"Bawa Sehan kembali ke keluarga Wiratama, dan juga buat dia kembali bergabung dengan Wiratama company."
Liona cukup terkejut dengan persyaratan yang diminta Sandra barusan. Apakah selama ini hubungan Sehan dan keluarganya juga tidak baik, sampai laki-laki itu meninggalkan keluarganya dan memilih hidup sendiri? Liona menoleh, menatap Sehan yang kini mengemudikan mobil di sampingnya. Saat ini mereka dalam perjalanan menuju ke kediaman keluarga Wiratama. Seperti apa yang Sehan katakan, laki-laki itu akan memperkenalkan Liona pada keluarganya. Liona sendiri tidak mengatakan apa pun pada Sehan bahwa Sandra datang ke rumahnya pagi tadi. Itu juga atas permintaan Sandra yang melarang Liona memberitahu laki-laki itu. Setelah mereka sampai, kedatangan Liona dan Sehan di sambut oleh para pelayan di rumah itu. Sepanjang jalan menuju ruang keluarga, Liona terus memperhatikan sekitarnya dengan takjub. Ini pertama kali Liona merasa dirinya seakan memasuki istana di negeri dongeng. Dia semakin bingung dengan Sehan. Kenapa Sehan memilih membangun rumah sendiri, bukannya ikut tinggal di istana Wiratama tersebut? Hingga sampai di ruang keluarga. Di sana sudah ada Joana, Sandra, dan juga Bram. Mereka sudah sejak tadi menunggu kedatangan Sehan. Liona memilih duduk di samping Sehan, sambil mengukir senyum kepada keluarga Wiratama yang menyambutnya dengan hangat. "Nenek, mama, dan papa. Ini adalah Liona, perempuan yang pernah aku ceritakan pada kalian sebelumnya," ucap Sehan memperkenalkan Liona kepada keluarganya. Liona tersenyum menyapa. Dia bisa melihat Joana dan Bram membalas senyumannya. Tapi Liona bingung, wajah Sandra masih saja begitu datar saat menatapnya. Padahal mereka tadi pagi saling berbicara, tapi kini seakan tak pernah bertemu saja. "Kakak!" Semua serempak menoleh ke asal suara. Perempuan berpenampilan modis menyelonong masuk begitu saja, dan langsung bergabung dengan mereka. Dia duduk di sofa samping Liona yang kosong, membuat Liona menatapnya bingung. "Dia Tante Berlin, adik ayah," ucap Sehan memperkenalkan sang Tante pada Liona. Kini Berlin yang menatap Liona dengan takjub. "Siapa ini? Perempuan yang akan dinikahi Sehan?" Berlin mulai mengeluarkan sifat hebohnya, membuat Sehan menghela nafas kasar. "Sehan, kau memang pandai dalam memilih perempuan. Lihatlah kak Sandra anakmu bisa mendapatkan perempuan yang sangat cantik seperti ini!" Wajah Liona panas, dia menahan malu saat Berlin memujinya dengan berlebihan. "Kapan pernikahan Sehan dilaksanakan?" tanya Berlin semakin penasaran. Hening sesaat. Membuat Liona kembali gugup. "Sebelum menentukan tanggalnya. Aku bertanya, apa semua keluarga di sini merestui pernikahan ini?" Bram tertawa, memecah suasana yang mendadak canggung di ruang keluarga itu. Dia lalu berucap, "papa selalu mendukungmu Sehan." "Nenek juga mendukung apa pilihanmu. Nenek percaya, kau bisa menentukan pilihanmu sendiri dengan tepat," imbuh Joana mendukung. Kini semua perhatian tertuju pada Sandra. Hanya dia yang belum memberikan tanggapan. "Ma," panggil Sehan mengunggu jawaban Sandra. Kini pandangan Sandra mengarah pada Liona, membuat jantung Liona semakin berdegup kencang. Beberapa detik kemudian Sandra mengangguk. "Mama ikuti pilihanmu." "Kalau begitu, kapan tanggal pernikahannya?" Berlin kembali bertanya penasaran. Namun belum sempat ada yang menjawab, sebuah suara langkah kaki membuat semua orang yang berkumpul di ruangan itu mendadak diam. "Aku tidak tau jika semuanya berkumpul di sini." Liona menoleh ke asal suara. Seorang laki-laki berparas tampan tersenyum tulus. Laki-laki itu menggunakan tongkat untuk membantunya berdiri, kaki kirinya diangkat. Membuat Liona prihatin melihatnya. "Kau kekasihnya Sehan? Perkenalkan aku Galen, kakaknya Sehan." Liona cukup terkejut. Ini pertama kalinya