“Keberatan, Yang Mulia!” sanggah pengacara kedua terdakwa.
“Keberatan ditolak!” jawab Sang Pengadil.
“Jika hanya meminjam, kenapa Saudara Rey mengenakan apron milik kedai?” Rahayu kembali melontarkan pertanyaan.
“Itu-,” Yus menunduk sebelum menyelesaikan kalimatnya.
“Keberatan, Yang Mulia!” Sekali lagi, pengacara itu mencari celah menyanggah.
“Keberatan ditolak! Silakan lanjutkan, Saudari Rahayu!” perintah Hakim.
“Jika hanya meminjam, alasannya tidak logis. Terlebih lagi, apron milik kedai tidak boleh digunakan untuk bermain-main. Ada yang janggal di sini.” Rahayu menekan sebuah tombol keyboard. Dalam sekejap, gambar dalam proyektor berubah. Menampilkan gambar dua orang masuk ke kedai lewat pintu belakang.
“Akan wajar jika pelanggan masuk lewat pintu depan kedai untuk nangkring. Akan tetapi, masuk lewat belakang seperti ini bersama dengan pegawai menimbulkan kejanggalan dan mengarah pada kecurigaan,” terang Rahayu.<
“Itu tidak benar!” jawabnya. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, menahan emosi di dalam dada yang meluap. Gertakan gigiku begitu teras hingga ke pelipis. Ingin sekali aku menghajar pengkhianat ini. Jelas-jelas waktu itu dia memperlakukan tubuhku seperti sebuah samsak tinju secara bergantian. “Sudah jelas, Yang Mulia.” Pengacara itu menegakkan badannya. “Jika memang dijerat dengan kasus penganiayaan, satu-satunya bukti terkuat saat ini adalah sidik jari Saudara Yus. Saudara Rey tidak bisa dijerat dengan pasal tersebut karena tidak ada bukti yang mengarah kepadanya. Jadi, orang yang seharusnya terkena pasal penganiayaan adalah Saudara Yus.” Mataku membeliak, kupandangi wajah Yus dari samping yang memucat. Dia tersudut karena kuasa hukum yang seharusnya membelanya itu malah terkesan mengkambing hitamkan dirinya. Sedari Yus hanya menjawab pertanyaan dengan kebohongan. Lain halnya dengan Rey, dia hanya duduk sambil menyeringai bahkan saat
Bertentangan dengan kebiasaanku yang suka melipir jika mumet sudah menyerang, hari ini aku tidak bermaksud singgah kemanapun untuk memberi ruang ketenangan di balik tempurung kepala, aku hanya ingin pulang saja. “Aku pulang!” ucapku pada penghuni rumah yang mungkin sedang tidak di rumah.’”Selamat datang!” Suara parau Erika menyambut dari ruang tamu. Erika yang mengenakan piama duduk bersila di atas sofa berwarna hijau. Menarik perhatianku. “Sejak kapan benda ini ada di sini?” tanyaku sembari berjalan ke ruang tamu. Erika tidak menjawab, dia malah menekan tombol remote dan mengganti saluran ke saluran internasional. “Kamu juga memasang TV berbayar dengan saluran internasional?” “Habisnya, rumah ini membosankan. Gak ada hiburan selain playstation.” Aku tidak menyadari keberadaan Dwi yang menjawab pertanyaan untuk Erika dari balik konter dapur. Bisa-bisany
Sentuhan hasrat yang membuatku melayang sesaat kemudian menjatuhkanku dengan cepat karena bisikan Bu Manajer. Kalimat Erika itu sama sekali tidak bisa kumengerti. Saat kebingungan seperti ini, Erika memutar matanya kemudian tersenyum lembut. “Aku bilang Rey bukan pria yang mudah dikalahkan. Dia punya kekayaan dan kekuasaan.” Aku mengubah posisi, melipat kedua kaki. “Jadi, kenapa kamu tidak menikah saja dengannya?” tanyaku. “Justru pernikahan kita menghalangiku untuk menyelidiki Rey!” umpatnya kesal. “Ma … maksudnya?” Erika melipat tangan di dada. “Ayah Rey adalah pemegang saham Jayanta Tambang. Tidak hanya itu, dia juga memiliki relasi dengan Yakuza di Jepang sebagai tameng. Kalau kamu macam-macam, kamu akan mati konyol!” ucapnya. “Kenapa kamu menyelidikinya?” “Karena perusahaan papa diambang kebangkrutan waktu itu jadi, aku menerima dia sebagai pacarnya. Maka
