Liona segera merapikan pakaiannya saat mendengar pintu kamar terbuka.
Sehan sudah memasuki kamar itu, dia lalu menoleh dan tersenyum ke arah Sehan. laki-laki itu mulai menghampiri dan memperhatikan penampilan sang istri dengan seksama.Liona baru saja selesai berganti pakaian, dia menggunakan piyama yang sudah disiapkan oleh salah satu pelayan di rumah itu."Sepertinya para pelayan itu tau ukuran tubuhmu."Liona menatap piyama yang dia pakai sesaat, memang pas di tubuhnya. "Tapi aku merasa ini masih sedikit kebesaran.""Kalau begitu tambah lah berat badanmu sedikit lagi," ucap Sehan sambil mengacak pucuk kepala sang istri dengan gemas. Dia kemudian duduk di sisi kasur, dan menatap ke sekitarnya.Sudah sangat lama Sehan tidak memasuki kamar itu. Beberapa barang di sana masih tersusun rapi, bahkan ruangannya juga masih sangat bersih. Tidak ada yang berubah seperti terakhir Sehan berada di sana."Sepertinya mama benar-bePerlahan kelopak mata Liona terbuka. Nyawanya belum sepenuhnya kembali, Liona berusaha meraih ponsel miliknya yang tak terlalu jauh darinya. Dia mengerjapkan matanya sesaat, jam di layar ponselnya sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Seketika mata Liona terbuka lebar. "Apa aku kesiangan?"Nyaris beringsut duduk, namun tertunda saat sebuah tangan semakin erat melingkar di pinggangnya. Liona menoleh, nyaris tak percaya saat melihat Sehan ternyata juga masih terlelap. Liona ingat, mereka saat ini masih berada di rumah keluarga Wiratama. Jika mereka bangun siang, tentu Liona akan malu menyapa keluarga Sehan pagi ini."Sehan bangunlah, ini sudah siang!" Bukannya segera membuka mata saat tidurnya mulai diusik oleh sang istri, Sehan justru menenggelamkan wajahnya ke leher Liona. Membuat perempuan itu menahan geli."Sehan segeralah bangun!" Liona memukul pelan lengan laki-laki itu, berusaha membuat sang suami untuk segera memb
'Aku terpaksa menerima perjodohan ini agar bisa dekat dengan keluargamu dan terus berada di sisi Aoura, bukan karena aku mencintaimu. Tolong bantu aku Liona.'Satu tetes air mata akhirnya lolos menyusuri pipi Liona saat ucapan Reno kembali terngiang di telinganya. Laki-laki yang sangat dia cintai ternyata mencintai adiknya.Hati Liona hancur. Padahal hari ini adalah hari pernikahannya, tapi Liona tak sanggup untuk melaksanakannya.Dia sudah berusaha menjelaskan pada kedua orang tuanya, tapi mereka seakan tak peduli dan memaksanya tetap melanjutkan pernikahan itu. Bahkan Aoura yang juga mengetahui jika Reno memiliki perasaan terhadapnya, sama sekali tak mau membantunya menjelaskan pada ayah dan ibu. Apakah Aoura sengaja ingin membuatnya menderita?"Liona, kau sudah siap?"Gretta mulai memasuki kamar sang anak. Baru saja Liona selesai di rias."Wah cantik sekali," ucap Gretta memuji sang putri yang sudah siap dengan gaun pengantin berwarna putih yang tampak sederhana. Tanpa mempedulika
"Kamu sudah tau namaku?"Netra berwana gelap itu kembali mengarah pada jendela kaca hotel yang menampilkan pemandangan di luar sana. Dia lalu menghela nafas pelan dan menjawab, "kau kakak dari perempuan yang akan dijodohkan denganku."Liona kemudian duduk di kursi seberang meja Sehan. "Benar, tapi aku bukan kakak kandungnya.""Lalu?""Aku diadopsi saat -""Apa itu penting untukku?"Liona merapatkan bibirnya rapat. Dia menatap Sehan sesaat. Laki-laki itu tampan dan juga terlihat begitu dingin. 'Dia pasti bukan tipe orang yang suka berbasa-basi.'"Kalau begitu aku akan mengatakan langsung padamu tujuanku saat ini menemuimu. Aku ingin memintamu memilih menikahiku dibandingkan Aoura."Liona meremas kedua tangannya yang mulai dingin. Dia mendadak gugup, laki-laki itu menatapnya tanpa ekspresi. Tak terlihat terkejut atau marah, bagaimana Liona bisa menebaknya?Tak ada jawaban. Liona penasaran, "apa kamu bersedia?""Apa bedanya memilihmu atau adikmu? Bukankah pernikahan ini hanya untuk menye
