Sesuai permintaan Sehan, walau mereka belum menikah tapi Liona sudah membawa beberapa barang-barangnya ke rumah laki-laki itu.
Dia baru saja turun dari taksi, dengan membawa satu koper dan tas berukuran besar. Sehan yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Liona, langsung membukakan pintu. "Apa tidak masalah aku memindahkan barang-barangku ke sini sebelum kita menikah?" "Memangnya siapa yang akan melarang? Ini rumahku." Sehan masuk ke dalam lebih dulu, tanpa membantu Liona menyeret koper besarnya. Perempuan itu kemudian duduk di ruang tengah untuk menghilangkan rasa lelahnya. Sehan lalu meletakkan sebuah undangan pernikahan di depan Liona. "Apa ini?" "Undangan pernikahan kita. Aku sudah menentukan tanggalnya, jadi saat keluarga kita bertemu nanti kita hanya perlu menunjukan undangan ini. Mereka pasti setuju-setuju saja. Lagi pula siapa yang berani membantah keinginanku?" Liona sedikit terkejut. Ternyata Sehan sudah menyiapkan semuanya tanpa sepengetahuannya. "Kebetulan, aku juga ingin memberitahu kabar pernikahan kita kepada kakek. Aku sudah sangat lama tidak menemui kakek. Jadi aku akan menemuinya nanti sambil membawa undangan ini." Liona menatap undangan yang baru saja diletakkan di atas meja oleh Sehan. Dia penasaran, dan memutuskan untuk mengeceknya. Sehan duduk di samping Liona, sambil meminum minuman kaleng yang dia ambil dari lemari es. Membiarkan perempuan itu meneliti undangan itu sesaat. "Liona Arrabele?" Liona mengernyit bingung saat mendapati kejanggalan pada undangan tersebut. Sehan nyaris saja menyemburkan minuman yang sudah ada dalam mulutnya. Dia segera merampas undangan tersebut dan melipatnya dengan asal. "Sepertinya salah ketik. Aku lupa, namamu ... Liona Atharya." "Lupa?" Liona nyaris tak percaya. Bagaimana bisa Sehan lupa dengan nama calon istrinya. Tapi, Liona segera sadar dirinya bukan perempuan yang dicintai Sehan. Bahkan pernikahan mereka hanya berdasarkan bisnis. Tapi Liona masih saja bingung. "Siapa Liona Arrabele?" "Ini kesalahan dari tempat yang mencetak undangan ini. Aku akan meminta mereka memperbaiki ulang." Sehan segera beranjak pergi. Walau sudah dijelaskan oleh Sehan, tetap saja Liona masih penasaran. "Tapi ... mungkin yang dikatakan Sehan memang benar. Pasti kesalahan dari orang yang mencetak undangan itu." *** Malam harinya, seperti apa yang Liona katakan pada Sehan tadi. Dia akan menemui Atharya, kakeknya yang sudah lama tak Liona lihat. Tapi sayang sekali, Atharya saat ini ditempatkan di sebuah rumah yang dijaga ketat oleh bodyguard dan perawat suruhan Darwin. Terakhir Liona melihat kakeknya saat dia masih duduk di bangku kuliah, itu pun dia tak terlalu akrab dengan Atharya. Saat ini kakeknya sudah sangat tua dan mengidap demensia, jadi Darwin menjaga ketat Atharya dengan membayar beberapa orang. Dan tak ada yang bisa menemui Atharya jika tanpa persetujuan Darwin atau Gretta. Bahkan saat ini, sebelum Liona ke tempat kakeknya dirawat dia harus ke rumah sang ayah lebih dulu untuk meminta ijin. Liona harap Darwin mengijinkannya karena niat baik Liona. "Kau yakin, aku mengantarkan sampai sini saja?" tanya Sehan sebelum Liona keluar dari mobil. Saat ini mereka sudah sampai di depan rumah Darwin. Tadinya Liona tak mau merepotkan Sehan, tapi karena laki-laki itu juga ada urusan di luar jadi sekalian saja memberikan tumpangan untuk Liona. "Nanti setelah mendapat ijin dari ayah, aku akan mencari taksi untuk mengantarkanku ke tempat kakek." "Kau yakin?" tanya Sehan sekali lagi untuk memastikan. Liona mengangguk menyakinkan, lalu tersenyum senang. "Sehan, aku tau kita sudah berjanji untuk saling membantu. Tapi terimakasih, tidak perlu berlebihan seperti ini untuk mengkhawatirkanku." Laki-laki itu kembali meluruskan pandangannya, lalu menghela nafas kasar. "Siapa juga yang mengkhawatirkanmu. Aku melakukan ini