Aroma hujan semalam bercampur dengan aroma embun. Jalanan yang basah dan daun yang dipaksa gugur karena tertimpa hujan mengotori jalanan."Kenapa kamu rapi banget pagi-pagi begini?" Suara parau wanita dari balik pintu.
Rambutnya yang panjang sebahu awut-awutan, setengah mengantuk. Kantung matanya terbentuk efek menangis tadi malam.“Pagi! Tidurnya nyenyak, ya?” sapaku sembari mengancing pergelangan jas berwarna biru langit. "Mau kopi?" tawarku."Jawab dulu! Mau kemana?"“Ada acara keluarga,” jawabku. Air mukanya berubah, dia merangsek kembali ke kamar.“Dimana baju yang kupakai semalam?” teriaknya dari dalam.
"Aku gantung di balik pintu!" balasku. Brak! Pintu dibanting dengan keras hingga membuat bahuku bergidik. Seenaknya saja kasar terhadap fasilitas yang kumiliki.Kalau tidak salah dengar, semalam dia mengatakan dengan raut muram jika hari ini adalah hari pertunangannya. Bukankah seharusnya dia bahagia? Anehnya, raut bahagia sama sekali tidak tergambar di wajahnya itu.
Beberapa menit kemudian wanita itu keluar dari kamar dengan kemeja lengan panjang. Ujungnya dimasukan rapi ke dalam rok motif bunga-bunga warna hijau. Bajunya masih terlihat lembab, aroma apek sedikit tercium karena digantung di dalam kamar.“Antar aku!” pintanya.
"Mau kopi? " tawarku sekali lagi."Gak usah!""Hari ini kamu tunangan, kan? Berbahagialah sedikit, Nona!" "Bukan urusanmu! Pokoknya cepat antar aku pulang!" "Oke!" Bagaimanapun juga, aku harus bertanggung jawab karena semalam telah 'memungut' wanita ini di trotoar.
Tanpa banyak bicara kami masuk ke dalam mobil wagon milikku. Aku duduk di belakang kemudi lalu menyalakan mesin. Sementara wanita itu memasang sabuk pengaman.“Tolong antar aku ke alamat ini!” Dia memperlihatkan sebuah alamat pada memo smartphone-nya.“Jalan Kartini, No. XX Gang XX, Denpasar.” Aku membaca alamat itu perlahan. Alamat yang tidak asing bagiku.
Deru mesin dan suara klakson di jalanan kota yang padat membuatku harus mengemudikan wagon hitamku dengan kecepatan standar.“Bisa cepat dikit gak?” protesnya.
“Gimana mau cepat? Kamu tahu kan, lalu lintas pagi hari di kota ini padat. Tuh, traffic light di depan aja padat begitu.” Aku menunjuk ke arah traffict light di depan. Kendaraan mengantri menunggu lampu hijau menyala. Dia memasang wajah kesal. Saat seperti ini, seharusnya aku yang kesal karena dia seenaknya saja memperlakukanku seperti sopir pribadi. Terdengar nada dering dari smartphone milik wanita yang duduk di sebelahku. Dia kemudian mengeluarkan benda pipih dari dalam tas tangan.“Iya, Ma. Ini lagi di jalan. Sebentar lagi sampai, kok.”
Setelah menutup panggilan, dia mengeluarkan kekesalannya lagi.“Kalau aku telat ke acara lamaranku ini semua salahmu, ya!”
Aku menginjak pedal gas perlahan, mengatur laju mobil. Tangan kiriku memegang tuas perseneling.
“Loh, Kok jadi aku yang salah? Udah tahu mau tunangan hari ini malah berkeliaran. Tidur di trotoar lagi!" sanggahku tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan padat di depan."Cih!"
Wanita itu membuang muka, melipat tangan ke dada.Kamu pikir kamu saja yang jadi terlambat? batinku.
