***"Jadi selama ini kalau lihat Bapak bawaannya panas gitu?""Eladalah, ngegas. Ya bukan begitu, Pak. Sudah tua cemburuan aja."Gilang dan yang lainnya hanya bisa tersenyum memperhatikan perdebatan pasangan berumur itu."Sudah jangan berdebat." Ibu Mira menengahi, lantas menatap Gilang yang ada di sebelah Rara. "Kalian istirahat saja di kamar."Rara mengiakan begitu juga Gilang. Kedua manusia yang sedari tadi banyak diam itu pun masuk ke kamar.Sesaat setelah pintu mengayun membuka menyeruaklah aroma yang buat Rara tersenyum lebar. Ia merasa nyaman."Bi Imah totalitas sekali. Dia bahkan menaruh aromaterapi kesukaan aku di kamar ini.""Sepertinya dia sangat dekat dengan keluargamu." Gilang mendorong kursi roda Rara setelah sebelumnya mengunci kamar terlebih dahulu, lalu menaruh dua tas yang ada di punggung ke dekat lemari dan agak terkesiap setelah melihat isi lemari. Baju-baju Rara masih ada, terawat dan rapi.Namun bukan itu yang buat lelaki itu tersenyum, melainkan baju ballet yang
Gilang memegang ucapannya yang mengatakan akan membuat Rara mandi keramas sehari enam kali. Buktinya belum juga dua belas jam dirinya dan Rara sudah mandi berkali-kali.Kendati demikian Rara juga tidak bisa apa-apa. Gilang begitu lihai buatnya terbang, ia terbuai. Aktivitas di ranjang jadi aktivitas menyenangkan bagi dua manusia yang baru tahu nikmatnya surga dunia dalam pernikahan. Keduanya begitu terlena. Terbuai.Mereka bahkan berkali-kali melakukan ritual. Sebelum tidur, sebelum salat subuh dan setelah sarapan. Beruntung kedua orang tua Rara sedang tidak ada di vila saat itu. Jika ada, sudah pasti akan disindir terus-menerus. Pasalnya rambut Rara tidak pernah kering."Apa rencana kita hari ini?" tanya Gilang. Ia berkata sambil mengeringkan rambut Rara dengan hairdryer. Saat begini alat itu begitu membantu. Jika tidak alamat Rara akan terkena flu dan Gilang tidak ingin itu terjadi. Ya walaupun memang dia tersangka yang buat Rara mandi keramas berkali-kali."Apa ada tempat yang ingi
Ke mana?" tanya Rara. Walau belum bisa berjalan tegap tetap saja ia penasaran ke mana Gilang akan membawanya."Umroh. Insya Allah. Aku sedang mempersiapkan dananya.""Lang?" Rara tutup bibirnya yang setengah terbuka. Tak menyangka itu yang Gilang inginkan.Gegas Rara menyeka air matanya yang kembali luruh, lantas mencoba menarik Gilang, seakan mencari sesuatu di punggung suaminya ituGilang tentulah kaget, keheranan."Kamu cari apa?" tanya lelaki itu yang juga mulai meraba punggungnya."Ke mana kamu menyembunyikannya?""Menyembunyikan apa?" Gilang makin tidak paham. Ia bahkan menggaruk tengkuknya karena Rara terus saja mencari sesuatu di punggungnya."Sayapmu. Aku curiga kamu ini malaikat. Ke mana kamu sembunyikan sayap kamu, Lang?"Konten Gilang terbahak, ia juga memencet hidung Rara, gemas."Aku manusia, Ra," jelas Gilang. Senyumnya tak berhenti."Ya, siapa tahu saja kamu malaikat yang sedang menyamar jadi manusia," celetuk gadis itu dengan polosnya. "Ayo, mana sayapnya, perlihatkan