karena kau adalah partner kerjaku saat ini." Liona tersenyum, dia sudah tau hal itu. "Kalau begitu aku keluar ya." Sehan tak menjawab. Liona akhirnya keluar dari mobil. Namun belum sempat sampai pintu utama rumah orang tuanya, dia justru berpapasan dengan Reno yang baru saja keluar dari rumah itu. Liona cukup terkejut. Langkahnya seketika terhenti. Begitupun juga dengan Reno yang baru saja keluar dari rumah Darwin, tentu dia juga terkejut saat menemui Liona di luar rumah. Dia memutuskan untuk segera menghampiri. "Liona, kemana saja kau selama ini?" Liona mengalihkan pandangannya ke arah lain, tak mau menatap laki-laki itu. Entah kenapa setiap melihat Reno hatinya masih saja teriris perih. "Semenjak kau keluar dari rumah sakit aku sama sekali tidak melihatmu. Dan aku juga cukup kaget dengan berita akhir-akhir ini yang mengatakan kau akan menikah dengan Sehan. Pernikahan kita ditunda karena kau mengalami kecelakaan, tapi setelah sembuh kau justru membatalkannya demi menikahi pria lain. Kau mengkhianatiku Liona! "Aku mengkhianatimu?" Liona tersenyum sinis. Dia nyaris tak percaya pada Reno, bisa-bisanya laki-laki itu menyalahkannya. Padahal yang merusak hubungan mereka lebih dulu adalah Reno. "Apa kau lupa, sebelum hari pernikahan kita, kau lebih dulu mengatakan mencintai perempuan lain? Kau mencintai Aoura dan memohon padaku agar tetap melaksanakan pernikahan demi membantumu untuk tetap dekat dengan Aoura. Kau sama sekali tidak peduli dengan perasaanku, dan sekarang kau menuduhku mengkhianatimu?" Reno mendengus kesal. "Tapi, kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan dan tiba-tiba menikah dengan pria lain! Setidaknya kau harus mendiskusikan ini lebih dulu padaku." "Itu hak ku, kau tak boleh ikut campur. Sekarang aku tidak mempunyai urusan lagi denganmu, jangan pernah berbicara lagi padaku!" Liona nyaris melangkah meninggalkan Reno. Namun laki-laki itu segera mencekal pergelangan tangan Liona, menahannya. "Lepas Reno!" Liona memberontak, namun Reno terus mencengkram tangan Liona dengan kuat. "Liona, menikahlah denganku! Ibuku sudah sangat berharap bisa berbesanan dengan keluarga Atharya." "Benarkah? Hanya ingin berbesanan dengan keluarga Atharya, kenapa tidak kamu nikahi saja Aoura? Kamu juga mencintainya kan?" "Liona aku ingin mengatakan satu hal lagi padamu. Kau tidak pantas bersama Sehan, dia lebih pantas dengan Aoura. Dan ... Kenapa aku memilih menikah denganmu? Itu karena kita sama. Jika aku menikahi Aoura pasti itu juga terlihat tidak pantas, sama seperti kau berada di sisi Sehan. Aku sadar, jadi aku hanya bisa mengagumi Aoura dengan cara seperti ini. Tapi, kau ... apa tidak sadar jika semua orang menilaimu seperti memanfaatkan harta Sehan karena menikahinya?" Mata Liona mulai memerah menahan air mata. Hatinya begitu sakit mendengar ucapan Reno. Dia kemudian tersenyum perih. "Aku tidak peduli orang menilaiku bagaimana. Aku akan berusaha membuat diriku terlihat sebanding dengan Sehan, tidak sepertimu yang memilih diam dan mengorbankan orang lain untuk mengagumi perempuan yang kau cintai." "Liona -" "Lepas Reno, kau melukai tanganku!" "Liona, kau -" "Lepaskan Liona!" Reno terhuyung kebelakang, saat seseorang tiba-tiba datang dan mendorongnya dengan kasar. Dia melemparkan tatapan tajam pada Reno. "P-pak Sehan?" Reno gugup. Dia tidak menyadari bahwa Sehan juga ada di sini, begitupun dengan Liona. Perempuan itu pikir Sehan sejak tadi sudah pergi, ternyata mobilnya masih terparkir di sekitar sana. Tak mau berurusan dengan Sehan. Reno sadar dirinya adalah karyawan di perusahaan Wiratama group. Walau Sehan tidak termasuk anggota di perusahaan itu, tetap saja berurusan dengan laki-laki yang memiliki marga Wiratama itu juga sama saja telah melemparkan dirinya ke dalam bahaya. Tatapan Reno kembali pada Liona, memberi peringatan. "Liona, jangan harap kau akan mendapat kebahagiaan jika kau saja tak pernah peduli dengan penderitaan orang lain." Liona terdiam. 