Share

5. Untuk Calon Istri

Sehan membuka pintu rumahnya, mempersilakan Liona untuk masuk lebih dulu. Perempuan itu sempat ragu, tapi tidak mungkin juga dia sekarang kembali ke rumahnya.

Terpaksa Liona akhirnya menuruti perintah Sehan.

Laki-laki itu langsung membawanya ke ruang makan, dan meminta Liona untuk duduk di sana sebentar.

"Tunggulah."

Liona menurut. Pandangannya terus membuntuti Sehan yang mulai berjalan ke arah dapur. Kebetulan dapur di rumah itu terhubung langsung dengan ruang makan, jadi Liona bisa memperhatikan apa yang dilakukan laki-laki itu.

Cukup lama, akhirnya Sehan kembali dengan dua piring nasi goreng yang baru dia masak. Lalu dia hidangkan ke atas meja.

"Saat aku memasak tadi, kau melihatnya kan? Tidak ada racun yang aku masukkan, jadi kau bisa memakannya sekarang."

Liona menatap sepiring nasi goreng yang dihidangkan Sehan untuknya. Dia mulai memegang sendok di hadapannya. Liona percaya pada Sehan, tapi entah kenapa saat ingin menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Lagi-lagi tangannya gemetar ragu.

"Kau masih tidak bisa memakannya?"

Liona kembali meletakkan sendok itu ke atas piringnya. "Maaf Sehan, dadaku masih sesak saat melihat makanan."

"Lalu, biasanya apa yang kau makan?"

"Aku terbiasa makan makanan instan atau makanan dibungkus yang di jual di toko."

"Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi? Kita bisa saja singgah di toko sebentar saat di perjalanan tadi." Sehan menghela nafas berat. Dia lalu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, sudah menunjukan pukul delapan malam. "Aku akan pergi ke toko sekarang, tunggulah di sini sebentar."

"Tidak perlu Sehan." Liona segera menahan Sehan yang nyaris saja bangkit dari duduknya. Dia kemudian tersenyum meyakinkan. "Aku bisa menunda makan hingga besok."

"Kau terlihat semakin kurus, aku tidak mungkin membiarkan calon istriku seperti itu."

Sehan mengambil satu sendok nasi yang ada di piring Liona, lalu melahapnya.

Liona tertegun melihat apa yang dilakukan Sehan barusan. Ini mengingatkannya pada pembantu yang bekerja di rumahnya saat dia masih kecil dulu.

"Pembantuku dulu juga melakukan hal sama yang kamu lakukan barusan, untuk memastikan makananku tidak beracun."

Kini Liona melahap satu suap nasi yang sudah dicicipi Sehan barusan. Dia tersenyum senang.

Sehan hanya menghela nafas kasar. "Jadi, aku akan menjadi pelayanmu mulai sekarang."

Setelah selesai makan malam. Sehan menunjukan kamar yang akan menjadi tempat Liona tidur malam ini.

Liona cukup terpukau, kamar yang disediakan Sehan bahkan lebih luas dari pada kamarnya di rumah.

Di dalam kamar itu juga tersedia kamar mandi, dan ruang menyimpan baju yang juga cukup luas.

"Kamarku ada di sebelah, jika kamu memerlukan ku panggil saja."

Liona mengangguk paham. Tapi dia masih ragu. "Apa tidak masalah jika aku menginap di sini malam ini?"

"Kau adalah calon istriku, jadi apa yang menjadi masalahnya?"

Sehan mengambil sebuah kunci di kantong kemejanya, lalu dia berikan kepada Liona.

"Ini apa?"

"Kunci rumah ini. Simpanlah, kau bisa dengan bebas keluar masuk ke rumah ini."

"Tapi ..."

"Ini juga akan menjadi rumahmu nanti setelah menikah denganku. Jadi anggap saja kau sedang membiasakan diri untuk itu."

Sehan kemudian keluar dari kamar Liona, membiarkan perempuan itu beristirahat di dalam sana.

Hingga waktu menunjukan hampir tengah malam. Liona sudah terbaring di kasur empuk yang disediakan Sehan untuknya, tempat itu nyaman namun entah kenapa Liona mendadak sulit untuk tidur.

"Aku tidak terbiasa menginap di rumah orang lain, apalagi rumah seorang laki-laki."

Liona beranjak dari tempat tidurnya. Dia berjalan pelan, keluar dari kamar.

Berniat untuk mengambil air minum di dapur, namun langkahnya justru terhenti saat melihat Sehan tertidur pulas di sofa ruang tengah.

Liona mengernyit bingung. "Kenapa dia tidak tidur di kamarnya?"

