Tepat pukul 08:00, aku sampai di kedai mi ayam milikku. Yus dan Dita sedang sibuk membersihkan kedai sebelum buka. Semua persiapan sebelum membuka kedai pagi ini sudah oke. Meja-meja tertata rapi.Kami duduk melingkari meja bundar untuk briefing.
“Gimana penjualan kemarin?” tanyaku pada Dita.
“Seperti biasa, pelanggan ramai saat jam makan siang, setelah itu turun. Tapi, dua hari ini ramai saat makan malam,” terang Dita yang berambut ikal. Usia Dita dua tahun lebih muda dariku. Dia gadis pekerja keras meskipun wajahnya biasa saja. Di saming latar belakangnya sebagai lulusan akuntasi, Dita selalu berpenampilan menarik, itulah alasanku mempercayakan posisi penjualan padanya.“Ok, itu bagus.Lalu, stok bahan sangat tertata rapi, ya. Ada kendala?” Aku melempar pertanyaan pada Yus.
“Enggak ada kendala kok, bahan-bahan semuanya segar. Cukup untuk dua hari ke depan.”Yus Christopee, usianya sepantaran dengan Dita. Sifatnya agak keras namun teliti, karena itu aku memercayakan posisi stok warehouse padanya. Walaupun pada akhirnya, mereka melayani tamu yang datang dengan menu dan apron yang melapisi badan mereka.
“Good!” pujiku.
“Maaf ya, karena dua hari aku tidak di sini, kalian pasti kelabakan. Hari ini saya akan membantu kalian. Aku ada rencana menambah karyawan lagi tapi, mempertimbangkan kondisi penjualan yang masih naik turun, kita bertiga saja dulu.""Oke."
Aku mengeluarkan dua buah kotak makan siang dari dalam tas kain.
“Sebelum kerja, kalian sarapan dulu! Karena kerja butuh energi.”
Aku membagikannya pada Yus dan Dita. "Wah, asik!" seru Dita sembari menepuk tangannya.
“Terima kasih,” ucap meraka bersamaan.
Tiga bulan lalu, aku merekrut Dita dan Yus menjadi karyawan. Mereka bedua bukanlah orang asing dalam hidupku. Kami bertemu di fakultas yang sama saat kegiatan kepanitiaan di kampus. Kami jadi sering berada di divisi kepanitiaan yang sama. Setidaknya aku sudah mengetahui peringai mereka. Juga sedikit banyak mengetahui latar belakang mereka berdua.Dita Darmawan, gadis dari keluarga guru yang menolak menjadi guru dan memilih bekerja sebagai karyawan swasta. Dita tipe gadis polos tapi menarik dalam hal penampilan meskipun parasnya biasa saja. Beda dengan Yus Christopee, cowok yang keras kepala namun teliti dan selalu bisa merancang program yang baik saat masuk organisasi kampus.
Kami membuka kedai dan siap melayani pelanggan. Meskipun disebut kedai mie ayam, kami tidak hanya menjual mie ayam. Ada ayam goreng, makanan ringan dan aneka macam minuman. Untungnya, Yus dan Dita ahli juga dalam memasak sehingga untuk saat ini kami tidak perlu menambah koki. Kedai Mi Ayam ini bukanlah usahaku yang pertama. Dulu, aku pernah membuka usaha lain selain Kedai Mi tapi, semuanya bangkrut karena aku tidak bisa mengaturnya dengan baik sebagai seorang pengusaha. Meskipun aku ini adalah anak seorang pengusaha, aku tidak berbakat menjadi pengusaha. Papa tidak pernah mau memberikan kekayaannya secara instan padaku. Maka hari itu, aku memberanikan diri meminta modal kepada Papa.
Papa duduk menyilangkan kaki di sofa sambil membaca koran, secangkir kopi hitam menemani di atas meja tepat dihadapannya.
