Rumah memang tempat tertenang untuk menyandarkan semua lelah. Bahkan aku makan dengan lahap bersama adik sepupuku. Masakan Tante pun rasanya persis seperti masakan mama yang sudah tidak kurasakan.
“Kak Pras!” Ryan membuka pembicaraan.
“Hum?”
“Gimana rasanya jadi orang dewasa?” tanya Ryan dengan mulut penuh.
“Nanti kalau sudah dewasa kamu akan tahu,” jawabku.
“Tapi, orang dewasa itu aneh.”
“Hahaha, kenapa?” Aku tertawa renyah.
“Kadang gak bisa dimengerti.”
“Why?”
“Mama sering nangis, kan. Terus aku tanya Mama bohong bilang dia baik-baik aja.”
“Kangen papamu mungkin,” komentarku sembari memasukan makanan ke dalam mulut dengan sendok.
“Masalah orang dewasa itu rumit, ya?”
Adik sepupuku penuh rasa penasaran tentang kehidupan orang dewasa.
“Nikmati dulu masa remajamu. Baru memikirkan saat kamu dewasa.” Aku tersenyum.
R
Tante mengangguk, mengusap titik bening yang mengalir di pipinya. “Pras mau mandi dulu.” Aku mengendus badanku sendiri. “Belum mandi loh akunya.” Tante tersenyum melihat tingkahku kemudian aku meninggalkannya ke kamar mandi. Air dari shower mengguyur tubuhku, melepaskan seluruh kekotoran di badanku yang seakan lepas bersama beban. Mengalir ke pembuangan air. Mataku terpejam, menikmati guyuran dari keran, sesekali mengusap rambut ke belakang setelah rambutku dibuat basah. Sambil memikirkan perkataan Tante agar dokumen pailit tidak jatuh ke tangan yang salah, aku membiarkan seluruh badanku tetap diguyur. Terang saja Tante tahu bagaimana perkembangan saham Jayanta Group. Pasalnya, sebelum pamanku meninggal dia bekerja di sebuah perusahaan trading. Pengetahuannya pasti sangat luas sampai mengkhawatirkan diriku hanya karena itu. Akan
“Pras, mau kopi?” teriak Tante dari arah dapur.“Boleh,” sahutku. Mungkin akan nikmat kalau ngopi dengan Tante di ruang tamu. Jarang-jarang, kami ngopi bareng. Sejurus kemudian, Tante membawa dua cangkir kopi panas di atas nampan. Asap tipis mengebul dari dalam cangkir keramik warna cokelat dengan corak putih di bagian tengahnya. Tante meletakan jatah kopiku di atas meja di depanku. Miliknya diletakkan begitu saja di atas meja bersama nampannya.“Kelihatannya kamu stress berat, ya.”“Bukan stres lagi ini, aku nyaris gila.” Aku menegakkan badan.“Mungkin harus refres sebentar di rumah ini. Tapi, jangan lari dari masalah, loh.”“Hah, tidak lari saja, masalah terus mengejarku.” Aku mengeluh. Aku mengangkat cangkir, meniupnya sebentar lalu menyeruput sedikit. Panas pun sedikit menyengat ujung lidah
Aku kembali dari dunia bawah sadar. Melirik tubuhku yang entah sejak kapan sudah dalam posisi miring di atas kasur. Sontak, aku meraba ke atas bantal, mencari smartphone dan memeriksa jam begitu benda pipih itu di tangan.Tahu-tahu jam digital menunjukkan angka tiga, kurang lebih tidur selama empat jam. Menjadi rekor terlama tidur siangku sejak dewasa. Masih ada satu jam lagi untuk bersiap dan bertemu Dita. Harus kusiapkan mentalku dan melebarkan telinga untuk berjaga-jaga kalau ada kejutan dari pengakuan Dita lagi.Angin lembut masuk dari jendela kamar yang terbuka, seiring dengan itu, aku mengembuskan napas pelan, menurunkan kedua kaki ke lantai. Beranjak dari tempat tidur dan turun ke lantai satu.“Nyenyak tidurnya?” sapa Tante yang sedang berpose, berswafoto dengan wajah sengaja dibuat imut.“Hahaha, ngapain sih Te?” tanyaku sembari cekikian melihat tingkahnya.“Karena kamu bilang Tante masih awet
