Beberapa menit kemudian.Kesadaran mulai pulih, Rara memilih bergulung menghadap tembok setelah babak pertama usai. Ia menarik selimut untuk menutupi wajahnya.Sementara Gilang, lelaki itu masih terus memeluk sang istri dari belakang dengan manja. Tampak gemas seolah Rara adalah boneka kesayangannya."I Love you Rara, istriku, Sayang." Gilang membisikan kalimat paten legendaris tepat di telinga Rara sampai kepala anak itu menggeliat geli."Eum. Love you more!" Wajah gadis yang baru saja diambil malam pertamanya itu merona seketika. Sangat merah saat kesadarannya baru dijatuhkan kembali dari awang-awang.Apa yang aku lakukan tadi? Kenapa aku bisa mendadak tidak tahu malu begitu? Bagaimana kalau Gilang jadi ilfeel karena sikap menjijikkan ku barusan? Rara bermonolog dalam hati.Adegan selanjutnya adalah hening.Cukup lama, sekitar sepuluh menit mereka tak melakukan apa-apa selain larut dalam pikirannya masing-masing."Ra!" Gilang memanggil karena sudah merasa jenuh sekali. Nahas tak ada
***"Suka nggak?" Bertanya yang kedua kalinya dengan alis naik turun menunggu jawaban.Rara terpaksa mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai jawaban iya."Alhamdulillah kalau suka!" Kini ciuman sayang Gilang jatuh dan mendarat di bibir. "Makasih sekali lagi ya.""Tapi beneran kamu engga ilfeel sama aku, Lang?" telisik Rara penuh penekanan. Memastikan sekali lagi karena takut Gilang berpikir macam-macam tentang dirinya."Beneran sayang.""Makasih ya, Lang." Rara mulai berani membalas tatapan Gilang walau masih agak malu-malu. "Kalau nanti aku minta lagi boleh, kan?"Eh, ngomong apa tadi? Gilang tidak salah dengar kan? Minta lagi? Hahaha. Otak usil Gilang jadi berkelana lagi, 'kan!"Masya Allah, ini serius kamu nanya kaya begini?" Pria itu mendadak heboh sendiri seperti orang gila."Salah ya, Lang? Emangnya engga boleh kalau aku minta lagi?" tanya gadis itu. Matanya berkerling-keling merasa bingu
Setelah sekian lama menunggu dengan penuh kesabaran, akhirnya Gilang berhasil melepas keperjakaannya. Tanpa kendala sedikitpun ia sukses menjebol pertahanan Rara. Walau baru pertama kali tetap saja Gilang sukses mendapatkan itu tanpa kesulitan yang berarti.Keduanya banjir keringat di malam syahdu itu. Dengan nama Allah dan dengan keikhlasan, keduanya mereguk surga dunia untuk pertama kali. Ya walaupun Gilang agak tidak menyangka akhirnya bisa melakukan itu di rumah mertuanya.Tanpa siapa pun tahu Gilang tahu banyak tentang ini. Ia telah paham tentang adab, doa sampai apa saja yang harus dilakukan. Ia juga bisa menenangkan saat istrinya itu diselimuti kegugupan.Rasa bahagia itu tidak bisa Gilang lukiskan dengan kata-kata. Terlalu indah, terlalu bahagia membuat lelaki itu terus saja tersenyum, mengucap syukur dalam hati karena bisa mendapatkan Rara secara utuh. Karena menikah sejatinya tidak sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, naluri, dan fitrah. Menikah adalah ibadah yang dapat men
