Tidak ada hal berfaedah yang bisa dikerjakan hari ini. Hampir tiga jam aku menekan konsol game sambil menatap layar smart TV, bermain soccer sepuasnya.
Erika sibuk membaca buku koleksi milikku. Hanya sesekali dia keluar kamar untuk minum atau ke toilet.
Ting Tung! Ting Tung! Suara bel dari pintu masuk. Aku menghentikan kegiatanku kemudian bangkit dari posisi bersila.“Sebentar!” teriakku sambil mendekat. Aku mengintip ke layar interkom. Sosok Mama berdiri di depan pintu dengan keranjang belanjaan penuh sayur.Beberapa pelanggan tampak duduk berkelompok di kedai sembari menikmati hidangan. Sesekali mereka tertawa dan bercanda satu sama lain.Dari luar kedai, cahaya matahari menyengat kulit siapa saja yang berjalan di bawahnya.“Selamat datang, Pak Pras!” Yus menyapa ramah. “ Tolong buatkan aku kopi.” Aku duduk di depan meja konter. “Baik!” “Gimana beberapa jam ini?” tanyaku pada Yus. “Lumayan, walau gak ramai tapi ada aja
Tubuhku terlentang lurus di atas karpet di ruang tamu, melebarkan brosur yang kudapatkan. Menimbang untuk bekerja sebagai freelancer di perusahaan yang tertulis di dalam brosur. Tidak mudah juga menjadi pengusaha mi ayam. Setidaknya, aku harus berkerja lalu menabung untuk menutupi kekurangan di kedai. Kuhela napas dalam, memandang langit-langit kamar kemudian terdengar suara langkah masuk. Sosok Erika melewatiku yang rebahan di atas karpet kemudian, pintu kamar ditutup tanpa menyapaku. Tumben sekali Bu Manajer itu pulang cepat. Beberapa menit kemudian, Erika keluar dengan kaos polos dan celana kain.
Rasa penasaranku terhadap foto di tangan membuatku menepikan mobil. Aku menyalakan lampu pada langit-langit mobil. Mataku memandang lurus-lurus sosok gadis di dalam lembar kertas glossy. Gadis dengan senyum lembut, mata sipit dan hidung mancung. Lesung pipitnya jelas terbentuk ketika dia menunjukkan pose jari telunjuk dan jari tengah diangkat, membentuk lambang ‘peace’. Gadis di dalam foto itu bernama Gayatri, mantan kekasihku yang memutuskan hubungan kami setelah dia tahu fakta kalau aku akan dijodohkan. Kami berdua saling merangkul pundak. Momen ini diabadikan oleh seorang teman ketika kami jalan-jalan ke kebun binatang. Seminggu setelah momen manis di kebun bintang, kabar perjodohan antara aku dan putri dari temannya pun datang. Aku tidak bisa menyembunyikan fak
Pancaran sinar matahari menembus tirai berwarna putih menyilaukan mata yang baru saja kubuka kelopaknya. Aku membalikkan badan, menghalangi cahaya dengan punggung. Getar smartphone di atas nakas membuatku bangkit dari posisi yang sangat nyaman nan membangkitkan hasrat untuk rebahan ini. Biar bagaimana pun aku harus melawan rasa malas untuk ke kedai setelah membaca pesan dari Dita yang mangatkan bahwa Yus mendadak demam pagi ini hingga tidak bisa pergi ke kedai. Setelah bersiap dan berpakaian rapi, aku menyalakan mesin wagon, melajukan kendaraan hinga ke kedai. Di dalam kedai, Dita terlihat sedikit kelabakan karena tidak ada yang membantu. Bahasa tubuhnya mengatakan, "Sekarang aku harus ngapain?" "Maaf merepotkan!" ucapku begitu memasuki kedai. "Enggak apa, Kak. Mau gimana lagi, Yus lagi sakit soalnya." "Hari ini biar aku saja yang menyiapkan bahan di dapur.
Apa aku tidak salah lihat? Masa tunanganku sendiri yang mewawancaraiku? Seolah meilihat benda antik, mata Erika berkelana dari ujung rambut hingga setengah badanku. Sudah sekitar lima belas menit waktu berlalu sejak Erika masuk ke ruangan ini. Seharusnya suasana wawancara berjalan selayaknya wawancara tetapi, Erika hanya duduk melipat kaki sambil melipat tangan ke dada. Atmosfir pun terasa dingin melebihi dinginnya suhu AC. Pengalaman pertama saat wawancara kerja tanpa ditanya apa-apa. Hingga akhirnya aku mencoba memecah suasana canggung di dalam ruangan ini."Anu-"Tangan Erika meraih stopmap di atas meja, kemudian membukanya dengan malas."Prastu Eka Dipayana. Lulusan D3 Administrasi Rumah Sakit Universitas Sewaka Widya. Nilai IPK biasa saja." Suara parau khas Erika yang beberapa hari ini tidak kudengar sejak dia pulang ke rumah orang tuanya."Pengalaman kerja tidak ada," imbuhnya.&n
“Kalau bukan karena kekayaan, lalu karena apa?” Rey mendelik, sorot matanya yang sipit itu menantang.“Memangnya kamu tahu apa tentang pertunanganku dengan Erika?” Nadaku meninggi, balas menantang.“Tentu saja aku tahu. Kamu hanya ingin kekayaan Erika. Dimana harga dirimu sebagai laki-laki?” Rey mendorong pundakku.“Jangan menyentuhku!” Aku mengusap bekas sentuhan Rey di pundak. Aku mulai geram pada pria oriental di hadapanku ini. Seenaknya saja menuduh d
“Benar-benar deh, aku gak habis pikir. Kok Kak Pras mau sama cewek kayak gitu?” tanya Dita.“Yah, mau gimana lagi. Aku juga gak punya pilihan. Atas nama tunanganku, aku minta maaf udah gak sopan sama kamu.” ucapku. “Kak Pras cowok lemah!” Dita melenggang, meninggalkanku dan Yus di belakang.“Manajer Erika kelihatannya bertolak belakang denganmu, ya,” bisik Yus.“Kalau menikah, inget undangannya!” imbuh Yus sembari menepuk pundakku. Dia menyusul Dita, kemudian membantu Dita merapikan meja. Padahal, sekarang in
Sebelum jam sepuluh, aku sudah sampai di rumah orang tua. Hari ini aku mengenakan kaos abu-abu dilapisi blazer navy hadiah dari Gayatri, mantanku. Bahawan jeans berwarna navi serasi dengan warna blazzer yang kubeli di mall dengan harga diskon saat jelang hari raya idul fitri tahun lalu. Meskipun aku ini anak orang kaya, aku dituntut hidup hemat oleh Papa. Di ruang tamu, Mama dan Papa duduk berdampingan di kursi kayu dengan sandaran berpatri ukiran khas Bali bermotif burung merak. Kami duduk berhadapan.“Erika mana?” tanya Papa, sembari menoleh ke arah pintu masuk rumah. Berharap sosok calon menantunya itu segera datang.“Mungkin gak akan datang karena sibuk,” jawabku.