"Kamu sudah tau namaku?"
Netra berwana gelap itu kembali mengarah pada jendela kaca hotel yang menampilkan pemandangan di luar sana. Dia lalu menghela nafas pelan dan menjawab, "kau kakak dari perempuan yang akan dijodohkan denganku." Liona kemudian duduk di kursi seberang meja Sehan. "Benar, tapi aku bukan kakak kandungnya." "Lalu?" "Aku diadopsi saat -" "Apa itu penting untukku?" Liona merapatkan bibirnya rapat. Dia menatap Sehan sesaat. Laki-laki itu tampan dan juga terlihat begitu dingin. 'Dia pasti bukan tipe orang yang suka berbasa-basi.' "Kalau begitu aku akan mengatakan langsung padamu tujuanku saat ini menemuimu. Aku ingin memintamu memilih menikahiku dibandingkan Aoura." Liona meremas kedua tangannya yang mulai dingin. Dia mendadak gugup, laki-laki itu menatapnya tanpa ekspresi. Tak terlihat terkejut atau marah, bagaimana Liona bisa menebaknya? Tak ada jawaban. Liona penasaran, "apa kamu bersedia?" "Apa bedanya memilihmu atau adikmu? Bukankah pernikahan ini hanya untuk menyelamatkan perusahaan Atharya yang hampir bangkrut?" Liona tertegun. "Perusahaan? Apa maksudmu? Sejak kapan perusahaan ayah bangkrut?" Satu sudut bibir Sehan terangkat, mengukir senyum mengejek. "Kau terlalu lama berada di rumah sakit, sampai tidak tau mengenai perusahaan ayahmu?" "Apa?" Liona kembali tertegun. Laki-laki itu juga mengetahui bahwa dirinya selama ini koma. Apa Aoura yang memberitahu? "Begini saja, katakan keuntunganku jika memilih menikahimu dibandingkan adikmu." "Keuntungan?" Liona berpikir sejenak. Dia tak terlalu paham tentang bisnis. Saat kuliah saja dia mengambil jurusan desain. Lalu bagaimana untuk meyakinkan Sehan? "Atau." Sehan mengambil sebuah keycard di kantong jasnya. Lalu dia menyodorkannya di atas meja. "Kita bicarakan di lantai atas." Mata Liona membulat. Nyaris tak percaya sekelas Sehan yang pasti selalu menjaga nama baik keluarga, justru dengan mudah mengajak perempuan ke kamar hotel? Apa laki-laki itu tidak malu? "Kak Liona?" Sehan dan Liona serempak menoleh, Aoura baru saja memasuki hotel itu. Dia segera berjalan menghampiri, sambil menatap wajah Liona dengan seksama. "Benarkah ini kak Liona? Kau sudah keluar dari rumah sakit? dan ..." Kini pandangan Aoura beralih ke laki-laki yang sengaja ingin dia temui. "Sehan, kenapa kamu bersama kak Liona? Sejak kapan kalian saling mengenal?" Tak berniat untuk menjawab, Sehan hanya menunggu Liona menyelesaikannya. "Siapa yang akan menjelaskan? Ada apa di antara kalian berdua?" Aoura semakin bingung. Dia menatap Sehan dan Liona bergantian, menunggu penjelasan. Setau Aoura, Sehan dan Liona sama sekali belum pernah bertemu. Liona juga selama ini sedang koma. Tapi kenapa tiba-tiba muncul dan kedapatan tengah bersama Sehan? "Kak Liona, biasakan kita bicara berdua sebentar di tempat lain?" Liona mengukir senyum. Mungkin ini saat yang pas untuk memulai balas dendam. "Maaf Liona sepertinya tidak bisa." "Apa? Kenapa?" Liona mengambil keycard yang tadinya ditawarkan Sehan, kini dengan sombongnya dia pamerkan pada sang adik. "Aku memiliki rencana lain bersama Sehan." Sehan mengukir senyum puas. "Apa maksudmu kak?" Aoura semakin tak percaya. Kenapa kakaknya menunjukan kartu kunci hotel dan mengatakan memiliki rencana bersama Sehan? Kini pandangannya kembali mengarah pada Sehan. "Sehan, tidak mungkin kan -" Sehan bangkit