Selain lembayung yang tersenyum di ufuk barat menyambutku pulang ke rumah, Erika juga menyambutku di depan pintu dengan wajah dinginnya. Kudapati dia berdiri di depan pintu sembari melipat tangan ke dada.
“Kemana aja dua hari ini?” tanyanya.
“Ke rumah orang tua.”
“Bohong!”
“Enggak bohong, emang ke rumah orang tua. Sekalian tadi ada urusan sedikit.”
“Bener urusan?”
“Iya.”
Erika mencari kejujuran di dalam mataku. Beberapa detik, dia memindai mataku lalu berkata, “Kali ini aku percaya aja.” Lalu melenggang ke kamar. Begitu pun denganku melenggang ke belakang konter untuk menyegarkan tenggorokan.
“Kak Pras mau pudding buatanku?” tawar Dwi yang sudah lebih dulu ada di sini.
“Enggak, makasih!” Penolakanku membuat Dwi mengerucutkan bibir, tapi aku tidak peduli dan mengambi
Drrrt! Drrrt! Drrrt! Getar smartphone yang merambat di permukaan nakas membuatku membuka mata meski belum sepenuhnya tersadar. Tanganku menjerumbai ke atas nakas kemudian menekan tombol hijau, mengangkat telefon walau belum sadar penuh.“Halo.”[Aku tahu kamu gak percaya sama aku tapi, tolong kali ini dengarkan aku!] Suara Dita di seberang sana lirih.“Kalau petunjuknya hanya muter-muter gak jelas dan gak ngasi petunjuk lain, itu Cuma buang-buang waktu.” Aku sudah terlanjur kesal pada Dita. Bukan tanpa alasan, tetapi dia sudah membohongiku di awal pengakuannya. Lalu kemarin, dia mengklaim diri memiliki petunjuk yang tidak bisa kuterima secara logika.[Kali ini saja!]“Tidak mau!” Aku menutup panggilan tanpa mau mendengar kelanjutannya. Kepercayaanku terhadapnya menghilang tanpa permisi. Tidak ingin memikirkan
Sepanjang perjalanan ke kantor, Erika sama sekali tidak bicara apapun di dalam mobil. Dari kaca, aku mencuri pandang ke matanya, berpura-pura melihat kendaraan di belakang dari cermin persegi yang tergantung di langit-langit depan kendaraan. Sepintas, tatapan matanya mungkin kosong tetapi, jika dilihat lebih dalam lagi, ada sebuah kekesalan di dalam sana. Jika aku memulai pembicaraan, obrolan kami sudah pasti akan berakhir dengan kekesalan. Bisa kutebak dari raut dingin Erika yang sering dia sajikan jika moodnya rusak. Karena aku tidak ingin pagi yang cerah ini nantinya menyebabkan mood istriku rusak, aku mengurungkan untuk bertanya bagaimana perasaannya saat ini.Sebagai suami yang baik, aku juga ingin memberi sedikit perhatian. Hanya saja, waktunya sedang tidak bagus. Erika mungkin tidak akan mengungkapkan perasaannya, malah mungkin dia akhirnya malas bicara denganku karena bersikap terkesan sok peduli.Mengalihkan itu, ak
Menggantikan Erika sebagai manajer selama dia tidur di sofa empuk dan disejukkan oeh AC. Erika pasti sedang bercanda sekarang ini namun, karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya aku pun menurut. Memanfaatkan kesempatan sebagai maanjer selama dia tertidur. Aku mengambil alih kursi hidrolik Sang Manajer yang empuk. Berakting menjadi seoraang manajer pengembangan. Iseng, aku membaca benda yang tadi dibaca oleh Erika. Rupanya, sebuah orat-oret alur pengembangan produk. Pada bagian bawah, terdapat gambar ilustrasi produk berbentuk persegi memanjang. Seperti sebuah cokelat batangan namun pada ilustrasi kemasan terdapat tulisan “Granola Bar.” Kemudian, aku membalik halaman berikutnya. Tertulis rancangan komposisi beserta desekripsi produk itu. Sepertinya, istriku selama ini sudah bekerja keras dalam membuat rancangan tetapi aku meninggalkannya karena urusan pribadi tanpa memikirkan dirinya. Aku, Si Lembek yang juga bagian dari pemilik saham di Jayanta G