Hampir tiga puluh menit kami berada di tengah kemacetan. Meski melaju pean, mobil yang kukendarai akhirnya berhasil keluar dari kerumunan benda besi itu. Memasuki jalur yang lenggang.Aku sudah hapal jalanan di kota ini, menemukan alamat tujuan wanita ini pun jadi sangat mudah.
Mobil wagonku berhenti tepat di depan sebuah rumah. Pagarnya terbuat dari besi yang dicat hijau. Aku mendongak, melihat ke dalam halaman, dari sini tampak suasana ramai di dalam rumah."Ramai juga sambutan untuk calon tunanganmu." Aku berkomentar. Tanpa berkata apa-apa, tahu-tahu pintu wagonku sudah terbuka. Dia sudah di luar mobil kemudian menutup pintu. Dari balik jendela, seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan pertanyaan.Buk!
Pintu wagon ditutup kasar tanpa perasaan.
Sungguh wanita yang tidak sopan, dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih setelah aku memungutnya semalam. Lalu, mengantarnya ke sini demi acara pertunangannya.Sampai di sini, urusanku dengan wanita itu sudah selesai. Aku mengenakan kacamata hitam kemudian melajukan mobil ke rumah orang tuaku.
***
Begitu aku mematikan mesin , suasana dari luar tampak sedikit krodit di dalam rumah. Aku disambut Ryan, sepupuku yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. "Pras, bandel banget dikasi tahu buat siap-siap hari ini,” ucap mama sambil merapikan dasiku yang miring. “Kayaknya semua udah siap, ya?” Kusapukan pandangan ke ruang tamu. Suasana di dalam sana ramai oleh keluarga dekat. Parcel dan semua persiapan untuk lamaran sudah siap di atas meja. Hari ini adalah hari pertunanganku dengan seorang wanita yang sama sekali tidak pernah kutemui. Dua bulan lalu Papa hanya bilang kalau aku akan dijodohkan dengan putri sahabatnya. Membayangkan bagaimana wajah calon tunanganku itu membuatku sedikit was-was.Berbagai bentuk dan paras wajah terbayang di kepalaku. Pokoknya tidurku hampir tidak bisa nyenyak. Aku pernah meminta Papa menunjukkan foto calon tunanganku tapi, Papa malah mengatakan kalau wajah calon tunanganku itu cantik, hitam manis.Semoga saja aku tidak dijodohkan dengan kecap.“Kamu gugup?” tanya Papa.
“Biasa aja, Pa.”Meskipun aku menunjukkan ekspresi datar, di dalam dadaku ada sesuatu yang membuat jantungku berdebar. Bahagia dan was-was bercampur di dalam sana.
Aku tidak tahu siapa nama dan bagaimana rupa wanita yang akan jadi calon istriku nanti. Singkatnya ini pertunangan paksa. Aku ditunangkan dengan anak teman bisnis Papa yang kabarnya sudah seperti keluarga. Mereka berjanji untuk menjodohkan anak-anak mereka sewaktu mulai membangun bisnis puluhan tahun silam. Hal lain yang kuketahui tentang calon tunanganku adalah, dia berpendidikan tinggi. Pokoknya, calon tunanganku itu adalah wanita sempurna di mata Papa. Itu berarti aku korban, kan?