dari duduknya tanpa mau mendengarkan ucapan Aoura berikutnya. Dia lalu mengulurkan tangan ke arah Liona. "Mari kita ke lantai atas, Liona." Kini tanpa ragu, Liona menerima uluran tangan Sehan. Laki-laki itu kemudian merangkulnya, membuat Liona sedikit gugup. Mereka pun mulai melangkah meninggalkan Aoura yang masih membelalak bingung. "Sehan! Aku kekasihmu, kau tidak bisa meninggalkanku!" Tak ada yang mempedulikan. Tangan Aoura mulai mengepal kuat, dia murka. "AARGH!" Lift terbuka. Liona kembali meneguk ludahnya dengan susah payah. Jantungnya semakin berdetak tak terkendali. Tangannya dingin, kakinya gemetar. Namun tak ada yang bisa Liona lakukan selain mengikuti langkah Sehan. Laki-laki berperawakan jangkung itu kini menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah kamar hotel yang sudah dia sewa. Kartu kuncinya masih di tangan Liona, Sehan membiarkan perempuan itu yang membuka pintunya. Namun tak kunjung membuka. Liona justru menatap pintu itu dengan tatapan takut. Dia tak bisa membayangkan, apa yang akan dilakukan Sehan kepadanya setelah memasuki kamar itu? "Apa kau tidak ingin membuka pintunya?" Liona tersadar dari lamunannya. Dia menatap keycard yang ada di tangannya sesaat. Dengan rasa ragu, akhirnya dia mendekat ke arah pintu untuk membukanya. Namun Liona bingung, ini pertama kalinya dia berada di hotel yang cukup modern seperti ini. "Bagaimana cara membuka pintunya?" Sehan menghela nafas kasar. Dia lalu merampas keycard di tangan Liona begitu saja, dan menunjukan cara membuka pintu dengan keycard tersebut. Pintu terbuka. Sehan memberikan isyarat agar Liona masuk ke dalam lebih dulu. Jantung Liona semakin berdegup kencang. Bahkan rasanya dia nyaris lupa cara bernafas. Kakinya yang masih gemetar akhirnya kembali melangkah, memasuki kamar hotel tersebut. Sesampai di dalam, Sehan kembali mengunci pintu. Liona hanya diam mematung, memperhatikan sekelilingnya. Ternyata ruangan itu sangat luas. Lengkap, ada sofa tempat untuk bersantai, menonton televisi, bagian dapur dan juga satu kamar. Tapi yang membuat Liona bingung, di sana juga ada meja kerja yang berisi banyak tumpukan berkas. "Kamu ... menggunakan ruangan ini untuk bekerja?" Sehan mengangguk membenarkan. Dia lalu berdiri di samping Liona dan menjelaskan, "rumahku cukup jauh. Aku memilih mengerjakan pekerjaan di sini jika aku merasa bosan berada di perusahaan." Liona cukup terpukau, laki-laki itu bisa menggunakan bebas setiap ruangan di sini karena hotel tersebut milik keluarganya. Sehan kemudian berjalan ke arah sofa, dan duduk di sana sambil menuangkan air ke gelas yang tadinya sudah tersedia di atas meja. "Duduklah." Liona menurut, dia kini duduk di samping Sehan. Laki-laki itu memberinya segelas air putih, Liona menerima dan meminumnya untuk meredakan rasa takut di sepanjang langkahnya barusan. Dia kini bisa bernafas lega. "Berarti ... kita ke sini bukan untuk tidur bersama kan?" Sehan yang tadinya juga tengah meneguk minuman, seketika nyaris menyemburkan air yang ada di mulutnya. "Uhuk." Liona terkejut melihat Sehan tersedak. Apakah dia salah bertanya? Laki-laki itu kini menatap Liona bertanya, "apa kamu menginginkan itu?" "Ti-tidak." Liona segera memalingkan pandangannya, dan meneguk kembali air minumnya untuk menenangkan dirinya yang kembali gugup karena pertanyaan Sehan barusan. "Jadi, apa