Liburan ke villa memberi kesan yang sangat berarti untuk keduanya. Baik Rara maupun Gilang memanfaatkan momen itu dengan baik. Mereka benar-benar merasakan kebahagian. Tiga hari di sana cukup membuat mereka dekat. Bahkan kedekatan itu berlanjut sampai rumah. Mereka tidak segan memperlihatkan perasaan. Rara lebih tepatnya. Ia lebih terbuka pada Gilang. Gadis itu juga jadi lebih agresif menunjukkan rasa suka dan sayangnya pada Gilang. Tidak ada gengsi apalagi malu."Aaa, Lang."Rara menyodorkan keripik singkong ke mulut Gilang. Tentu saja Gilang menyambutnya dengan mulut terbuka, setelahnya tersenyum sambil mengunyah. Lelaki itu bahkan tak segan mengusap pucuk kepala Rara yang kali ini tidak tertutup jilbab. Pasalnya hari ini Jumat, tidak ada pekerja karena memang Gilang liburkan. khusus Jumat tidak ada karyawan, tidak ada juga orang yang suplai barang. Kesempatan itu dipakai Gilang untuk bermesraan dengan Rara. Jarang-jarang bisa bermesraan dengan Rara kala siang.Sambil mengunyah Gila
***"Biar aku saja. Kamu tunggu di sini."Rara pun menggeleng. Senyum ia perlihatkan sedikit."Aku bisa ambil minum sendiri. Lebih baik kamu lihat siapa yang datang. Takutnya orang penting.""Baiklah, kalau bidadari sudah mengeluarkan titah apa yang bisa aku lakukan selain mengikuti," selorohnya dengan nada suara dibuat serendah mungkin. Tangan juga disilang ke perut, setelahnya menunduk. Bak seorang prajurit yang siap melaksanakan perintah dari sang ratu."Ish, mulai. Jangan lebai." Kembali Rara mencubit lengan Gilang. Membuat lelaki itu terkekeh geli, setelahnya melakukan apa yang diminta istrinya itu. Ia menggendong Rara seakan Rara seringan kapas, lalu meletakkan ke kursi roda."Aku keluar liat siapa yang datang.""Baiklah."Pelan tapi pasti Gilang pun keluar mencari tahu siapa yang datang. Dan keterkejutan kentara di manik matanya yang pekat."Nayla!" seru Gilang tertahan.Entah keberuntungan atau apa Rara yang masih belum sampai ke dapur bisa mendengar nama itu dengan jelas. Ia
Nayla mematung meski sudah ditawarkan masuk. Gelagat itu tentu buat Rara dan Gilang saling tatap, keheranan."Nay?" Rara menegur."Ehm, kalau bisa aku mau ajak kamu ke taman. Kita bicara di sana," balas Nayla. Agak tidak yakin sebenarnya, tapi dia juga tidak bisa bicara di rumah yang jelas ada Gilang di sana."Kenapa harus ke taman?" tanya Gilang. Agak menolak permintaan Nayla ini. Bukan tidak percaya, ia hanya takut hal tidak terduga terjadi tanpa sepenglihatannya."Aku hanya ingin bicara empat mata sama Rara. Itu saja.""Maaf, Nay. Abang tidak izinkan."Penolakan tegas ini buat mata Nayla mengembun, pandangannya terpecah, sedangkan hati, oh jangan ditanya. Sakit sampai menembus ulu hati."Kalau mau bicara di sini saja," lanjut Gilang."Hanya sebentar." Nayla bersikukuh. Ia ingin minta maaf secara pribadi agar bisa leluasa bicara."Maaf, Nay, tetap tidak bisa."Rara yang ada di tengah mereka pun menghela napas panjang. Ia memang masih dongkol pada Nayla, tapi berbicara empat mata ses
****"Aku minta maaf atas semua yang telah aku lakukan. Saat itu aku benar-benar marah. Aku terbawa emosi. Aku mencintai dia tapi sayangnya dia tidak pernah melihatku. Aku berusaha melupakan tapi tidak bisa. Rasanya sangat sakit melihat orang yang aku sayang bahagia dengan orang lain."Rara diam, lidahnya terasa diikat. Geram sebenarnya, tapi memutuskan diam."Rasa cinta ini membuatku berubah menjadi orang picik. Rasa cinta yang besar ini membuatku pernah bermimpi menjadi istri keduanya."Bergemeretak gigi Rara. Matanya membulat besar."Nayla, kau ….""Maaf. Aku salah karena memimpikan hal itu. Aku sadar itu tidak boleh, tapi rasa ini benar-benar tulus untuk dia. Aku bahkan berjanji pada diri sendiri, jika dia mau menjadikanku yang kedua aku akan mengabdi. Aku bahkan akan melayanimu dengan sebaik-baiknya.""Apa kau gila?" Rara