Semuanya sudah siap, kami berangkat menuju rumah calon tunangan yang tidak kukenal. Hanya aku, papa dan mama yang berangkat ke rumah calon tunanganku. Tetangga yang membantu mempersiapkan lamaran sudah mulai pulang ke rumah.Papa yang menyetir. Aku tidak bisa membayangkan akan jadi apa masa depanku nanti jika pertunangan kami seperti ini. Tidak mengenal satu sama lain bahkan rupanya saja tidak pernah lihat. Kuharap wanita yang dilamar hari ini menolakku. Sepuluh menit kemudian kami sampai di tempat yang dituji. Mataku membulat ketika mobil diparkir di depan rumah berpagar hijau.“Pa, benar ini rumahnya?” tanyaku memerhatikan sekeliling sambil memastikan.“Iya, emang kenapa? Kamu pernah ke sini?” Tidak salah lagi, ini adalah rumah wanita yang semalam tidur di trotoar.“Ayo turun!” ajak Mama. Aku berjalan di belakang mereka memasuki halaman rumah berpagar hijau.“Halo, Pak Bos!" Papa menyapa seorang pria yang berdiri di depan pintu. Mereka menjabat tangan lalu berpelukan. Mama juga begitu dengan wanita yang ada di sebelah bapak itu. Sepertinya mereka sangat akrab dilihat dari cara mereka berbasa basi. Aku mendongak ke dalam rumah, hanya ada beberapa orang lalu lalang di dalam sana. Beberapa lainnya memerhatikan kami.“Nah, ini Prastu.” Papa memperkenalkanku.“Pras, ini Om Jayanta, ayo salim!"“Halo Om, Tante," sapaku. Aku menjabat kedua tangan pasangan suami istri itu bergantian.
“Wah, gantengnya ya. Hahaha.” Bapak itu memuji sambil mengelus pundakku. “Ah, anakmu juga cantik.” Papa balik memuji. “Masuk yuk, ditunggu di dalam!” ajak istri Om Jayanta. Rumah ini dibilang sederhana dari luar tapi, begitu masuk, kamar tamunya begitu luas. Banyak furnitur mewah dan sofa bergaya eropa warna merah marun. Lemari yang berjejer memuat berbagai macam buku dan piagam penghargaan. Pigura terpajang sebagai penghias. Mataku membulat ketika menangkap salah satu pigura keluarga. Di dalam gambar itu terpampang wajah wanita yang tidur di trotoar. Dia mengenakan dress merah marun, rambutnya tergerai dengan posisi berdiri di belakang kedua orangtuanya. Di sebelahnya, berdiri seorang gadis dengan pose tersenyum sambil memegang pundak ibunya. “Pras!” Mama membuyarku.“Aku pun mengambil tempat duduk ditengah kedua orangtuaku, berhadapan dengan Om Jayanta dan istrinya. Di Meja sudah diletakkan segala sesuatu yang kami bawa.“Sebentar lagi turun kok,” kata Om Jayanta. Perasaan di dalam dadaku ini semakin berkecamuk, menerka-nerka siapa dari dua orang dalam pigura keluarga itu yang akan bertunangan denganku hari ini. Tap! Tap! Tap! Suara sepatu hak tinggi saat berbenturan dengan permukaan lantai. Langkah itu menapaki tangga spiral di dalam ruang tamu. Sosok gadis manis berjalan dengan menampakkan senyum manisnya. Lesung pipi menambah kesan manis. Dalam balutan dress warna biru langit, gadis itu sangat menawan. Kalau kuperkirakan usianya mungkin selisih tiga tahun dari usiaku. Begitu dia menggeser badannya, aku terperangah melihat wanita di belakangnya yang mengenakan gaun formal warna biru, berjalan menunduk. Aku tidak berkedip sama sekali, sementara degub di dadaku semakin kencang. Keduanya bak putri ketika mereka duduk diantara kedua orang tuanya. Keluargaku dan keluarga itu kini duduk berseberangan. Perlahan, wanita dengan gaun formal mengangkat wajahnya, rambutnya yang tergerai membuatnya jadi tampak anggun. Dia tertegun saat matanya menangkap sosokku yang duduk memandanginya.“Ka ... kamu?” Aku mengidikan bahu.“Loh, kalian udah kenal?” tanya Papa."Enggak!” Kami menyahut berbarengan lalu menunduk. Pertunangan macam apa ini? Bisa-bisanya wanita yang tidur di trotoar jadi tunanganku.“Baiklah, kita mulai saja ya, Bosku.” Om Jayanta membuka acara.“Nah, seperti yang kita bicarakan dan berdasarkan janji kita waktu muda dulu. Anak pertama kita akan dijodohkan berapapun gap usia mereka. Syukurlah, Tuhan memberi kita kesempatan untuk itu. Jadi, Pak Jayanta. Kedatangan kami ke sini untuk melamar Putri Bapak, Erika Hana yang akan kami jodohkan dengan putra kami, Prastu Eka Dipayana. Mohon terima lamaran kami.” Papa langsung saja ke poin lamaran ini tanpa basa-basi. “Bagaimana Erika? Apakah kamu mau menjadi calon istri dari Prastu?” tanya Om Jayanta pada putrinya. Dalam mata wanita itu, tersimpan keraguan. Seolah terpaksa menepis keraguan, dia kemudian menjawab,“I..iya.” Jantungku nyaris copot mendengar jawabannya itu."Seriusan aku akan menikah dengan wanita yang suka tidur di trotoar?" batinku.
