Bathtube yang dangkal terisi penuh. Aku melepas pakaian kemudian mencelupkan badan ke dalam air hangat. Menenggelamkan wajah setinggi bibir. Membuat gelembung dari napas yang kuembuskan. Puas bermain seperti itu, aku, menyandarkan punggung. Membiarkan air hangat merelaksasikan seluruh otot tubuh yang tegang.
“Huft!” aku mengembuskan napas.
Rasanya ada yang janggal dengan ini. Bebasnya Rey sebelum vonis begitu mencurigakan apalagi, dia bebas sendiri tanpa Yus. Hukum di negeri ini bermain dengan uang itu menjadi suatu kewajaran. Di saat sidang pun kuasa hukum Rey sangat kentara mengkambing hitamkan Yus.
Siapa yang harus kupercayai sekarang? Bahkan Rahayu, tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Dia kalah telak.
***
Merasa cukup untuk melancarkan peredaran darah di dalam bathtube, aku keluar dari genangan itu. Mengeringkan badan dengan handuk, memakai dalaman. Bagian baw
Tubuhku bergetar, mataku perlahan terasa perih. Semakin dadaku bergejolak, semakin aku menggenggam erat-erat smartphone.Aku bergeming saat istriku yang keluar dari kamar mandi dengan dengan piyama baru warna abu-abu motif bunga berhenti tepat di hadapanku. Dia berhenti tepat di hadapanku sembari mengeringkan rambut dengan handuk.“Kamu kenapa?” Erika memiringkan kepala, melanjutkan mengeringkan ujung rambut. Entah bagaimana warna bola mataku yang sedang beradu dengan tatapan Erika, bergeming di depan istri seperti ini sembari menahan kalimat kasar di ujung lidah karena tidak mampu membendung perasaan. Aku benar-benar ingin berteriak, membentak dan menendang sesuatu.“Sial! Gara-gara menikah denganmu, hidupku jadi berantakan.” Kalimat itu akhirnya hanya terucap dalam hati saja.“Kamu kenapa, sih?” Erika mendekat. Aku masih terdiam, mem
Panas matahari pagi menyengat kulit tangan yang kugunakan sebagai bantalan di atas setir mobil. Sontak aku terbangun, mengucek mata dan menyadari aku di dalam mobil. Semalam aku memutuskan untuk masuk ke dalam mobil karena tidak tahan akan dinginnya udara danau yang menyaksikan betapa frustasinya diriku ini. Aku merogoh kantung smartphone, melihat jam digital di dalam layar yang sudah menampilkan angka sembilan lewat lima belas menit. Di tampilan atas layar, pesan dari aplikasi Waktuchat masuk dari Erika. ‘Kamu dimana? Udah waktunya kerja atau aku pecat saja karyawan yang gak disiplin sepertimu!’ Pesan dari Erika diakhiri dengan emoji wajah merah. Pekerjaan … Aku tidak membutuhkannya lagi saat ini. Tidak ada alasan untuk bekerja karena kedaiku benar-benar sudah hangus. Kuputar kunci lalu menyalakan mesin, memanaskannya sebentar sambil membuat keputusan untuk pulang
Rumah memang tempat tertenang untuk menyandarkan semua lelah. Bahkan aku makan dengan lahap bersama adik sepupuku. Masakan Tante pun rasanya persis seperti masakan mama yang sudah tidak kurasakan. “Kak Pras!” Ryan membuka pembicaraan. “Hum?” “Gimana rasanya jadi orang dewasa?” tanya Ryan dengan mulut penuh. “Nanti kalau sudah dewasa kamu akan tahu,” jawabku. “Tapi, orang dewasa itu aneh.” “Hahaha, kenapa?” Aku tertawa renyah. “Kadang gak bisa dimengerti.” “Why?” “Mama sering nangis, kan. Terus aku tanya Mama bohong bilang dia baik-baik aja.” “Kangen papamu mungkin,” komentarku sembari memasukan makanan ke dalam mulut dengan sendok. “Masalah orang dewasa itu rumit, ya?” Adik sepupuku penuh rasa penasaran tentang kehidupan orang dewasa. “Nikmati dulu masa remajamu. Baru memikirkan saat kamu dewasa.” Aku tersenyum. R
