul kebo dong?”“Gue kan ganteng, dan lu cakep. Masa visual kayak kita dibilang kumpulan kebo sih?”Mei terkikik. Terhibur celotehan Juna.“Mei, video call, yuk?”“Nggak, ah.”“Napa? Insecure l
“Sudahlah. Terima saja lamaran Hans!” cecar Dilla setelah Hans pulang. “Tapi, Tan. Dia itu duda dan lebih pantas jadi ayah Mei. Lagipula Mei bukan jomlo. Ada pria yang sudah melamar Mei.” “Halah! Putusin aja. Pria itu nggak bakal sebanding dengan Hans yang jelas-jelas tajir melintir. Lagipula, apa gunanya menikahi pria itu kalau hanya akan menyeretnya jadi miskin?” “Maksud Tante?” “Ingat, Mei. Kau masih punya cicilan utang 1 milliar padaku. Kalau kau mau menikahinya, lunasi dulu semua sisa utangmu secara kontan! Baru kau boleh keluar dari rumah ini dengan calon suamimu itu!" “Tan. Tolong jangan seperti itu. Cukup Mei yang menanggung utang ini, jangan bawa-bawa calon suami Mei.” “Makanya! Justru Tante sedang memberimu solusi sekarang. Uang 1 miliar itu kecil saja bagi Hans. Jika kau menikah dengannya, dia pasti bakal memberimu lebih dari itu.” “Nggak mau, Tan!” Plak! Dilla membalas penolakan Mei itu dengan sebuah tamparan keras. Mei mengusapi pipinya yang terasa panas sambil
Juna rupanya sudah melakukan reservasi untuk makan siang mereka di sebuah restoran di sekitar Thamrin, tak begitu jauh dari gedung perkantoran tempat Mei bekerja. Mei jadi mengerutkan kening memikirkan ongkos makan siang yang mahal ini. Menu-menu di restoran ini tentu saja tak terjangkau kantongnya. Mei pernah sekali ke sini dulu, pada saat Raya merayakan ulang tahun dan mentraktirnya, sebelum teman dekatnya itu berangkat kuliah ke Amerika.“Jun, split bill? Atau elu yang traktir?” bisik Mei sebelum benar-benar mencapai tempat duduk mereka.“Pertanyaan lu nyinggung harga diri gue amat sih, Mei. Gue yang bayarlah gila. Masa bayar sendiri-sendiri, yang bener aja!”Mendengar pernyataan Juna membuat Mei akhirnya bisa bernapas lega.“Pesan gih yang paling mahal. Awas kalau pesan yang murah-murah, ntar dompet gue terhina.”Mei terkekeh. “Anjay ... sultan,” selorohnya sambil membolak-balik buku menu.“Dih. Beneran? Cuma segini doang yang lu pesen, Mei? Tambah lagi, gih!” Juna malah mengomel
Pada mulanya Mei justru sangat tidak menyukai Kevin. Cowok itu benar-benar dingin padanya. Padahal Mei sering berbaik-baik menyapa dan bersikap ramah. “Kev, ini buku elu jatuh,” katanya saat melihat sebuah komik meluncur dari meja Kevin lalu tergeletak di kaki kursi cowok itu. Mei memungut dan mengulurkannya pada si pemilik. Dan Kevin menyambarnya dengan cepat tanpa berterima kasih. Bahkan menoleh padanya saja tidak.“Lu punya utang yang belum dibayar ya ke dia?” seloroh Raya yang menjadi teman sebangkunya saat itu. Mei pun menggeleng lugu.Raya terkekeh pelan. “Perasaan tuh cowok sengak mulu deh sama lu, ada masalah apa sih kalian?” celetuk Raya membuat Mei kebingungan. Memangnya apa salah Mei?Lalu Mei teringat pada momen pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Kevin di TPU Tanah Kusir. Saat itu Mei ikut maminya berziarah ke sana. Di tengah rapalan doanya untuk mendiang sang nenek, Mei mendengar isak tangis yang mengganggu kekhusyukannya berdoa. Diapun menoleh ke sumber suara.
“Awas, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!” Mei naksir Kevin? Hoho. Tak mungkin. Mei tak sudi naksir cowok sedingin kulkas itu. Pokoknya, no way! Hingga pada akhirnya, takdir mempertemukan keduanya dengan situasi dan kondisi yang tak pernah Mei bayangkan sebelumnya. Sore itu, Mei bolak-balik melirik Baby-G di pergelangan tangan, tapi jarum jam di sana tak bergerak jauh dari angka terakhir yang dilihatnya tadi. “Pak Pur lama amat sih,” keluhnya mulai lelah. Sudah hampir sejam dia menunggu, tapi mobil pribadi yang biasa mengantar-jemputnya tak kunjung tiba. Mei mendongak ke langit senja. Lalu duduk di teras ruko tempat lesnya. Semua teman-temannya sudah pulang. Dia gelisah sendirian. Kemudian menelepon maminya, “Mam? Kok Pak Pur tumben telat menjemput Mei?” “Duh. Memangnya papi belum bilangin Mei ya?” “Bilangin apa, Mam?” “Pak Pur sudah nggak bekerja lagi sama kita mulai hari ini, Sayang. Makanya, tadi papi yang anterin Mei sekolah dan ke tempat les.” “Loh. Kenapa, Mam?” Terdengar na
“Wah! Parah lu, Ray. Bikin kulit mulus cewek gue jadi merah kayak gini. Cubitan lu tuh sakit, tahu nggak?” tegur Juna sambil merengkuh pinggang Mei dan menarik wanita itu lebih rapat dengannya. Mei tercekat kaget, seketika lamunan tentang masa lalunya bersama Kevin buyar. “Kulitmu nggak sampai lecet kan, sweetheart?” Juna mengecek sekali lagi bekas cubitan Raya di lengan Mei. ‘Lebay!’ pikir Mei. Dia belum terbiasa menerima kemesraan seperti itu. Terlebih Juna melakukanya di depan orang lain dan orang itu adalah Kevin, mantan gebetannnya. Dan juga di depan Raya, mantan pacar Juna. Sedangkan Raya pun terperangah tak percaya. Seorang Juna yang pernah begitu bucin padanya, mendadak bisa sengak mengomelinya demi wanita lain? Meski wanita lain itu sekarang adalah pacar barunya, tapi tetap saja Raya merasa tersingkirkan setelah beberapa tahun dirinya sempat menjadi satu-satunya ratu yang bertahta di hati pria itu. “Eh. Elu ngomelin gue, Jun?” ketus Raya. “Ya iyalah, emang siapa lagi?