alasan aku harus memilihmu dibandingkan adikmu?" tanya Sehan kembali ke pembahasan awal. Liona kini meletakkan kembali gelas minumnya ke atas meja. Dia menarik nafas perlahan, sebelum akhirnya menjawab, "kebetulan dulu aku kuliah di bidang desain. Jadi aku lumayan memiliki kemampuan desain yang baik, itu bukankah juga berkaitan dengan bisnis mu saat ini." Sehan mengangguk paham, menandakan alasan Liona sedikit bisa dia terima. "Tapi, bukankah adikmu juga menguasai bidang desain?" Benar. Liona tidak tau, kenapa dulu setiap yang dia inginkan Aoura juga mengikutinya. Apa yang Liona bisa, Aoura juga memaksa harus bisa. "Kecuali jika aku memilihmu, aku tidak perlu membantu perusahaan ayahmu." Liona kembali menatap Sehan. Sepertinya laki-laki itu tidak berminat untuk kerja sama dengan perusahaan Atharya. Tapi jika benar perusahaan ayahnya diambang kebangkrutan dan satu-satunya penyelamat adalah Sehan, Liona mana mungkin tega tutup mata soal itu. Tapi, Liora segera sadar. Dirinya bukan siapa-siapa di keluarga Atharya. Dia hanya anak adopsi, bahkan Liona tak pernah diperlakukan sebagai anak di keluarga itu. Jika melihat keluarga Atharya menderita bukankah artinya balas dendamnya berhasil? "Aku tidak terlibat dengan perusahaan Atharya. Perusahaan itu juga pasti nantinya akan diberikan pada Aoura, karena dia anak kandung dan aku hanya anak adopsi. Jadi, jika aku menikah denganmu. Aku akan sepenuhnya berada di sisimu." Sehan kembali mengukir senyum yang tak begitu kentara. "Sejak pertama kau mengambil keycard yang ku berikan, aku mulai tertarik denganmu." Liona mengukir senyum senang. Mungkinkah ucapan Sehan barusan memberikan tanda bahwa permintaannya akan disetujui? Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya, mengambil sesuatu di bagian dapur sesaat. Lalu kembali duduk di samping Liona sambil membawa sebotol minuman beralkohol. Tentu hal itu membuat mata Liona lagi-lagi melotot panik. Sehan menuangkan minuman beralkohol tersebut ke dua gelas kosong. Dia lalu memberikan salah satu gelas tersebut untuk Liona. Dengan ragu, perempuan itu akhirnya menerima. "Mari kita mengobrol lebih dalam dengan segelas wine." Sehan mengangkat gelasnya, mengajak Liona untuk bersulang. Liona masih ragu. Mencium aroma minuman itu saja sudah membuatnya pusing. Apakan dia tetap akan baik-baik saja setelah meminumnya?Liona semakin mengeratkan pelukannya. Dia sudah terbangun dari alam mimpinya, namun entah kenapa matanya masih berat untuk dibuka. Tempat yang hangat, dan empuk membuatnya ingin kembali tertidur. Dia mencium aroma maskulin yang membuatnya begitu tenang dan nyaman, namun beberapa detik kemudian Liona tersadar.Mata perempuan itu terbuka lebar, mendapati seorang laki-laki yang juga sedang terlelap di sampingnya. Yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata sejak tadi Liona memeluk tubuh laki-laki tersebut. Dia seketika terduduk. Berusaha mengingat kejadian tadi malam bersama Sehan. "Apa kami telah melakukannya?"Dengan segera, Liona memeriksa keadaan sekujur tubuhnya yang masih berbalut selimut tebal. Pakaiannya masih terpasang lengkap, walau sudah sedikit berantakan. Dia kemudian menoleh, kembali menatap Sehan yang masih tertidur pulas. Wajah laki-laki itu terlihat tenang, sedikitpun tak menunjukan rasa bersalah. "Dia tidak mungkin melakukan itu pada ku kan?"Liona masih penasaran, dan
