Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam tibalah Rara, Gilang dan kedua orang tua Rara di sebuah kediaman sederhana tapi begitu asri. Nuansa pedesaan begitu kental terasa saat menginjakkan kaki di sana. Suasananya sangat nyaman dan sejuk padahal matahari sedang tinggi-tingginya. Terasa damai dan tenang. Ada begitu banyak pohon rindang di sisi kiri dan kanan. Tak terlupa juga hamparan hijau dari daun teh yang membentang begitu panjang dan luas, menambah nilai estetis yang ada. Dari parkiran saja mereka semua bisa melihatnya karena memang rumah itu berada di perbukitan."Sudah lama ya, Pa. Masih sama. Tempat ini masih sama. Tidak berubah." Ibu Mira menatap sang suami yang tengah mengeluarkan tas. Di sebelah suaminya ada sang menantu yang juga mengeluarkan barang yang sama. Dua lelaki beda generasi itu saling bantu."Iya, Ma. Rasanya sudah sangat lama.""Pa, papa ingat pohon itu. Itu kan kita yang tanam." Ibu Mira menunjuk satu pohon mangga yang begitu besar dan tinggi. Bunga bakal ca
***"Jadi selama ini kalau lihat Bapak bawaannya panas gitu?""Eladalah, ngegas. Ya bukan begitu, Pak. Sudah tua cemburuan aja."Gilang dan yang lainnya hanya bisa tersenyum memperhatikan perdebatan pasangan berumur itu."Sudah jangan berdebat." Ibu Mira menengahi, lantas menatap Gilang yang ada di sebelah Rara. "Kalian istirahat saja di kamar."Rara mengiakan begitu juga Gilang. Kedua manusia yang sedari tadi banyak diam itu pun masuk ke kamar.Sesaat setelah pintu mengayun membuka menyeruaklah aroma yang buat Rara tersenyum lebar. Ia merasa nyaman."Bi Imah totalitas sekali. Dia bahkan menaruh aromaterapi kesukaan aku di kamar ini.""Sepertinya dia sangat dekat dengan keluargamu." Gilang mendorong kursi roda Rara setelah sebelumnya mengunci kamar terlebih dahulu, lalu menaruh dua tas yang ada di punggung ke dekat lemari dan agak terkesiap setelah melihat isi lemari. Baju-baju Rara masih ada, terawat dan rapi.Namun bukan itu yang buat lelaki itu tersenyum, melainkan baju ballet yang
Gilang memegang ucapannya yang mengatakan akan membuat Rara mandi keramas sehari enam kali. Buktinya belum juga dua belas jam dirinya dan Rara sudah mandi berkali-kali.Kendati demikian Rara juga tidak bisa apa-apa. Gilang begitu lihai buatnya terbang, ia terbuai. Aktivitas di ranjang jadi aktivitas menyenangkan bagi dua manusia yang baru tahu nikmatnya surga dunia dalam pernikahan. Keduanya begitu terlena. Terbuai.Mereka bahkan berkali-kali melakukan ritual. Sebelum tidur, sebelum salat subuh dan setelah sarapan. Beruntung kedua orang tua Rara sedang tidak ada di vila saat itu. Jika ada, sudah pasti akan disindir terus-menerus. Pasalnya rambut Rara tidak pernah kering."Apa rencana kita hari ini?" tanya Gilang. Ia berkata sambil mengeringkan rambut Rara dengan hairdryer. Saat begini alat itu begitu membantu. Jika tidak alamat Rara akan terkena flu dan Gilang tidak ingin itu terjadi. Ya walaupun memang dia tersangka yang buat Rara mandi keramas berkali-kali."Apa ada tempat yang ingi
Ke mana?" tanya Rara. Walau belum bisa berjalan tegap tetap saja ia penasaran ke mana Gilang akan membawanya."Umroh. Insya Allah. Aku sedang mempersiapkan dananya.""Lang?" Rara tutup bibirnya yang setengah terbuka. Tak menyangka itu yang Gilang inginkan.Gegas Rara menyeka air matanya yang kembali luruh, lantas mencoba menarik Gilang, seakan mencari sesuatu di punggung suaminya ituGilang tentulah kaget, keheranan."Kamu cari apa?" tanya lelaki itu yang juga mulai meraba punggungnya."Ke mana kamu menyembunyikannya?""Menyembunyikan apa?" Gilang makin tidak paham. Ia bahkan menggaruk tengkuknya karena Rara terus saja mencari sesuatu di punggungnya."Sayapmu. Aku curiga kamu ini malaikat. Ke mana kamu sembunyikan sayap kamu, Lang?"Konten Gilang terbahak, ia juga memencet hidung Rara, gemas."Aku manusia, Ra," jelas Gilang. Senyumnya tak berhenti."Ya, siapa tahu saja kamu malaikat yang sedang menyamar jadi manusia," celetuk gadis itu dengan polosnya. "Ayo, mana sayapnya, perlihatkan
