“Sayang ... cantik banget, sih.” Tangan Satria melingkar sempurna di pinggang Tami. Hidungnya kini mengendus pada leher istrinya itu dengan senyum yang lebar. “Wangi juga.”“Geser dulu, Mas. Aku jadi susah masaknya,” tegur Tami, pundaknya beberapa kali terangkat berusaha menghindari godaan suaminya.Satria menggeleng dan semakin menenggelamkan kepalanya ke dalam ceruk leher kesukaannya. Memberikan kecupan-kecupan kecil, sesekali menggigit dan lidahnya turut berpartisipasi di sana. “Geli, Mas,” keluh Tami sambil terkikik.Tapi Satria tak mendengarkan dan tetap melakukan apa yang ingin dia lakukan. Bibirnya tersenyum puas, saat mengintip dan wajah memerah Tami yang terlihat. Tangannya terlepas sejenak dari tubuh Tami. Hanya untuk mematikan kompor dan kembali menempel sempurna ke tubuh istrinya.“Eh .. eh ... Mas, mas aku masih masak,” pekik Tami karena tubuhnya tiba-tiba sudah berada dalam gendongan pria yang sejak tadi menggodanya.“Sebentar aja,” ucap enteng Satria saat sudah duduk
Akhir pekan ini Tami sengaja mengajak Satria pergi keluar, menikmati udara segar di kota hujan. Kakinya sudah sembuh dan kini dia ingin menghibur dirinya sendiri karena sudah lama tak keluar rumah. Sekaligus menenangkan pikiran Satria yang belakangan berpikir terlalu keras.Mereka berdua berpakaian santai dan tak memilih ke tempat khusus, hanya pergi makan dan menyusuri taman lalu bercengkerama di salah satu kursi di sana dengan obrolan acak yang sesekali membuat tawa mereka pecah. Kalau orang lain melihat, mungkin tak akan ada yang mengira kalau Satria adalah seorang pemimpin perusahaan. Mereka berdua seperti sepasang anak muda yang memadu kasih, ketimbang sepasang suami istri.“Sayang, kalau cape bilang ya.”“Iya, Mas,” jawab Tami sembari menghirup udara sejuk sembari memejamkan mata. “Enak kali ya mas kalau tinggal di pinggiran kota begini, udaranya segar enggak sesak dengan polusi.”Cup “Eh ... ngaco kamu, Mas.” Kepala Tami sibuk menengok ke kanan dan kiri. Dia lalu memukul pelan
“Sesuai dengan janji kalian, maka perombakan besar akan dilakukan besar-besaran. Saya tidak mau mendengar apa pun lagi. “ Tegas Satria pagi ini saat memimpin rapat, setelah menyeret Irwan dan Sissy masuk ke dalam penjara.Semua pemberitaan miring sudah di klarifikasi, kini berganti Irwan dan Sissy yang menerima semua hinaan. Terutama pertanyaan bagaimana seorang adik tega melakukan itu semua pada orang yang menyokong hidupnya dan berbagai kalimat menyakitkan lainnya.Satria menutup kuping atas semua rayuan dan permohonan yang dilakukan kedua orang tuanya. Untungnya Tami tidak ikut campur dan hanya diam mendukung semua yang dilakukannya. Dirinya merasakan kekecewaan hebat karena hal ini tak main-main dan dia tak mau lagi berdiam ini. Sudah saatnya menunjukkan taring.Seperti saat ini. Langkah awal yang dilakukan, membuat semua orang di ruang rapat menutup mulutnya rapat. Suasana berubah menegangkan, beberapa orang sudah mulai gelisah dan dalam hati tak henti merapal doa semoga namanya