Tim Riset langsung menjalankan perintahku dikordinir oleh Bu Dewi. Mereka tidak langsung membuang bahan riset sebelumnya melainkan mengemasnya lagi ke dalam plastik khusus. Aku memang tidak mengerti tentang riset atau komposisi bahan, aku hanya punya pengetahuan terbatas pada kadar siklamat. Begini saja sudah jadi awal yang baik meskipun sedikit. Mencuri rancangan riset yang dibuat Erika tanpa sepengetahuannya. Aku hanya berniat membantu Erika sebagai seorang manajer pengembangan, mubazir jika rancangan produk sebagus ini tidak dicoba untuk diriset.“Silakan dilanjutkan ya, Bu!” perintahku sembari mengeluarkan kertas bertuliskan komposisi produk dari dalam clear holder. Meninggakan mereka lalu melepas APD dan kembali ke ruangan Erika. Erika sedang memainkan smartphone sambil rebahan di atas sofa saat aku masuk.“Udah puas tidurnya?” tanyaku.“Huum.” Erika menguap kemudian menegakkan tub
Berbekal roti dan kopi kaleng yang kubeli dari kantin karyawan, aku berdiri bersandar pada pembatas di bawah langit biru yang menyejukkan mata. Awan mendung jarang-jarang tertiup angin menutupi matahari sehingga panasnya tidak menyengat kulitku di lantai atap gedung. Padahal sudah berencana makan siang bersama Erika, tapi entah kemana Erika pergi sejak meninggalkanku di ruangannya dengan kekesalan.Bisa-bisa, sampai di rumah aku dicecar habis-habisan karena mendeklarasikan diri sebagai manajer kepada Bu Dewi. Setelah mengembuskan napas ringan, aku menggigit roti choco cornet yang manis. Memandang ke awan yang mulai berubah bentuk terkoyak angin.“Aku nungguin kamu di depan tapi kamu malah di sini.” Suara parau Erika yang lembut membuatku menoleh. Derap langkah mendekat kemudian dua berdiri di sampingku, menenteng tas kain yang entah di dalamnya berisi apa.“Mau roti?” tawarku sambil menyodor
Anak dan ayah yang tidak kompak. Satunya ingin produk diet satunya lagi ingin memanipulasi komposisi. Dalam waktu dekat mereka akan bangkrut jika ceritanya seperti ini. Perbedaan dua ambisi. Aku menyusul Erika ke dalam gedung namun, aku tidak ke ruangannya melainka ke ruang riset. Penasaran apa yang akan dilakukan Bu Dewi dan Tim Riset terhadap rancangan produk Erika.Setelah memakai APD, Bu Dewi pun menyapa dengan ramah.“Manajer Pras. Risetnya mungkin akan memerlukan waktu lebih lama.” Bu Dewi mendekat.“Memangnya perlu berapa lama?”“Paling tidak satu minggu termasuk tester.”“Pelan-pelan saja!” pintaku. Aku menjatuhkan pandangan pada beberapa bahan riset. Gula dari juruh di dalam panci yang dididihkan, gandum dan kacang mente. Semuanya diproses dengan teliti di ruangan ini.
Teriakan itu membuatku tidak melanjutkan langkah, padahal pintu lift sudah terbuka. Saat itu juga, aku menoleh ke arahnya.“Keluarkan kakakku dari jeruji besi!” pintanya. Keningku mengerut, mataku menyipit.“Apa yang kamu katakana?” tanyaku.“Aku bilang bebaskan Kak Yus dari penjara!” pekiknya.“Aku gak ngerti maksudmu!” Aku mengacuhkan gadis itu, menggaet tangan Erika kemudian memencet tombol lift. Menunggu sebentar.“Jangan pura-pura gak tahu. Kamulah yang harus bertanggung jawab atas yang menimpa kakakku!” cecarnya.Ting! Pintu lift pun terbuka. Aku dan Erika melangkah masuk. Kutatap gadis itu lekat-lekat. Matanya mengandung dendam, kemarahan dan ambisi menghancurkan seseorang tetapi juga di mata itu menguarkan jiwa yang kesepian.Pintu lift pun tertutup setelah Erika menekan tombol ground. Perlahan, lift berjalan.
“Karena aku mungkin populer di kalangan orangorang yang gak kukenal jadi, mungkin gadis itu adalah salah satu fans.” Aku tersenyum.“Jangan bercanda, jelas-jelas gadis itu nanyain Yus.” Erika memincingkan mata.“Yah, begitulah!” Makanan kami pun datang. Diletakannya di atas meja oleh Abang Penjual. “Silakan!” ucapnya kemudian kembali melayani pembeli lain.“Makan dulu aja. Aku lapar!” kilahku. Menuang kecap di atas bumbu kacang kemudian mengaduk, mencampur siomay dengan bumbu agar menyatu. Meniup makanan di sendok sebelum melahapnya. Bisa makan seperti ini sungguh nikmat juga. Sensasi makan pinggir jalan yang sudah lama tidak kurasakan. Erika pun melakukan hal yang sama. Istriku mulai melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan namun, dia menambahkan satu sendok sambal di atas makanannya. Sejak indera p