****"Jangan lakukan, jijik. Buang saja."Seulas senyum pun Gilang ukir untuk istri tercinta."Ini bisa dibersihkan.""Tapi kotor. Itu ada darahnya.""Ya tidak apa-apa. Kan ini bukti kita." Gilang mengedip dan itu sukses buat Rara gondok. Ia pukul lengan Gilang."Buang. Nanti kalau ketahuan Mama sama Papa bagaimana? Bisa dioseng kering kita, Lang."Sesaat Gilang terdiam. Ia agak gemas dengan kekhawatiran Rara. Padahal itu bukanlah masalah besar. Cuma, jika memang ketahuan baru lepas perawan sekarang takutnya keluarga Rara jadi berpikir yang bukan-bukan."Aku akan membersihkannya di kamar mandi.""Terus kalau ketahuan bagaimana?""Ya tidak apa-apa. Paling mereka berpikir kita ehem ehem." Kembali Gilang mengedip dan kembali juga Rara melayangkan pukulan di pundak. Ia gemas, suaminya yang alim ternyata mesum juga."Sudah, tidak apa-apa. Membuang sesuatu yang masih bisa dipakai itu termasuk tindakan tidak baik. Aku akan mengurusnya. Kamu istirahatlah di sini. Aku ke kamar mandi."Pasrah,
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam tibalah Rara, Gilang dan kedua orang tua Rara di sebuah kediaman sederhana tapi begitu asri. Nuansa pedesaan begitu kental terasa saat menginjakkan kaki di sana. Suasananya sangat nyaman dan sejuk padahal matahari sedang tinggi-tingginya. Terasa damai dan tenang. Ada begitu banyak pohon rindang di sisi kiri dan kanan. Tak terlupa juga hamparan hijau dari daun teh yang membentang begitu panjang dan luas, menambah nilai estetis yang ada. Dari parkiran saja mereka semua bisa melihatnya karena memang rumah itu berada di perbukitan."Sudah lama ya, Pa. Masih sama. Tempat ini masih sama. Tidak berubah." Ibu Mira menatap sang suami yang tengah mengeluarkan tas. Di sebelah suaminya ada sang menantu yang juga mengeluarkan barang yang sama. Dua lelaki beda generasi itu saling bantu."Iya, Ma. Rasanya sudah sangat lama.""Pa, papa ingat pohon itu. Itu kan kita yang tanam." Ibu Mira menunjuk satu pohon mangga yang begitu besar dan tinggi. Bunga bakal ca
***"Jadi selama ini kalau lihat Bapak bawaannya panas gitu?""Eladalah, ngegas. Ya bukan begitu, Pak. Sudah tua cemburuan aja."Gilang dan yang lainnya hanya bisa tersenyum memperhatikan perdebatan pasangan berumur itu."Sudah jangan berdebat." Ibu Mira menengahi, lantas menatap Gilang yang ada di sebelah Rara. "Kalian istirahat saja di kamar."Rara mengiakan begitu juga Gilang. Kedua manusia yang sedari tadi banyak diam itu pun masuk ke kamar.Sesaat setelah pintu mengayun membuka menyeruaklah aroma yang buat Rara tersenyum lebar. Ia merasa nyaman."Bi Imah totalitas sekali. Dia bahkan menaruh aromaterapi kesukaan aku di kamar ini.""Sepertinya dia sangat dekat dengan keluargamu." Gilang mendorong kursi roda Rara setelah sebelumnya mengunci kamar terlebih dahulu, lalu menaruh dua tas yang ada di punggung ke dekat lemari dan agak terkesiap setelah melihat isi lemari. Baju-baju Rara masih ada, terawat dan rapi.Namun bukan itu yang buat lelaki itu tersenyum, melainkan baju ballet yang
Gilang memegang ucapannya yang mengatakan akan membuat Rara mandi keramas sehari enam kali. Buktinya belum juga dua belas jam dirinya dan Rara sudah mandi berkali-kali.Kendati demikian Rara juga tidak bisa apa-apa. Gilang begitu lihai buatnya terbang, ia terbuai. Aktivitas di ranjang jadi aktivitas menyenangkan bagi dua manusia yang baru tahu nikmatnya surga dunia dalam pernikahan. Keduanya begitu terlena. Terbuai.Mereka bahkan berkali-kali melakukan ritual. Sebelum tidur, sebelum salat subuh dan setelah sarapan. Beruntung kedua orang tua Rara sedang tidak ada di vila saat itu. Jika ada, sudah pasti akan disindir terus-menerus. Pasalnya rambut Rara tidak pernah kering."Apa rencana kita hari ini?" tanya Gilang. Ia berkata sambil mengeringkan rambut Rara dengan hairdryer. Saat begini alat itu begitu membantu. Jika tidak alamat Rara akan terkena flu dan Gilang tidak ingin itu terjadi. Ya walaupun memang dia tersangka yang buat Rara mandi keramas berkali-kali."Apa ada tempat yang ingi
