***"Tapi aku sudah berdosa, Bun. Aku buat mereka bertengkar."Sesaat Bunda Alia mengerjapkan. "Maksud kamu?""Tadi sore aku bertemu Rara. Aku hanya ingin minta maaf karena menyukai Bang Gilang. Niatku ke sana itu hanya untuk minta maaf dan minta dia perlakukan Bang Gilang dengan baik. Aku tidak menyangka dia malah marah-marah dan ... dan aku terpancing. Aku bilang akan rebut Bang Gilang kalau dia masih seperti itu.""Nayla ...." Bunda Alia menyayangkan tindakan Nayla, tapi juga tidak bisa apa-apa. Semua telah terjadi."Bunda pasti marah kan sama aku? Bang Gilang juga sepertinya marah. Aku diusir dari rumahnya."Bunda Alia menarik napas panjang, lalu mengusap kepala Nayla. "Jangan menarik kesimpulan. Kita tahu Gilang, dia tidak akan marah. Mungkin dia hanya ingin kamu pergi dan memberi dia ruang untuk berbicara dengan istrinya."Nayla tak menyahut. Yang dilakukannya hanya diam menunduk makin dalam."Gi
[Bukan. Bukan seperti itu.] Gegas Gilang kirim. Saat ini ia dan Rara sedang berada di SPBU mengisi bensin. Makanya baru bisa membalas pesan Nayla. Selang beberapa detik kemudian masuk lagi pesan dari Nayla.[Terus kenapa pergi? Apa kalian bertengkar hebat? Terus kenapa teleponku tadi di reject? Aku sungguh minta maaf, niatnya mau jelaskan ke Rara tapi dia malah salah mengira. Aku minta maaf karena telah memperkeruh situasi kalian, sumpah aku tidak berniat menghancurkan rumah tangga kalian. Kemarin aku cuma terpancing emosi makanya ngawur. Tolong jangan benci aku. Kita saudara, iya kan?]Gilang mendesah panjang, lalu melirik Rara yang ada di sebelahnya. Istrinya itu sejak naik mobil sampai sekarang terus saja memalingkan muka.[Aku sama Rara memang sudah merencanakan perjalanan ini. Ini murni silaturrahmi jadi tidak ada sangkut-pautnya dengan pertengkaran kami. Kamu jangan khawatir, aku sama Rara baik-baik saja. Oh iya, maaf tadi tidak maksud reject, salah pencet. Dan soal kami, kamu ja
[***Kedatangan Rara serta bingkisan yang dibawa ternyata disambut baik tetangga. Termasuk tetangga duo julid yang dulu buat moodnya berantakan. Mereka bahkan mendoakan agar Rara tabah dan kuat dalam menjalani hidup. Kaki boleh tak berfungsi lagi, tapi hidup tetap harus berjalan. Tak jarang ada yang memberi Rara pelukan hangat. Mereka memaafkan sikap Rara dulu. Sikap yang angkuh dan semena-mena saat di jalan, sering merendahkan orang yang tak sederajat. Mereka memaafkan Rara dan itu dibalas Rara dengan isak tangis. Ia menyesal, sungguh menyesal."Masih berapa rumah lagi, Ma ?" tanya Rara pada Ibu Mira. Saat ini ibunyalah yang menemani, sedangkan Gilang dan Pak Herlambang berada di belakang membagikan bingkisan. "Tinggal dua lagi," balas Ibu Mira. Raut lelah tak bisa ia sembunyikan, kendati pun demikian wanita berusia hampir setengah abad itu tampak menikmati. Anaknya makin memperlihatkan progres yang lebih baik dan ia tak punya alasan untuk mengeluh. Apalagi ini untuk membangun kede
"Kenapa menatap seperti itu?" tanya Rara tanpa menoleh. Mereka hanya saling tatap lewat pantulan. Meski begitu Rara bisa melihat kegusaran di wajah Gilang."Mau izin poligami? Tidak perlu izin. Aku ikhlaskan kamu menikah lagi dengan catatan ceraikan aku." Tanpa diduga kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Rara. Tak tahu kenapa bisa sejahat itu lisannya. Tidak berniat begitu. Cuma, saat mengingat betapa sukanya Nayla pada Gilang dan betapa sempurnanya gadis itu ketimbang dia, Rara mulai resah hingga yang ada di kepala hanyalah kata pisah. Berpikir Gilang akan bahagia dan lepas dari penderitaan saat mereka bercerai.Gilang tentulah membulat matanya, tak percaya akan mendengar langsung perkataan itu dari mulut wanita yang dicainta sepenuh hati. Benar-benar tak menyangka sehingga buatnya sulit bernapas. Rasanya begitu sesak. Dalam kepalanya pun bermunculan beragam asumsi miring, apa Rara tidak menyukainya? Apa istrinya benar-benar tidak ada rasa? Apa sama sekali tidak ada kesempa
