Obrolan sore tadi rasanya membuat energi Tami terkuras habis. Begitu matahari tak lagi terlihat dan langit mulai menghitam, Tami berusaha menggerakkan roda di kursi rodanya.Melihat itu, gegas Satria bangun dan mengambil alih kursi roda Tami. Dia perlahan bertanya, “Kenapa enggak bilang dan minta bantuan aku?”“Aku takut ketergantungan sama kamu, Mas,” cicit Tami. Setelah itu tak ada yang bersuara, hingga kini mereka sudah di kasur. Sama-sama merebahkan diri. Tami telentang dan memandangi langit-langit kamar yang polos, sedangkan Satria berbaring miring memperhatikan wajah istrinya yang sejak tadi mengunci rapat bibirnya.“Sayang ... aku benar-benar mencintaimu.”Mendengar itu, Tami tersenyum. Tapi tetap tak memberikan respons apa pun.“Maafin aku,” Satria kembali mencoba membuka percakapan.Kembali Tami menjawab hanya dengan anggukan. Sepertinya pikirannya masih berkecamuk liar, hingga dia tak ingin memberikan respons apa pun karena takut terpecut emosi.Satria akhirnya bungkam.Mal
“Sial, semua laporannya bersih dan tak ada cela,” gerutu Irwan. “Tak mungkin dia tak punya kelemahan, pasti ada sesuatu yang bisa menjatuhkan kepemimpinannya.”Irwan berulang kali mengecek semua laporan dengan perlahan dan teliti, tapi hasilnya tetap saja nihil. Semua dalam kondisi yang baik.“Kalau semua memang tidak ada cela, maka aku yang akan membuat noda itu di dalam perusahaan.” Irwan menyeringai membayangkan keributan yang akan terjadi di beberapa hari ke depan.Tak bisa dipungkiri, kinerja Satria dalam mengurus perusahaan memang sangat hebat. Dia mampu memprediksi risiko dan tepat dalam mengambil keputusan.Hal itulah yang membuat Irwan begitu kesal, karena dirinya selalu dianggap tidak mampu oleh kedua orang tuanya hingga hanya diberikan jabatan manajer, itu pun lebih banyak berhubungan dengan lapangan.Sejak kecil mereka selalu dibandingkan satu sama lain. Irwan yang memang tak terlalu pintar di bidang pelajaran formal, sering kali tersisih dan kehilangan perhatian kedua ora
Suara dering telepon terus bergema membuat tidur pasangan suami istri itu sedikit terganggu. Tami yang menggeliat lebih dulu, tapi dirinya tak bisa bergerak karena dekapan Satria terlalu erat. Tepukan pelan di sertai elusan pelan dilabuhkan pada pipi Satria. Namun setelah beberapa kali panggilan dan tepukan, pria itu masih lelap dalam tidurnya.Mendengar dering ponsel yang tak kunjung berhenti, Tami mendekatkan wajah mereka dan melakukan usaha terakhir untuk membangunkan suaminya.“Aarrgghh ... astaga, Yang. Sakit banget ini, bukannya di cium malah digigit.” Protes Satria sambil memegang bibirnya.Tami terkekeh geli dan menyerahkan ponsel Satria yang masih saja berdering. Dahi Satria berkerut dan mengendikan dagu, bertanya siapa. Tami mengintip sedikit dan berbisik pelan.Satria buru-buru menegakkan tubuhnya, berdeham sejenak, lalu mengangkat teleponnya. “Halo?”“Kamu ke mana aja? Dari tadi Papa telepon enggak di angkat.”“Maaf, Pah. Ada apa?” “Ada kehebohan di hotel, video skandal