Setelah drama di ruang rapat karena Satria mengubah manajemen dan beberapa peraturan perusahaan, kini setelah berjalan waktu keadaan mulai kembali tenang. Kondisi perusahaan membaik dan rumor di luar sudah meredup.Rumah tangga Tami dan Satria semakin menghangat dan kondisi kakinya juga sudah kembali normal. Tami sudah bisa kembali beraktivitas, meski masih dibatasi oleh Satria karena terlalu kuatir.“Tapi aku bosan, Mas,” rengek Tami karena tidak mendapatkan izin untuk pergi ke toko buku langganannya.Mereka sedang bersantai sambil mendengarkan suara televisi yang tidak ditonton. Tami sibuk merengek dalam pelukan suaminya. Sedangkan Satria memilih mendengarkan dengan penuh kesabaran.“Tempat itu jauh, Sayang. Nanti aja aku antar pas libur.” Satria menunduk dan mengecup kening Tami sekilas karena istrinya sedang mendongak menatapnya“Liburnya kamu tuh enggak bisa diprediksi.” Wajah Tami memberengut dan mencebik karena kesal. Dia melepaskan diri dari dekapan Satria dengan tangan bersed
“Idih, bisa apa dia. Balik langsung jadi direktur, mentang-mentang suaminya CEO di sini.”“Paling juga jurus rayuan maut. Sama kaya dulu tuh, tiba-tiba nikah sama bos. Paling modal angkat rok.”CeklekKedua wanita yang sedang merapikan lipstiknya sontak menengok serempak dan melotot. Tami tersenyum miring melihat itu dan melangkah dengan santai dan berdiri di samping kedua bawahannya lalu mencuci tangan perlahan.“B-bu, mak-maksud kami–“ gadis dengan rambut coklat itu tak lagi meneruskan ucapannya karena melihat tangan Tami yang terangkat dan telunjuknya mendekat di depan bibirnya.“Maa-maaf, Bu. Kami ... “ begitu juga gadis dengan dandanan tebal itu yang kembali mengatupkan bibir.Tami terkekeh, tapi tak lama wajahnya terlihat mengeras dan berucap dengan dingin juga tegas, “Saya tidak akan memberikan peringatan kedua, jadi dengarkan baik-baik. Ini kantor bukan tempat gosip, terlebih ucapan kalian tanpa bukti. Kalau kalian masih mau kerja di sini, tunjukkan kinerja kalian. Bukan adu m
Rahang Satria jelas saja mengeras. Apa-apaan pria ini. Datang dari antah berantah dan tiba-tiba mengaku sebagai ayah kandung dari istri cantiknya. Tidak, Satria tidak ingin ada yang memanfaatkan kebaikan hati istrinya. Untung saja Tami sedang sakit, jika tidak wanita itu pasti akan sangat kepikiran sekarang.“Apa maksud Anda?” Nada suara ramah Satria hilang entah ke mana dan berganti dengan suara dingin nan tegas.“Saya adalah mertua Anda.” Tegas Christian.“Tidak! Mertua saya sudah meninggal!” jawab Satria dengan lugas.Christian terdiam sesaat, memperhatikan Satria dan dia tahu kalau pria di depannya ini sedang mencoba menahan emosi. Dia menghela napas pelan. “Saya akan melakukan tes DNA dengan Tami dan jika terbukti saya adalah ayah kandungnya, jangan harap kamu bisa menemuinya,” ucapnya tenang.Satria jelas melongo mendengar itu. Namun, belum sempat dia menjawab sosok pria yang mengaku mertuanya sudah tak ada lagi di depannya. Dia menengok dan pintu sudah tertutup sedikit kencang.