“Nah, kalau begitu tidak ada masalah Pak Bagus, Erika juga sudah setuju.”“Dengan senang hati, kami merasa terhormat kalau Erika mau jadi menantu kami.” Papa dan mama terlihat puas, begitu pun dengan Om Jayanta dan Istrinya. Tapi, Erika masih terlihat tertunduk dan punggungnya terus dielus oleh saudaranya. Padahal, aku belum menyatakan persetujuanku atas pertunangan ini.“Oh ya, lupa saya kenalkan. Ini Dwi Harmoni, adik Erika” Tante Ridwan memperkenalkan gadis di sebelah Erika. Dia hanya senyum dan bilang, “Halo.” Melihat Erika yang terus tertunduk, aku pun mulai bicara.“Om, Tante. Boleh ijinkan saya dan Erika ngobrol berdua?” tanyaku.“Oh, boleh banget. Kalian bisa ngobrol di taman belakang. Ayo Erika, ajak Prastu ke taman belakang. Kalian ngobrol dululah sebentar,” ucap Om Jayanta. Mata Pria di balik kacamata itu berbinar. Aku mengikuti langkah Erika ke taman belakang.Taman ini juga cukup luas. Bermacam-macam jenis bunga pun ditanam di sini. Erika mengambil tempat di bangku taman yang panjang di bawah pohon perindang. “Kita ketemu lagi. Ternyata aku yang melamarmu. Gak, maksudnya orang tuaku.” Mata Erika tiba-tiba memincing.“Lelucon macam apa ini?” “Apanya yang lelucon, aku saja gak tahu kalau kamu yang akan jadi calon istriku!” Aku menghela napas dalam lalu duduk di sebelahnya. “Lagipula, kenapa kamu menerima lamaran ini?” tanyaku. Erika tertunduk lalu suara paraunya melembut.“Aku gak boleh menentang orang tua, pokoknya aku harus bilang iya.”“Jadi itu alasanmu kabur semalam dan tidur di trotoar?” Erika mengangguk pelan.“Aku ketemuan sama pacarku semalam. Aku berencana gak pulang dengan alasan lembur kerja, berbohong. Pacarku marah begitu aku jujur tentang pertunangan ini. Dia pergi gitu aja ninggalin aku semalam.”“Tapi, kamu masih kontak dengan pacarmu?” Lagi-lagi dia mengangguk pelan Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih. Perasaan bersalah menghujam dadaku sekarang.“Hmm...kalau boleh tahu, pekerjaanmu apa?” Aku mencoba memecah kecanggungan di antara kami.“Project Manager di sebuah industri makanan.”“Wow!”“Kamu?”“Tukang mi ayam.” Senyum yang dipaksakan mengembang di bibir Erika.“Kalau kamu masih cinta sama pacarmu, kamu batalin aja lamaran ini!" saranku.“Udah gak bisa.” “Aku ada ide!” “Apa?”“Ikut aku.” Aku menarik tangannya kembali ke ruang tamu.“Eh, udah?” Mama memandang kami yang masuk dari pintu belakang.“Pa, Ma, Om, Tante. Supaya kami semakin mengenal satu sama lain, kami memutuskan Erika akan tinggal di rumah saya mulai besok.” Orang tua kami kaget medengar perkataanku, Erika pun mencubit lenganku sampai rasanya sakit tapi terpaksa kutahan.“Lho? Kalian kan belum nikah?” kata Papa.“Kami ga akan melakukan hal yang terlarang, kok. Lagipula kalau kami ngobrol sekarang, waktunya gak cukup. Kalau kami ketemu untuk lebih dekat, saya rasa Erika jarang ada waktu mengingat pekerjaannya yang menyibukkan.” Aku berusaha meyakinkan.“Yah, betul juga. Asal janji jangan ngelakuin hal yang dilarang sebelum nikah!”“Tenang, Om! rumah saya ada dua kamar. ““Oke.”
