Sehan membuka pintu rumahnya, mempersilakan Liona untuk masuk lebih dulu. Perempuan itu sempat ragu, tapi tidak mungkin juga dia sekarang kembali ke rumahnya.
Terpaksa Liona akhirnya menuruti perintah Sehan. Laki-laki itu langsung membawanya ke ruang makan, dan meminta Liona untuk duduk di sana sebentar. "Tunggulah." Liona menurut. Pandangannya terus membuntuti Sehan yang mulai berjalan ke arah dapur. Kebetulan dapur di rumah itu terhubung langsung dengan ruang makan, jadi Liona bisa memperhatikan apa yang dilakukan laki-laki itu. Cukup lama, akhirnya Sehan kembali dengan dua piring nasi goreng yang baru dia masak. Lalu dia hidangkan ke atas meja. "Saat aku memasak tadi, kau melihatnya kan? Tidak ada racun yang aku masukkan, jadi kau bisa memakannya sekarang." Liona menatap sepiring nasi goreng yang dihidangkan Sehan untuknya. Dia mulai memegang sendok di hadapannya. Liona percaya pada Sehan, tapi entah kenapa saat ingin menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Lagi-lagi tangannya gemetar ragu. "Kau masih tidak bisa memakannya?" Liona kembali meletakkan sendok itu ke atas piringnya. "Maaf Sehan, dadaku masih sesak saat melihat makanan." "Lalu, biasanya apa yang kau makan?" "Aku terbiasa makan makanan instan atau makanan dibungkus yang di jual di toko." "Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi? Kita bisa saja singgah di toko sebentar saat di perjalanan tadi." Sehan menghela nafas berat. Dia lalu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, sudah menunjukan pukul delapan malam. "Aku akan pergi ke toko sekarang, tunggulah di sini sebentar." "Tidak perlu Sehan." Liona segera menahan Sehan yang nyaris saja bangkit dari duduknya. Dia kemudian tersenyum meyakinkan. "Aku bisa menunda makan hingga besok." "Kau terlihat semakin kurus, aku tidak mungkin membiarkan calon istriku seperti itu." Sehan mengambil satu sendok nasi yang ada di piring Liona, lalu melahapnya. Liona tertegun melihat apa yang dilakukan Sehan barusan. Ini mengingatkannya pada pembantu yang bekerja di rumahnya saat dia masih kecil dulu. "Pembantuku dulu juga melakukan hal sama yang kamu lakukan barusan, untuk memastikan makananku tidak beracun." Kini Liona melahap satu suap nasi yang sudah dicicipi Sehan barusan. Dia tersenyum senang. Sehan hanya menghela nafas kasar. "Jadi, aku akan menjadi pelayanmu mulai sekarang." Setelah selesai makan malam. Sehan menunjukan kamar yang akan menjadi tempat Liona tidur malam ini. Liona cukup terpukau, kamar yang disediakan Sehan bahkan lebih luas dari pada kamarnya di rumah. Di dalam kamar itu juga tersedia kamar mandi, dan ruang menyimpan baju yang juga cukup luas. "Kamarku ada di sebelah, jika kamu memerlukan ku panggil saja." Liona mengangguk paham. Tapi dia masih ragu. "Apa tidak masalah jika aku menginap di sini malam ini?" "Kau adalah calon istriku, jadi apa yang menjadi masalahnya?" Sehan mengambil sebuah kunci di kantong kemejanya, lalu dia berikan kepada Liona. "Ini apa?" "Kunci rumah ini. Simpanlah, kau bisa dengan bebas keluar masuk ke rumah ini." "Tapi ..." "Ini juga akan menjadi rumahmu nanti setelah menikah denganku. Jadi anggap saja kau sedang membiasakan diri untuk itu." Sehan kemudian keluar dari kamar Liona, membiarkan perempuan itu beristirahat di dalam sana. Hingga waktu menunjukan hampir tengah malam. Liona sudah terbaring di kasur empuk yang disediakan Sehan untuknya, tempat itu nyaman namun entah kenapa Liona mendadak sulit untuk tidur. "Aku tidak terbiasa menginap di rumah orang lain, apalagi rumah seorang laki-laki." Liona beranjak dari tempat tidurnya. Dia berjalan pelan, keluar dari kamar. Berniat untuk mengambil air minum di dapur, namun langkahnya justru terhenti saat melihat