tak bisa menetralisir kekesalan."Iya aku gila dan aku akan mengakhiri kegilaan ini. Aku tidak akan melakukan itu lagi, bahkan memimpikannya juga akan tidak aka
Tak banyak yang Nayla bicarakan dengan Gilang dan Rara pasca mendadak ia mengatakan ingin pergi ke Singapur. Selepas itu, Nayla pamit untuk pulang. Keadaan jiwanya saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan berada di sana hanya akan membuat luka di hatinya semakin menganga.Sesampainya di rumah, Nayla gagas masuk ke kamar. Ia membereskan barang-barang untuk persiapan bekerja di Singapur. Tidak langsung ke sana, nantinya Nayla akan dijemput oleh seseorang, di antar ke asrama untuk mengurus beberapa surat keberangkatan sambil belajar penyesuaian diri sebelum berangkat menjadi TKI di sana.Dulunya Nayla pernah mencoba kuliah di jurusan keperawatan. Namun terhenti di tengah jalan karena terhalang biaya. Namun tak lama kemudian, pihak kampus mendatangi Nayla, menyuruh wanita lanjut kuliah dengan full beasiswa asalkan ia mau kuliah di jurusan tata boga. Akhirnya Nayla melanjutkan kuliahnya.Dari bekal itu, sekarang Nayla memberanikan diri mendaftarkan sebagai perawat orang sakit. Mirip pemba
***Rara terdiam, agak aneh menurutnya Gilang ini. Namun, ketika teringat betapa sederhana dan bijaknya Gilang, ia pun tidak berani menyela."Tapi paling tidak kita rayakan, Lang. Sebagai istri aku rasanya tidak enak kalau hanya menghabiskan hari kelahiranmu dengan hanya berdiam diri."Gilang memegang dagunya. Ia mulai berpikir."Bagaimana kalau pesan kue?" usul Rara. Matanya berbinar.Sayangnya usul itu mendapat gelengan kepala."Lalu maunya apa?" Rara kembali cemberut."Bagaimana kalau masak. Aku ingin mencicipi masakanmu," balas Gilang."Masak?"Gilang mengiakan dengan anggukan."Emang mau masakan apa?" tanya Rara lagi.Gilang pun terlihat berpikir. "Buatkan aku sayur asem dan ikan asin saja, bagaimana?""Cuma itu?" Rara benar-benar tidak habis pikir."Jangan bilang cuma, kamu tau menu itu sukses buatku nambah tiga kali.""Masa cuma itu.""Tapi aku maunya itu, bagaimana?"Mulanya Rara ragu, tapi setelah melihat Gilang yang tampak sangat berharap ia pun mengiakan dengan anggukan."W
Setahun kemudian.Rumah tangga Gilang dan Rara semakin membaik dari waktu ke waktu. Layaknya rumah tangga pada umumnya, di rumah sederhana Gilang itu selalu ada canda, tawa, kadang ada sedikit pertengkaran kecil antara mereka.Namun, itu tak jadi pemicu keretakan. Justru sebaliknya, mereka saling memahami antara lain, membuat rumah tangga mereka kian kokoh.Satu tahun itu pula Gilang berhasil menunjukkan keseriusan. Cinta yang tulus membuatnya tak pernah lelah maupun mengeluh dengan kondisi Rara yang cacat. Justru, rasa sayang serta peduli untuk Rara makin menggebu.Rara sendiri sama, dia terus berusaha sembuh. Kabar baiknya sekarang sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Terakhir, Rara juga sudah mulai berjalan dengan dua kaki, meskipun hanya bertahan lima langkah.Kendati demikian tak buat asanya putus. Ada Gilang yang selalu menyemangati dan itu buat Rara semangat lagi. Ia ingin cepat berjalan normal agar bisa mengimbangi langkah Gilang. Ingin seperti pasangan kebanyakan yang men