'Dulu saat aku menderita, semua orang yang melihatku terluka kenapa bisa bahagia?'Setelah pertemuannya dengan Reno malam itu, Liona jadi sering melamun. Bahkan perempuan itu membatalkan rencananya untuk menemui sang kakek. Hingga hari pernikahan tiba. Keluarga Wiratama dan Atharya juga sudah saling bertemu. Walau Gretta selalu mencari cara untuk membuat Liona terlihat buruk di mata keluarga Sehan, namun pada akhirnya pernikahan tetap dilaksanakan. Hari ini, dengan balutan dress berwarna putih yang mewah. Juga veil dan mahkota berlian yang Liona gunakan, membuatnya tampak lebih cantik dan anggun. Liona sudah selesai dirias. Kini dia duduk di ruang tunggu pengantin sendirian."Liona."Sorot mata yang tadinya terus menatap kosong, kini mengarah pada sosok perempuan yang baru saja memasuki ruangan itu. Tangan Liona seketika mengepal erat. Gretta mulai berjalan menghampirinya dengan senyum mengejek."Kau sangat cantik, ini kedua kalinya aku melihatmu memakai gaun pengantin." Gretta mengamati
Pagi harinya, setelah bangun dari tidur Liona langsung keluar dari kamar. Dia berniat untuk mengambil air minum di dapur, namun justru mendapati Sehan sedang memasak."Sudah bangun?" tanya Sehan tanpa mengalihkan pandangannya. Liona tersenyum, lalu mengangguk. "Sepertinya aku bangun kesiangan." Perempuan itu kemudian duduk di salah satu kursi makan.Kebetulan masakan Sehan sudah matang. Laki-laki itu langsung menghidangkan bubur ayam yang dia buat barusan ke atas meja. "Seharusnya memasak adalah tugasku," ucap Liona yang sadar akan hal itu. Sehan tak menghiraukan, dia mencicipi makanan yang ada di piring Liona."Apa kau tidur nyenyak?" Sehan kini duduk di seberang meja Liona, dia lalu menikmati makanan yang ada pada piringnya.Liona mengangguk. "Tadi aku tidur lewat tengah malam.""Kenapa?"Liona diam sesaat, lalu berdiri dari duduknya. "Tunggu sebentar."Sehan menatapnya bingung. Perempuan itu kembal
Rahang Sehan mulai mengeras, dia melepaskan cekalannya pada pergelangan sang istri dan berpindah mencengkram kerah kemeja Galen. Membuat semua perhatian orang-orang di sana kini tertuju pada mereka. Sehan menarik paksa Galen untuk berdiri, tak peduli sang kakak kesusahan karena kaki kirinya cidera. Dalam hitungan detik, Sehan mendaratkan pukulan tepat di pipi Galen. Membuat Galen seketika ambruk tersungkur menabrak meja lainnya.Seluruh pengunjung di restoran itu berteriak histeris, mereka ikut merasakan takut setelah melihat apa yang Sehan lakukan pada Galen.Sedangkan Liona hanya membelalak tak percaya. Dia ingin menolong Galen, tapi melihat Sehan seperti itu membuatnya juga takut. "Kau ingin mencelakaiku di depan banyak orang lagi? Padahal kaki kiriku sudah tak berfungsi, apa kau tidak puas melihatku seperti ini?" Mata Sehan menusuk tajam ke arah Galen, dia kembali melangkah mendekati sang kakak sambil berucap penuh peneka
"Dua puluh tahun lalu, di acara ulang tahun Sehan yang ke delapan tahun.""Entah apa yang terjadi, Sehan telah mendorong Galen hingga Galen jatuh dari tangga.""Galen mengalami cidera, dan menyebabkan kaki kirinya cacat untuk selamanya.""Semenjak itu, keluarga bahkan orang-orang mulai membenci Sehan. Kenapa Sehan harus melakukan itu pada Galen tanpa alasan?""Sehan menjadi lebih pendiam, dan tidak mau berbaur dengan banyak orang. Hingga usianya menginjak dewasa, Sehan memilih keluar dari rumah Wiratama dan memulai hidupnya sendiri.""Ulang tahun yang biasanya didambakan oleh banyak anak, bagi Sehan ulang tahunya justru membuat kenangan buruk dan merubah kehidupannya.""Mulai saat itu orang-orang membenci Sehan. Bahkan kak Bram juga tampak sangat kecewa pada Sehan. Yang tidak berani marah pada Sehan hanya kak Sandra dan aku."Berlin tersenyum sedih, mengingat kejadian itu. Saat itu umurnya juga telah memasuki usia remaja