dia melihat wajah Galen. Sebenarnya anak pertama Bram Wiratama itu juga cukup terkenal karena dia yang memimpin perusahaan Wiratama company saat ini. Tapi sangat jarang terekspos di sosial media. Wajar jika banyak yang tak mengenalnya, tidak seperti Sehan. Dan, Liona juga baru mengetahui jika kaki Galen mengalami cidera. "Aku Lio -" Nyaris berdiri untuk memperkenalkan diri kepada Galen, tiba-tiba tangan Liona justru ditarik Sehan. Membuatnya kembali terduduk. Liona menatap Sehan dengan sorot bingung. "Aku ingin pernikahan ini dilaksanakan secepatnya," jawab Sehan menyambung pembicaraan keluarga mereka yang terputus. Pandangan Liona kembali mengarah pada Galen. Senyum di wajah laki-laki itu mulai pudar, dia mulai berjalan menjauh menggunakan tongkat. Liona tak tega. Kenapa keberadaan Galen seakan tak dianggap? "Kenapa cepat sekali? Apa kalian sudah pacaran sejak lama?" Berlin kembali bertanya penasaran. Sehan dan Liona terdiam. "Sehan, lebih baik saat menentukan tanggal pernikahannya, orang tua Liona juga ikut mendiskusikannya. Bagaimana jika kita mengatur pertemuan dengan keluarga Atharya?" ucap Joana memberi saran. Setelah pembicaraan selesai, mereka melanjutkan makan siang bersama. Setelah selesai, Liona dan Sehan memutuskan untuk pulang. "Liona!" Langkah Liona dan Sehan terhenti di teras rumah. Dari dalam rumah itu tampak Berlin berlari tergesa-gesa menyusul mereka. "Liona, bisakah kita berteman dekat?" Liona tersenyum. Dia semakin gugup saat Berlin ingin menjadi teman akrabnya. Belum sempat Liona menyetujui, Berlin memberikan secarik kertas bertuliskan nomor teleponnya. "Hubungi aku lebih dulu, aku akan menyimpan nomor teleponmu nanti." Liona menerimanya, lalu mengangguk setuju. "Oh iya, apa kau mau jika nantinya aku mengajakmu jalan-jalan keluar. Aku sangat senang berbelanja di mall, tapi selalu sendirian karena tidak mempunyai teman. Kau mau kan menemaniku nantinya?" Liona mengangguk dengan senang hati. "Jika ada perlu hubungi saja aku." "Ah, kau memang sangat baik. Pasti kita nanti bukan hanya sekedar seperti keponakan dan Tante, tapi akan terlihat seperti teman sebaya." Liona tersenyum senang. Walau masih sedikit canggung, tapi dia yakin nantinya bisa lebih akrab dengan keluarga Wiratama. Hanya satu yang membuat Liona kurang yakin, yaitu Sandra. Perempuan itu terlihat cuek padanya. Namun Liona tak menyerah. Dia akan mencari cara untuk bisa dekat dan mendapatkan hati Sandra. *** "Jadi maksudmu, keluarga Wiratama ingin mengajak kita bertemu untuk membicarakan pernikahan?" tanya Darwin memastikan. Liona mengangguk membenarkan. Dia baru saja memberitahu keluarganya bahwa Sehan baru saja memperkenalkan Liona pada keluarganya Wiratama. "Apa mereka sudah memberimu restu?" kini Gretta yang bertanya. Dengan percaya diri Liona kembali mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang ibu. "Padahal mereka menjodohkan Sehan denganku, tapi sepertinya sekarang mereka lupa denganku." Tangan Aoura mengepal erat, dia geram. Kenapa tak ada tanda kegagalan pada pernikahan sang kakak? Tak mau mendengar kelanjutan kabar ini, Aoura memutuskan untuk beranjak pergi dari sana. Gretta sedih melihat Aoura yang tampak kecewa. Kini pandangan Gretta menatap Liona tajam. "Tidak ada waktu. Ibu dan ayah sedang sibuk akhir-akhir ini. Kenapa tak kau urus sendiri pernikahanmu?" Senyum Liona luntur, dia kasihan pada dirinya sendiri. Seharusnya sejak awal dia tak perlu berharap lebih pada keluarganya ini. "Apa maksudmu Gretta?" Darwin tampak murka mendengar ucapan istrinya barusan. "Suatu kehormatan untuk kita bisa berbesanan dengan keluarga Wiratama. Aku akan menunda semua pekerjaan kita, asalkan bisa bertemu dengan keluarga Wiratama. Liona katakan tanggal berapa, dan di mana? Ayah pasti akan datang menemui mereka." Senyum bahagia Liona seketika kembali terukir. Sedangkan Gretta hanya semakin mengepalkan tangannya kesal. 