“Coba aku periksa.” Aku mengedip nakal. Menyentuh pelan tombol kebanggan kaum hawa milik Erika.“Katanya, yang kiri dan kanan ukurannya berbeda.” Aku mengintip ke dalam bra berwarna krim. “Tetapi, punya Kakak sama.” Erika memukul lembut pundakku.“Sebenarnya kamu suka yang kecil, kan?” Erika mengerucutkan bibir. Tanpa menjawab Erika, aku hanya tertawa kecil. Namun, Erika tampak kesal, mendorong tubuhku ke belakang.“Dasar cowok gak peka!” ucap Erika sembari menutup kembali kancing piyama.“Kenapa?”“Moodku jadi buruk!” umpatnya. Erika berdiri dari ranjang, berjalan ke arah pintu, membuka kunci kemudian menutup pintu dengan membantingnya. Meninggalkanku sendirian. Erika yang menggoda tapi Erika juga yang menghentikan permainan ini hanya karena mood yang berubah dra
Memasak tidak memerlukan waktu yang lama untukku. Aku menata makanan di atas meja makan. Nasi, ayam sayur dan beberapa udang sudah siap untuk di makan. Aromanya pun menguar sedap. “Wah, aku gak sabar makan ini,” seru Dwi. “Kamu juga makan, Ka- … Sayang!” pintaku pada Erika. Terakihr aku menyiapkan tiga gelas berisi air putih. Meletakkannya di samping jajaran menu yang tersaji. Duduk di hadapan Dwi yang sudah tidak sabaran menyantap makanan. Erika pun kemudian mengambil tempat di sebelah adik perempuannya. “Ambil sendiri-sendiri nasinya,” ucapku. Diawali Erika, dia yang pertama menyendok nasi, namun nasi itu tidak dituang ke atas piringnya melainkan istriku itu mengisi piring adiknya lebih dulu. “Makasih,” ucap Dwi senang. Dwi mulai menyendok sayur, meletakkan ke atas piring miliknya. Dia benar-benar tidak sabar untuk makan. Setelah Erika mengisi p
Aku menjulurkan kaki, merebahkan badan di atas sofa, bermalas-malasan setelah memuaskan perut di sore yang mulai memerah. Bermain smartphone pun jadi hiburan sendiri. Membuka Postugram, Waktuchat dan aplikasi lainnya meski tidak ada pesan masuk dari siapapun. Puas seperti itu untuk beberapa menit, aku menggunakan tanganku sebagai alas kepala, memandnag langit-langit yang meredup seiring dengan datangnya sandikala. Lampu belum dinyalakan, tapi entah kenapa posisi seperti ini sangat nyaman sekali. Pikiranku terbawa suasana tenang di dalam rumah untuk pertama kalinya. Tidak ada suara pintu dibanting, tidak ada pertengkaran kaka-adik pokoknya, sangat nyaman sampai-sampai aku tenggelam dalam pikiranku sendiri tentang permasalahan yang terjadi tanpa penyelesaian pasti. Sejak menikah dengan Erika, hari-hariku yang datar jadi berantakan. Masalahku yang sebatas memikirkan keuangan kedai meluas jadi perkara meja hijau. Bagaimana ya aku m