Dari semenjak kejadian tadi siang, Rara menjadi lebih banyak diam. Gilang sendiri juga belum berani cerita apa-apa. Pria itu masih berusaha menyusun kata yang pas supaya tidak menyakiti hati Rara Nantinya."Ra, kamu baik-baik aja 'kan?" Gilang melongok ke kamar. Tampak Rara tengah duduk sembari membaca buku bertema islami dengan posisi kaki selonjoran."Itu pertanyaan kamu yang ke empat kali. Memangnya kamu tidak bosen?" balas Rara tanpa menatap.Diperlakukan seperti membuat Gilang salah tingkah. Kelakuannya saat ini makin tambah belingsatan saja."Ra, kamu baca apa?" Gilang mendekat, matanya seketika membola saat mengetahui halamaan buku yang Rara baca. "Kamu ngapain baca begituan?" tanya Gilang spontan."Memangnya kenapa? Aku hanya penasaran saja dengan hukum poligami. Ternyata poligami sangat indah jika dijalani sesuai kaidah. Aku tidak menyangka pahala istri yang dipoligami sangat besar!"Mendengar itu, Gilang makin tambah misuh-misuh. Ia berebut buku tersebut lantas menaruhnya ke
Pemandangan yang baru saja dilihat membuat Rara memutuskan untuk menutup pintu mobil. Di titik ini, Rara merasa harga dirinya dijatuhkan seketika. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana suaminya itu dipeluk oleh wanita lain, akan tetapi ia tidak bisa berlari untuk sekadar mencegah, apalagi sampai membuat perhitungan kepada Nayla.Dari jendela mobil juga, Rara melihat Nayla yang terus menyeret koper lalu hilang di balik pintu gerbang. Setelah itu ia melihat ke arah Gilang. Lelaki itu terlihat memapah Bunda Alia masuk ke dalam rumah.Kini tinggallah Rara di dalam mobil seorang diri. Kesunyian halaman di panti asuhan saat ini sukses menambahkan momen sakit di hati Rara semakin menggebu-gebu. Ia menangis. Hatinya menjerit atas semua yang baru saja ia saksikan.Rara bukan mempermasalahkan pelukan perpisahan yang dilakukan oleh Nayla, tapi Rara menyayangkan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa saat semua itu terjadi. Bahkan untuk sekadar menyusul Gilang saja, Rara tak mampu melakukannya
Gilang baru saja hendak menurunkan Rara dari mobil saat suara ribut-ribut terdengar di pelataran panti. Lelaki itu gagas menoleh, dari kejauhan ia melihat Bunda Alya sedang terlibat cekcok dengan Nayla. Sepertinya perdebatan mereka cukup serius. Gilang pun segera meminta izin pada Rara agar melerai keduanya terlebih dahulu."Ra, kamu di mobil sebentar ya! Kayaknya Bunda lagi bertengkar sama Nayla. Aku pisahin mereka dulu."Saking paniknya, Gilang gagas berlari tanpa menunggu jawaban Rara terlebih dahulu. Di sofa mobil yang pintunya sudah terbuka, Rara hanya dapat menatap punggung Gilang yang semakin menjauh darinya. Ia juga menatap kursi roda yang baru saja dibentangkan oleh Gilang. Namun, sayang, Rara tidak bisa menggapai benda yang sangat dibutuhkannya tersebut karena posisinya terlalu jauh.Sementara Gilang. Lelaki itu berlari secara membabi buta. Lalu berdiri di tengah-tengah mereka." Ada apa ini?" seru Gilang sambil menatap Bunda Alya dan Nayla secara bergantian, bahkan ia lupa
***"Gawat, Ra! Gawat!"Gilang masuk ke kamar begitu saja saat Rara sedang asik membaca buku panduan salat. Wanita itu sedang menghafalkan beberapa hafalan doa dan tata cara salat tahajud saat Gilang mendekat dengan mimik wajah cemas."Ada apa? Kenapa kamu cemas begitu?""Nayla Ra … Nayla ….""Nayla kenapa?" Rara memekik.Hati Rara sedikit tercubit melihat Gilang begitu mencemaskan Nayla. Namun, ia tepis segala perasaan tidak baik itu karena Nayla dan Gilang memiliki ikatan persaudaraan yang cukup kuat meski bukan saudi kandung."Anak panti bilang Bunda Alia bertengkar dengan Nayla. Ternyata