Wanita itu masih berbaring di tempat tidur saat aku keluar dari kamar mandi. Aku menemukannya tergeletak di trotoar dalam perjalanan pulang dari kedai mi ayam milikku. Aku tidak kenal wanita itu sama sekali. Mungkin dia terlalu banyak minum alkohol namun kalau kuperhatikan wajahnya, dia sama sekali tidak terlihat seperti wanita pemabuk atau wanita yang bekerja di klub malam.
Aku tidak bermaksud buruk terhadapnya, hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantu wanita itu supaya tidak kedinginan di luar sana saat hujan begini.
Bajunya sudah kuganti dengan yang kering. Meski ukurannya kebesaran, setidaknya dia tidak akan masuk angin karena mengenakan baju yang basah.
Sambil menunggunya bangun, aku menyibukkan diri bermain playstation. Memasang semua kabel penghubung ke smart TV. Logo produsen muncul begitu kutekan tombol pada remote. Selanjutnya, aku menekan tombol untuk menghubungkan ke playstation. Menu game kemudian muncul. Sudah lama sekali aku tidak memainkan playstation yang sudah lama kubeli ini.
“Siapa?”Terdengar suara parau dari belakang.
“Sudah bangun?” tanyaku tanpa menoleh ke sumber suara karena mataku fokus pada layar dan jariku asik menekan konsol.
“Ke ... kenapa aku di sini?” Aku tidak langsung menjawab. Suara konsol gim terdengar lebih menyenangkan.“Kamu siapa?” tanyanya lagi. Aku masih tidak memerdulikannya dan fokus pada permainanku. Lalu tiba-tiba saja layar smart TV berubah jadi gelap. “Aish! Lagi seru, nih!" umpatku. Wanita itu mengacungkan remote, seakan-akan benda itu adalah senjata. Rambut hitam panjang sebahu wanita itu terlihat lepek dan kusut. Mata sipitnya melebar.“Kamu siapa? Kenapa aku di sini?”Aku meletakkan konsol gim di lantai, berdiri dan pelan-pelan mendekat. Tatapan matanya awas. Sembari terus mengarahkan remote seperti mengarahkan pistol, dia mundur selangkah-selangkah seiring dangan langkahku yang maju mendekat.
“Bingung?”“Apa maksudnya itu? Tentu saja aku bingung. Bangun-bangun ada di rumah orang asing!” nadanya mulai meninggi.“Justru aku yang bingung. Lagian, kamu ngapain tidur di trotoar malam-malam begini? Apa kamu mabuk?” Aku mendekatkan wajahku lalu mengendusnya.“Gak bau alkohol sama sekali.”Kaki jenjangnya terus melangkah mundur hingga masuk kembali ke kamar. Aku duduk di tepi tempat tidur sementara, dia tetap waspada, menjaga agar bagian depan badannya tetap berhadapan denganku.
“Aku mau pulang!” rengeknya. Dengan santai aku meraih gorden, menyibaknya. Menunjuk suasana di luar, begitu gelap di tengah derasnya hujan.“Masih hujan deras di luar. Sudah larut malam juga.”“Pokoknya aku mau pulang!”Degar! Petir menggelegar di luar sana, bak lampu flash kamera yang memotrek objek.Wanita itu memerosot ke lantai sambil menutup kedua telinga dengan tangan kurusnya.
“Yakin berani pulang sendiri?” tanyaku sambil menyilangkan kaki.“Pokoknya aku mau pulang, titik!” bentaknya.
“Oke!”Aku menarik tangan yang menempel di telinganya, mengantarnya ke pintu kemudian menghempas tubuhnya keluar, mengunci pintu secepat mungkin.
Bukannya bermaksud kasar terhadap wanita tapi, dia sendiri yang merengek ingin pulang.
Degar!
Petir kembali menggelegar di langit dalam waktu sepersekian detik.
“Buka! Buka pintunya!” teriak wanita itu dari luar.