“Para pemegang saham semakin marah dan kecewa. Mereka merasa dibohongi,” ujar Papa yang sejak pagi sudah menyambangi ruang kerja Satria.“Aku paham, Pah. Tolong beri aku waktu sedikit dan aku akan membuktikan segalanya,” jawab Satria dengan tenang.“Tami bagaimana? Apa dia baik-baik saja?” tanya Papa kuatir.“Tentu dia baik-baik saja. Saat video itu terjadi, aku sedang bersama dengannya,” ujar Satria santai.“APA?!” “Iya, Pah. Pria di video hotel itu, bukan aku! Tapi video di ruangan ini, masih aku selidiki karena aku tak pernah merasa melakukan itu semua.” Tegasnya.“Baiklah. Papa percaya sama kamu. Selesaikan dengan baik. Karena sekarang ... Papa rasa kita tertuju pada orang yang sama.” Tepukan pelan di pundak Satria mengakhiri perbincangan tersebut dan Felix keluar dari sana.Satria menyandarkan punggungnya lelah, dia memijit pangkal hidungnya dan memejamkan mata. Kepalanya sakit sekali dan semalam dia tidur larut. Sedangkan tadi pagi dia pergi menuju hotel dan melihat CCTV, tapi
Satria tak berhenti mengetukkan jari di meja kerjanya, otaknya sedang berpikir memikirkan cara tercepat untuk mendapatkan bukti. Beberapa rekaman CCTV yang tadinya dirusak, sudah dia dapatkan setelah orang kepercayaannya berhasil meretas kembali hasil rekaman terakhir sebelum dirusak oleh komplotan Irwan.Beruntungnya, kamera pengawas itu di rusak setelah kejadian bukan sebelum. Hingga kejadian sebenarnya terlihat jelas di sana. Namun, Satria merasa hal itu belum cukup kuat. Irwan pasti bisa menyangkal karena bukan dirinya yang tertangkap basah di sana, meski ada dirinya juga dalam rekaman tersebut.“Siang, Pak,” sapa Aryo yang berjalan mendekat.Dengan malas Satria menjawab, “Ada apa?”“Ini sudah jam makan siang dan baru saja sopir Bu Tami datang untuk mengantar titipan makan siang dari istri Bapak,” ucap Aryo sembari menyodorkan satu paper bag berisi beberapa macam makanan dan buah potong.Satria tersenyum kecil ketika bayangan wajah Tami tiba-tiba tersirat dan tangannya gegas menar
“Sayang ... cantik banget, sih.” Tangan Satria melingkar sempurna di pinggang Tami. Hidungnya kini mengendus pada leher istrinya itu dengan senyum yang lebar. “Wangi juga.”“Geser dulu, Mas. Aku jadi susah masaknya,” tegur Tami, pundaknya beberapa kali terangkat berusaha menghindari godaan suaminya.Satria menggeleng dan semakin menenggelamkan kepalanya ke dalam ceruk leher kesukaannya. Memberikan kecupan-kecupan kecil, sesekali menggigit dan lidahnya turut berpartisipasi di sana. “Geli, Mas,” keluh Tami sambil terkikik.Tapi Satria tak mendengarkan dan tetap melakukan apa yang ingin dia lakukan. Bibirnya tersenyum puas, saat mengintip dan wajah memerah Tami yang terlihat. Tangannya terlepas sejenak dari tubuh Tami. Hanya untuk mematikan kompor dan kembali menempel sempurna ke tubuh istrinya.“Eh .. eh ... Mas, mas aku masih masak,” pekik Tami karena tubuhnya tiba-tiba sudah berada dalam gendongan pria yang sejak tadi menggodanya.“Sebentar aja,” ucap enteng Satria saat sudah duduk
Akhir pekan ini Tami sengaja mengajak Satria pergi keluar, menikmati udara segar di kota hujan. Kakinya sudah sembuh dan kini dia ingin menghibur dirinya sendiri karena sudah lama tak keluar rumah. Sekaligus menenangkan pikiran Satria yang belakangan berpikir terlalu keras.Mereka berdua berpakaian santai dan tak memilih ke tempat khusus, hanya pergi makan dan menyusuri taman lalu bercengkerama di salah satu kursi di sana dengan obrolan acak yang sesekali membuat tawa mereka pecah. Kalau orang lain melihat, mungkin tak akan ada yang mengira kalau Satria adalah seorang pemimpin perusahaan. Mereka berdua seperti sepasang anak muda yang memadu kasih, ketimbang sepasang suami istri.“Sayang, kalau cape bilang ya.”“Iya, Mas,” jawab Tami sembari menghirup udara sejuk sembari memejamkan mata. “Enak kali ya mas kalau tinggal di pinggiran kota begini, udaranya segar enggak sesak dengan polusi.”Cup “Eh ... ngaco kamu, Mas.” Kepala Tami sibuk menengok ke kanan dan kiri. Dia lalu memukul pelan