Di sudut ruang sempit dan gelap itu, Liona terus meringkuk sambil terisak. Tubuhnya sejak tadi gemetar hebat. Tak ada yang peduli dengan keadaannya saat ini. Apa kesalahan yang dia lakukan sampai semua orang di rumah itu tega melakukan ini padanya?"Liona."Pintu terbuka, membuat cahaya dari luar masuk ke ruangan itu. Air mata Liona terhenti, dia mendongak dan mendapati laki-laki bertubuh jangkung itu berdiri di hadapannya. Liona sempat bertanya-tanya, benarkah itu ... "Sehan?"Laki-laki itu berjongkok di hadapan Liona. Menatap kondisi Liona yang begitu memprihatinkan. Tangannya kemudian terulur, menghapus air mata yang membasahi pipi perempuan tersebut."Ayo kita keluar dari sini."Sehan nyaris memegang pergelangan tangan Liona, untuk membantunya berdiri. Namun perempuan itu justru langsung memeluknya. Membuat Sehan seketika tertegun."Aku takut." Liona kembali terisak. Kini Sehan bisa merasakan tubuh Liona yang gemetar menahan takut. "Tenanglah," bisik Sehan sambil membalas peluk
Sehan membuka pintu rumahnya, mempersilakan Liona untuk masuk lebih dulu. Perempuan itu sempat ragu, tapi tidak mungkin juga dia sekarang kembali ke rumahnya.Terpaksa Liona akhirnya menuruti perintah Sehan.Laki-laki itu langsung membawanya ke ruang makan, dan meminta Liona untuk duduk di sana sebentar. "Tunggulah."Liona menurut. Pandangannya terus membuntuti Sehan yang mulai berjalan ke arah dapur. Kebetulan dapur di rumah itu terhubung langsung dengan ruang makan, jadi Liona bisa memperhatikan apa yang dilakukan laki-laki itu.Cukup lama, akhirnya Sehan kembali dengan dua piring nasi goreng yang baru dia masak. Lalu dia hidangkan ke atas meja. "Saat aku memasak tadi, kau melihatnya kan? Tidak ada racun yang aku masukkan, jadi kau bisa memakannya sekarang."Liona menatap sepiring nasi goreng yang dihidangkan Sehan untuknya. Dia mulai memegang sendok di hadapannya. Liona percaya pada Sehan, tapi entah kenapa saat ingin menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Lagi-lagi tangannya gemeta
"Bawa Sehan kembali ke keluarga Wiratama, dan juga buat dia kembali bergabung dengan Wiratama company."Liona cukup terkejut dengan persyaratan yang diminta Sandra barusan. Apakah selama ini hubungan Sehan dan keluarganya juga tidak baik, sampai laki-laki itu meninggalkan keluarganya dan memilih hidup sendiri?Liona menoleh, menatap Sehan yang kini mengemudikan mobil di sampingnya. Saat ini mereka dalam perjalanan menuju ke kediaman keluarga Wiratama.Seperti apa yang Sehan katakan, laki-laki itu akan memperkenalkan Liona pada keluarganya.Liona sendiri tidak mengatakan apa pun pada Sehan bahwa Sandra datang ke rumahnya pagi tadi. Itu juga atas permintaan Sandra yang melarang Liona memberitahu laki-laki itu.Setelah mereka sampai, kedatangan Liona dan Sehan di sambut oleh para pelayan di rumah itu. Sepanjang jalan menuju ruang keluarga, Liona terus memperhatikan sekitarnya dengan takjub. Ini pertama kali Liona merasa dirinya sea