Wajah Erika mengerut, keputusan sepihak yang mendapatkan persetujuan orang tuanya pasti mmebuat perasaannya berantakan. Raut wajahnya mengatakan, "Cih! Harus tinggal serumah denganmu." Acara pertunangan hari ini sudah selesai. Aku memutuskan menginap di rumah orang tua karena besok harus menjemput Erika. Ide untuk mengajaknya tinggal bersamaku datang begitu saja. Alih-alih kami belum akrab, tanpa ide seperti itupun Erika sebenarnya Erika masih bisa bertemu pacarnya diam-diam. Akan tetapi, sudah terlanjur terjadi.***“Gimana kesan pertama ketemu Erika?” tanya Papa. Kami duduk berdua di beranda rumah, langit hanya menampakkan beberapa bintang.“Cantik?”
“Hmm, Gimana, ya?” Andaikan ptahu, kesan pertamaku bertemu dia semalam.“Iya, cantik. Dari wajahnya juga Pras tahu kalau dia berwawasan luas, cerdas, berpendidikan. Karier tinggi,” jawabku memuji.“Dia cocok jadi istrimu. Anaknya baik walaupun dia sebenarnya lima tahun lebih tua darimu, Nak.” Mama menyahut, keluar dari dalam rumah dengan membawa kopi untukku dan Papa.what, lima tahun lebih tua?“Gak salah ini? Atas dasar apa perjodohan ini?” Aku bisa merasakan alisku berkenyit.Papa menyeruput kopinya yang masih agak panas. Setelah itu menjawabku.“Jadi gini, janji Papa dan Om Jayanta adalah menikahkan anak pertama. Selisih usia gak masalah.” Baiklah, aku dan Erika sah jadi korban janji orang tua. Tidak bisa memilih cinta sesuai kriteria. Erika lebih cocok jadi kakak ketimbang istriku. Aku tidak bisa menebak usia Erika dari wajahnya semalam. dia masih terlihat seperti seusiaku. Belum menikah saja sudah terbayang yang aneh-aneh kalau kami jadi menikah. Erika akan tua lebih cepat daripada aku, banyak aturan darinya. Aku akan jadi bapak rumah tangga karena Erika adalah wanita karir dan aku hanya penjual mi ayam. Bayanganku mengarungi bahtera rumah tangga bersama Erika tidak sampai di situ saja. Kalau kami dikaruniai tiga orang ana, Erika lebih cocok jadi nenek untuk anak ketiga kami."Astaga Prastu, jauh sekali kau memikirkan masa depanmu dengan wanita yang kau pungut di trotoar semalam," batinku.“Apa Papa gak malu jodohin aku sama Kak Erika? Dia manajer, sementara aku cuma tukang mi ayam loh, Pa. Pendidikanku juga cuma D3.”“Enggak masalah! Kamu itu bos mi ayam, Erika hanya manajer. Dengan kata lain, kamu punya usaha sendiri sedangkan Erika adalah seorang karyawan dengan kewenangan lebih tinggi."Papa menyeruput kopinya sekali lagi.“Kamu yakin mau tinggal bareng sebelum nikah?” Mama menyambung obrolan setelah hening sejenak.
