Di rumah sakit, Widya tidak langsung beranjak setelah diberi peringatan oleh Satria. Dirinya masih mencoba peruntungan. Berharap hati menantunya akan luluh setelah melihat kegigihannya.“Tolong, Nak Satria. Mama mau melihat Tami. Biar bagaimana pun, Tami ‘kan anak kandung mama.” Bujuk Widya.“Tapi saya suaminya dan memiliki hak lebih besar atasnya. Jadi, Mama lebih baik pulang dan menjauh dari Tami.” Tegas Satria.“Tapi, Nak –“ “Lebih baik Mama pulang dan turuti kemauan saya, sebelum saya berubah pikiran.” Potong Satria tanpa menoleh ke Widya.Widya sontak menahan marah dan berbalik untuk segera beranjak dari sana. “Dari pada semua fasilitas di cabut, lebih baik tak perlu pedulikan anak itu,” gumam Widya.Tadinya dia berpikir, jika memberikan sedikit perhatian pada Tami maka Satria akan luluh dan memberikannya tambahan uang untuknya sebagai biaya merawat Tami selama di rumah sakit. Rupanya dirinya salah mengira. Maka dari itu, saat ini dia memilih duduk di kantin rumah sakit untuk m
Bersyukur, hari ini Tami sudah boleh pulang ke rumah. Jahitan pada kakinya sudah mengering dan kondisi organ vital pun semua baik. Tapi memang belum diperbolehkan untuk terlalu banyak beraktivitas dan berjanji akan mengonsumsi makanan sehat juga obatnya dihabiskan.“Jangan telat saat meminum obatnya ya, Bu.” Pesan dokter saat visit terakhir.“Tentu, Dok. Saya yang akan selalu mengingatkan, jjka perlu akan saya siapkan selalu.” Bukan Tami yang menjawab, tapi Satria dengan penuh semangat bagai sedang berlomba.Dokter tersebut hanya terkekeh sembari mengangguk dan menepuk lengan Satria dua kali dan melirik Tami sesaat tersenyum tipis lalu melangkah pergi hingga akhirnya tak terlihat lagi kala pintu menutup.Tami cemberut ketika Satria menoleh dan bertatap muka dengannya. Tak lama tawa geli terdengar dan dagu Tami di coleknya.“Aku cuma bantu jawab, Sayang.”Mendengar Satria menjawab dengan penuh kelembutan, malah membuat mata Tami mendelik. Merasa sedikit aneh karena Satria mendadak keli
Obrolan sore tadi rasanya membuat energi Tami terkuras habis. Begitu matahari tak lagi terlihat dan langit mulai menghitam, Tami berusaha menggerakkan roda di kursi rodanya.Melihat itu, gegas Satria bangun dan mengambil alih kursi roda Tami. Dia perlahan bertanya, “Kenapa enggak bilang dan minta bantuan aku?”“Aku takut ketergantungan sama kamu, Mas,” cicit Tami. Setelah itu tak ada yang bersuara, hingga kini mereka sudah di kasur. Sama-sama merebahkan diri. Tami telentang dan memandangi langit-langit kamar yang polos, sedangkan Satria berbaring miring memperhatikan wajah istrinya yang sejak tadi mengunci rapat bibirnya.“Sayang ... aku benar-benar mencintaimu.”Mendengar itu, Tami tersenyum. Tapi tetap tak memberikan respons apa pun.“Maafin aku,” Satria kembali mencoba membuka percakapan.Kembali Tami menjawab hanya dengan anggukan. Sepertinya pikirannya masih berkecamuk liar, hingga dia tak ingin memberikan respons apa pun karena takut terpecut emosi.Satria akhirnya bungkam.Mal
“Sial, semua laporannya bersih dan tak ada cela,” gerutu Irwan. “Tak mungkin dia tak punya kelemahan, pasti ada sesuatu yang bisa menjatuhkan kepemimpinannya.”Irwan berulang kali mengecek semua laporan dengan perlahan dan teliti, tapi hasilnya tetap saja nihil. Semua dalam kondisi yang baik.“Kalau semua memang tidak ada cela, maka aku yang akan membuat noda itu di dalam perusahaan.” Irwan menyeringai membayangkan keributan yang akan terjadi di beberapa hari ke depan.Tak bisa dipungkiri, kinerja Satria dalam mengurus perusahaan memang sangat hebat. Dia mampu memprediksi risiko dan tepat dalam mengambil keputusan.Hal itulah yang membuat Irwan begitu kesal, karena dirinya selalu dianggap tidak mampu oleh kedua orang tuanya hingga hanya diberikan jabatan manajer, itu pun lebih banyak berhubungan dengan lapangan.Sejak kecil mereka selalu dibandingkan satu sama lain. Irwan yang memang tak terlalu pintar di bidang pelajaran formal, sering kali tersisih dan kehilangan perhatian kedua ora