“Pa!" sapaku. Papa menyahut dengan berdeham di balik koran yang menutupi seluruh wajahnya. “Hmm,"
“Pa, Pras mau buka usaha lagi sekali boleh?” Papa melipat koran, menyeruput kopinya. Suara geras beradu dengan lepek, Papa menatapku penuh keraguan.“Mau usaha apalagi kamu? Buka warnet gagal, buka konter hp bangkrut. Terakhir, kamu bisnis property juga gagal. Sudah berapa banyak uang Papa yang kamu buang tanpa ada benefit yang kembali ke Papa, Pras?”
“Heran, kamu itu udah dimodalin usaha gak di manage dengan baik. Gimana bisa Papa naruh kamu di perusahaan Papa, bisa bangkrut dengan cepat nanti.” Papa menggelengka kepalanya. Dia menyesali uangnya yang hiang begitu saja karena aku tidak bisa mengatur usaha yang aku bangun.
“Yah, kan namanya juga usaha. Kakek Sanders, founder ayam goreng yang sekarang buka cabang hampir di seluruh Indonesia aja gagal berkali-kali." Nadaku memelas sambil terus memainkan jari.
“Ya sudah, tapi ini yang terakhir kali ya, kalau gagal terserah kamulah mau ngapain nanti. Mau buka usaha apa memang?”
“Usaha mi ayam," jawabku. Senyum terkembang di bibirku yang tipis.
“Bisa buat mi ayam?"
“Kalau masak bisa. Papa saja yang gak pernah lihat."
“Haha, kamu udah ketemu tempat yang cocok?"
“Udah Pa. Tempatnya dekat dengan beberapa kampus dan instansi pemerintahan," jawabku.
“Ya udah, nanti Papa transfer. Ingat lho ini yang terakhir!” Papa memperingatkan."Oke." Aku mengacungkan jempol.
Kalau saja dulu aku mengambil jurusan Manajemen Bisnis saat kuliah, mungkin aku akan lebih tahu cara mengatur bisnis yang benar dan tidak akan gagal dalam mengelola bisnis yang kubangun dari uang Papa. Kali ini aku mencoba sekali lagi untuk membangun bisnisku sekaligus kesempatan terakhir dari Papa yang tak boleh gagal lagi.
Toko yang kusewa bisa dikatakan cukup luas, ukurannya lima kali lima meter persegi. Letaknya tepat di depan kantor pemerintahan dan beberapa kampus swasta. Bagian depan didekorasi secantik mungkin supaya terlihat nyaman. Meskipun kedai mi ayam, kami bertiga menggunakan dekorasi kafe. Suasana di dalam akan tampak lewat dinding kaca.
***
“Kak, apa betul kemarin kamu tunangan?” tanya Yus sembari menata konter kasir.
“Iya.”
“Wah, seperti apa ya tunanganmu itu?”
Yus harus menyimpan rasa penasarannya begitu lonceng yang digantung di pintu kaca berbunyi, menandakan ada yang masuk.
“Selamat datang di kedai kami!” sapaku dari balik konter.
Mataku membulat saat menatap pelanggan di depanku ini. Dari pakaian yang dikenakan dia adalah pria yang memencet klakson motor dengan keras pagi tadi di depan rumahku.Singkatnya, pelaggan pertama kami adalah pacar Erika, pacar calon tunanganku.
“Pesan nasi padang dan boba cappucino! Tambah kentang goreng medium!" ucapnya.
Yus yang sudah siap menginput orderan di komputer mengernyitkan kening mendengar pesanan pelanggan pertama kami hari ini.
“Maaf, kami gak jual nasi padang, Mas!” ucapku.“Kedai macam apa ini ” bentaknya.
“Maaf, kalau kentang dan boba kami available, tapi kalau nasi padang silahkan ke warung sebelah.” Aku berusaha ramah.
“Tidak usah saja!” jawabnya ketus. Pria itu menarik pintu kaca dengan serampangan, melenggang keluar kedai.
“Aneh, ke kedai mi ayam mau beli nasi padang." Yus cekikian, sampai-sampai dia memegangi perutnya karena tidak kuat menahan tawa.