Bathtube yang dangkal terisi penuh. Aku melepas pakaian kemudian mencelupkan badan ke dalam air hangat. Menenggelamkan wajah setinggi bibir. Membuat gelembung dari napas yang kuembuskan. Puas bermain seperti itu, aku, menyandarkan punggung. Membiarkan air hangat merelaksasikan seluruh otot tubuh yang tegang.“Huft!” aku mengembuskan napas. Rasanya ada yang janggal dengan ini. Bebasnya Rey sebelum vonis begitu mencurigakan apalagi, dia bebas sendiri tanpa Yus. Hukum di negeri ini bermain dengan uang itu menjadi suatu kewajaran. Di saat sidang pun kuasa hukum Rey sangat kentara mengkambing hitamkan Yus. Siapa yang harus kupercayai sekarang? Bahkan Rahayu, tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Dia kalah telak.*** Merasa cukup untuk melancarkan peredaran darah di dalam bathtube, aku keluar dari genangan itu. Mengeringkan badan dengan handuk, memakai dalaman. Bagian baw
Tubuhku bergetar, mataku perlahan terasa perih. Semakin dadaku bergejolak, semakin aku menggenggam erat-erat smartphone.Aku bergeming saat istriku yang keluar dari kamar mandi dengan dengan piyama baru warna abu-abu motif bunga berhenti tepat di hadapanku. Dia berhenti tepat di hadapanku sembari mengeringkan rambut dengan handuk.“Kamu kenapa?” Erika memiringkan kepala, melanjutkan mengeringkan ujung rambut. Entah bagaimana warna bola mataku yang sedang beradu dengan tatapan Erika, bergeming di depan istri seperti ini sembari menahan kalimat kasar di ujung lidah karena tidak mampu membendung perasaan. Aku benar-benar ingin berteriak, membentak dan menendang sesuatu.“Sial! Gara-gara menikah denganmu, hidupku jadi berantakan.” Kalimat itu akhirnya hanya terucap dalam hati saja.“Kamu kenapa, sih?” Erika mendekat. Aku masih terdiam, mem
Kepada Pembaca, Kepada pembaca, dengan ini penulis menyatakan novel Menikahi Bu Manajer sudah tamat pertanggal 23 Desember 2021. Hampir 7 bulan menyelesaikannya karena kesibukan bekerja dan kadang juga dilanda malas. Menikahi Bu Manajer mungkin bukan karya yang sempurna tetapi, author berharap semua bisa menikmati karya yang tidak sempurna ini dan para pembaca bisa turut menikmati prosesnya. Author sangat berharap bisa membuat karya yang lebih sempurna lagi tentunya dengan kritik, saran dan masukan dari para pembaca. Jadi, silakan tuangkan sarannya di sini mengenai kekurangan dalam novel Menikahi Bu Manajer. Nantikan karya selanjutnya yang lebih baik, ya. Semangat semuanya.Salam dari langit utara,Ursa Mayor, Jangan lupa follow akun media sosial penulisF*: Omang YayuzI*: @mang_yayus
Dua bulan kemudian, hubunganku dengan Erika berangsur akur. Kami menjalankan semua kesibukan kami bersama dan yang menggembirakan adalah aku mendapat berita bahwa Rey masuk bui dengan pasal berlapis. Kabar itu kudapat dari Rahayu melalui pesan singkat Waktuchat. Ayahnya dipecat dari Jayanta Tambang. Dan hari ini, aku tidak sengaja bertemu Dita di sebuah kafetaria. Gadis ceria itu sangat senang melayaniku dan menguarkan keceriaannya kembali. Di sela-sela senggangnya, dia bahkan mendampingku seperti sekarang, duduk satu meja. “Kak Pras, aku sangat senang karena Yus sudah bebas. Padahal, aku juga sebenarnya tidak punya bukti apa-apa tentang kasus kedai itu.” Dita memulai pembicaraan. “Lupakan masalah itu. Aku tidak akan membiarkan dia di sana terlalu lama.” “Tapi, bagaimana Kak Pras membebaskannya tanpa syarat?” tanya Dita. Aku menyedot es capucino di depanku. “Rahasia!” jawabku kemudian sambil terse