Tante mengangguk, mengusap titik bening yang mengalir di pipinya. “Pras mau mandi dulu.” Aku mengendus badanku sendiri. “Belum mandi loh akunya.” Tante tersenyum melihat tingkahku kemudian aku meninggalkannya ke kamar mandi. Air dari shower mengguyur tubuhku, melepaskan seluruh kekotoran di badanku yang seakan lepas bersama beban. Mengalir ke pembuangan air. Mataku terpejam, menikmati guyuran dari keran, sesekali mengusap rambut ke belakang setelah rambutku dibuat basah. Sambil memikirkan perkataan Tante agar dokumen pailit tidak jatuh ke tangan yang salah, aku membiarkan seluruh badanku tetap diguyur. Terang saja Tante tahu bagaimana perkembangan saham Jayanta Group. Pasalnya, sebelum pamanku meninggal dia bekerja di sebuah perusahaan trading. Pengetahuannya pasti sangat luas sampai mengkhawatirkan diriku hanya karena itu. Akan
“Pras, mau kopi?” teriak Tante dari arah dapur.“Boleh,” sahutku. Mungkin akan nikmat kalau ngopi dengan Tante di ruang tamu. Jarang-jarang, kami ngopi bareng. Sejurus kemudian, Tante membawa dua cangkir kopi panas di atas nampan. Asap tipis mengebul dari dalam cangkir keramik warna cokelat dengan corak putih di bagian tengahnya. Tante meletakan jatah kopiku di atas meja di depanku. Miliknya diletakkan begitu saja di atas meja bersama nampannya.“Kelihatannya kamu stress berat, ya.”“Bukan stres lagi ini, aku nyaris gila.” Aku menegakkan badan.“Mungkin harus refres sebentar di rumah ini. Tapi, jangan lari dari masalah, loh.”“Hah, tidak lari saja, masalah terus mengejarku.” Aku mengeluh. Aku mengangkat cangkir, meniupnya sebentar lalu menyeruput sedikit. Panas pun sedikit menyengat ujung lidah
Aku kembali dari dunia bawah sadar. Melirik tubuhku yang entah sejak kapan sudah dalam posisi miring di atas kasur. Sontak, aku meraba ke atas bantal, mencari smartphone dan memeriksa jam begitu benda pipih itu di tangan.Tahu-tahu jam digital menunjukkan angka tiga, kurang lebih tidur selama empat jam. Menjadi rekor terlama tidur siangku sejak dewasa. Masih ada satu jam lagi untuk bersiap dan bertemu Dita. Harus kusiapkan mentalku dan melebarkan telinga untuk berjaga-jaga kalau ada kejutan dari pengakuan Dita lagi.Angin lembut masuk dari jendela kamar yang terbuka, seiring dengan itu, aku mengembuskan napas pelan, menurunkan kedua kaki ke lantai. Beranjak dari tempat tidur dan turun ke lantai satu.“Nyenyak tidurnya?” sapa Tante yang sedang berpose, berswafoto dengan wajah sengaja dibuat imut.“Hahaha, ngapain sih Te?” tanyaku sembari cekikian melihat tingkahnya.“Karena kamu bilang Tante masih awet
Dita mengembuskan napas perlahan, melirik ke luar jendela.“Jadi, mau katakana yang sebenarnya atau tidak?” desakku. Untuk sesaat, Dita tidak menjawab namun akhirnya dia menunduk, memainkan jarinya di atas meja.“Aku …-,” Dita bergetar. Gugupnya merambat ke tangan.“Katakanlah!” Aku menggenggam tangan Dita, mencoba mengurangi rasa gugupnya sambil tersenyum.“Katakan yang sebenarnya, Dit,” pintaku halus.“Aku yakin kamu tahu kebenarannya. Kalau kamu benar-benar peduli dengan Yus, katakan yang sebenarnya. Dengan begitu, kita mungkin bisa cari solusinya sama-sama untuk membebaskan Yus.” Tangan Dita kugenggam lebih erat, meyakinkannya akan hal ini.“Sungguh?” ucapnya lirih. Mata yang mulai menyembulkan titik air itu memandangku lekat-lekat. Aku mengangguk, memasang raut semeyakinkan mungkin. Menga