“Aku dan Erika belum kenal satu sama lain, jadi aku rasa ini gak masalah.”
“Bukan karena kamu kebelet begituan, kan?” Papa menatap lurus-lurus.“Aduh, enggak kok Pa. Cuma untuk kenal saja.”Bahkan aku tidak kepikiran untuk punya anak di usiaku yang sudah 27 tahun ini. Masih banyak yang harus aku urus dalam hal karir. Wajar saja Papa bertanya begitu karena itu adalah permintaan yang langka.
“Ya sudah, ayo tidur!” Papa berdiri, mengakhiri obrolan kami. Diikuti mama yang terlebih dulu membersihkan cangkir bekas kopi Papa.“Nanti masuk angin, jangan lama-lama di luar!”“Ehm.”Suara jangkrik menemaniku di beranda. Bertunangan dengan wanita yang lima tahun lebih tua dariku rasanya seperti memutus jalan hidupku yang masih panjang. Karena aku sudah memutuskan untuk tinggal bersama wanita mulai besok, aku harus bertanggung jawab dengan apa yang kukatakan tadi siang.
Rasanya pagi ini datang begitu cepat. Aku tidak tahu harus memulai pagi dengan bahagia atau biasa saja. Sejak menyalakan mesin wagon kesayanganku, dadaku rasanya kacau. Sambil menunggu mesin panas, aku berpamitan pada orangtuaku. Menyalim tangan mereka. Hanya pesan untuk berhati-hati di jalan saja yang mereka ucapkan untuk melepasku sebelum masuk ke dalam wagon dan duduk di belakang setir. Kakiku ragu-ragu menginjak pedal gas. Satu-satunya yang terbayang di wajahku adalah reaksi di wajah mungil Erika saat aku menyetor muka ke rumahnya. Membuang keraguanku jauh-jauh, aku menginjak pedal gas. Selang sepuluh menit, aku sudah sampai di depan rumah Erika. Sebelu
Tepat pukul 08:00, aku sampai di kedai mi ayam milikku. Yus dan Dita sedang sibuk membersihkan kedai sebelum buka. Semua persiapan sebelum membuka kedai pagi ini sudah oke. Meja-meja tertata rapi. Kami duduk melingkari meja bundar untuk briefing. “Gimana penjualan kemarin?” tanyaku pada Dita.“Seperti biasa, pelanggan ramai saat jam makan siang, setelah itu turun. Tapi, dua hari ini ramai saat makan malam,” terang Dita yang berambut ikal. Usia Dita dua tahun lebih muda dariku. Dia gadis pekerja keras meskipun wajahnya biasa saja. Di saming latar belakangnya sebagai lulusan akuntasi, Dita selalu berpenampilan menarik, itulah alasanku mempercayakan posisi penjualan padanya. “Ok, itu bagus.Lalu, stok bahan sangat tertata rapi, y
Klik! Aku menekan sakelar yang menempel pada tembok, mataku refleks menutup begitu cahaya lampu 45 watt mengenai wajahku. Seketika, ruangan ini jadi terang. Sudah jam setengah sembilan malam, hari ini kedai tutup lebih awal. Kulangkahkan kakiku masuk, Erika belum datang dari bekerja. Aku merebahankan badan di lantai yang beralaskan karpet, merentangkan kedua tangan memandang langit-langit kamar. Tidak ada hal senikmat ini setelah pulang kerja untuk melepas lelah. Baru hari kedua aku tinggal dengan Erika, sudah dua hari ini dia pulang malam. Diantar pacarnya yang terlihat berandalan itu. Dua hari ini tidak pernah ada obrolan serius di antara kami. Hanya aura dingin yang memancar dari wanita itu. Puas melepas lelah dengan rebahan sekadarnya, aku bangkit l