Tami mengerjap, matanya terkadang menerawang dan sesekali berkedip tak tentu. ‘Perasaan apa ini,’ batinnya. Dia menyentuh dadanya dan sesak itu datang, ada rasa kerinduan mendalam dan hal itu tak hilang meski sudah melakukan panggilan video dengan suaminya. ‘Laku aku merindukan siapa?’ pikirnya.Satria berjalan pelan sambil mengernyit. Dia sudah pulang dari beberapa waktu yang lalu dan memanggil Tami. Karena tak ada jawaban, langkahnya semakin cepat menuju kamar. Pikirannya masih belum tenang karena ucapan Christian. Benar saja, istrinya sedang melamun di balkon dan tak menyadari kehadirannya bahkan saat pintu dibuka dengan sedikit kencang tadi.“Sayang,” panggilnya lagi.Tangan Satria yang menyentuh lembut bahu Tami membuat istrinya sedikit tersentak dan terkesiap. Dan wajahnya terlihat penuh kelegaan saat menoleh dengan segera senyum itu hadir. “Kenapa melamun? Kamu bahkan tak menyadari kedatanganku,” tanya Satria sambil pura-pura merajuk.Tami terkekeh, dia bangun dan melingkarkan
Semakin hari Tami semakin gelisah, keberadaan Christian seolah selalu ada di mana pun dia berada. Di kantor, restoran, sekitar rumahnya, bahkan di setiap acara yang dia hadiri. Pria itu selalu mengetahui kegiatannya. Terlebih tatapan pria itu saat memperhatikan dirinya, membuat perasaannya menjadi tak menentu. Bukan karena takut, tapi lebih kepada perasaan yang dia sendiri tak bisa mendeskripsikannya.Elusan lembut hadir di kepalanya. Membuat Tami menoleh sejenak dari dokumen di tangan yang sejak tadi tak menarik perhatiannya. “Masih memikirkan pria tua itu?” “Maaf, hanya saja... rasanya ada yang mengganjal di hatiku,” ucap Tami pelan. “Tenanglah, aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusik ketenanganmu.” Tegas Satria. “Sekarang ayo makan siang, aku ingin mengajakmu ke salah satu restoran terbaik di pinggiran Jakarta.”Tami mengangguk, membereskan dokumennya dan gegas berdiri saat tasnya sudah berada di tangan. Mereka benar-benar pergi ke restoran pilihan Satria. Jaraknya agak jau
Suara debur ombak yang memecah karang terdengar begitu menghanyutkan. Penuh ketenangan dan mematikan dalam satu saat. Sudah beberapa bulan Widya hidup tenang di pesisir pantai sana walaupun harus menekan diri dari hidup mewah, tapi tak apa. ‘Hanya beberapa tahun dan setelahnya kemewahan akan kembali padanya.’ Pikirnya.Sedari jauh hari, Widya sudah berjaga-jaga dalam menjaga hartanya. Dia sengaja menguras tenaga dan pendapatan Tami agar uangnya sendiri tak tersentuh. Meskipun suaminya tak sekaya Christian, tapi dia mendapatkan harta warisan yang tak sedikit ditambah beberapa aset yang diam-diam dia rebut dari Tami. Belum lagi hasil klaim dari asuransi, sebenarnya dia dan kedua putrinya bisa hidup dengan nyaman tanpa kekurangan.Nyatanya, dia berpura-pura mendadak miskin dan memaksa Tami untuk bekerja keras untuk menghidupi mereka tak peduli apa yang dikerjakan oleh putri sulungnya itu.Lalu kini, meski dia harus bertahan jauh dari semua orang yang terpenting adalah seluruh kekayaannya
Keadaan Tami perlahan mulai membaik dan hari ini sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah dengan beberapa catatan dari dokter.“Ada yang mau dibeli sebelum sampe rumah, Sayang?” tanya Satria.Setelah perdebatan yang memakan waktu, Satria akhirnya berhasil membawa Tami dalam mobilnya. Dia melirik ke belakang lewat spion tengah dan terkikik saat mobil mewah warna hitam itu mengiringi. Wajah mertuanya saat ini pasti sedang cemberut dan itu membuatnya geli sekaligus puas. “Enak saja mau memonopoli istri cantikku,” batinnya.“Enggak usah deh, Mas. Aku hanya mau istirahat,” jawab Tami.Anggukan kepala diberikan Satria sebagai jawaban dan perlahan memelankan laju kendaraan karena jarak rumah mereka yang sudah tak terlalu jauh lagi.“Mau aku gendong?”Mobil mereka sudah parkir dengan sempurna di halaman rumah. Begitu juga mobil Christian, pria itu bahkan sudah turun dan menunggu di dekat pintu masuk.“Enggak usah, Mas. Aku udah sehat,” jawab Tami sambil cemberut.Satria terkekeh dan mencubit
