“Coba aku periksa.” Aku mengedip nakal. Menyentuh pelan tombol kebanggan kaum hawa milik Erika.
“Katanya, yang kiri dan kanan ukurannya berbeda.” Aku mengintip ke dalam bra berwarna krim. “Tetapi, punya Kakak sama.”
Erika memukul lembut pundakku.
“Sebenarnya kamu suka yang kecil, kan?” Erika mengerucutkan bibir.
Tanpa menjawab Erika, aku hanya tertawa kecil. Namun, Erika tampak kesal, mendorong tubuhku ke belakang.
“Dasar cowok gak peka!” ucap Erika sembari menutup kembali kancing piyama.
“Kenapa?”
“Moodku jadi buruk!” umpatnya.
Erika berdiri dari ranjang, berjalan ke arah pintu, membuka kunci kemudian menutup pintu dengan membantingnya. Meninggalkanku sendirian.
Erika yang menggoda tapi Erika juga yang menghentikan permainan ini hanya karena mood yang berubah dra
Memasak tidak memerlukan waktu yang lama untukku. Aku menata makanan di atas meja makan. Nasi, ayam sayur dan beberapa udang sudah siap untuk di makan. Aromanya pun menguar sedap. “Wah, aku gak sabar makan ini,” seru Dwi. “Kamu juga makan, Ka- … Sayang!” pintaku pada Erika. Terakihr aku menyiapkan tiga gelas berisi air putih. Meletakkannya di samping jajaran menu yang tersaji. Duduk di hadapan Dwi yang sudah tidak sabaran menyantap makanan. Erika pun kemudian mengambil tempat di sebelah adik perempuannya. “Ambil sendiri-sendiri nasinya,” ucapku. Diawali Erika, dia yang pertama menyendok nasi, namun nasi itu tidak dituang ke atas piringnya melainkan istriku itu mengisi piring adiknya lebih dulu. “Makasih,” ucap Dwi senang. Dwi mulai menyendok sayur, meletakkan ke atas piring miliknya. Dia benar-benar tidak sabar untuk makan. Setelah Erika mengisi p
Aku menjulurkan kaki, merebahkan badan di atas sofa, bermalas-malasan setelah memuaskan perut di sore yang mulai memerah. Bermain smartphone pun jadi hiburan sendiri. Membuka Postugram, Waktuchat dan aplikasi lainnya meski tidak ada pesan masuk dari siapapun. Puas seperti itu untuk beberapa menit, aku menggunakan tanganku sebagai alas kepala, memandnag langit-langit yang meredup seiring dengan datangnya sandikala. Lampu belum dinyalakan, tapi entah kenapa posisi seperti ini sangat nyaman sekali. Pikiranku terbawa suasana tenang di dalam rumah untuk pertama kalinya. Tidak ada suara pintu dibanting, tidak ada pertengkaran kaka-adik pokoknya, sangat nyaman sampai-sampai aku tenggelam dalam pikiranku sendiri tentang permasalahan yang terjadi tanpa penyelesaian pasti. Sejak menikah dengan Erika, hari-hariku yang datar jadi berantakan. Masalahku yang sebatas memikirkan keuangan kedai meluas jadi perkara meja hijau. Bagaimana ya aku m
Bathtube yang dangkal terisi penuh. Aku melepas pakaian kemudian mencelupkan badan ke dalam air hangat. Menenggelamkan wajah setinggi bibir. Membuat gelembung dari napas yang kuembuskan. Puas bermain seperti itu, aku, menyandarkan punggung. Membiarkan air hangat merelaksasikan seluruh otot tubuh yang tegang.“Huft!” aku mengembuskan napas. Rasanya ada yang janggal dengan ini. Bebasnya Rey sebelum vonis begitu mencurigakan apalagi, dia bebas sendiri tanpa Yus. Hukum di negeri ini bermain dengan uang itu menjadi suatu kewajaran. Di saat sidang pun kuasa hukum Rey sangat kentara mengkambing hitamkan Yus. Siapa yang harus kupercayai sekarang? Bahkan Rahayu, tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Dia kalah telak.*** Merasa cukup untuk melancarkan peredaran darah di dalam bathtube, aku keluar dari genangan itu. Mengeringkan badan dengan handuk, memakai dalaman. Bagian baw