Liona semakin mengeratkan pelukannya. Dia sudah terbangun dari alam mimpinya, namun entah kenapa matanya masih berat untuk dibuka. Tempat yang hangat, dan empuk membuatnya ingin kembali tertidur. Dia mencium aroma maskulin yang membuatnya begitu tenang dan nyaman, namun beberapa detik kemudian Liona tersadar.Mata perempuan itu terbuka lebar, mendapati seorang laki-laki yang juga sedang terlelap di sampingnya. Yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata sejak tadi Liona memeluk tubuh laki-laki tersebut. Dia seketika terduduk. Berusaha mengingat kejadian tadi malam bersama Sehan. "Apa kami telah melakukannya?"Dengan segera, Liona memeriksa keadaan sekujur tubuhnya yang masih berbalut selimut tebal. Pakaiannya masih terpasang lengkap, walau sudah sedikit berantakan. Dia kemudian menoleh, kembali menatap Sehan yang masih tertidur pulas. Wajah laki-laki itu terlihat tenang, sedikitpun tak menunjukan rasa bersalah. "Dia tidak mungkin melakukan itu pada ku kan?"Liona masih penasaran, dan
Di sudut ruang sempit dan gelap itu, Liona terus meringkuk sambil terisak. Tubuhnya sejak tadi gemetar hebat. Tak ada yang peduli dengan keadaannya saat ini. Apa kesalahan yang dia lakukan sampai semua orang di rumah itu tega melakukan ini padanya?"Liona."Pintu terbuka, membuat cahaya dari luar masuk ke ruangan itu. Air mata Liona terhenti, dia mendongak dan mendapati laki-laki bertubuh jangkung itu berdiri di hadapannya. Liona sempat bertanya-tanya, benarkah itu ... "Sehan?"Laki-laki itu berjongkok di hadapan Liona. Menatap kondisi Liona yang begitu memprihatinkan. Tangannya kemudian terulur, menghapus air mata yang membasahi pipi perempuan tersebut."Ayo kita keluar dari sini."Sehan nyaris memegang pergelangan tangan Liona, untuk membantunya berdiri. Namun perempuan itu justru langsung memeluknya. Membuat Sehan seketika tertegun."Aku takut." Liona kembali terisak. Kini Sehan bisa merasakan tubuh Liona yang gemetar menahan takut. "Tenanglah," bisik Sehan sambil membalas peluk
Sehan membuka pintu rumahnya, mempersilakan Liona untuk masuk lebih dulu. Perempuan itu sempat ragu, tapi tidak mungkin juga dia sekarang kembali ke rumahnya.Terpaksa Liona akhirnya menuruti perintah Sehan.Laki-laki itu langsung membawanya ke ruang makan, dan meminta Liona untuk duduk di sana sebentar. "Tunggulah."Liona menurut. Pandangannya terus membuntuti Sehan yang mulai berjalan ke arah dapur. Kebetulan dapur di rumah itu terhubung langsung dengan ruang makan, jadi Liona bisa memperhatikan apa yang dilakukan laki-laki itu.Cukup lama, akhirnya Sehan kembali dengan dua piring nasi goreng yang baru dia masak. Lalu dia hidangkan ke atas meja. "Saat aku memasak tadi, kau melihatnya kan? Tidak ada racun yang aku masukkan, jadi kau bisa memakannya sekarang."Liona menatap sepiring nasi goreng yang dihidangkan Sehan untuknya. Dia mulai memegang sendok di hadapannya. Liona percaya pada Sehan, tapi entah kenapa saat ingin menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Lagi-lagi tangannya gemeta
"Bawa Sehan kembali ke keluarga Wiratama, dan juga buat dia kembali bergabung dengan Wiratama company."Liona cukup terkejut dengan persyaratan yang diminta Sandra barusan. Apakah selama ini hubungan Sehan dan keluarganya juga tidak baik, sampai laki-laki itu meninggalkan keluarganya dan memilih hidup sendiri?Liona menoleh, menatap Sehan yang kini mengemudikan mobil di sampingnya. Saat ini mereka dalam perjalanan menuju ke kediaman keluarga Wiratama.Seperti apa yang Sehan katakan, laki-laki itu akan memperkenalkan Liona pada keluarganya.Liona sendiri tidak mengatakan apa pun pada Sehan bahwa Sandra datang ke rumahnya pagi tadi. Itu juga atas permintaan Sandra yang melarang Liona memberitahu laki-laki itu.Setelah mereka sampai, kedatangan Liona dan Sehan di sambut oleh para pelayan di rumah itu. Sepanjang jalan menuju ruang keluarga, Liona terus memperhatikan sekitarnya dengan takjub. Ini pertama kali Liona merasa dirinya sea
Sesuai permintaan Sehan, walau mereka belum menikah tapi Liona sudah membawa beberapa barang-barangnya ke rumah laki-laki itu. Dia baru saja turun dari taksi, dengan membawa satu koper dan tas berukuran besar. Sehan yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Liona, langsung membukakan pintu. "Apa tidak masalah aku memindahkan barang-barangku ke sini sebelum kita menikah?""Memangnya siapa yang akan melarang? Ini rumahku."Sehan masuk ke dalam lebih dulu, tanpa membantu Liona menyeret koper besarnya. Perempuan itu kemudian duduk di ruang tengah untuk menghilangkan rasa lelahnya. Sehan lalu meletakkan sebuah undangan pernikahan di depan Liona. "Apa ini?" "Undangan pernikahan kita. Aku sudah menentukan tanggalnya, jadi saat keluarga kita bertemu nanti kita hanya perlu menunjukan undangan ini. Mereka pasti setuju-setuju saja. Lagi pula siapa yang berani membantah keinginanku?" Liona