Ke mana?" tanya Rara. Walau belum bisa berjalan tegap tetap saja ia penasaran ke mana Gilang akan membawanya."Umroh. Insya Allah. Aku sedang mempersiapkan dananya.""Lang?" Rara tutup bibirnya yang setengah terbuka. Tak menyangka itu yang Gilang inginkan.Gegas Rara menyeka air matanya yang kembali luruh, lantas mencoba menarik Gilang, seakan mencari sesuatu di punggung suaminya ituGilang tentulah kaget, keheranan."Kamu cari apa?" tanya lelaki itu yang juga mulai meraba punggungnya."Ke mana kamu menyembunyikannya?""Menyembunyikan apa?" Gilang makin tidak paham. Ia bahkan menggaruk tengkuknya karena Rara terus saja mencari sesuatu di punggungnya."Sayapmu. Aku curiga kamu ini malaikat. Ke mana kamu sembunyikan sayap kamu, Lang?"Konten Gilang terbahak, ia juga memencet hidung Rara, gemas."Aku manusia, Ra," jelas Gilang. Senyumnya tak berhenti."Ya, siapa tahu saja kamu malaikat yang sedang menyamar jadi manusia," celetuk gadis itu dengan polosnya. "Ayo, mana sayapnya, perlihatkan
***Rara terdiam, agak aneh menurutnya Gilang ini. Namun, ketika teringat betapa sederhana dan bijaknya Gilang, ia pun tidak berani menyela."Tapi paling tidak kita rayakan, Lang. Sebagai istri aku rasanya tidak enak kalau hanya menghabiskan hari kelahiranmu dengan hanya berdiam diri."Gilang memegang dagunya. Ia mulai berpikir."Bagaimana kalau pesan kue?" usul Rara. Matanya berbinar.Sayangnya usul itu mendapat gelengan kepala."Lalu maunya apa?" Rara kembali cemberut."Bagaimana kalau masak. Aku ingin mencicipi masakanmu," balas Gilang."Masak?"Gilang mengiakan dengan anggukan."Emang mau masakan apa?" tanya Rara lagi.Gilang pun terlihat berpikir. "Buatkan aku sayur asem dan ikan asin saja, bagaimana?""Cuma itu?" Rara benar-benar tidak habis pikir."Jangan bilang cuma, kamu tau menu itu sukses buatku nambah tiga kali.""Masa cuma itu.""Tapi aku maunya itu, bagaimana?"Mulanya Rara ragu, tapi setelah melihat Gilang yang tampak sangat berharap ia pun mengiakan dengan anggukan."W
Setahun kemudian.Rumah tangga Gilang dan Rara semakin membaik dari waktu ke waktu. Layaknya rumah tangga pada umumnya, di rumah sederhana Gilang itu selalu ada canda, tawa, kadang ada sedikit pertengkaran kecil antara mereka.Namun, itu tak jadi pemicu keretakan. Justru sebaliknya, mereka saling memahami antara lain, membuat rumah tangga mereka kian kokoh.Satu tahun itu pula Gilang berhasil menunjukkan keseriusan. Cinta yang tulus membuatnya tak pernah lelah maupun mengeluh dengan kondisi Rara yang cacat. Justru, rasa sayang serta peduli untuk Rara makin menggebu.Rara sendiri sama, dia terus berusaha sembuh. Kabar baiknya sekarang sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Terakhir, Rara juga sudah mulai berjalan dengan dua kaki, meskipun hanya bertahan lima langkah.Kendati demikian tak buat asanya putus. Ada Gilang yang selalu menyemangati dan itu buat Rara semangat lagi. Ia ingin cepat berjalan normal agar bisa mengimbangi langkah Gilang. Ingin seperti pasangan kebanyakan yang men