Dengan langkah pelan tanpa menimbulkan suara, Liona menghampiri Sehan. Dia lalu duduk di samping sofa tempat laki-laki itu tertidur dan memperhatikan wajah Sehan dengan seksama.

"Kenapa dia begitu berkeringat?"

Liona heran, padahal suhu di ruangan itu juga tidak begitu panas.

Pandangan Liona kini beralih menatap tisu di atas meja, lalu mengambilnya satu lembar untuk menghapus keringat di kening laki-laki itu.

Dengan berhati-hati, Liora tak mau sampai mengusik tidur Sehan. Namun wajah Sehan yang tadinya tenang mendadak berubah gelisah, tetapi mata laki-laki itu masih terpejam.

"Liona ..."

Liona tertegun. Sehan memanggilnya? Dia lalu menjawab dengan suara yang sedikit pelan. "Kamu memanggilku Sehan?"

Tak ada jawaban. Sepertinya laki-laki itu baru saja mengigau, namun Liona heran kenapa harus menyebut namanya? Apa sedang memimpikan dirinya?

"Padahal kita baru saja mengenal, tapi kamu sudah memimpikanku."

Liona menghela nafas pelan. Dia terus duduk di samping Sehan, berjaga-jaga siapa tau laki-laki itu mengigau lagi dan memanggilnya. Liona masih penasaran.

Namun semakin larut malam, Liona justru tak bisa menahan kantuknya. Tanpa sadar dia justru tertidur di samping Sehan.

Hingga pagi tiba, suara pintu terbuka membangunkan Liora dari tidurnya. Membuat perempuan itu akhirnya menyadari bahwa dia telah ikut tertidur di ruang tengah bersama Sehan.

Liona memperhatikan wajah Sehan sesaat, laki-laki itu masih tertidur nyenyak. Kini wajahnya tampak begitu tenang, tidak seperti tadi malam.

"Kalian ada di sini?"

Liona tertegun. Dia menoleh dan mendapati seorang perempuan paruh baya sudah berdiri tak jauh darinya. Liona seketika berdiri.

"Sa-saya bisa menjelaskan."

"Tidak perlu panik," ucap Sandra menenangkan. "Saya yakin Sehan tidak pernah berbuat macam-macam."

Liona menganga, nyaris tak percaya. Kebanyakan ibu di luar sana selalu menaruh kecurigaan pada anaknya, tapi mamanya Sehan terlihat berbeda.

"Kamu ... putri pertama Darwin Atharya kan?"

Liona mengangguk membenarkan.

"Ah benar, wajahmu sangat mirip dengan ayahmu. Saya mamanya Sehan," ucap Sandra memperkenalkan diri.

Liona mengukir senyum menyapa, jujur dia merasa canggung bertemu dengan Sandra dalam keadaan seperti ini.

Tapi, dari perkataan Sandra barusan, Liona sedikit terkejut. Bagaimana bisa Sandra mengatakan dirinya mirip dengan Darwin, padahal dia bukan anak kandungnya.

"Apa yang terjadi pada Sehan?"

Liona menatap Laki-laki yang masih terlelap di sampingnya. "Dia masih tidur, saya akan bangunkan -"

"Tidak perlu," ucap Sandra memotong. "Saya lega bisa melihat Sehan tertidur nyenyak seperti itu, padahal di sekitarnya ada orang yang sedang mengobrol. Kalau begitu, lain kali saja saya temui dia kembali."

Sandra berbalik, kembali melangkah pergi. Liona sedikit bingung, bahkan perempuan itu tidak mengusirnya dari rumah Sehan.

Liona kemudian memutuskan menyusul Sandra, hingga sampai teras depan rumah. Liona menghentikan kembali langkahnya.

"Ibu Sandra."

Sandra berbalik, menatap Liona dengan sorot tanya.

Liona meremas jari-jarinya yang mendadak terasa dingin. "Saya ... bolehkah meminta restu anda untuk menikah dengan Sehan?"

Sama seperti Sehan, Sandra selalu memasang wajah datar dan tidak bisa ditebak. Sepertinya sifat Sehan itu turunan dari ibunya. Ini justru membuat Liona semakin gugup. Bagaimana jika Sandra tak memberinya ijin?

"Tapi apakah kamu mau menerima syarat dari saya? Saya akan memberikan restu jika kamu menyanggupi syarat ini."

Liona tersenyum, lalu mengangguk yakin. Walaupun dalam hatinya masih ragu. Apa syarat yang akan diberikan Sandra padanya? Dan apakah dia bisa menjalankan syarat itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status