Ke mana?" tanya Rara. Walau belum bisa berjalan tegap tetap saja ia penasaran ke mana Gilang akan membawanya."Umroh. Insya Allah. Aku sedang mempersiapkan dananya.""Lang?" Rara tutup bibirnya yang setengah terbuka. Tak menyangka itu yang Gilang inginkan.Gegas Rara menyeka air matanya yang kembali luruh, lantas mencoba menarik Gilang, seakan mencari sesuatu di punggung suaminya ituGilang tentulah kaget, keheranan."Kamu cari apa?" tanya lelaki itu yang juga mulai meraba punggungnya."Ke mana kamu menyembunyikannya?""Menyembunyikan apa?" Gilang makin tidak paham. Ia bahkan menggaruk tengkuknya karena Rara terus saja mencari sesuatu di punggungnya."Sayapmu. Aku curiga kamu ini malaikat. Ke mana kamu sembunyikan sayap kamu, Lang?"Konten Gilang terbahak, ia juga memencet hidung Rara, gemas."Aku manusia, Ra," jelas Gilang. Senyumnya tak berhenti."Ya, siapa tahu saja kamu malaikat yang sedang menyamar jadi manusia," celetuk gadis itu dengan polosnya. "Ayo, mana sayapnya, perlihatkan
Liburan ke villa memberi kesan yang sangat berarti untuk keduanya. Baik Rara maupun Gilang memanfaatkan momen itu dengan baik. Mereka benar-benar merasakan kebahagian. Tiga hari di sana cukup membuat mereka dekat. Bahkan kedekatan itu berlanjut sampai rumah. Mereka tidak segan memperlihatkan perasaan. Rara lebih tepatnya. Ia lebih terbuka pada Gilang. Gadis itu juga jadi lebih agresif menunjukkan rasa suka dan sayangnya pada Gilang. Tidak ada gengsi apalagi malu."Aaa, Lang."Rara menyodorkan keripik singkong ke mulut Gilang. Tentu saja Gilang menyambutnya dengan mulut terbuka, setelahnya tersenyum sambil mengunyah. Lelaki itu bahkan tak segan mengusap pucuk kepala Rara yang kali ini tidak tertutup jilbab. Pasalnya hari ini Jumat, tidak ada pekerja karena memang Gilang liburkan. khusus Jumat tidak ada karyawan, tidak ada juga orang yang suplai barang. Kesempatan itu dipakai Gilang untuk bermesraan dengan Rara. Jarang-jarang bisa bermesraan dengan Rara kala siang.Sambil mengunyah Gila
***"Biar aku saja. Kamu tunggu di sini."Rara pun menggeleng. Senyum ia perlihatkan sedikit."Aku bisa ambil minum sendiri. Lebih baik kamu lihat siapa yang datang. Takutnya orang penting.""Baiklah, kalau bidadari sudah mengeluarkan titah apa yang bisa aku lakukan selain mengikuti," selorohnya dengan nada suara dibuat serendah mungkin. Tangan juga disilang ke perut, setelahnya menunduk. Bak seorang prajurit yang siap melaksanakan perintah dari sang ratu."Ish, mulai. Jangan lebai." Kembali Rara mencubit lengan Gilang. Membuat lelaki itu terkekeh geli, setelahnya melakukan apa yang diminta istrinya itu. Ia menggendong Rara seakan Rara seringan kapas, lalu meletakkan ke kursi roda."Aku keluar liat siapa yang datang.""Baiklah."Pelan tapi pasti Gilang pun keluar mencari tahu siapa yang datang. Dan keterkejutan kentara di manik matanya yang pekat."Nayla!" seru Gilang tertahan.Entah keberuntungan atau apa Rara yang masih belum sampai ke dapur bisa mendengar nama itu dengan jelas. Ia
Nayla mematung meski sudah ditawarkan masuk. Gelagat itu tentu buat Rara dan Gilang saling tatap, keheranan."Nay?" Rara menegur."Ehm, kalau bisa aku mau ajak kamu ke taman. Kita bicara di sana," balas Nayla. Agak tidak yakin sebenarnya, tapi dia juga tidak bisa bicara di rumah yang jelas ada Gilang di sana."Kenapa harus ke taman?" tanya Gilang. Agak menolak permintaan Nayla ini. Bukan tidak percaya, ia hanya takut hal tidak terduga terjadi tanpa sepenglihatannya."Aku hanya ingin bicara empat mata sama Rara. Itu saja.""Maaf, Nay. Abang tidak izinkan."Penolakan tegas ini buat mata Nayla mengembun, pandangannya terpecah, sedangkan hati, oh jangan ditanya. Sakit sampai menembus ulu hati."Kalau mau bicara di sini saja," lanjut Gilang."Hanya sebentar." Nayla bersikukuh. Ia ingin minta maaf secara pribadi agar bisa leluasa bicara."Maaf, Nay, tetap tidak bisa."Rara yang ada di tengah mereka pun menghela napas panjang. Ia memang masih dongkol pada Nayla, tapi berbicara empat mata ses