Sehan tertidur pulas di sofa ruang tengah. Liona mengernyit bingung. "Kenapa dia tidak tidur di kamarnya?" Dengan langkah pelan tanpa menimbulkan suara, Liona menghampiri Sehan. Dia lalu duduk di samping sofa tempat laki-laki itu tertidur dan memperhatikan wajah Sehan dengan seksama. "Kenapa dia begitu berkeringat?" Liona heran, padahal suhu di ruangan itu juga tidak begitu panas. Pandangan Liona kini beralih menatap tisu di atas meja, lalu mengambilnya satu lembar untuk menghapus keringat di kening laki-laki itu. Dengan berhati-hati, Liora tak mau sampai mengusik tidur Sehan. Namun wajah Sehan yang tadinya tenang mendadak berubah gelisah, tetapi mata laki-laki itu masih terpejam. "Liona ..." Liona tertegun. Sehan memanggilnya? Dia lalu menjawab dengan suara yang sedikit pelan. "Kamu memanggilku Sehan?" Tak ada jawaban. Sepertinya laki-laki itu baru saja mengigau, namun Liona heran kenapa harus menyebut namanya? Apa sedang memimpikan dirinya? "Padahal kita baru saja mengenal, tapi kamu sudah memimpikanku." Liona menghela nafas pelan. Dia terus duduk di samping Sehan, berjaga-jaga siapa tau laki-laki itu mengigau lagi dan memanggilnya. Liona masih penasaran. Namun semakin larut malam, Liona justru tak bisa menahan kantuknya. Tanpa sadar dia justru tertidur di samping Sehan. Hingga pagi tiba, suara pintu terbuka membangunkan Liora dari tidurnya. Membuat perempuan itu akhirnya menyadari bahwa dia telah ikut tertidur di ruang tengah bersama Sehan. Liona memperhatikan wajah Sehan sesaat, laki-laki itu masih tertidur nyenyak. Kini wajahnya tampak begitu tenang, tidak seperti tadi malam. "Kalian ada di sini?" Liona tertegun. Dia menoleh dan mendapati seorang perempuan paruh baya sudah berdiri tak jauh darinya. Liona seketika berdiri. "Sa-saya bisa menjelaskan." "Tidak perlu panik," ucap Sandra menenangkan. "Saya yakin Sehan tidak pernah berbuat macam-macam." Liona menganga, nyaris tak percaya. Kebanyakan ibu di luar sana selalu menaruh kecurigaan pada anaknya, tapi mamanya Sehan terlihat berbeda. "Kamu ... putri pertama Darwin Atharya kan?" Liona mengangguk membenarkan. "Ah benar, wajahmu sangat mirip dengan ayahmu. Saya mamanya Sehan," ucap Sandra memperkenalkan diri. Liona mengukir senyum menyapa, jujur dia merasa canggung bertemu dengan Sandra dalam keadaan seperti ini. Tapi, dari perkataan Sandra barusan, Liona sedikit terkejut. Bagaimana bisa Sandra mengatakan dirinya mirip dengan Darwin, padahal dia bukan anak kandungnya. "Apa yang terjadi pada Sehan?" Liona menatap Laki-laki yang masih terlelap di sampingnya. "Dia masih tidur, saya akan bangunkan -" "Tidak perlu," ucap Sandra memotong. "Saya lega bisa melihat Sehan tertidur nyenyak seperti itu, padahal di sekitarnya ada orang yang sedang mengobrol. Kalau begitu, lain kali saja saya temui dia kembali." Sandra berbalik, kembali melangkah pergi. Liona sedikit bingung, bahkan perempuan itu tidak mengusirnya dari rumah Sehan. Liona kemudian memutuskan menyusul Sandra, hingga sampai teras depan rumah. Liona menghentikan kembali langkahnya. "Ibu Sandra." Sandra berbalik, menatap Liona dengan sorot tanya. Liona meremas jari-jarinya yang mendadak terasa dingin. "Saya ... bolehkah meminta restu anda untuk menikah dengan Sehan?" Sama seperti Sehan, Sandra selalu memasang wajah datar dan tidak bisa ditebak. Sepertinya sifat Sehan itu turunan dari ibunya. Ini justru membuat Liona semakin gugup. Bagaimana jika Sandra tak memberinya ijin? "Tapi apakah kamu mau menerima syarat dari saya? Saya akan memberikan restu jika kamu menyanggupi syarat ini." Liona tersenyum, lalu mengangguk yakin. Walaupun dalam hatinya masih ragu. Apa syarat yang akan diberikan Sandra padanya? Dan apakah dia bisa menjalankan syarat