Sesuai permintaan Sehan, walau mereka belum menikah tapi Liona sudah membawa beberapa barang-barangnya ke rumah laki-laki itu. Dia baru saja turun dari taksi, dengan membawa satu koper dan tas berukuran besar. Sehan yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Liona, langsung membukakan pintu. "Apa tidak masalah aku memindahkan barang-barangku ke sini sebelum kita menikah?""Memangnya siapa yang akan melarang? Ini rumahku."Sehan masuk ke dalam lebih dulu, tanpa membantu Liona menyeret koper besarnya. Perempuan itu kemudian duduk di ruang tengah untuk menghilangkan rasa lelahnya. Sehan lalu meletakkan sebuah undangan pernikahan di depan Liona. "Apa ini?" "Undangan pernikahan kita. Aku sudah menentukan tanggalnya, jadi saat keluarga kita bertemu nanti kita hanya perlu menunjukan undangan ini. Mereka pasti setuju-setuju saja. Lagi pula siapa yang berani membantah keinginanku?" Liona
Setelah pertemuannya dengan Reno malam itu, Liona jadi sering melamun. Bahkan perempuan itu membatalkan rencananya untuk menemui sang kakek. Hingga hari pernikahan tiba. Keluarga Wiratama dan Atharya juga sudah saling bertemu. Walau Gretta selalu mencari cara untuk membuat Liona terlihat buruk di mata keluarga Sehan, namun pada akhirnya pernikahan tetap dilaksanakan. Hari ini, dengan balutan dress berwarna putih yang mewah. Juga veil dan mahkota berlian yang Liona gunakan, membuatnya tampak lebih cantik dan anggun. Liona sudah selesai dirias. Kini dia duduk di ruang tunggu pengantin sendirian."Liona."Sorot mata yang tadinya terus menatap kosong, kini mengarah pada sosok perempuan yang baru saja memasuki ruangan itu. Tangan Liona seketika mengepal erat. Gretta mulai berjalan menghampirinya dengan senyum mengejek."Kau sangat cantik, ini kedua kalinya aku melihatmu memakai gaun pengantin." Gretta mengamati
Pagi harinya, setelah bangun dari tidur Liona langsung keluar dari kamar. Dia berniat untuk mengambil air minum di dapur, namun justru mendapati Sehan sedang memasak."Sudah bangun?" tanya Sehan tanpa mengalihkan pandangannya. Liona tersenyum, lalu mengangguk. "Sepertinya aku bangun kesiangan." Perempuan itu kemudian duduk di salah satu kursi makan.Kebetulan masakan Sehan sudah matang. Laki-laki itu langsung menghidangkan bubur ayam yang dia buat barusan ke atas meja. "Seharusnya memasak adalah tugasku," ucap Liona yang sadar akan hal itu. Sehan tak menghiraukan, dia mencicipi makanan yang ada di piring Liona."Apa kau tidur nyenyak?" Sehan kini duduk di seberang meja Liona, dia lalu menikmati makanan yang ada pada piringnya.Liona mengangguk. "Tadi aku tidur lewat tengah malam.""Kenapa?"Liona diam sesaat, lalu berdiri dari duduknya. "Tunggu sebentar."Sehan menatapnya bingung. Perempuan itu kembal
Rahang Sehan mulai mengeras, dia melepaskan cekalannya pada pergelangan sang istri dan berpindah mencengkram kerah kemeja Galen. Membuat semua perhatian orang-orang di sana kini tertuju pada mereka. Sehan menarik paksa Galen untuk berdiri, tak peduli sang kakak kesusahan karena kaki kirinya cidera. Dalam hitungan detik, Sehan mendaratkan pukulan tepat di pipi Galen. Membuat Galen seketika ambruk tersungkur menabrak meja lainnya.Seluruh pengunjung di restoran itu berteriak histeris, mereka ikut merasakan takut setelah melihat apa yang Sehan lakukan pada Galen.Sedangkan Liona hanya membelalak tak percaya. Dia ingin menolong Galen, tapi melihat Sehan seperti itu membuatnya juga takut. "Kau ingin mencelakaiku di depan banyak orang lagi? Padahal kaki kiriku sudah tak berfungsi, apa kau tidak puas melihatku seperti ini?" Mata Sehan menusuk tajam ke arah Galen, dia kembali melangkah mendekati sang kakak sambil berucap penuh peneka