Aku malah jadi frustasi karena semua ini. Mendadak jadi pemimpin hanya karena ancaman yang kulakukan. “Sebenarnya Papa mau aku gimana?” Aku mengumpat kepada papa yang sudah tidak ada dan tentu saja sudah tidak bisa mendengar keluh kesahku. Pernikahan dengan Erika yang membuat hidup berantakan, cerita-cerita yang tidak masuk akal dari ayah mertua, Erika atau mungkin juga dari Tante yang tidak masuk ke logikaku dan sekarang menjadikanku pemegang Jayanta Tambang. Sekarang aku baru menyadari sesuatu, pemicu sebenarnya dari kehidupanku yang berantakan bukanlah pernikahanku dengan Erika, tetapi kepemilikan saham. Aku tidak bisa mengatakan diriku ini alat untuk merebut kekuasaan karena di sisi lain aku juga yang diuntungkan, tetapi aku menyayangkan keputusan mereka. “Kamu ini gak sopan banget, malah melenggang gitu aja!” Erika sudah duduk di kursi di sebelahku, menutup pintu wagon dengan kesal. “Kenapa sih, Pras!” tanyanya sembari melipat t
Suara TV dari ruang tamu membuat mataku terbuka padahal seingatku sebelum aku tidur semalam, aku sudah mematikannya. Namun, agaknya Erika bangun sebelum aku bangun. Bukan tanpa alasan mataku jadi terbuka tetapi, karena telingaku menangkap suara seorang pewarta yang membawakan berita pagi ini. “CEO Jayanta Tambang melaporkan kasus putranya….” Kalimat itulah alasan utama. Aku bangkit dari tempat tidur, melakukan peregangan pada bagian badan, menguap melepaskan sisa kantuk. Badanku terisi ulang dengan energi, tapi tenggorokan yang kering memaksa untuk pergi ke dapur dan mengambil minum. “Sebenarnya, apa yang kamu lakukan kemarin?” Erika masih dengan pakaian yang dia kenakan semalam, duduk bersila di sofa sambil menatap layar. Di layar TV terpampang highlight bertuliskan, “Putra Jayanta Tambang Tersandung Kasus.” Ternyata, secepat ini beritanya tersiar. “Jawab, Pras!” Erika menurunkan hodie telinga kucing, memand
Puas menghabiskan sisa hari ini bersama Tante dan Ryan, aku pulang ke rumah dengan bekal masakan hasil karya Tante ketika langit sudah mulai gelap. “Aku pulang!” Kudapati istriku itu sedang duduk di sofa mengenakan piyama putih sembari bersila. Ekspresinya sangat serius menonton tayangan luar negeri, seakan dia tidak menyadari kehadiranku dia sama sekali tidak menoleh atau bahkan membalas salam. Tetapi satu hal yang membuat aku terenyum adalah atasan tambahan yang dia kenakan. Atasan yang dia kenakan sangat kontras dengan kepribadiannya. Jaket rajut warna cokelat dengan hodie bertelinga mirip seperti hewan kucing atau semacamnya. Saking seriusnya menonton dan suara TV yang mengalahkan derap langkahku, aku berjalan mendekat, menarik salah satu telinga kucing pada hodienya. Masih belum juga menyadari kehadiranku dan mengira hodienya melorot aku ikut bersenandung ketika iklan dengan soundtrack anak-anak muncul. “