Suara dering telepon terus bergema membuat tidur pasangan suami istri itu sedikit terganggu. Tami yang menggeliat lebih dulu, tapi dirinya tak bisa bergerak karena dekapan Satria terlalu erat. Tepukan pelan di sertai elusan pelan dilabuhkan pada pipi Satria. Namun setelah beberapa kali panggilan dan tepukan, pria itu masih lelap dalam tidurnya.Mendengar dering ponsel yang tak kunjung berhenti, Tami mendekatkan wajah mereka dan melakukan usaha terakhir untuk membangunkan suaminya.“Aarrgghh ... astaga, Yang. Sakit banget ini, bukannya di cium malah digigit.” Protes Satria sambil memegang bibirnya.Tami terkekeh geli dan menyerahkan ponsel Satria yang masih saja berdering. Dahi Satria berkerut dan mengendikan dagu, bertanya siapa. Tami mengintip sedikit dan berbisik pelan.Satria buru-buru menegakkan tubuhnya, berdeham sejenak, lalu mengangkat teleponnya. “Halo?”“Kamu ke mana aja? Dari tadi Papa telepon enggak di angkat.”“Maaf, Pah. Ada apa?” “Ada kehebohan di hotel, video skandal
“Para pemegang saham semakin marah dan kecewa. Mereka merasa dibohongi,” ujar Papa yang sejak pagi sudah menyambangi ruang kerja Satria.“Aku paham, Pah. Tolong beri aku waktu sedikit dan aku akan membuktikan segalanya,” jawab Satria dengan tenang.“Tami bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” tanya Papa kuatir.“Tentu dia baik-baik saja. Saat video itu terjadi, aku sedang bersama dengannya,” ujar Satria santai.“APA?!” “Iya, Pah. Pria di video hotel itu, bukan aku! Tapi video di ruangan ini, masih aku selidiki karena aku tak pernah merasa melakukan itu semua.” Tegasnya.“Baiklah. Papa percaya sama kamu. Selesaikan dengan baik. Karena sekarang ... Papa rasa kita tertuju pada orang yang sama.” Tepukan pelan di pundak Satria mengakhiri perbincangan tersebut dan Felix keluar dari sana.Satria menyandarkan punggungnya lelah, dia memijit pangkal hidungnya dan memejamkan mata. Kepalanya sakit sekali dan semalam dia tidur larut. Sedangkan tadi pagi dia pergi menuju hotel dan melihat CCTV, tapi
Satria tak berhenti mengetukkan jari di meja kerjanya, otaknya sedang berpikir memikirkan cara tercepat untuk mendapatkan bukti. Beberapa rekaman CCTV yang tadinya dirusak, sudah dia dapatkan setelah orang kepercayaannya berhasil meretas kembali hasil rekaman terakhir sebelum dirusak oleh komplotan Irwan.Beruntungnya, kamera pengawas itu di rusak setelah kejadian bukan sebelum. Hingga kejadian sebenarnya terlihat jelas di sana. Namun, Satria merasa hal itu belum cukup kuat. Irwan pasti bisa menyangkal karena bukan dirinya yang tertangkap basah di sana, meski ada dirinya juga dalam rekaman tersebut.“Siang, Pak,” sapa Aryo yang berjalan mendekat.Dengan malas Satria menjawab, “Ada apa?”“Ini sudah jam makan siang dan baru saja sopir Bu Tami datang untuk mengantar titipan makan siang dari istri Bapak,” ucap Aryo sembari menyodorkan satu paper bag berisi beberapa macam makanan dan buah potong.Satria tersenyum kecil ketika bayangan wajah Tami tiba-tiba tersirat dan tangannya gegas menar
“Sayang ... cantik banget, sih.” Tangan Satria melingkar sempurna di pinggang Tami. Hidungnya kini mengendus pada leher istrinya itu dengan senyum yang lebar. “Wangi juga.”“Geser dulu, Mas. Aku jadi susah masaknya,” tegur Tami, pundaknya beberapa kali terangkat berusaha menghindari godaan suaminya.Satria menggeleng dan semakin menenggelamkan kepalanya ke dalam ceruk leher kesukaannya. Memberikan kecupan-kecupan kecil, sesekali menggigit dan lidahnya turut berpartisipasi di sana. “Geli, Mas,” keluh Tami sambil terkikik.Tapi Satria tak mendengarkan dan tetap melakukan apa yang ingin dia lakukan. Bibirnya tersenyum puas, saat mengintip dan wajah memerah Tami yang terlihat. Tangannya terlepas sejenak dari tubuh Tami. Hanya untuk mematikan kompor dan kembali menempel sempurna ke tubuh istrinya.“Eh .. eh ... Mas, mas aku masih masak,” pekik Tami karena tubuhnya tiba-tiba sudah berada dalam gendongan pria yang sejak tadi menggodanya.“Sebentar aja,” ucap enteng Satria saat sudah duduk