Aryo sedang menunggu perintah selanjutnya. Dia tak berani untuk melangkah lebih dulu meski sudah bisa menebak tindakan apa yang akan diambil oleh atasannya. Kembali lagi, dia bukan pria gegabah dan selalu tenang dalam kondisi apa pun.Satria ingin sekali melakukan panggilan telepon kepada Aryo. Akan tetapi, pandangan tajam yang menghunus dirinya membuat dirinya membeku. Seolah sedang terikat kencang, tubuhnya sulit digerakkan saking terpaku pada mata mertuanya.Dia berdeham.Tami meringis melihat itu. Namun tak sedikit pun keinginan untuk membantu suaminya. Mendengar Vania di kasus itu bukan sepenuhnya korban, membuat hatinya kembali perih. Pertanyaan kenapa dan kenapa terus berputar di kepalanya. Mereka bahkan tidak saling kenal. “Saya tidak akan tinggal diam jika Vania benar-benar terlibat. Mantan tunangan kamu telah merampas kebahagiaan putri saya.” Ancaman Christian memecahkan kesunyian yang tercipta.“Papi,” panggil Satria pelan. Dia menyadari kalau saat ini mertuanya itu sedang
“Kalau memang sudah tidak ada yang mau dibahas lagi, saya tunggu laporannya segera dari masing-masing divisi.”Satria mengakhiri rapat mingguannya dengan cepat. Pikirannya sedang tidak fokus, alih-alih mengalihkan pada pekerjaan dia lebih memilih untuk menyelesaikan yang membuat kepalanya riuh belakangan ini.Langkahnya semakin cepat begitu dia keluar dari ruang rapat. Sejak pagi rencananya sudah matang dan itu hanya bisa dilakukan bila tumpukan dokumen di mejanya menghilang. Dan saat ini hal itu yang akan dilakukannya, dengan cepat.“Pak.”Satria gegas berbalik badan dengan wajah kesal. Dia bahkan belum sampai ke mejanya, pintu ruangannya baru tertutup tapi Aryo sudah berani menginterupsinya. Baru saja kemarahan hendak terlontar, tapi bibirnya langsung mengatup lagi begitu Aryo menyampaikan laporannya.“Saya menemukan alamat bengkel yang ada di video Bu Widya. Juga pria yang berbicara dengan Bu Widya kala itu.”Satria mengangkat ujung bibirnya dan mengangguk pelan. Wajah kesalnya aib
“Apa katamu?” tanya Widya dengan suara tercekat.Tami mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa reaksi wanita itu menjadi sedikit berbeda, seperti sedang menahan sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu.Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Widya sedikit mendesak, “Aku tanya, tadi kamu bilang apa? Christian mencari tahu soal kecelakaan ayahmu? Buat apa?” Sebisa mungkin dirinya bersikap tenang di depan Tami, meski menahan emosi yang siap meledak.Tami yang masih bingung mengangguk pelan, kemudian dia menjawab, “Iya, Ma. Memangnya kenapa? Bukannya itu bagus?”“Buat apa mencari tahu tentang informasi orang yang sudah mati?!”Tami mengerjap kaget. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Widya akan berteriak bahkan untuk masalah seperti ini. Jika dilihat-lihat, memang ada yang aneh dari sikap wanita itu semenjak dirinya menyebutkan tentang kasus kecelakaan ayahnya, padahal sebelumnya masih meributkan soal uang. Tami bertanya, “Mama kenapa, sih? Kenapa malah berteriak begitu?”Widya mengg