“Sesuai dengan janji kalian, maka perombakan besar akan dilakukan besar-besaran. Saya tidak mau mendengar apa pun lagi. “ Tegas Satria pagi ini saat memimpin rapat, setelah menyeret Irwan dan Sissy masuk ke dalam penjara.Semua pemberitaan miring sudah di klarifikasi, kini berganti Irwan dan Sissy yang menerima semua hinaan. Terutama pertanyaan bagaimana seorang adik tega melakukan itu semua pada orang yang menyokong hidupnya dan berbagai kalimat menyakitkan lainnya.Satria menutup kuping atas semua rayuan dan permohonan yang dilakukan kedua orang tuanya. Untungnya Tami tidak ikut campur dan hanya diam mendukung semua yang dilakukannya. Dirinya merasakan kekecewaan hebat karena hal ini tak main-main dan dia tak mau lagi berdiam ini. Sudah saatnya menunjukkan taring.Seperti saat ini. Langkah awal yang dilakukan, membuat semua orang di ruang rapat menutup mulutnya rapat. Suasana berubah menegangkan, beberapa orang sudah mulai gelisah dan dalam hati tak henti merapal doa semoga namanya
Suara debur ombak yang memecah karang terdengar begitu menghanyutkan. Penuh ketenangan dan mematikan dalam satu saat. Sudah beberapa bulan Widya hidup tenang di pesisir pantai sana walaupun harus menekan diri dari hidup mewah, tapi tak apa. ‘Hanya beberapa tahun dan setelahnya kemewahan akan kembali padanya.’ Pikirnya.Sedari jauh hari, Widya sudah berjaga-jaga dalam menjaga hartanya. Dia sengaja menguras tenaga dan pendapatan Tami agar uangnya sendiri tak tersentuh. Meskipun suaminya tak sekaya Christian, tapi dia mendapatkan harta warisan yang tak sedikit ditambah beberapa aset yang diam-diam dia rebut dari Tami. Belum lagi hasil klaim dari asuransi, sebenarnya dia dan kedua putrinya bisa hidup dengan nyaman tanpa kekurangan.Nyatanya, dia berpura-pura mendadak miskin dan memaksa Tami untuk bekerja keras untuk menghidupi mereka tak peduli apa yang dikerjakan oleh putri sulungnya itu.Lalu kini, meski dia harus bertahan jauh dari semua orang yang terpenting adalah seluruh kekayaannya
Keadaan Tami perlahan mulai membaik dan hari ini sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah dengan beberapa catatan dari dokter.“Ada yang mau dibeli sebelum sampe rumah, Sayang?” tanya Satria.Setelah perdebatan yang memakan waktu, Satria akhirnya berhasil membawa Tami dalam mobilnya. Dia melirik ke belakang lewat spion tengah dan terkikik saat mobil mewah warna hitam itu mengiringi. Wajah mertuanya saat ini pasti sedang cemberut dan itu membuatnya geli sekaligus puas. “Enak saja mau memonopoli istri cantikku,” batinnya.“Enggak usah deh, Mas. Aku hanya mau istirahat,” jawab Tami.Anggukan kepala diberikan Satria sebagai jawaban dan perlahan memelankan laju kendaraan karena jarak rumah mereka yang sudah tak terlalu jauh lagi.“Mau aku gendong?”Mobil mereka sudah parkir dengan sempurna di halaman rumah. Begitu juga mobil Christian, pria itu bahkan sudah turun dan menunggu di dekat pintu masuk.“Enggak usah, Mas. Aku udah sehat,” jawab Tami sambil cemberut.Satria terkekeh dan mencubit
