Gilang mengelus puncak kepala Rara selembut mungkin. Membawa tubuh mungilnya perlahan ke dalam pelukan hangatnya yang sangat kuat.Ia terus menenangkan Rara dengan cara membelai tubuhnya penuh kasih sayang.Bibirnya masih setia menempel apik di telinga Rara. Lalu Gilang pun berbisik lembut,"Bismillahil 'aliyyil 'azhim. Allahummaj'alhu dzurriyyatan thayyibah in qaddarta an takhruja min shulbi. Allahumma jannibnis syaithana wa jannibis syaithana ma razaqtani."(Dengan nama Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Tuhanku, jadikanlah ia keturunan yang baik bila Kau takdirkan ia keluar dari tulang punggungku. Tuhanku, jauhkan aku dari setan, dan jauhkan setan dari benih janin yang Kau anugerahkan padaku.)Rara perlahan mulai memejamkan mata, mengikuti nalurinya tubuhnya, dan mulai mengikuti doa yang Gilang sempat ajarkan sebelum masuk ke dalam kamar tadi.Perlahan, tangan Gilang merambat ke segala penjuru hingga Rara memekik ketakutan. Tubuhnya bergetar-getar, merasakan setiap sentuhan le
***Seperti ada yang meledak-ledak dalam diri dan minta segera dituntaskan saat ini juga.Setelah adegan senda gurau dan pembukaan dirasa cukup, Gilang mulai memposisikan diri.Ia membuat Rara tidur berbaring di bawahnya, kemudian menelungkupkan badannya di atas tubuh Rara dalam keadaan kepala lebih rendah dari bagian bawah pinggang. Tak lupa, Gilang juga menaruh bantal kecil di bawah sana agar Rara lebih nyaman menghadapi perkara ranjang untuk pertama kalinya.Tidak ada gaya-gaya aneh yang Gilang terapkan. Posisi terbaik ketika suami istri berjimak adalah tubuh suami berada tepat di atas istrinya. Posisi seperti ini menurut Ibnul Qayyim menunjukkan kepemimpinan suami atas istrinya, sebagaimana firman Allah:'Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.' (QS. An Nisa’ : 34)Juga berdasarkan firman Allah:'Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka' (QS. Al Baqarah : 187)‘Pakaian’ yang paling sempurna, menurut Ibnul Qayyim, adalah ketika posisi suami di
Beberapa menit kemudian.Kesadaran mulai pulih, Rara memilih bergulung menghadap tembok setelah babak pertama usai. Ia menarik selimut untuk menutupi wajahnya.Sementara Gilang, lelaki itu masih terus memeluk sang istri dari belakang dengan manja. Tampak gemas seolah Rara adalah boneka kesayangannya."I Love you Rara, istriku, Sayang." Gilang membisikan kalimat paten legendaris tepat di telinga Rara sampai kepala anak itu menggeliat geli."Eum. Love you more!" Wajah gadis yang baru saja diambil malam pertamanya itu merona seketika. Sangat merah saat kesadarannya baru dijatuhkan kembali dari awang-awang.Apa yang aku lakukan tadi? Kenapa aku bisa mendadak tidak tahu malu begitu? Bagaimana kalau Gilang jadi ilfeel karena sikap menjijikkan ku barusan? Rara bermonolog dalam hati.Adegan selanjutnya adalah hening.Cukup lama, sekitar sepuluh menit mereka tak melakukan apa-apa selain larut dalam pikirannya masing-masing."Ra!" Gilang memanggil karena sudah merasa jenuh sekali. Nahas tak ada
***"Suka nggak?" Bertanya yang kedua kalinya dengan alis naik turun menunggu jawaban.Rara terpaksa mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai jawaban iya."Alhamdulillah kalau suka!" Kini ciuman sayang Gilang jatuh dan mendarat di bibir. "Makasih sekali lagi ya.""Tapi beneran kamu engga ilfeel sama aku, Lang?" telisik Rara penuh penekanan. Memastikan sekali lagi karena takut Gilang berpikir macam-macam tentang dirinya."Beneran sayang.""Makasih ya, Lang." Rara mulai berani membalas tatapan Gilang walau masih agak malu-malu. "Kalau nanti aku minta lagi boleh, kan?"Eh, ngomong apa tadi? Gilang tidak salah dengar kan? Minta lagi? Hahaha. Otak usil Gilang jadi berkelana lagi, 'kan!"Masya Allah, ini serius kamu nanya kaya begini?" Pria itu mendadak heboh sendiri seperti orang gila."Salah ya, Lang? Emangnya engga boleh kalau aku minta lagi?" tanya gadis itu. Matanya berkerling-keling merasa bingu
Setelah sekian lama menunggu dengan penuh