Sehan terjaga dari tidurnya, nafasnya sudah tak teratur. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Dia lalu beringsut duduk, dan mengusap wajahnya dengan kasar."Kenapa mimpi itu datang lagi?"Benar, akhir-akhir ini dia bisa tidur nyenyak. Sejak kecil Sehan selalu mengalami mimpi buruk yang membuatnya sering kali takut untuk tidur. Tapi, setelah beberapa hari, kini mimpi buruk itu datang lagi."Apa karena aku melihat Liona menemui kak Galen malam itu?"Sehan segera menggeleng, menepis semua pemikiran buruk yang ada di kepalanya. Dia kemudian beranjak dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju dapur untuk minum.Belum sempat dia menuangkan air minum ke gelas, secarik kertas berada di atas meja telah menyita perhatiannya. Sehan segera mengambil untuk membacanya.'Aku sedang pergi liburan, selama dua hari. Sebenarnya aku ingin mengatakan langsung padamu, tapi sepertinya kamu banyak pikiran jadi aku tidak mau menggangg
Sudah menunjukan pukul delapan malam. Liona sejak tadi terus duduk di sisi kasur. Sesekali dia menatap sang suami yang tengah duduk di sofa tak jauh dari kasur. Entah kenapa sejak tadi Liona tidak bisa menenangkan detak jantungnya. Apalagi ketika teringat ucapan Sehan saat di pantai tadi siang.Sampai sekarang Liona tak paham. Apa maksud Sehan mengatakan hal itu?Sehan mulai berdiri menghampiri sang istri, lalu duduk di sampingnya. Liona menggeser duduknya, menjaga jarak dari laki-laki itu. Namun Sehan justru tersinggung. Dia ikut menggeser duduknya agar kembali dekat dengan Liona.Hal itu membuat jantung Liona terus berdegup tak tenang. 'Apa yang akan Sehan lakukan padaku?'"Liona -""Maaf aku memesan hotel yang ruangannya tidak begitu luas," ucap Liona memotong kalimat Sehan. Entah apa yang ingin dikatakan laki-laki itu, Liona tak ingin mendengarnya. "Tadinya aku berencana untuk liburan sendiri, jadi aku menyewa ruangan yang c
Pandangan Sehan mengarah pada sang istri yang kini sudah terbaring di atas kasur dengan berbalut selimut tebal. Dia berjalan menghampiri sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk."Kau tidak mandi?"Liona tak menjawab, dan justru menarik selimut tebalnya hingga atas kepala. Membuat Sehan mengernyit curiga."Kau sudah tidur?"Masih tidak ada jawaban. Kini Sehan mengalihkan pandangannya pada sofa yang tak terlalu jauh darinya, di atas sofa itu sudah ada bantal dan satu selimut yang dilipat. "Kau menyuruhku untuk tidur di sofa?"Liona berusaha tetap diam dibalik selimut tebal tersebut, matanya terpejam berpura-pura untuk tidur.Sehan hanya menghela nafas kasar. Dia kemudian berjalan ke sofa, membuang handuknya yang basah ke sembarang arah, lalu mulai merebahkan tubuhnya di sofa itu.Tidak ada pilihan lain. "Aku akan tidur di sini."Mata Liona kini mulai terbuka. Hening, setelah Arka mengataka
"Tidak ada yang percaya padaku, saat aku berusaha menceritakan kejadian yang sebenarnya. Mereka justru menganggap aku berusaha menolong diriku sendiri."Liona menatap mata Sehan, tidak ada kebohongan. Liona merasa apa yang dikatakan Sehan barusan memang benar. Membuatnya justru semakin bingung."Semenjak itu aku memilih diam. Karena percuma juga berbicara, tidak akan ada orang yang mau mendengarkanku bukan? Aku memutuskan untuk membiarkan semua orang menilaiku seperti apa yang kak Galen ceritakan."Sehan kini melepas genggamannya pada tangan Liona, dan beralih memegang kedua bahu perempuan itu. Menatapnya dengan serius. "Bahkan kak Galen juga pernah mengatakan, dia akan menghancurkan orang-orang di sekitar ku, dan juga orang yang sangat aku cintai. Itu sebabnya aku meninggalkan keluarga Wiratama, karena aku tidak ingin terlihat dekat dengan siapapun dan membuat kak Galen membenci keluarganya sendiri karena aku. Aku ingin kak Galen menerima mama,