Dita mengembuskan napas perlahan, melirik ke luar jendela.“Jadi, mau katakana yang sebenarnya atau tidak?” desakku. Untuk sesaat, Dita tidak menjawab namun akhirnya dia menunduk, memainkan jarinya di atas meja.“Aku …-,” Dita bergetar. Gugupnya merambat ke tangan.“Katakanlah!” Aku menggenggam tangan Dita, mencoba mengurangi rasa gugupnya sambil tersenyum.“Katakan yang sebenarnya, Dit,” pintaku halus.“Aku yakin kamu tahu kebenarannya. Kalau kamu benar-benar peduli dengan Yus, katakan yang sebenarnya. Dengan begitu, kita mungkin bisa cari solusinya sama-sama untuk membebaskan Yus.” Tangan Dita kugenggam lebih erat, meyakinkannya akan hal ini.“Sungguh?” ucapnya lirih. Mata yang mulai menyembulkan titik air itu memandangku lekat-lekat. Aku mengangguk, memasang raut semeyakinkan mungkin. Menga
Seketika, dadaku ini terasa panas, terbakar oleh sesuatu di dalam sana. Tidak salah aku menganggapnya pria yang selalu serius itu sebagai pengkhianat setelah aku menganggap dia sebagai saudaraku sendiri. Rasa kecewa akan Dita yang tidak jujur sedari awal malah membuat api di dada ini semakin membara.Brak! Aku memukul meja hingga membuat minuman milikku tumpah, mengeluarkan kekesalanku tanpa peduli reaksi pengunjung lain.“Kenapa harus berbohong di awal!” pekikku sembari berdiri dari tempat duduk. Dita bergidik, tertunduk menyembunyikan air matanya. Rahangku bergetak, memandang reaksi di hadapanku ini.“Asal kamu tahu saja, aku sudah frustasi karena kedai yang terbakar. Kamu malah membuatnya semakin rumit dengan cerita karanganmu,” cecarku.“Ma …maaf!”“Jika kalian berdua ingin mengkhianatiku, sekalian saja bunuh aku daripada membuatku semaki
Selain lembayung yang tersenyum di ufuk barat menyambutku pulang ke rumah, Erika juga menyambutku di depan pintu dengan wajah dinginnya. Kudapati dia berdiri di depan pintu sembari melipat tangan ke dada.“Kemana aja dua hari ini?” tanyanya.“Ke rumah orang tua.”“Bohong!”“Enggak bohong, emang ke rumah orang tua. Sekalian tadi ada urusan sedikit.”“Bener urusan?”“Iya.” Erika mencari kejujuran di dalam mataku. Beberapa detik, dia memindai mataku lalu berkata, “Kali ini aku percaya aja.” Lalu melenggang ke kamar. Begitu pun denganku melenggang ke belakang konter untuk menyegarkan tenggorokan.“Kak Pras mau pudding buatanku?” tawar Dwi yang sudah lebih dulu ada di sini.“Enggak, makasih!” Penolakanku membuat Dwi mengerucutkan bibir, tapi aku tidak peduli dan mengambi
Drrrt! Drrrt! Drrrt! Getar smartphone yang merambat di permukaan nakas membuatku membuka mata meski belum sepenuhnya tersadar. Tanganku menjerumbai ke atas nakas kemudian menekan tombol hijau, mengangkat telefon walau belum sadar penuh.“Halo.”[Aku tahu kamu gak percaya sama aku tapi, tolong kali ini dengarkan aku!] Suara Dita di seberang sana lirih.“Kalau petunjuknya hanya muter-muter gak jelas dan gak ngasi petunjuk lain, itu Cuma buang-buang waktu.” Aku sudah terlanjur kesal pada Dita. Bukan tanpa alasan, tetapi dia sudah membohongiku di awal pengakuannya. Lalu kemarin, dia mengklaim diri memiliki petunjuk yang tidak bisa kuterima secara logika.[Kali ini saja!]“Tidak mau!” Aku menutup panggilan tanpa mau mendengar kelanjutannya. Kepercayaanku terhadapnya menghilang tanpa permisi. Tidak ingin memikirkan
Sepanjang perjalanan ke kantor, Erika sama sekali tidak bicara apapun di dalam mobil. Dari kaca, aku mencuri pandang ke matanya, berpura-pura melihat kendaraan di belakang dari cermin persegi yang tergantung di langit-langit depan kendaraan. Sepintas, tatapan matanya mungkin kosong tetapi, jika dilihat lebih dalam lagi, ada sebuah kekesalan di dalam sana. Jika aku memulai pembicaraan, obrolan kami sudah pasti akan berakhir dengan kekesalan. Bisa kutebak dari raut dingin Erika yang sering dia sajikan jika moodnya rusak. Karena aku tidak ingin pagi yang cerah ini nantinya menyebabkan mood istriku rusak, aku mengurungkan untuk bertanya bagaimana perasaannya saat ini.Sebagai suami yang baik, aku juga ingin memberi sedikit perhatian. Hanya saja, waktunya sedang tidak bagus. Erika mungkin tidak akan mengungkapkan perasaannya, malah mungkin dia akhirnya malas bicara denganku karena bersikap terkesan sok peduli.Mengalihkan itu, ak