Aryo sedang menunggu perintah selanjutnya. Dia tak berani untuk melangkah lebih dulu meski sudah bisa menebak tindakan apa yang akan diambil oleh atasannya. Kembali lagi, dia bukan pria gegabah dan selalu tenang dalam kondisi apa pun.Satria ingin sekali melakukan panggilan telepon kepada Aryo. Akan tetapi, pandangan tajam yang menghunus dirinya membuat dirinya membeku. Seolah sedang terikat kencang, tubuhnya sulit digerakkan saking terpaku pada mata mertuanya.Dia berdeham.Tami meringis melihat itu. Namun tak sedikit pun keinginan untuk membantu suaminya. Mendengar Vania di kasus itu bukan sepenuhnya korban, membuat hatinya kembali perih. Pertanyaan kenapa dan kenapa terus berputar di kepalanya. Mereka bahkan tidak saling kenal. “Saya tidak akan tinggal diam jika Vania benar-benar terlibat. Mantan tunangan kamu telah merampas kebahagiaan putri saya.” Ancaman Christian memecahkan kesunyian yang tercipta.“Papi,” panggil Satria pelan. Dia menyadari kalau saat ini mertuanya itu sedang
“Kalau memang sudah tidak ada yang mau dibahas lagi, saya tunggu laporannya segera dari masing-masing divisi.”Satria mengakhiri rapat mingguannya dengan cepat. Pikirannya sedang tidak fokus, alih-alih mengalihkan pada pekerjaan dia lebih memilih untuk menyelesaikan yang membuat kepalanya riuh belakangan ini.Langkahnya semakin cepat begitu dia keluar dari ruang rapat. Sejak pagi rencananya sudah matang dan itu hanya bisa dilakukan bila tumpukan dokumen di mejanya menghilang. Dan saat ini hal itu yang akan dilakukannya, dengan cepat.“Pak.”Satria gegas berbalik badan dengan wajah kesal. Dia bahkan belum sampai ke mejanya, pintu ruangannya baru tertutup tapi Aryo sudah berani menginterupsinya. Baru saja kemarahan hendak terlontar, tapi bibirnya langsung mengatup lagi begitu Aryo menyampaikan laporannya.“Saya menemukan alamat bengkel yang ada di video Bu Widya. Juga pria yang berbicara dengan Bu Widya kala itu.”Satria mengangkat ujung bibirnya dan mengangguk pelan. Wajah kesalnya aib
“Apa katamu?” tanya Widya dengan suara tercekat.Tami mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa reaksi wanita itu menjadi sedikit berbeda, seperti sedang menahan sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu.Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Widya sedikit mendesak, “Aku tanya, tadi kamu bilang apa? Christian mencari tahu soal kecelakaan ayahmu? Buat apa?” Sebisa mungkin dirinya bersikap tenang di depan Tami, meski menahan emosi yang siap meledak.Tami yang masih bingung mengangguk pelan, kemudian dia menjawab, “Iya, Ma. Memangnya kenapa? Bukannya itu bagus?”“Buat apa mencari tahu tentang informasi orang yang sudah mati?!”Tami mengerjap kaget. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Widya akan berteriak bahkan untuk masalah seperti ini. Jika dilihat-lihat, memang ada yang aneh dari sikap wanita itu semenjak dirinya menyebutkan tentang kasus kecelakaan ayahnya, padahal sebelumnya masih meributkan soal uang. Tami bertanya, “Mama kenapa, sih? Kenapa malah berteriak begitu?”Widya mengg
“Itu yang kamu mau, Nak?” tanya Christian pada putrinya.“Iya, Pi.” Tami membulatkan tekadnya untuk mengungkapkan kematian sang ayah. Dia ingin mengetahui fakta di balik tragedi naas itu.Christian terdiam sesaat, kemudian dia akhirnya memutuskan, “Iya, baiklah. Kalau memang itu yang kamu mau, Nak.”Christian merealisasikan niatnya untuk mencari tahu kebenaran di balik kecelakaan ayah Tami. Kejadian itu sudah berlalu sejak enam tahun dan tentunya itu bukan hal yang mudah untuk bisa mengungkap kasus dalam waktu singkat.Namun, bukan Christian kalau tidak bisa mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang putri tercinta. Lelaki itu memanggil orang suruhannya untuk mengulik kasus itu, tidak peduli dengan cara dan bagaimana semuanya terungkap.“Papi akan kasih kamu kabar secepat yang Papi bisa,” kata Christian pada Tami.“Aku enggak mau bikin Papi merasa terburu-buru, jadi gunakan waktu yang Papi punya dengan perlahan.” Tami hanya tidak mau terlalu membebani lelaki itu. Dia sudah cukup membuat