'Dia sekarang ada di pihak anak ini?'Sesuai permintaan Sehan, walau mereka belum menikah tapi Liona sudah membawa beberapa barang-barangnya ke rumah laki-laki itu. Dia baru saja turun dari taksi, dengan membawa satu koper dan tas berukuran besar. Sehan yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Liona, langsung membukakan pintu. "Apa tidak masalah aku memindahkan barang-barangku ke sini sebelum kita menikah?""Memangnya siapa yang akan melarang? Ini rumahku."Sehan masuk ke dalam lebih dulu, tanpa membantu Liona menyeret koper besarnya. Perempuan itu kemudian duduk di ruang tengah untuk menghilangkan rasa lelahnya. Sehan lalu meletakkan sebuah undangan pernikahan di depan Liona. "Apa ini?" "Undangan pernikahan kita. Aku sudah menentukan tanggalnya, jadi saat keluarga kita bertemu nanti kita hanya perlu menunjukan undangan ini. Mereka pasti setuju-setuju saja. Lagi pula siapa yang berani membantah keinginanku?" Liona
Setelah pertemuannya dengan Reno malam itu, Liona jadi sering melamun. Bahkan perempuan itu membatalkan rencananya untuk menemui sang kakek. Hingga hari pernikahan tiba. Keluarga Wiratama dan Atharya juga sudah saling bertemu. Walau Gretta selalu mencari cara untuk membuat Liona terlihat buruk di mata keluarga Sehan, namun pada akhirnya pernikahan tetap dilaksanakan. Hari ini, dengan balutan dress berwarna putih yang mewah. Juga veil dan mahkota berlian yang Liona gunakan, membuatnya tampak lebih cantik dan anggun. Liona sudah selesai dirias. Kini dia duduk di ruang tunggu pengantin sendirian."Liona."Sorot mata yang tadinya terus menatap kosong, kini mengarah pada sosok perempuan yang baru saja memasuki ruangan itu. Tangan Liona seketika mengepal erat. Gretta mulai berjalan menghampirinya dengan senyum mengejek."Kau sangat cantik, ini kedua kalinya aku melihatmu memakai gaun pengantin." Gretta mengamati
Pagi harinya, setelah bangun dari tidur Liona langsung keluar dari kamar. Dia berniat untuk mengambil air minum di dapur, namun justru mendapati Sehan sedang memasak."Sudah bangun?" tanya Sehan tanpa mengalihkan pandangannya. Liona tersenyum, lalu mengangguk. "Sepertinya aku bangun kesiangan." Perempuan itu kemudian duduk di salah satu kursi makan.Kebetulan masakan Sehan sudah matang. Laki-laki itu langsung menghidangkan bubur ayam yang dia buat barusan ke atas meja. "Seharusnya memasak adalah tugasku," ucap Liona yang sadar akan hal itu. Sehan tak menghiraukan, dia mencicipi makanan yang ada di piring Liona."Apa kau tidur nyenyak?" Sehan kini duduk di seberang meja Liona, dia lalu menikmati makanan yang ada pada piringnya.Liona mengangguk. "Tadi aku tidur lewat tengah malam.""Kenapa?"Liona diam sesaat, lalu berdiri dari duduknya. "Tunggu sebentar."Sehan menatapnya bingung. Perempuan itu kembal
Rahang Sehan mulai mengeras, dia melepaskan cekalannya pada pergelangan sang istri dan berpindah mencengkram kerah kemeja Galen. Membuat semua perhatian orang-orang di sana kini tertuju pada mereka. Sehan menarik paksa Galen untuk berdiri, tak peduli sang kakak kesusahan karena kaki kirinya cidera. Dalam hitungan detik, Sehan mendaratkan pukulan tepat di pipi Galen. Membuat Galen seketika ambruk tersungkur menabrak meja lainnya.Seluruh pengunjung di restoran itu berteriak histeris, mereka ikut merasakan takut setelah melihat apa yang Sehan lakukan pada Galen.Sedangkan Liona hanya membelalak tak percaya. Dia ingin menolong Galen, tapi melihat Sehan seperti itu membuatnya juga takut. "Kau ingin mencelakaiku di depan banyak orang lagi? Padahal kaki kiriku sudah tak berfungsi, apa kau tidak puas melihatku seperti ini?" Mata Sehan menusuk tajam ke arah Galen, dia kembali melangkah mendekati sang kakak sambil berucap penuh peneka