Tanpa memalingkan pandangan dari pria itu, Dita menyambung,“Siapa tahu kita bisa tambah menu nasi padang.”
Tawa Yus kembali pecah. Kali ini diikuti oleh Dita yang tadinya hanya tersenyum."Kembalilah bekerja!" Aku menempuk pundak Yus. Melenggang ke dapur.
Aku mengikat tali apron di pinggang kemudian mulai memotong bahan yang dibutuhkan untuk operasional kedai hari ini. Siluet pria itu terlintas untuk sesaat, membuatku menghentikan aktivitasku. Semoga saja pria barusan tidak sakit hari dengan pertunanganku dengan Erika. Biar bagaimanapun, pertunanganku dengan Erika sama sekali tidak didasari atas rasa cinta. Pertunangan ini murni karena kami harus melakukannya demi memenuhi perjanjian diantara orang tua. Aku tidak akan mempermasalahkan jika Erika punya pacar di luar pertunangan ini.
Klik! Aku menekan sakelar yang menempel pada tembok, mataku refleks menutup begitu cahaya lampu 45 watt mengenai wajahku. Seketika, ruangan ini jadi terang. Sudah jam setengah sembilan malam, hari ini kedai tutup lebih awal. Kulangkahkan kakiku masuk, Erika belum datang dari bekerja. Aku merebahankan badan di lantai yang beralaskan karpet, merentangkan kedua tangan memandang langit-langit kamar. Tidak ada hal senikmat ini setelah pulang kerja untuk melepas lelah. Baru hari kedua aku tinggal dengan Erika, sudah dua hari ini dia pulang malam. Diantar pacarnya yang terlihat berandalan itu. Dua hari ini tidak pernah ada obrolan serius di antara kami. Hanya aura dingin yang memancar dari wanita itu. Puas melepas lelah dengan rebahan sekadarnya, aku bangkit l
Erika masih tertidur di ranjang. Entah jam berapa Bu Manajer itu masuk ke alam mimpinya semalam. Aku tidak tega membangunkannya. Meskipun kami tinggal bersama, ini tetap rumahku dan Erika adalah tamu. Aku harus tetap membersihkannya sendiri tanpa merepotkannya. Aku merapikan semua ruangan kecuali kamar tidurku yang sekarang ditempati Erika. Kamar ukuran 3x4 meter yang selalu jadi tempat istirahat. Ranjang yang melelapkan, rak buku fiksi dan dinding yang dicat degan warna biru langit. Tidur di kamar itu benar-benar seperti tidur di surga. Aku benar-benar merindukan kamarku. Aku mengarahkan mesin penyedot debu ke permukaan lantai sambil mendengarkan musik milik grup band Aerosmith. Bersiul mengikuti irama lagu 'I Don't Want To Miss A Things'. Sesekali aku
Tidak ada hal berfaedah yang bisa dikerjakan hari ini. Hampir tiga jam aku menekan konsol game sambil menatap layar smart TV, bermain soccer sepuasnya. Erika sibuk membaca buku koleksi milikku. Hanya sesekali dia keluar kamar untuk minum atau ke toilet. Ting Tung! Ting Tung! Suara bel dari pintu masuk. Aku menghentikan kegiatanku kemudian bangkit dari posisi bersila.“Sebentar!” teriakku sambil mendekat. Aku mengintip ke layar interkom. Sosok Mama berdiri di depan pintu dengan keranjang belanjaan penuh sayur.