itu?"Bawa Sehan kembali ke keluarga Wiratama, dan juga buat dia kembali bergabung dengan Wiratama company."Liona cukup terkejut dengan persyaratan yang diminta Sandra barusan. Apakah selama ini hubungan Sehan dan keluarganya juga tidak baik, sampai laki-laki itu meninggalkan keluarganya dan memilih hidup sendiri?Liona menoleh, menatap Sehan yang kini mengemudikan mobil di sampingnya. Saat ini mereka dalam perjalanan menuju ke kediaman keluarga Wiratama.Seperti apa yang Sehan katakan, laki-laki itu akan memperkenalkan Liona pada keluarganya.Liona sendiri tidak mengatakan apa pun pada Sehan bahwa Sandra datang ke rumahnya pagi tadi. Itu juga atas permintaan Sandra yang melarang Liona memberitahu laki-laki itu.Setelah mereka sampai, kedatangan Liona dan Sehan di sambut oleh para pelayan di rumah itu. Sepanjang jalan menuju ruang keluarga, Liona terus memperhatikan sekitarnya dengan takjub. Ini pertama kali Liona merasa dirinya sea
Sesuai permintaan Sehan, walau mereka belum menikah tapi Liona sudah membawa beberapa barang-barangnya ke rumah laki-laki itu. Dia baru saja turun dari taksi, dengan membawa satu koper dan tas berukuran besar. Sehan yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Liona, langsung membukakan pintu. "Apa tidak masalah aku memindahkan barang-barangku ke sini sebelum kita menikah?""Memangnya siapa yang akan melarang? Ini rumahku."Sehan masuk ke dalam lebih dulu, tanpa membantu Liona menyeret koper besarnya. Perempuan itu kemudian duduk di ruang tengah untuk menghilangkan rasa lelahnya. Sehan lalu meletakkan sebuah undangan pernikahan di depan Liona. "Apa ini?" "Undangan pernikahan kita. Aku sudah menentukan tanggalnya, jadi saat keluarga kita bertemu nanti kita hanya perlu menunjukan undangan ini. Mereka pasti setuju-setuju saja. Lagi pula siapa yang berani membantah keinginanku?" Liona
Setelah pertemuannya dengan Reno malam itu, Liona jadi sering melamun. Bahkan perempuan itu membatalkan rencananya untuk menemui sang kakek. Hingga hari pernikahan tiba. Keluarga Wiratama dan Atharya juga sudah saling bertemu. Walau Gretta selalu mencari cara untuk membuat Liona terlihat buruk di mata keluarga Sehan, namun pada akhirnya pernikahan tetap dilaksanakan. Hari ini, dengan balutan dress berwarna putih yang mewah. Juga veil dan mahkota berlian yang Liona gunakan, membuatnya tampak lebih cantik dan anggun. Liona sudah selesai dirias. Kini dia duduk di ruang tunggu pengantin sendirian."Liona."Sorot mata yang tadinya terus menatap kosong, kini mengarah pada sosok perempuan yang baru saja memasuki ruangan itu. Tangan Liona seketika mengepal erat. Gretta mulai berjalan menghampirinya dengan senyum mengejek."Kau sangat cantik, ini kedua kalinya aku melihatmu memakai gaun pengantin." Gretta mengamati
Pagi harinya, setelah bangun dari tidur Liona langsung keluar dari kamar. Dia berniat untuk mengambil air minum di dapur, namun justru mendapati Sehan sedang memasak."Sudah bangun?" tanya Sehan tanpa mengalihkan pandangannya. Liona tersenyum, lalu mengangguk. "Sepertinya aku bangun kesiangan." Perempuan itu kemudian duduk di salah satu kursi makan.Kebetulan masakan Sehan sudah matang. Laki-laki itu langsung menghidangkan bubur ayam yang dia buat barusan ke atas meja. "Seharusnya memasak adalah tugasku," ucap Liona yang sadar akan hal itu. Sehan tak menghiraukan, dia mencicipi makanan yang ada di piring Liona."Apa kau tidur nyenyak?" Sehan kini duduk di seberang meja Liona, dia lalu menikmati makanan yang ada pada piringnya.Liona mengangguk. "Tadi aku tidur lewat tengah malam.""Kenapa?"Liona diam sesaat, lalu berdiri dari duduknya. "Tunggu sebentar."Sehan menatapnya bingung. Perempuan itu kembal