Tami sudah berulang kali memijit pelipisnya. Meski bibirnya terkatup rapat, tapi dalam hati dia menggerutu sepuasnya. Bagaimana tidak kesal, kalau sejak matanya terbuka kedua pria gagah di depannya ini berebut untuk memberikan perhatian padanya.Sekali lagi dia menghela napas. Dia sungguh lapar tapi lihatlah suami dan ayah kandungnya malah rebutan piring untuk bisa menyuapi Tami. Dengan wajah malas, akhirnya dia tak tahan mengeluarkan keluhan. “Kalian enggak cape? Aku lihatnya aja cape.”Kedua pria itu menoleh, hening sesaat sebelum akhirnya piring itu berhasil direbut oleh Christian yang memanfaatkan situasi dan Satria mendengkus kesal.“Makan sama Papi ya, Nak. Biar Papi suapi.” Lagi-lagi Satria kalah cepat untuk duduk di samping Tami. Dengan langkah gontai dan sesekali melirik kepada Tami, Satria beranjak menuju sofa di sudut ruang dan memasang wajah cemberut. Melihat itu Tami hanya menggelengkan kepala karena geli melihat suaminya tantrum.“Makan yang banyak biar cepat sembuh. K
Belakangan ini Tami sering merasakan tubuhnya mudah lelah. Hari-hari bahkan terasa berat dan lama untuk dijalani, padahal tumpukan pekerjaan tidak pernah usai. Biasanya saat dia tenggelam dalam pekerjaan, waktu akan cepat berakhir bahkan terkadang dia lupa mengisi perutnya dan di penghujung hari masih akan ada banyak senyuman yang tersisa di wajah cantiknya.Namun, kini sebaliknya. Dia kehilangan semangat dan isi kepalanya begitu riuh seolah ada angin topan berkepanjangan di dalam sana. Konsentrasinya menurun, bahkan belum jam makan siang tapi tenaganya sudah habis-habisan.Tami menunduk, menopang kepalanya dengan tangan yang menumpu di meja sambil sesekali memijat pelipis juga pangkal hidungnya. Mata berair. Kepalanya sakit sekali, perutnya terasa berputar dan rasa mual itu kini seolah menambah panjang daftar rasa tak nyaman dan disempurnakan dengan desakan isi perutnya yang tiba-tiba saja memaksa untuk keluar.Dengan sisa tenaga, dia berlari memasuki kamar mandi. Mengeluarkan semua
Pagi ini kantor dihebohkan dengan sebuah bingkisan bunga besar yang diletakkan di lobi. Dengan sebuah kartu ucapan teruntuk kepada Tami, tapi bukan nama suaminya sebagai pengirim di sana.Suara penuh cibiran kembali terdengar, bisik-bisik di beberapa titik terlihat begitu seru.“Bener ‘kan, sekarang kelihatan deh belangnya.”“Kok enggak malu ya terang-terangan begitu.”“Gimana perasaan Pak Satria ya pas lihat istrinya dikirimin bunga dari laki-laki lain.”“Paling sebentar lagi juga bakal diceraiin.”Tami tutup telinga dari segala macam cibiran negatif yang datang. Tak juga menanggapi ucapan positif yang mendukungnya. Dia hanya diam, tersenyum tipis dan berlalu begitu saja.Begitu memasuki ruangannya, dia langsung menghempaskan punggungnya ke sofa. Memijit pelan pelipisnya, sembari menghela napas lelah. Rasanya begitu kesal, bagaimana pria yang mengaku ayah kandungnya tega melakukan ini hanya untuk sebuah perhatian. “Aku harus bicara sama mama,” gumamnya. Tami beranjak menuju meja ke