Dia menggedor pintu dengan keras."Buka pintunya, woy!""Pulang saja sendiri!" teriakku dari dalam. Bukannya berhenti menggedor pintu, dia malah menggedor semakin keras. Nyaris memecah gendang telinga. “Berisik! Katanya mau pulang?” bentakku sembari membuka pintu lebar-lebar. Wanita itu terisak, menggidikan bahu mendengar bentakanku.
“Masuk!” perintahku.
Dia masuk dengan langkah lunglai, menunduk dan takut. Namun begitu melewatiku yang berdiri memegang pintu, dia berlari ke ruang tamu, duduk di lantai beralaskan karpet berwarna biru muda.
"Merepotkan!" umpatku pada diri sendiri. Aku melenggang ke belakang konter dapur. Mengambil gelas kaca lalu memenuhinya dengan cairan berwarna bening dari dispenser. Aku membawanya kehadapan wanita itu.
“Tenang dan minum dulu!” Gemang, tangan wanita itu merebutnya dengan kasar, nyaris tumpah namun diteguknya juga cairan berumus kimia H2O itu, habis dalam sekali teguk bak seorang kelana dari gurun pasir yang menemukan oasis. Aku bersila berhadapan dengannya di atas karpet."Jangan dekat-dekat!" bentaknya. Aku mengusap wajah, mengela napas dan mengembuskannya kasar."Mau aku keluarkan lagi atau bagaimana?" Kutatap dalam-dalam matanya yang basah. Lagi-lagi, dia hanya terisak.“Aku bukan orang jahat, Nona!" Dia memeluk lutut. “Kalau lapar, di atas meja makan ada bubur. Mungkin udah sedikit dingin tapi, masih layak makan, kok. Kamu mau pulang pun gak bisa!" Derau air di luar sana semakin deras, hujan malam ini tidak akan mereda dalam waktu singkat."Besok aku harus tunangan, kalau gak pulang malam ini apa kata orang tuaku nanti?" ucapnya lirih.“Kalau hujannya sederas ini tidak akan segera mereda. Di luar juga bahaya!”Aku mengingatkan.“Malam ini boleh pakai kamarku, aku tidur di kamar sebelah,” ucapku sembari meninggalkannya yang masih duduk memeluk lutut. Aku masuk ke dalam selimut putih. Meski mencoba untuk memejamkan mata tetap saja alam bawah sadarku tidak dapat menggiringku untuk masuk ke mimpi. Pikiranku terganggu oleh wajah tirus wanita itu. Dari jendela kamar ini, aku melihat dengan jelas hidung pesek yang mengembang dan mengempis karena menarik napas. *** Sudah jam setengah dua belas malam, sejak dia merengek ingin pulang aku jadi hanya mengerjapngerjapkan mata di atas kasur. Entah sudah berapa posisi yang kucoba untuk memaksa diri ke alam mimpi akan tetapi tetap saja, aku mengkhawatirkannya. Tidak tahan lagi dengan perasan gelisah ini, aku menghampirinya. Posisi duduknya tidak berubah, masih memeluk duduk dan menopang dagunya di atas lengan."Kamu kenapa?" tanyaku. Alih-alih menjawab pertanyaanku dia menangis sejadi-jadinya. "Eh .. Ssssst!" Aku menempelkan jari telunjuk di bibir. Mencoba menenangkannya."Ini tengah malam, bisa-bisa suaramu mengganggu tetangga!" bisikku. Melihat tingkahnya seperti bocah, aku menepuk pipiku. Entah kenapa aku jadi menyesal membawanya ke sini meski niatku baik."Nona, tenanglah!" tegasku sekali lagi. Mataku berkelana menari sesuatu untuk menenangkannya lalu, terhenti ketika mataku menangkap bungkus teh hijau di atas konter dapur. Otakku bergerak dengan cepat, memerintah untuk menyeduhkannya teh hijau. Aku kembali padanya dengan cangkir yang menguarkan uap, duduk bersila di depannya."Minumlah!" Kusodorkan cangkir benda di tanganku