Seketika, dadaku ini terasa panas, terbakar oleh sesuatu di dalam sana. Tidak salah aku menganggapnya pria yang selalu serius itu sebagai pengkhianat setelah aku menganggap dia sebagai saudaraku sendiri. Rasa kecewa akan Dita yang tidak jujur sedari awal malah membuat api di dada ini semakin membara.Brak! Aku memukul meja hingga membuat minuman milikku tumpah, mengeluarkan kekesalanku tanpa peduli reaksi pengunjung lain.“Kenapa harus berbohong di awal!” pekikku sembari berdiri dari tempat duduk. Dita bergidik, tertunduk menyembunyikan air matanya. Rahangku bergetak, memandang reaksi di hadapanku ini.“Asal kamu tahu saja, aku sudah frustasi karena kedai yang terbakar. Kamu malah membuatnya semakin rumit dengan cerita karanganmu,” cecarku.“Ma …maaf!”“Jika kalian berdua ingin mengkhianatiku, sekalian saja bunuh aku daripada membuatku semaki
Kepada Pembaca, Kepada pembaca, dengan ini penulis menyatakan novel Menikahi Bu Manajer sudah tamat pertanggal 23 Desember 2021. Hampir 7 bulan menyelesaikannya karena kesibukan bekerja dan kadang juga dilanda malas. Menikahi Bu Manajer mungkin bukan karya yang sempurna tetapi, author berharap semua bisa menikmati karya yang tidak sempurna ini dan para pembaca bisa turut menikmati prosesnya. Author sangat berharap bisa membuat karya yang lebih sempurna lagi tentunya dengan kritik, saran dan masukan dari para pembaca. Jadi, silakan tuangkan sarannya di sini mengenai kekurangan dalam novel Menikahi Bu Manajer. Nantikan karya selanjutnya yang lebih baik, ya. Semangat semuanya.Salam dari langit utara,Ursa Mayor, Jangan lupa follow akun media sosial penulisF*: Omang YayuzI*: @mang_yayus
Dua bulan kemudian, hubunganku dengan Erika berangsur akur. Kami menjalankan semua kesibukan kami bersama dan yang menggembirakan adalah aku mendapat berita bahwa Rey masuk bui dengan pasal berlapis. Kabar itu kudapat dari Rahayu melalui pesan singkat Waktuchat. Ayahnya dipecat dari Jayanta Tambang. Dan hari ini, aku tidak sengaja bertemu Dita di sebuah kafetaria. Gadis ceria itu sangat senang melayaniku dan menguarkan keceriaannya kembali. Di sela-sela senggangnya, dia bahkan mendampingku seperti sekarang, duduk satu meja. “Kak Pras, aku sangat senang karena Yus sudah bebas. Padahal, aku juga sebenarnya tidak punya bukti apa-apa tentang kasus kedai itu.” Dita memulai pembicaraan. “Lupakan masalah itu. Aku tidak akan membiarkan dia di sana terlalu lama.” “Tapi, bagaimana Kak Pras membebaskannya tanpa syarat?” tanya Dita. Aku menyedot es capucino di depanku. “Rahasia!” jawabku kemudian sambil terse
Aku malah jadi frustasi karena semua ini. Mendadak jadi pemimpin hanya karena ancaman yang kulakukan. “Sebenarnya Papa mau aku gimana?” Aku mengumpat kepada papa yang sudah tidak ada dan tentu saja sudah tidak bisa mendengar keluh kesahku. Pernikahan dengan Erika yang membuat hidup berantakan, cerita-cerita yang tidak masuk akal dari ayah mertua, Erika atau mungkin juga dari Tante yang tidak masuk ke logikaku dan sekarang menjadikanku pemegang Jayanta Tambang. Sekarang aku baru menyadari sesuatu, pemicu sebenarnya dari kehidupanku yang berantakan bukanlah pernikahanku dengan Erika, tetapi kepemilikan saham. Aku tidak bisa mengatakan diriku ini alat untuk merebut kekuasaan karena di sisi lain aku juga yang diuntungkan, tetapi aku menyayangkan keputusan mereka. “Kamu ini gak sopan banget, malah melenggang gitu aja!” Erika sudah duduk di kursi di sebelahku, menutup pintu wagon dengan kesal. “Kenapa sih, Pras!” tanyanya sembari melipat t