kesabaran, akhirnya Gilang berhasil melepas keperjakaannya. Tanpa kendala sedikitpun ia sukses menjebol pertahanan Rara. Walau baru pertama kali tetap saja Gilang sukses mendapatkan itu tanpa kesulitan yang berarti.Keduanya banjir keringat di malam syahdu itu. Dengan nama Allah dan dengan keikhlasan, keduanya mereguk surga dunia untuk pertama kali. Ya walaupun Gilang agak tidak menyangka akhirnya bisa melakukan itu di rumah mertuanya.Tanpa siapa pun tahu Gilang tahu banyak tentang ini. Ia telah paham tentang adab, doa sampai apa saja yang harus dilakukan. Ia juga bisa menenangkan saat istrinya itu diselimuti kegugupan.Rasa bahagia itu tidak bisa Gilang lukiskan dengan kata-kata. Terlalu indah, terlalu bahagia membuat lelaki itu terus saja tersenyum, mengucap syukur dalam hati karena bisa mendapatkan Rara secara utuh. Karena menikah sejatinya tidak sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, naluri, dan fitrah. Menikah adalah ibadah yang dapat men
****"Jangan lakukan, jijik. Buang saja."Seulas senyum pun Gilang ukir untuk istri tercinta."Ini bisa dibersihkan.""Tapi kotor. Itu ada darahnya.""Ya tidak apa-apa. Kan ini bukti kita." Gilang mengedip dan itu sukses buat Rara gondok. Ia pukul lengan Gilang."Buang. Nanti kalau ketahuan Mama sama Papa bagaimana? Bisa dioseng kering kita, Lang."Sesaat Gilang terdiam. Ia agak gemas dengan kekhawatiran Rara. Padahal itu bukanlah masalah besar. Cuma, jika memang ketahuan baru lepas perawan sekarang takutnya keluarga Rara jadi berpikir yang bukan-bukan."Aku akan membersihkannya di kamar mandi.""Terus kalau ketahuan bagaimana?""Ya tidak apa-apa. Paling mereka berpikir kita ehem ehem." Kembali Gilang mengedip dan kembali juga Rara melayangkan pukulan di pundak. Ia gemas, suaminya yang alim ternyata mesum juga."Sudah, tidak apa-apa. Membuang sesuatu yang masih bisa dipakai itu termasuk tindakan tidak baik. Aku akan mengurusnya. Kamu istirahatlah di sini. Aku ke kamar mandi."Pasrah,
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam tibalah Rara, Gilang dan kedua orang tua Rara di sebuah kediaman sederhana tapi begitu asri. Nuansa pedesaan begitu kental terasa saat menginjakkan kaki di sana. Suasananya sangat nyaman dan sejuk padahal matahari sedang tinggi-tingginya. Terasa damai dan tenang. Ada begitu banyak pohon rindang di sisi kiri dan kanan. Tak terlupa juga hamparan hijau dari daun teh yang membentang begitu panjang dan luas, menambah nilai estetis yang ada. Dari parkiran saja mereka semua bisa melihatnya karena memang rumah itu berada di perbukitan."Sudah lama ya, Pa. Masih sama. Tempat ini masih sama. Tidak berubah." Ibu Mira menatap sang suami yang tengah mengeluarkan tas. Di sebelah suaminya ada sang menantu yang juga mengeluarkan barang yang sama. Dua lelaki beda generasi itu saling bantu."Iya, Ma. Rasanya sudah sangat lama.""Pa, papa ingat pohon itu. Itu kan kita yang tanam." Ibu Mira menunjuk satu pohon mangga yang begitu besar dan tinggi. Bunga bakal ca
***"Jadi selama ini kalau lihat Bapak bawaannya panas gitu?""Eladalah, ngegas. Ya bukan begitu, Pak. Sudah tua cemburuan aja."Gilang dan yang lainnya hanya bisa tersenyum memperhatikan perdebatan pasangan berumur itu."Sudah jangan berdebat." Ibu Mira menengahi, lantas menatap Gilang yang ada di sebelah Rara. "Kalian istirahat saja di kamar."Rara mengiakan begitu juga Gilang. Kedua manusia yang sedari tadi banyak diam itu pun masuk ke kamar.Sesaat setelah pintu mengayun membuka menyeruaklah aroma yang buat Rara tersenyum lebar. Ia merasa nyaman."Bi Imah totalitas sekali. Dia bahkan menaruh aromaterapi kesukaan aku di kamar ini.""Sepertinya dia sangat dekat dengan keluargamu." Gilang mendorong kursi roda Rara setelah sebelumnya mengunci kamar terlebih dahulu, lalu menaruh dua tas yang ada di punggung ke dekat lemari dan agak terkesiap setelah melihat isi lemari. Baju-baju Rara masih ada, terawat dan rapi.Namun bukan itu yang buat lelaki itu tersenyum, melainkan baju ballet yang