kepadanya. "Ini udah malam, setelah ini tidur, ya!" ucapku kepadanya yang sedang menyeruput teh. Wanita itu mengangkat wajah, memandangku lekat-lekat."Kamu gak ngapa-ngapain aku, kan?" tanyanya penuh curiga."Ngapa-ngapain gimana?" Sejurus kemudian dia mengerutkan badan. Menyadari dia sudah salah sangka, aku menepuk pipi. "Huft. Jangan negatif thinking begitu. Aku pilih-pilih kalau soal wanita. Aku gak selera sama wanita yang tiduran di trotoar!" ucapku. Mata wanita itu kembali memincing. Aku sudah salah sangka karena menganggapnya menerim niat baikku. "Tapi, kamu itu laki-laki. Tampangmu mesum!" Seenaknya saja berkata begitu. Benar-benar wanita tidak tahu diri. Padahal aku sudah menolongnya sampai mengorbankan waktu tidurku."Masih bagus tampangku saja yang terlihat mesum. Kalau kamu dipungut oleh pria mesum beneran gimana?" umpatku. Matanya memandangku lurus-lurus, menutup seluruh bagian depan tubuhnya dengan lutut."Kalau gak percaya padaku, kamu cuma punya satu pilihan. Keluar!" ucapku. Dia malah membulatkan mata, ujung bibirnya melengkung turun."Di luar sana bahaya malam-malam begini. Kamu bisa ketemu pria hidung belang, begal atau anjing liar." Melihat wajahnya memucat, aku menghentikan kata-kataku."Besok pagi aku akan mengantarmu pulang. Sekarang tidurlah!" "Bener?""Kenapa harus bohong?" Aku berdiri, sekali lagi memperingatkannya untuk kembali tidur. Ragu-ragu, dia melangkah pelan ke kamarku. Menutup pintu kemudian, aku tidak tahu lagi kegiatannya di dalam kamar kesayanganku itu.Aroma hujan semalam bercampur dengan aroma embun. Jalanan yang basah dan daun yang dipaksa gugur karena tertimpa hujan mengotori jalanan."Kenapa kamu rapi banget pagi-pagi begini?" Suara parau wanita dari balik pintu. Rambutnya yang panjang sebahu awut-awutan, setengah mengantuk. Kantung matanya terbentuk efek menangis tadi malam. “Pagi! Tidurnya nyenyak, ya?” sapaku sembari mengancing pergelangan jas berwarna biru langit. "Mau kopi?" tawarku."Jawab dulu! Mau kemana?"“Ada acara keluarga,” jawabku. Air mukanya berubah, dia mer
Rasanya pagi ini datang begitu cepat. Aku tidak tahu harus memulai pagi dengan bahagia atau biasa saja. Sejak menyalakan mesin wagon kesayanganku, dadaku rasanya kacau. Sambil menunggu mesin panas, aku berpamitan pada orangtuaku. Menyalim tangan mereka. Hanya pesan untuk berhati-hati di jalan saja yang mereka ucapkan untuk melepasku sebelum masuk ke dalam wagon dan duduk di belakang setir. Kakiku ragu-ragu menginjak pedal gas. Satu-satunya yang terbayang di wajahku adalah reaksi di wajah mungil Erika saat aku menyetor muka ke rumahnya. Membuang keraguanku jauh-jauh, aku menginjak pedal gas. Selang sepuluh menit, aku sudah sampai di depan rumah Erika. Sebelu
Tepat pukul 08:00, aku sampai di kedai mi ayam milikku. Yus dan Dita sedang sibuk membersihkan kedai sebelum buka. Semua persiapan sebelum membuka kedai pagi ini sudah oke. Meja-meja tertata rapi. Kami duduk melingkari meja bundar untuk briefing. “Gimana penjualan kemarin?” tanyaku pada Dita.“Seperti biasa, pelanggan ramai saat jam makan siang, setelah itu turun. Tapi, dua hari ini ramai saat makan malam,” terang Dita yang berambut ikal. Usia Dita dua tahun lebih muda dariku. Dia gadis pekerja keras meskipun wajahnya biasa saja. Di saming latar belakangnya sebagai lulusan akuntasi, Dita selalu berpenampilan menarik, itulah alasanku mempercayakan posisi penjualan padanya. “Ok, itu bagus.Lalu, stok bahan sangat tertata rapi, y