Liburan ke villa memberi kesan yang sangat berarti untuk keduanya. Baik Rara maupun Gilang memanfaatkan momen itu dengan baik. Mereka benar-benar merasakan kebahagian. Tiga hari di sana cukup membuat mereka dekat. Bahkan kedekatan itu berlanjut sampai rumah. Mereka tidak segan memperlihatkan perasaan. Rara lebih tepatnya. Ia lebih terbuka pada Gilang. Gadis itu juga jadi lebih agresif menunjukkan rasa suka dan sayangnya pada Gilang. Tidak ada gengsi apalagi malu."Aaa, Lang."Rara menyodorkan keripik singkong ke mulut Gilang. Tentu saja Gilang menyambutnya dengan mulut terbuka, setelahnya tersenyum sambil mengunyah. Lelaki itu bahkan tak segan mengusap pucuk kepala Rara yang kali ini tidak tertutup jilbab. Pasalnya hari ini Jumat, tidak ada pekerja karena memang Gilang liburkan. khusus Jumat tidak ada karyawan, tidak ada juga orang yang suplai barang. Kesempatan itu dipakai Gilang untuk bermesraan dengan Rara. Jarang-jarang bisa bermesraan dengan Rara kala siang.Sambil mengunyah Gila
***"Biar aku saja. Kamu tunggu di sini."Rara pun menggeleng. Senyum ia perlihatkan sedikit."Aku bisa ambil minum sendiri. Lebih baik kamu lihat siapa yang datang. Takutnya orang penting.""Baiklah, kalau bidadari sudah mengeluarkan titah apa yang bisa aku lakukan selain mengikuti," selorohnya dengan nada suara dibuat serendah mungkin. Tangan juga disilang ke perut, setelahnya menunduk. Bak seorang prajurit yang siap melaksanakan perintah dari sang ratu."Ish, mulai. Jangan lebai." Kembali Rara mencubit lengan Gilang. Membuat lelaki itu terkekeh geli, setelahnya melakukan apa yang diminta istrinya itu. Ia menggendong Rara seakan Rara seringan kapas, lalu meletakkan ke kursi roda."Aku keluar liat siapa yang datang.""Baiklah."Pelan tapi pasti Gilang pun keluar mencari tahu siapa yang datang. Dan keterkejutan kentara di manik matanya yang pekat."Nayla!" seru Gilang tertahan.Entah keberuntungan atau apa Rara yang masih belum sampai ke dapur bisa mendengar nama itu dengan jelas. Ia
Nayla mematung meski sudah ditawarkan masuk. Gelagat itu tentu buat Rara dan Gilang saling tatap, keheranan."Nay?" Rara menegur."Ehm, kalau bisa aku mau ajak kamu ke taman. Kita bicara di sana," balas Nayla. Agak tidak yakin sebenarnya, tapi dia juga tidak bisa bicara di rumah yang jelas ada Gilang di sana."Kenapa harus ke taman?" tanya Gilang. Agak menolak permintaan Nayla ini. Bukan tidak percaya, ia hanya takut hal tidak terduga terjadi tanpa sepenglihatannya."Aku hanya ingin bicara empat mata sama Rara. Itu saja.""Maaf, Nay. Abang tidak izinkan."Penolakan tegas ini buat mata Nayla mengembun, pandangannya terpecah, sedangkan hati, oh jangan ditanya. Sakit sampai menembus ulu hati."Kalau mau bicara di sini saja," lanjut Gilang."Hanya sebentar." Nayla bersikukuh. Ia ingin minta maaf secara pribadi agar bisa leluasa bicara."Maaf, Nay, tetap tidak bisa."Rara yang ada di tengah mereka pun menghela napas panjang. Ia memang masih dongkol pada Nayla, tapi berbicara empat mata ses
****"Aku minta maaf atas semua yang telah aku lakukan. Saat itu aku benar-benar marah. Aku terbawa emosi. Aku mencintai dia tapi sayangnya dia tidak pernah melihatku. Aku berusaha melupakan tapi tidak bisa. Rasanya sangat sakit melihat orang yang aku sayang bahagia dengan orang lain."Rara diam, lidahnya terasa diikat. Geram sebenarnya, tapi memutuskan diam."Rasa cinta ini membuatku berubah menjadi orang picik. Rasa cinta yang besar ini membuatku pernah bermimpi menjadi istri keduanya."Bergemeretak gigi Rara. Matanya membulat besar."Nayla, kau ….""Maaf. Aku salah karena memimpikan hal itu. Aku sadar itu tidak boleh, tapi rasa ini benar-benar tulus untuk dia. Aku bahkan berjanji pada diri sendiri, jika dia mau menjadikanku yang kedua aku akan mengabdi. Aku bahkan akan melayanimu dengan sebaik-baiknya.""Apa kau gila?" Rara tak bisa menetralisir kekesalan."Iya aku gila dan aku akan mengakhiri kegilaan ini. Aku tidak akan melakukan itu lagi, bahkan memimpikannya juga akan tidak aka