Beberapa pelanggan tampak duduk berkelompok di kedai sembari menikmati hidangan. Sesekali mereka tertawa dan bercanda satu sama lain.Dari luar kedai, cahaya matahari menyengat kulit siapa saja yang berjalan di bawahnya.“Selamat datang, Pak Pras!” Yus menyapa ramah. “ Tolong buatkan aku kopi.” Aku duduk di depan meja konter. “Baik!” “Gimana beberapa jam ini?” tanyaku pada Yus. “Lumayan, walau gak ramai tapi ada aja
Tubuhku terlentang lurus di atas karpet di ruang tamu, melebarkan brosur yang kudapatkan. Menimbang untuk bekerja sebagai freelancer di perusahaan yang tertulis di dalam brosur. Tidak mudah juga menjadi pengusaha mi ayam. Setidaknya, aku harus berkerja lalu menabung untuk menutupi kekurangan di kedai. Kuhela napas dalam, memandang langit-langit kamar kemudian terdengar suara langkah masuk. Sosok Erika melewatiku yang rebahan di atas karpet kemudian, pintu kamar ditutup tanpa menyapaku. Tumben sekali Bu Manajer itu pulang cepat. Beberapa menit kemudian, Erika keluar dengan kaos polos dan celana kain.
Rasa penasaranku terhadap foto di tangan membuatku menepikan mobil. Aku menyalakan lampu pada langit-langit mobil. Mataku memandang lurus-lurus sosok gadis di dalam lembar kertas glossy. Gadis dengan senyum lembut, mata sipit dan hidung mancung. Lesung pipitnya jelas terbentuk ketika dia menunjukkan pose jari telunjuk dan jari tengah diangkat, membentuk lambang ‘peace’. Gadis di dalam foto itu bernama Gayatri, mantan kekasihku yang memutuskan hubungan kami setelah dia tahu fakta kalau aku akan dijodohkan. Kami berdua saling merangkul pundak. Momen ini diabadikan oleh seorang teman ketika kami jalan-jalan ke kebun binatang. Seminggu setelah momen manis di kebun bintang, kabar perjodohan antara aku dan putri dari temannya pun datang. Aku tidak bisa menyembunyikan fak
Pancaran sinar matahari menembus tirai berwarna putih menyilaukan mata yang baru saja kubuka kelopaknya. Aku membalikkan badan, menghalangi cahaya dengan punggung. Getar smartphone di atas nakas membuatku bangkit dari posisi yang sangat nyaman nan membangkitkan hasrat untuk rebahan ini. Biar bagaimana pun aku harus melawan rasa malas untuk ke kedai setelah membaca pesan dari Dita yang mangatkan bahwa Yus mendadak demam pagi ini hingga tidak bisa pergi ke kedai. Setelah bersiap dan berpakaian rapi, aku menyalakan mesin wagon, melajukan kendaraan hinga ke kedai. Di dalam kedai, Dita terlihat sedikit kelabakan karena tidak ada yang membantu. Bahasa tubuhnya mengatakan, "Sekarang aku harus ngapain?" "Maaf merepotkan!" ucapku begitu memasuki kedai. "Enggak apa, Kak. Mau gimana lagi, Yus lagi sakit soalnya." "Hari ini biar aku saja yang menyiapkan bahan di dapur.
Apa aku tidak salah lihat? Masa tunanganku sendiri yang mewawancaraiku? Seolah meilihat benda antik, mata Erika berkelana dari ujung rambut hingga setengah badanku. Sudah sekitar lima belas menit waktu berlalu sejak Erika masuk ke ruangan ini. Seharusnya suasana wawancara berjalan selayaknya wawancara tetapi, Erika hanya duduk melipat kaki sambil melipat tangan ke dada. Atmosfir pun terasa dingin melebihi dinginnya suhu AC. Pengalaman pertama saat wawancara kerja tanpa ditanya apa-apa. Hingga akhirnya aku mencoba memecah suasana canggung di dalam ruangan ini."Anu-"Tangan Erika meraih stopmap di atas meja, kemudian membukanya dengan malas."Prastu Eka Dipayana. Lulusan D3 Administrasi Rumah Sakit Universitas Sewaka Widya. Nilai IPK biasa saja." Suara parau khas Erika yang beberapa hari ini tidak kudengar sejak dia pulang ke rumah orang tuanya."Pengalaman kerja tidak ada," imbuhnya.&n