Dari semenjak kejadian tadi siang, Rara menjadi lebih banyak diam. Gilang sendiri juga belum berani cerita apa-apa. Pria itu masih berusaha menyusun kata yang pas supaya tidak menyakiti hati Rara Nantinya."Ra, kamu baik-baik aja 'kan?" Gilang melongok ke kamar. Tampak Rara tengah duduk sembari membaca buku bertema islami dengan posisi kaki selonjoran."Itu pertanyaan kamu yang ke empat kali. Memangnya kamu tidak bosen?" balas Rara tanpa menatap.Diperlakukan seperti membuat Gilang salah tingkah. Kelakuannya saat ini makin tambah belingsatan saja."Ra, kamu baca apa?" Gilang mendekat, matanya seketika membola saat mengetahui halamaan buku yang Rara baca. "Kamu ngapain baca begituan?" tanya Gilang spontan."Memangnya kenapa? Aku hanya penasaran saja dengan hukum poligami. Ternyata poligami sangat indah jika dijalani sesuai kaidah. Aku tidak menyangka pahala istri yang dipoligami sangat besar!"Mendengar itu, Gilang makin tambah misuh-misuh. Ia berebut buku tersebut lantas menaruhnya ke
Pemandangan yang baru saja dilihat membuat Rara memutuskan untuk menutup pintu mobil. Di titik ini, Rara merasa harga dirinya dijatuhkan seketika. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana suaminya itu dipeluk oleh wanita lain, akan tetapi ia tidak bisa berlari untuk sekadar mencegah, apalagi sampai membuat perhitungan kepada Nayla.Dari jendela mobil juga, Rara melihat Nayla yang terus menyeret koper lalu hilang di balik pintu gerbang. Setelah itu ia melihat ke arah Gilang. Lelaki itu terlihat memapah Bunda Alia masuk ke dalam rumah.Kini tinggallah Rara di dalam mobil seorang diri. Kesunyian halaman di panti asuhan saat ini sukses menambahkan momen sakit di hati Rara semakin menggebu-gebu. Ia menangis. Hatinya menjerit atas semua yang baru saja ia saksikan.Rara bukan mempermasalahkan pelukan perpisahan yang dilakukan oleh Nayla, tapi Rara menyayangkan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa saat semua itu terjadi. Bahkan untuk sekadar menyusul Gilang saja, Rara tak mampu melakukannya
Gilang baru saja hendak menurunkan Rara dari mobil saat suara ribut-ribut terdengar di pelataran panti. Lelaki itu gagas menoleh, dari kejauhan ia melihat Bunda Alya sedang terlibat cekcok dengan Nayla. Sepertinya perdebatan mereka cukup serius. Gilang pun segera meminta izin pada Rara agar melerai keduanya terlebih dahulu."Ra, kamu di mobil sebentar ya! Kayaknya Bunda lagi bertengkar sama Nayla. Aku pisahin mereka dulu."Saking paniknya, Gilang gagas berlari tanpa menunggu jawaban Rara terlebih dahulu. Di sofa mobil yang pintunya sudah terbuka, Rara hanya dapat menatap punggung Gilang yang semakin menjauh darinya. Ia juga menatap kursi roda yang baru saja dibentangkan oleh Gilang. Namun, sayang, Rara tidak bisa menggapai benda yang sangat dibutuhkannya tersebut karena posisinya terlalu jauh.Sementara Gilang. Lelaki itu berlari secara membabi buta. Lalu berdiri di tengah-tengah mereka." Ada apa ini?" seru Gilang sambil menatap Bunda Alya dan Nayla secara bergantian, bahkan ia lupa
***"Gawat, Ra! Gawat!"Gilang masuk ke kamar begitu saja saat Rara sedang asik membaca buku panduan salat. Wanita itu sedang menghafalkan beberapa hafalan doa dan tata cara salat tahajud saat Gilang mendekat dengan mimik wajah cemas."Ada apa? Kenapa kamu cemas begitu?""Nayla Ra … Nayla ….""Nayla kenapa?" Rara memekik.Hati Rara sedikit tercubit melihat Gilang begitu mencemaskan Nayla. Namun, ia tepis segala perasaan tidak baik itu karena Nayla dan Gilang memiliki ikatan persaudaraan yang cukup kuat meski bukan saudi kandung."Anak panti bilang Bunda Alia bertengkar dengan Nayla. Ternyata kepergiannya Nayla