kepergiannya Nayla ke Singapur terlalu mendadak, dan tanpa sepengetahuan Bunda.""Kok bisa, Lang?""Entahlah, Ra! Anak panti bilang Nayla mau berangkat sore nanti, dia juga bilang kalau Nayla sudah terlanjur tanda tangan kontrak dan menerima dana sebesar 150 juta.""Astagfirullahallazim. Kamu serius, Lang? Aku takutnya Nayla itu ditipu. Perusahaan mana yang berani memberi DP sebanyak itu?""Maka d
"Tapi Bunda—" Nayla mendongak dengan tatapan tidak senang. Mendengar nama Gilang disebut, hatinya serasa melompat dari tempat. Inilah yang membuat Nayla terpukul karena lagi-lagi harus dibayangi nama Gilang ketika tinggal di sini.Dengan pergi ke tempat yang jauh, Nayla bisa fokus melupakan Gilang sepenuhnya."Maaf Nay, bukannya Bunda bermaksud menyeret Gilang ke dalam hidupmu lagi. Bunda tahu maksud kamu baik ingin melupakan cinta yang salah, tapi tolong tunggu sebentar, biarkan bunda berdiskusi dengan Gilang terlebih dahulu sebelum kamu berangkat," kata Bunda."Tapi sore nanti Nayla harus pergi karantina ke asrama, Bu. Sekalipun Bunda dan Abang berdiskusi, Nay tetap akan berangkat.""Tahan dulu ya, Nay!" Bunda Alia mengelus puncak kepala gadis itu. Namun, Nayla menepiskan dengan gerakan agak keras."Maaf, Bun! Untuk kali ini Nay tidak bisa menuruti permintaan Bunda.."Sambil menahan tangis yang hendak pecah lagi, Nayla gagas berlari meninggalkan ruangan Bunda. Untuk kali ini Nayla a
****Entah kenapa Bunda Alia tidak senang mendengarnya. Wanita itu terlihat menggeleng samar. "Bunda tidak mau menerima uang itu, Nay. Sebaiknya kamu pulangkan saja uang itu dan tetaplah tinggal di sini. bagaimana pun juga kamu jauh lebih berharga dari uang itu. Apalah artinya uang jika kamu tidak ada," kata Bunda Alia serius.Nada larangan itu membuat Nayla memandang Bunda Alia dengan memelas. "Tapi Nay sudah terlanjur tanda tangan kontrak, Bun. Nanti sore Nay akan dijemput untuk karantina dan belajar di asrama. Nay tidak bisa menolak karena kesepakatan ini sudah terjadi ," ujar Nayla."Kamu lancang Nay!" Bunda Alia memekik marah. "Seharusnya kamu bicarakan ini pada Bunda ataupun Abang!"Wanita itu meraup wajahnya. Terlihat frustrasi sekali. "Singapur itu jauh, Nay! Bagaimana kalau kamu tidak betah di sana? Uang seratus lima puluh juta itu banyak. Itu pasti merupakan pemberat agar kamu tetap bekerja di sana!""Tidak, Bunda. Itu hanyalah uang gaji Nay selama satu tahun!""Ngeyel kamu
Tak banyak yang Nayla bicarakan dengan Gilang dan Rara pasca mendadak ia mengatakan ingin pergi ke Singapur. Selepas itu, Nayla pamit untuk pulang. Keadaan jiwanya saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan berada di sana hanya akan membuat luka di hatinya semakin menganga.Sesampainya di rumah, Nayla gagas masuk ke kamar. Ia membereskan barang-barang untuk persiapan bekerja di Singapur. Tidak langsung ke sana, nantinya Nayla akan dijemput oleh seseorang, di antar ke asrama untuk mengurus beberapa surat keberangkatan sambil belajar penyesuaian diri sebelum berangkat menjadi TKI di sana.Dulunya Nayla pernah mencoba kuliah di jurusan keperawatan. Namun terhenti di tengah jalan karena terhalang biaya. Namun tak lama kemudian, pihak kampus mendatangi Nayla, menyuruh wanita lanjut kuliah dengan full beasiswa asalkan ia mau kuliah di jurusan tata boga. Akhirnya Nayla melanjutkan kuliahnya.Dari bekal itu, sekarang Nayla memberanikan diri mendaftarkan sebagai perawat orang sakit. Mirip pemba