Tubuhku bergetar, mataku perlahan terasa perih. Semakin dadaku bergejolak, semakin aku menggenggam erat-erat smartphone.Aku bergeming saat istriku yang keluar dari kamar mandi dengan dengan piyama baru warna abu-abu motif bunga berhenti tepat di hadapanku. Dia berhenti tepat di hadapanku sembari mengeringkan rambut dengan handuk.“Kamu kenapa?” Erika memiringkan kepala, melanjutkan mengeringkan ujung rambut. Entah bagaimana warna bola mataku yang sedang beradu dengan tatapan Erika, bergeming di depan istri seperti ini sembari menahan kalimat kasar di ujung lidah karena tidak mampu membendung perasaan. Aku benar-benar ingin berteriak, membentak dan menendang sesuatu.“Sial! Gara-gara menikah denganmu, hidupku jadi berantakan.” Kalimat itu akhirnya hanya terucap dalam hati saja.“Kamu kenapa, sih?” Erika mendekat. Aku masih terdiam, mem
Panas matahari pagi menyengat kulit tangan yang kugunakan sebagai bantalan di atas setir mobil. Sontak aku terbangun, mengucek mata dan menyadari aku di dalam mobil. Semalam aku memutuskan untuk masuk ke dalam mobil karena tidak tahan akan dinginnya udara danau yang menyaksikan betapa frustasinya diriku ini. Aku merogoh kantung smartphone, melihat jam digital di dalam layar yang sudah menampilkan angka sembilan lewat lima belas menit. Di tampilan atas layar, pesan dari aplikasi Waktuchat masuk dari Erika. ‘Kamu dimana? Udah waktunya kerja atau aku pecat saja karyawan yang gak disiplin sepertimu!’ Pesan dari Erika diakhiri dengan emoji wajah merah. Pekerjaan … Aku tidak membutuhkannya lagi saat ini. Tidak ada alasan untuk bekerja karena kedaiku benar-benar sudah hangus. Kuputar kunci lalu menyalakan mesin, memanaskannya sebentar sambil membuat keputusan untuk pulang
Rumah memang tempat tertenang untuk menyandarkan semua lelah. Bahkan aku makan dengan lahap bersama adik sepupuku. Masakan Tante pun rasanya persis seperti masakan mama yang sudah tidak kurasakan. “Kak Pras!” Ryan membuka pembicaraan. “Hum?” “Gimana rasanya jadi orang dewasa?” tanya Ryan dengan mulut penuh. “Nanti kalau sudah dewasa kamu akan tahu,” jawabku. “Tapi, orang dewasa itu aneh.” “Hahaha, kenapa?” Aku tertawa renyah. “Kadang gak bisa dimengerti.” “Why?” “Mama sering nangis, kan. Terus aku tanya Mama bohong bilang dia baik-baik aja.” “Kangen papamu mungkin,” komentarku sembari memasukan makanan ke dalam mulut dengan sendok. “Masalah orang dewasa itu rumit, ya?” Adik sepupuku penuh rasa penasaran tentang kehidupan orang dewasa. “Nikmati dulu masa remajamu. Baru memikirkan saat kamu dewasa.” Aku tersenyum. R
Tante mengangguk, mengusap titik bening yang mengalir di pipinya. “Pras mau mandi dulu.” Aku mengendus badanku sendiri. “Belum mandi loh akunya.” Tante tersenyum melihat tingkahku kemudian aku meninggalkannya ke kamar mandi. Air dari shower mengguyur tubuhku, melepaskan seluruh kekotoran di badanku yang seakan lepas bersama beban. Mengalir ke pembuangan air. Mataku terpejam, menikmati guyuran dari keran, sesekali mengusap rambut ke belakang setelah rambutku dibuat basah. Sambil memikirkan perkataan Tante agar dokumen pailit tidak jatuh ke tangan yang salah, aku membiarkan seluruh badanku tetap diguyur. Terang saja Tante tahu bagaimana perkembangan saham Jayanta Group. Pasalnya, sebelum pamanku meninggal dia bekerja di sebuah perusahaan trading. Pengetahuannya pasti sangat luas sampai mengkhawatirkan diriku hanya karena itu. Akan
“Pras, mau kopi?” teriak Tante dari arah dapur.“Boleh,” sahutku. Mungkin akan nikmat kalau ngopi dengan Tante di ruang tamu. Jarang-jarang, kami ngopi bareng. Sejurus kemudian, Tante membawa dua cangkir kopi panas di atas nampan. Asap tipis mengebul dari dalam cangkir keramik warna cokelat dengan corak putih di bagian tengahnya. Tante meletakan jatah kopiku di atas meja di depanku. Miliknya diletakkan begitu saja di atas meja bersama nampannya.“Kelihatannya kamu stress berat, ya.”“Bukan stres lagi ini, aku nyaris gila.” Aku menegakkan badan.“Mungkin harus refres sebentar di rumah ini. Tapi, jangan lari dari masalah, loh.”“Hah, tidak lari saja, masalah terus mengejarku.” Aku mengeluh. Aku mengangkat cangkir, meniupnya sebentar lalu menyeruput sedikit. Panas pun sedikit menyengat ujung lidah