"Dua puluh tahun lalu, di acara ulang tahun Sehan yang ke delapan tahun.""Entah apa yang terjadi, Sehan telah mendorong Galen hingga Galen jatuh dari tangga.""Galen mengalami cidera, dan menyebabkan kaki kirinya cacat untuk selamanya.""Semenjak itu, keluarga bahkan orang-orang mulai membenci Sehan. Kenapa Sehan harus melakukan itu pada Galen tanpa alasan?""Sehan menjadi lebih pendiam, dan tidak mau berbaur dengan banyak orang. Hingga usianya menginjak dewasa, Sehan memilih keluar dari rumah Wiratama dan memulai hidupnya sendiri.""Ulang tahun yang biasanya didambakan oleh banyak anak, bagi Sehan ulang tahunya justru membuat kenangan buruk dan merubah kehidupannya.""Mulai saat itu orang-orang membenci Sehan. Bahkan kak Bram juga tampak sangat kecewa pada Sehan. Yang tidak berani marah pada Sehan hanya kak Sandra dan aku."Berlin tersenyum sedih, mengingat kejadian itu. Saat itu umurnya juga telah memasuki usia remaja
Sehan terjaga dari tidurnya, nafasnya sudah tak teratur. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Dia lalu beringsut duduk, dan mengusap wajahnya dengan kasar."Kenapa mimpi itu datang lagi?"Benar, akhir-akhir ini dia bisa tidur nyenyak. Sejak kecil Sehan selalu mengalami mimpi buruk yang membuatnya sering kali takut untuk tidur. Tapi, setelah beberapa hari, kini mimpi buruk itu datang lagi."Apa karena aku melihat Liona menemui kak Galen malam itu?"Sehan segera menggeleng, menepis semua pemikiran buruk yang ada di kepalanya. Dia kemudian beranjak dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju dapur untuk minum.Belum sempat dia menuangkan air minum ke gelas, secarik kertas berada di atas meja telah menyita perhatiannya. Sehan segera mengambil untuk membacanya.'Aku sedang pergi liburan, selama dua hari. Sebenarnya aku ingin mengatakan langsung padamu, tapi sepertinya kamu banyak pikiran jadi aku tidak mau menggangg
Sudah menunjukan pukul delapan malam. Liona sejak tadi terus duduk di sisi kasur. Sesekali dia menatap sang suami yang tengah duduk di sofa tak jauh dari kasur. Entah kenapa sejak tadi Liona tidak bisa menenangkan detak jantungnya. Apalagi ketika teringat ucapan Sehan saat di pantai tadi siang.Sampai sekarang Liona tak paham. Apa maksud Sehan mengatakan hal itu?Sehan mulai berdiri menghampiri sang istri, lalu duduk di sampingnya. Liona menggeser duduknya, menjaga jarak dari laki-laki itu. Namun Sehan justru tersinggung. Dia ikut menggeser duduknya agar kembali dekat dengan Liona.Hal itu membuat jantung Liona terus berdegup tak tenang. 'Apa yang akan Sehan lakukan padaku?'"Liona -""Maaf aku memesan hotel yang ruangannya tidak begitu luas," ucap Liona memotong kalimat Sehan. Entah apa yang ingin dikatakan laki-laki itu, Liona tak ingin mendengarnya. "Tadinya aku berencana untuk liburan sendiri, jadi aku menyewa ruangan yang c
Pandangan Sehan mengarah pada sang istri yang kini sudah terbaring di atas kasur dengan berbalut selimut tebal. Dia berjalan menghampiri sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk."Kau tidak mandi?"Liona tak menjawab, dan justru menarik selimut tebalnya hingga atas kepala. Membuat Sehan mengernyit curiga."Kau sudah tidur?"Masih tidak ada jawaban. Kini Sehan mengalihkan pandangannya pada sofa yang tak terlalu jauh darinya, di atas sofa itu sudah ada bantal dan satu selimut yang dilipat. "Kau menyuruhku untuk tidur di sofa?"Liona berusaha tetap diam dibalik selimut tebal tersebut, matanya terpejam berpura-pura untuk tidur.Sehan hanya menghela nafas kasar. Dia kemudian berjalan ke sofa, membuang handuknya yang basah ke sembarang arah, lalu mulai merebahkan tubuhnya di sofa itu.Tidak ada pilihan lain. "Aku akan tidur di sini."Mata Liona kini mulai terbuka. Hening, setelah Arka mengataka