Ra ...." Gilang melepas perlahan pelukan, lantas melihat Rara yang menunduk. Gamis berwarna cokelat bahkan telah berubah agak gelap karena ditetesi air mata."Aku hanya tidak ingin kamu menderita karena terperangkap pernikahan denganku di saat wanita lain banyak yang menunggumu, Lang. Aku juga takut saat sudah membuka hati malah kamu tinggal pergi karena terpesona wanita lain. Aku tidak rela, Lang. Hatiku tidak sekuat wanita lain," lanjut Rara. Makin terdengar pilu saja. Pundaknya bahkan terguncang hebat."Ra, aku tidak begitu. Aku telah memilihmu. Aku tidak akan lepas tanggung jawab begitu saja apalagi tergoda wanita lain seperti apa yang kamu bilang tadi. Meski tidak bisa memastikan takdir, Aku pasti akan berusaha keras untuk setia. Aku memilihmu karena Allah, tidak mungkin aku menyia-nyiakan kamu. Kamu harus tau itu."Penjelasan Gilang ini membuat Rara mengangkat kepala dan sungguh bahagia saat melihat senyum Gilang. Senyum yang paling manis diantara ribuan kelopak bunga yang sedan
"Subhanallah, kamu tidak sedang meledekku, kan, Ra?" Tangan Gilang gemetaran hebat mendengar jawaban Rara. Rasanya benar-benar seperti mimpi. Tidak. Ini bukan mimpi. Gilang yakin kata itu keluar dari bibi Rara asli.Dan, anggukkan kepala Rara membuat mata pria itu berbinar senang. "Tapi ajarin ya, soalnya aku belum tahu caranya begituan!" Dia menyembunyikan wajah malunya di dada Gilang."Untuk hal itu aku juga belum pengalaman, Ra. Tapi aku usahakan tidak akan mengecewakan!" ucap Gilang penuh keyakinan sebelum gadis itu berubah pikiran. Ia membuat Rara mendongak dan menatapnya, lalu mengecup kedua mata almond gadis itu."Belum pengalaman, tapi aku tahu kok, tangan kamu suka aktif kalau malam."Sontak Gilang terperangah. Kali ini Rara berani menggoda setelah mereka saling cerita dengan terbuka.Gilang menggigit bibir bawahnya. Malu karena ketangkap basah."Maaf ya, jadi tidak enak kalau sudah tertangkap basah seperti ini! Tapi aku kan hanya pegang tangan, belum sampai melakukan hal yan
***“Bismillahi wassalamu’ ala rasulillah. Assalamu’ alaikum.”Dia mengucapkan salam dan dijawab pelan oleh sang istri. Setelah memastikan pintu terkunci rapat-rapat Gilang bergerak naik ke atas ranjang, duduk dan kemudian meraih kedua bahu Rara yang sejak tadi duduk mepet di bibir tempat tidur."Jangan takut, Ra! Dibawa santai saja," goda Gilang. Dia merasakan tubuh Rara mulai gemetar seperti orang ingin kabur.Maklumlah, ini adalah pengalaman pertamanya. Gilang paham dengan apa yang dirasakan gadis itu.Belum ada sepuluh detik tangannya menyentuh bahu Rara, gadis itu sudah menangkis tangan Gilang karena risi."Kenapa?" tanya Gilang hati-hati sekali."Ump, aku malu, Lang. Dandananku jelek banget tahu! Aku tidak terbiasa dandan. Jangan terus-terusan dilihat begitu!" Rara itu menutup mata Gilang dengan kedua tangannya, lalu tertunduk malu, dan segera menaruh wajahnya dalam-dalam di dada bidang Gilang."Masya Allah. Siapa yang bilang jelek? Kamu cantik banget kok, Ra." Gilang menarik du
Gilang mengelus puncak kepala Rara selembut mungkin. Membawa tubuh mungilnya perlahan ke dalam pelukan hangatnya yang sangat kuat.Ia terus menenangkan Rara dengan cara membelai tubuhnya penuh kasih sayang.Bibirnya masih setia menempel apik di telinga Rara. Lalu Gilang pun berbisik lembut,"Bismillahil 'aliyyil 'azhim. Allahummaj'alhu dzurriyyatan thayyibah in qaddarta an takhruja min shulbi. Allahumma jannibnis syaithana wa jannibis syaithana ma razaqtani."(Dengan nama Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Tuhanku, jadikanlah ia keturunan yang baik bila Kau takdirkan ia keluar dari tulang punggungku. Tuhanku, jauhkan aku dari setan, dan jauhkan setan dari benih janin yang Kau anugerahkan padaku.)Rara perlahan mulai memejamkan mata, mengikuti nalurinya tubuhnya, dan mulai mengikuti doa yang Gilang sempat ajarkan sebelum masuk ke dalam kamar tadi.Perlahan, tangan Gilang merambat ke segala penjuru hingga Rara memekik ketakutan. Tubuhnya bergetar-getar, merasakan setiap sentuhan le