ke Singapur terlalu mendadak, dan tanpa sepengetahuan Bunda.""Kok bisa, Lang?""Entahlah, Ra! Anak panti bilang Nayla mau berangkat sore nanti, dia juga bilang kalau Nayla sudah terlanjur tanda tangan kontrak dan menerima dana sebesar 150 juta.""Astagfirullahallazim. Kamu serius, Lang? Aku takutnya Nayla itu ditipu. Perusahaan mana yang berani memberi DP sebanyak itu?""Maka d
"Tapi Bunda—" Nayla mendongak dengan tatapan tidak senang. Mendengar nama Gilang disebut, hatinya serasa melompat dari tempat. Inilah yang membuat Nayla terpukul karena lagi-lagi harus dibayangi nama Gilang ketika tinggal di sini.Dengan pergi ke tempat yang jauh, Nayla bisa fokus melupakan Gilang sepenuhnya."Maaf Nay, bukannya Bunda bermaksud menyeret Gilang ke dalam hidupmu lagi. Bunda tahu maksud kamu baik ingin melupakan cinta yang salah, tapi tolong tunggu sebentar, biarkan bunda berdiskusi dengan Gilang terlebih dahulu sebelum kamu berangkat," kata Bunda."Tapi sore nanti Nayla harus pergi karantina ke asrama, Bu. Sekalipun Bunda dan Abang berdiskusi, Nay tetap akan berangkat.""Tahan dulu ya, Nay!" Bunda Alia mengelus puncak kepala gadis itu. Namun, Nayla menepiskan dengan gerakan agak keras."Maaf, Bun! Untuk kali ini Nay tidak bisa menuruti permintaan Bunda.."Sambil menahan tangis yang hendak pecah lagi, Nayla gagas berlari meninggalkan ruangan Bunda. Untuk kali ini Nayla a
****Entah kenapa Bunda Alia tidak senang mendengarnya. Wanita itu terlihat menggeleng samar. "Bunda tidak mau menerima uang itu, Nay. Sebaiknya kamu pulangkan saja uang itu dan tetaplah tinggal di sini. bagaimana pun juga kamu jauh lebih berharga dari uang itu. Apalah artinya uang jika kamu tidak ada," kata Bunda Alia serius.Nada larangan itu membuat Nayla memandang Bunda Alia dengan memelas. "Tapi Nay sudah terlanjur tanda tangan kontrak, Bun. Nanti sore Nay akan dijemput untuk karantina dan belajar di asrama. Nay tidak bisa menolak karena kesepakatan ini sudah terjadi ," ujar Nayla."Kamu lancang Nay!" Bunda Alia memekik marah. "Seharusnya kamu bicarakan ini pada Bunda ataupun Abang!"Wanita itu meraup wajahnya. Terlihat frustrasi sekali. "Singapur itu jauh, Nay! Bagaimana kalau kamu tidak betah di sana? Uang seratus lima puluh juta itu banyak. Itu pasti merupakan pemberat agar kamu tetap bekerja di sana!""Tidak, Bunda. Itu hanyalah uang gaji Nay selama satu tahun!""Ngeyel kamu
Tak banyak yang Nayla bicarakan dengan Gilang dan Rara pasca mendadak ia mengatakan ingin pergi ke Singapur. Selepas itu, Nayla pamit untuk pulang. Keadaan jiwanya saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan berada di sana hanya akan membuat luka di hatinya semakin menganga.Sesampainya di rumah, Nayla gagas masuk ke kamar. Ia membereskan barang-barang untuk persiapan bekerja di Singapur. Tidak langsung ke sana, nantinya Nayla akan dijemput oleh seseorang, di antar ke asrama untuk mengurus beberapa surat keberangkatan sambil belajar penyesuaian diri sebelum berangkat menjadi TKI di sana.Dulunya Nayla pernah mencoba kuliah di jurusan keperawatan. Namun terhenti di tengah jalan karena terhalang biaya. Namun tak lama kemudian, pihak kampus mendatangi Nayla, menyuruh wanita lanjut kuliah dengan full beasiswa asalkan ia mau kuliah di jurusan tata boga. Akhirnya Nayla melanjutkan kuliahnya.Dari bekal itu, sekarang Nayla memberanikan diri mendaftarkan sebagai perawat orang sakit. Mirip pemba