Klik! Aku menekan sakelar yang menempel pada tembok, mataku refleks menutup begitu cahaya lampu 45 watt mengenai wajahku. Seketika, ruangan ini jadi terang. Sudah jam setengah sembilan malam, hari ini kedai tutup lebih awal. Kulangkahkan kakiku masuk, Erika belum datang dari bekerja. Aku merebahankan badan di lantai yang beralaskan karpet, merentangkan kedua tangan memandang langit-langit kamar. Tidak ada hal senikmat ini setelah pulang kerja untuk melepas lelah. Baru hari kedua aku tinggal dengan Erika, sudah dua hari ini dia pulang malam. Diantar pacarnya yang terlihat berandalan itu. Dua hari ini tidak pernah ada obrolan serius di antara kami. Hanya aura dingin yang memancar dari wanita itu. Puas melepas lelah dengan rebahan sekadarnya, aku bangkit l
Erika masih tertidur di ranjang. Entah jam berapa Bu Manajer itu masuk ke alam mimpinya semalam. Aku tidak tega membangunkannya. Meskipun kami tinggal bersama, ini tetap rumahku dan Erika adalah tamu. Aku harus tetap membersihkannya sendiri tanpa merepotkannya. Aku merapikan semua ruangan kecuali kamar tidurku yang sekarang ditempati Erika. Kamar ukuran 3x4 meter yang selalu jadi tempat istirahat. Ranjang yang melelapkan, rak buku fiksi dan dinding yang dicat degan warna biru langit. Tidur di kamar itu benar-benar seperti tidur di surga. Aku benar-benar merindukan kamarku. Aku mengarahkan mesin penyedot debu ke permukaan lantai sambil mendengarkan musik milik grup band Aerosmith. Bersiul mengikuti irama lagu 'I Don't Want To Miss A Things'. Sesekali aku
Tidak ada hal berfaedah yang bisa dikerjakan hari ini. Hampir tiga jam aku menekan konsol game sambil menatap layar smart TV, bermain soccer sepuasnya. Erika sibuk membaca buku koleksi milikku. Hanya sesekali dia keluar kamar untuk minum atau ke toilet. Ting Tung! Ting Tung! Suara bel dari pintu masuk. Aku menghentikan kegiatanku kemudian bangkit dari posisi bersila.“Sebentar!” teriakku sambil mendekat. Aku mengintip ke layar interkom. Sosok Mama berdiri di depan pintu dengan keranjang belanjaan penuh sayur.
Beberapa pelanggan tampak duduk berkelompok di kedai sembari menikmati hidangan. Sesekali mereka tertawa dan bercanda satu sama lain.Dari luar kedai, cahaya matahari menyengat kulit siapa saja yang berjalan di bawahnya.“Selamat datang, Pak Pras!” Yus menyapa ramah. “ Tolong buatkan aku kopi.” Aku duduk di depan meja konter. “Baik!” “Gimana beberapa jam ini?” tanyaku pada Yus. “Lumayan, walau gak ramai tapi ada aja
Tubuhku terlentang lurus di atas karpet di ruang tamu, melebarkan brosur yang kudapatkan. Menimbang untuk bekerja sebagai freelancer di perusahaan yang tertulis di dalam brosur. Tidak mudah juga menjadi pengusaha mi ayam. Setidaknya, aku harus berkerja lalu menabung untuk menutupi kekurangan di kedai. Kuhela napas dalam, memandang langit-langit kamar kemudian terdengar suara langkah masuk. Sosok Erika melewatiku yang rebahan di atas karpet kemudian, pintu kamar ditutup tanpa menyapaku. Tumben sekali Bu Manajer itu pulang cepat. Beberapa menit kemudian, Erika keluar dengan kaos polos dan celana kain.