Erika masih tertidur di ranjang. Entah jam berapa Bu Manajer itu masuk ke alam mimpinya semalam. Aku tidak tega membangunkannya. Meskipun kami tinggal bersama, ini tetap rumahku dan Erika adalah tamu. Aku harus tetap membersihkannya sendiri tanpa merepotkannya. Aku merapikan semua ruangan kecuali kamar tidurku yang sekarang ditempati Erika. Kamar ukuran 3x4 meter yang selalu jadi tempat istirahat. Ranjang yang melelapkan, rak buku fiksi dan dinding yang dicat degan warna biru langit. Tidur di kamar itu benar-benar seperti tidur di surga. Aku benar-benar merindukan kamarku. Aku mengarahkan mesin penyedot debu ke permukaan lantai sambil mendengarkan musik milik grup band Aerosmith. Bersiul mengikuti irama lagu 'I Don't Want To Miss A Things'. Sesekali aku
Tidak ada hal berfaedah yang bisa dikerjakan hari ini. Hampir tiga jam aku menekan konsol game sambil menatap layar smart TV, bermain soccer sepuasnya. Erika sibuk membaca buku koleksi milikku. Hanya sesekali dia keluar kamar untuk minum atau ke toilet. Ting Tung! Ting Tung! Suara bel dari pintu masuk. Aku menghentikan kegiatanku kemudian bangkit dari posisi bersila.“Sebentar!” teriakku sambil mendekat. Aku mengintip ke layar interkom. Sosok Mama berdiri di depan pintu dengan keranjang belanjaan penuh sayur.
Beberapa pelanggan tampak duduk berkelompok di kedai sembari menikmati hidangan. Sesekali mereka tertawa dan bercanda satu sama lain.Dari luar kedai, cahaya matahari menyengat kulit siapa saja yang berjalan di bawahnya.“Selamat datang, Pak Pras!” Yus menyapa ramah. “ Tolong buatkan aku kopi.” Aku duduk di depan meja konter. “Baik!” “Gimana beberapa jam ini?” tanyaku pada Yus. “Lumayan, walau gak ramai tapi ada aja
Tubuhku terlentang lurus di atas karpet di ruang tamu, melebarkan brosur yang kudapatkan. Menimbang untuk bekerja sebagai freelancer di perusahaan yang tertulis di dalam brosur. Tidak mudah juga menjadi pengusaha mi ayam. Setidaknya, aku harus berkerja lalu menabung untuk menutupi kekurangan di kedai. Kuhela napas dalam, memandang langit-langit kamar kemudian terdengar suara langkah masuk. Sosok Erika melewatiku yang rebahan di atas karpet kemudian, pintu kamar ditutup tanpa menyapaku. Tumben sekali Bu Manajer itu pulang cepat. Beberapa menit kemudian, Erika keluar dengan kaos polos dan celana kain.
Rasa penasaranku terhadap foto di tangan membuatku menepikan mobil. Aku menyalakan lampu pada langit-langit mobil. Mataku memandang lurus-lurus sosok gadis di dalam lembar kertas glossy. Gadis dengan senyum lembut, mata sipit dan hidung mancung. Lesung pipitnya jelas terbentuk ketika dia menunjukkan pose jari telunjuk dan jari tengah diangkat, membentuk lambang ‘peace’. Gadis di dalam foto itu bernama Gayatri, mantan kekasihku yang memutuskan hubungan kami setelah dia tahu fakta kalau aku akan dijodohkan. Kami berdua saling merangkul pundak. Momen ini diabadikan oleh seorang teman ketika kami jalan-jalan ke kebun binatang. Seminggu setelah momen manis di kebun bintang, kabar perjodohan antara aku dan putri dari temannya pun datang. Aku tidak bisa menyembunyikan fak