Meski rumah ini sudah ditinggal oleh orang tuaku, pintu rumah yang selalu terbuka seakan selalu menyambutku kapan saja aku datang. Bagaimana pun keadaanku dan sesulit apapun masalah yang menghampiri, rumah ini adalah tempat aku meletakkan semua lelah untuk sesaat. Sekarang pun masih tetap sama hanya saja, dengan kasih yang datang dari orang berbeda. Kasih seorang ibu juga. Aku memasuki ruang tamu, kudapati Tante sedang membuka sebuah benda seperti buku. “Aku pulang!” Aku memberi salam. Tante pun menoleh untuk sesaat. “Eh, Pras,” sahutnya. “Lihat apa, Tante?” tanyaku sembari mendongak. Tampak beberapa foto nostalgia di dalam album foto yang dipangku Tante. “Mendadak Tante kangen sama orang tuamu. Juga beberapa fotomu waktu kecil.” Tante tersenyum sembari membalik album. “Oh ya, sebelum lupa-,” Aku mengeluarkan dokumen dari dalam saku jass kemudian memberikannya pada Tante-.”tolong disimpan dengan baik lagi, ya1"
“Selanjutnya, saya serahkan kepada Rahayu dan Bapak.” Aku bangkit dari posisiku. “Saya tunggu di law firm.” Rahayu menyodorkan kartu namanya kemudian menepuk pundakku memberi tanda untuk segera pergi. Kami berdua berjalan bergantian dengan derap langkah yang tegas. “Kok bisa-bisanya kamu berpikir tentang rencana ini?” tanya Rahayu ketika kami menuruni tangga, keluar dari gedung. “Yah, mau bagaimana lagi. Aku juga gak ada cara lain. Dengan begini pun firma hukummu seharusnya diuntungkan,” jawabku. “Apa Erika tahu tentang ini?” tanyanya lagi. “Ini tidak ada hubungannya lagi dengan Erika. Aku pun gak perlu validasi dari istriku.” Kami berhenti di depan mobil wagonku. Rahayu pun tersenyum untuk pertama kalinya kepadaku. “Kali ini, aku serahkan padamu.” Aku berbalik, membuka pintu mobil. “Tunggu!” “Apalagi?” “K
Aku duduk di sofa, menyilangkan kakiku dan merentangkan tangan di atas daun sofa. Pria paruh baya yang kulihat di TV pasca Rey dijebloskan dipenjara untuk pertama kalinya sekarang ada di di depanku. “Kamu siapa? Kenapa lancang masuk ke ruangan ini tanpa izin?” tanyanya. “Dia Pras, Ayah!” sahut Rey. “Salam, Pak!” Aku menangkupkan tangan sambil tersenyum. “Jadi kamu yang telah merebut Erika dari anak saya?" Pria itu mendekat sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku. “Tenanglah, Pak!” ucapku santai. “Apa maksudmu datang ke sini tiba-tiba begini? Belum puas kamu membawa penderitaan kepada anakku?” Senyum di bibirku luntur seketika. Aku bangkit berdiri di hadapan pria yang sudah membesarkan Rey hingga dia menjadi seberengsek itu. “Penderitaan katamu, wahai Tuan CEO yang terhormat?” Kupandang wajahnya yang berkerut. Sesaat kemudian, aku beralih pandang ke Rey yang berdiri di depan meja kerja mewah ayahnya.
Sesaat kemudian, Tante turun membawa dokumen yang kuminta. Dia mengeluarkan seluruh isinya di hadapanku. “Kamu hanya perlu dokumen pailit, jadi Tante akan memberikan itu saja. Sisanya, Tante akan menyimpannya untukmu nanti.” Tante memasukan dokumen yang kuperlukan ke dalam amplop kemudian merapikan sisanya. “Ini.” Tante mengulurkan benda pipih cokelat itu kepadaku. Aku mengambilnya kemudian menyimpan di kantong bagian dalam jasku. “Sebenarnya Tante mengkhawatirkanmu. Maafkan, Tante atas tamparan itu. Kamu sudah seperti putraku sendiri, Nak.” Tante mulai terisak. Aku berjongkok di hadapan tante, meletakkan kepalaku di pahanya. “Tante, aku mencintaimu. Cuma Tante yang bisa gantiin sosok Mama dan orang tua untukku. Aku minta maaf karena lancang dan merepotkan selama ini. Terima kasih.” Aku kembali merasakan kehangat seorang ibu ketika tangan tante mengelus lembut kepalaku. A