“Itu yang kamu mau, Nak?” tanya Christian pada putrinya.“Iya, Pi.” Tami membulatkan tekadnya untuk mengungkapkan kematian sang ayah. Dia ingin mengetahui fakta di balik tragedi naas itu.Christian terdiam sesaat, kemudian dia akhirnya memutuskan, “Iya, baiklah. Kalau memang itu yang kamu mau, Nak.”Christian merealisasikan niatnya untuk mencari tahu kebenaran di balik kecelakaan ayah Tami. Kejadian itu sudah berlalu sejak enam tahun dan tentunya itu bukan hal yang mudah untuk bisa mengungkap kasus dalam waktu singkat.Namun, bukan Christian kalau tidak bisa mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang putri tercinta. Lelaki itu memanggil orang suruhannya untuk mengulik kasus itu, tidak peduli dengan cara dan bagaimana semuanya terungkap.“Papi akan kasih kamu kabar secepat yang Papi bisa,” kata Christian pada Tami.“Aku enggak mau bikin Papi merasa terburu-buru, jadi gunakan waktu yang Papi punya dengan perlahan.” Tami hanya tidak mau terlalu membebani lelaki itu. Dia sudah cukup membuat
Tami sudah berulang kali memijit pelipisnya. Meski bibirnya terkatup rapat, tapi dalam hati dia menggerutu sepuasnya. Bagaimana tidak kesal, kalau sejak matanya terbuka kedua pria gagah di depannya ini berebut untuk memberikan perhatian padanya.Sekali lagi dia menghela napas. Dia sungguh lapar tapi lihatlah suami dan ayah kandungnya malah rebutan piring untuk bisa menyuapi Tami. Dengan wajah malas, akhirnya dia tak tahan mengeluarkan keluhan. “Kalian enggak cape? Aku lihatnya aja cape.”Kedua pria itu menoleh, hening sesaat sebelum akhirnya piring itu berhasil direbut oleh Christian yang memanfaatkan situasi dan Satria mendengkus kesal.“Makan sama Papi ya, Nak. Biar Papi suapi.” Lagi-lagi Satria kalah cepat untuk duduk di samping Tami. Dengan langkah gontai dan sesekali melirik kepada Tami, Satria beranjak menuju sofa di sudut ruang dan memasang wajah cemberut. Melihat itu Tami hanya menggelengkan kepala karena geli melihat suaminya tantrum.“Makan yang banyak biar cepat sembuh. K
Belakangan ini Tami sering merasakan tubuhnya mudah lelah. Hari-hari bahkan terasa berat dan lama untuk dijalani, padahal tumpukan pekerjaan tidak pernah usai. Biasanya saat dia tenggelam dalam pekerjaan, waktu akan cepat berakhir bahkan terkadang dia lupa mengisi perutnya dan di penghujung hari masih akan ada banyak senyuman yang tersisa di wajah cantiknya.Namun, kini sebaliknya. Dia kehilangan semangat dan isi kepalanya begitu riuh seolah ada angin topan berkepanjangan di dalam sana. Konsentrasinya menurun, bahkan belum jam makan siang tapi tenaganya sudah habis-habisan.Tami menunduk, menopang kepalanya dengan tangan yang menumpu di meja sambil sesekali memijat pelipis juga pangkal hidungnya. Mata berair. Kepalanya sakit sekali, perutnya terasa berputar dan rasa mual itu kini seolah menambah panjang daftar rasa tak nyaman dan disempurnakan dengan desakan isi perutnya yang tiba-tiba saja memaksa untuk keluar.Dengan sisa tenaga, dia berlari memasuki kamar mandi. Mengeluarkan semua
Pagi ini kantor dihebohkan dengan sebuah bingkisan bunga besar yang diletakkan di lobi. Dengan sebuah kartu ucapan teruntuk kepada Tami, tapi bukan nama suaminya sebagai pengirim di sana.Suara penuh cibiran kembali terdengar, bisik-bisik di beberapa titik terlihat begitu seru.“Bener ‘kan, sekarang kelihatan deh belangnya.”“Kok enggak malu ya terang-terangan begitu.”“Gimana perasaan Pak Satria ya pas lihat istrinya dikirimin bunga dari laki-laki lain.”“Paling sebentar lagi juga bakal diceraiin.”Tami tutup telinga dari segala macam cibiran negatif yang datang. Tak juga menanggapi ucapan positif yang mendukungnya. Dia hanya diam, tersenyum tipis dan berlalu begitu saja.Begitu memasuki ruangannya, dia langsung menghempaskan punggungnya ke sofa. Memijit pelan pelipisnya, sembari menghela napas lelah. Rasanya begitu kesal, bagaimana pria yang mengaku ayah kandungnya tega melakukan ini hanya untuk sebuah perhatian. “Aku harus bicara sama mama,” gumamnya. Tami beranjak menuju meja ke