****"Aku minta maaf atas semua yang telah aku lakukan. Saat itu aku benar-benar marah. Aku terbawa emosi. Aku mencintai dia tapi sayangnya dia tidak pernah melihatku. Aku berusaha melupakan tapi tidak bisa. Rasanya sangat sakit melihat orang yang aku sayang bahagia dengan orang lain."Rara diam, lidahnya terasa diikat. Geram sebenarnya, tapi memutuskan diam."Rasa cinta ini membuatku berubah menjadi orang picik. Rasa cinta yang besar ini membuatku pernah bermimpi menjadi istri keduanya."Bergemeretak gigi Rara. Matanya membulat besar."Nayla, kau ….""Maaf. Aku salah karena memimpikan hal itu. Aku sadar itu tidak boleh, tapi rasa ini benar-benar tulus untuk dia. Aku bahkan berjanji pada diri sendiri, jika dia mau menjadikanku yang kedua aku akan mengabdi. Aku bahkan akan melayanimu dengan sebaik-baiknya.""Apa kau gila?" Rara tak bisa menetralisir kekesalan."Iya aku gila dan aku akan mengakhiri kegilaan ini. Aku tidak akan melakukan itu lagi, bahkan memimpikannya juga akan tidak aka
Tak banyak yang Nayla bicarakan dengan Gilang dan Rara pasca mendadak ia mengatakan ingin pergi ke Singapur. Selepas itu, Nayla pamit untuk pulang. Keadaan jiwanya saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan berada di sana hanya akan membuat luka di hatinya semakin menganga.Sesampainya di rumah, Nayla gagas masuk ke kamar. Ia membereskan barang-barang untuk persiapan bekerja di Singapur. Tidak langsung ke sana, nantinya Nayla akan dijemput oleh seseorang, di antar ke asrama untuk mengurus beberapa surat keberangkatan sambil belajar penyesuaian diri sebelum berangkat menjadi TKI di sana.Dulunya Nayla pernah mencoba kuliah di jurusan keperawatan. Namun terhenti di tengah jalan karena terhalang biaya. Namun tak lama kemudian, pihak kampus mendatangi Nayla, menyuruh wanita lanjut kuliah dengan full beasiswa asalkan ia mau kuliah di jurusan tata boga. Akhirnya Nayla melanjutkan kuliahnya.Dari bekal itu, sekarang Nayla memberanikan diri mendaftarkan sebagai perawat orang sakit. Mirip pemba
****Entah kenapa Bunda Alia tidak senang mendengarnya. Wanita itu terlihat menggeleng samar. "Bunda tidak mau menerima uang itu, Nay. Sebaiknya kamu pulangkan saja uang itu dan tetaplah tinggal di sini. bagaimana pun juga kamu jauh lebih berharga dari uang itu. Apalah artinya uang jika kamu tidak ada," kata Bunda Alia serius.Nada larangan itu membuat Nayla memandang Bunda Alia dengan memelas. "Tapi Nay sudah terlanjur tanda tangan kontrak, Bun. Nanti sore Nay akan dijemput untuk karantina dan belajar di asrama. Nay tidak bisa menolak karena kesepakatan ini sudah terjadi ," ujar Nayla."Kamu lancang Nay!" Bunda Alia memekik marah. "Seharusnya kamu bicarakan ini pada Bunda ataupun Abang!"Wanita itu meraup wajahnya. Terlihat frustrasi sekali. "Singapur itu jauh, Nay! Bagaimana kalau kamu tidak betah di sana? Uang seratus lima puluh juta itu banyak. Itu pasti merupakan pemberat agar kamu tetap bekerja di sana!""Tidak, Bunda. Itu hanyalah uang gaji Nay selama satu tahun!""Ngeyel kamu
"Tapi Bunda—" Nayla mendongak dengan tatapan tidak senang. Mendengar nama Gilang disebut, hatinya serasa melompat dari tempat. Inilah yang membuat Nayla terpukul karena lagi-lagi harus dibayangi nama Gilang ketika tinggal di sini.Dengan pergi ke tempat yang jauh, Nayla bisa fokus melupakan Gilang sepenuhnya."Maaf Nay, bukannya Bunda bermaksud menyeret Gilang ke dalam hidupmu lagi. Bunda tahu maksud kamu baik ingin melupakan cinta yang salah, tapi tolong tunggu sebentar, biarkan bunda berdiskusi dengan Gilang terlebih dahulu sebelum kamu berangkat," kata Bunda."Tapi sore nanti Nayla harus pergi karantina ke asrama, Bu. Sekalipun Bunda dan Abang berdiskusi, Nay tetap akan berangkat.""Tahan dulu ya, Nay!" Bunda Alia mengelus puncak kepala gadis itu. Namun, Nayla menepiskan dengan gerakan agak keras."Maaf, Bun! Untuk kali ini Nay tidak bisa menuruti permintaan Bunda.."Sambil menahan tangis yang hendak pecah lagi, Nayla gagas berlari meninggalkan ruangan Bunda. Untuk kali ini Nayla a