Rahang Sehan mulai mengeras, dia melepaskan cekalannya pada pergelangan sang istri dan berpindah mencengkram kerah kemeja Galen. Membuat semua perhatian orang-orang di sana kini tertuju pada mereka. Sehan menarik paksa Galen untuk berdiri, tak peduli sang kakak kesusahan karena kaki kirinya cidera. Dalam hitungan detik, Sehan mendaratkan pukulan tepat di pipi Galen. Membuat Galen seketika ambruk tersungkur menabrak meja lainnya.Seluruh pengunjung di restoran itu berteriak histeris, mereka ikut merasakan takut setelah melihat apa yang Sehan lakukan pada Galen.Sedangkan Liona hanya membelalak tak percaya. Dia ingin menolong Galen, tapi melihat Sehan seperti itu membuatnya juga takut. "Kau ingin mencelakaiku di depan banyak orang lagi? Padahal kaki kiriku sudah tak berfungsi, apa kau tidak puas melihatku seperti ini?" Mata Sehan menusuk tajam ke arah Galen, dia kembali melangkah mendekati sang kakak sambil berucap penuh peneka
"Dua puluh tahun lalu, di acara ulang tahun Sehan yang ke delapan tahun.""Entah apa yang terjadi, Sehan telah mendorong Galen hingga Galen jatuh dari tangga.""Galen mengalami cidera, dan menyebabkan kaki kirinya cacat untuk selamanya.""Semenjak itu, keluarga bahkan orang-orang mulai membenci Sehan. Kenapa Sehan harus melakukan itu pada Galen tanpa alasan?""Sehan menjadi lebih pendiam, dan tidak mau berbaur dengan banyak orang. Hingga usianya menginjak dewasa, Sehan memilih keluar dari rumah Wiratama dan memulai hidupnya sendiri.""Ulang tahun yang biasanya didambakan oleh banyak anak, bagi Sehan ulang tahunya justru membuat kenangan buruk dan merubah kehidupannya.""Mulai saat itu orang-orang membenci Sehan. Bahkan kak Bram juga tampak sangat kecewa pada Sehan. Yang tidak berani marah pada Sehan hanya kak Sandra dan aku."Berlin tersenyum sedih, mengingat kejadian itu. Saat itu umurnya juga telah memasuki usia remaja
Sehan terjaga dari tidurnya, nafasnya sudah tak teratur. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Dia lalu beringsut duduk, dan mengusap wajahnya dengan kasar."Kenapa mimpi itu datang lagi?"Benar, akhir-akhir ini dia bisa tidur nyenyak. Sejak kecil Sehan selalu mengalami mimpi buruk yang membuatnya sering kali takut untuk tidur. Tapi, setelah beberapa hari, kini mimpi buruk itu datang lagi."Apa karena aku melihat Liona menemui kak Galen malam itu?"Sehan segera menggeleng, menepis semua pemikiran buruk yang ada di kepalanya. Dia kemudian beranjak dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju dapur untuk minum.Belum sempat dia menuangkan air minum ke gelas, secarik kertas berada di atas meja telah menyita perhatiannya. Sehan segera mengambil untuk membacanya.'Aku sedang pergi liburan, selama dua hari. Sebenarnya aku ingin mengatakan langsung padamu, tapi sepertinya kamu banyak pikiran jadi aku tidak mau menggangg
Sudah menunjukan pukul delapan malam. Liona sejak tadi terus duduk di sisi kasur. Sesekali dia menatap sang suami yang tengah duduk di sofa tak jauh dari kasur. Entah kenapa sejak tadi Liona tidak bisa menenangkan detak jantungnya. Apalagi ketika teringat ucapan Sehan saat di pantai tadi siang.Sampai sekarang Liona tak paham. Apa maksud Sehan mengatakan hal itu?Sehan mulai berdiri menghampiri sang istri, lalu duduk di sampingnya. Liona menggeser duduknya, menjaga jarak dari laki-laki itu. Namun Sehan justru tersinggung. Dia ikut menggeser duduknya agar kembali dekat dengan Liona.Hal itu membuat jantung Liona terus berdegup tak tenang. 'Apa yang akan Sehan lakukan padaku?'"Liona -""Maaf aku memesan hotel yang ruangannya tidak begitu luas," ucap Liona memotong kalimat Sehan. Entah apa yang ingin dikatakan laki-laki itu, Liona tak ingin mendengarnya. "Tadinya aku berencana untuk liburan sendiri, jadi aku menyewa ruangan yang c