Suara TV dari ruang tamu membuat mataku terbuka padahal seingatku sebelum aku tidur semalam, aku sudah mematikannya. Namun, agaknya Erika bangun sebelum aku bangun. Bukan tanpa alasan mataku jadi terbuka tetapi, karena telingaku menangkap suara seorang pewarta yang membawakan berita pagi ini. “CEO Jayanta Tambang melaporkan kasus putranya….” Kalimat itulah alasan utama. Aku bangkit dari tempat tidur, melakukan peregangan pada bagian badan, menguap melepaskan sisa kantuk. Badanku terisi ulang dengan energi, tapi tenggorokan yang kering memaksa untuk pergi ke dapur dan mengambil minum. “Sebenarnya, apa yang kamu lakukan kemarin?” Erika masih dengan pakaian yang dia kenakan semalam, duduk bersila di sofa sambil menatap layar. Di layar TV terpampang highlight bertuliskan, “Putra Jayanta Tambang Tersandung Kasus.” Ternyata, secepat ini beritanya tersiar. “Jawab, Pras!” Erika menurunkan hodie telinga kucing, memand
Puas menghabiskan sisa hari ini bersama Tante dan Ryan, aku pulang ke rumah dengan bekal masakan hasil karya Tante ketika langit sudah mulai gelap. “Aku pulang!” Kudapati istriku itu sedang duduk di sofa mengenakan piyama putih sembari bersila. Ekspresinya sangat serius menonton tayangan luar negeri, seakan dia tidak menyadari kehadiranku dia sama sekali tidak menoleh atau bahkan membalas salam. Tetapi satu hal yang membuat aku terenyum adalah atasan tambahan yang dia kenakan. Atasan yang dia kenakan sangat kontras dengan kepribadiannya. Jaket rajut warna cokelat dengan hodie bertelinga mirip seperti hewan kucing atau semacamnya. Saking seriusnya menonton dan suara TV yang mengalahkan derap langkahku, aku berjalan mendekat, menarik salah satu telinga kucing pada hodienya. Masih belum juga menyadari kehadiranku dan mengira hodienya melorot aku ikut bersenandung ketika iklan dengan soundtrack anak-anak muncul. “
Meski rumah ini sudah ditinggal oleh orang tuaku, pintu rumah yang selalu terbuka seakan selalu menyambutku kapan saja aku datang. Bagaimana pun keadaanku dan sesulit apapun masalah yang menghampiri, rumah ini adalah tempat aku meletakkan semua lelah untuk sesaat. Sekarang pun masih tetap sama hanya saja, dengan kasih yang datang dari orang berbeda. Kasih seorang ibu juga. Aku memasuki ruang tamu, kudapati Tante sedang membuka sebuah benda seperti buku. “Aku pulang!” Aku memberi salam. Tante pun menoleh untuk sesaat. “Eh, Pras,” sahutnya. “Lihat apa, Tante?” tanyaku sembari mendongak. Tampak beberapa foto nostalgia di dalam album foto yang dipangku Tante. “Mendadak Tante kangen sama orang tuamu. Juga beberapa fotomu waktu kecil.” Tante tersenyum sembari membalik album. “Oh ya, sebelum lupa-,” Aku mengeluarkan dokumen dari dalam saku jass kemudian memberikannya pada Tante-.”tolong disimpan dengan baik lagi, ya1"
“Selanjutnya, saya serahkan kepada Rahayu dan Bapak.” Aku bangkit dari posisiku. “Saya tunggu di law firm.” Rahayu menyodorkan kartu namanya kemudian menepuk pundakku memberi tanda untuk segera pergi. Kami berdua berjalan bergantian dengan derap langkah yang tegas. “Kok bisa-bisanya kamu berpikir tentang rencana ini?” tanya Rahayu ketika kami menuruni tangga, keluar dari gedung. “Yah, mau bagaimana lagi. Aku juga gak ada cara lain. Dengan begini pun firma hukummu seharusnya diuntungkan,” jawabku. “Apa Erika tahu tentang ini?” tanyanya lagi. “Ini tidak ada hubungannya lagi dengan Erika. Aku pun gak perlu validasi dari istriku.” Kami berhenti di depan mobil wagonku. Rahayu pun tersenyum untuk pertama kalinya kepadaku. “Kali ini, aku serahkan padamu.” Aku berbalik, membuka pintu mobil. “Tunggu!” “Apalagi?” “K
Aku duduk di sofa, menyilangkan kakiku dan merentangkan tangan di atas daun sofa. Pria paruh baya yang kulihat di TV pasca Rey dijebloskan dipenjara untuk pertama kalinya sekarang ada di di depanku. “Kamu siapa? Kenapa lancang masuk ke ruangan ini tanpa izin?” tanyanya. “Dia Pras, Ayah!” sahut Rey. “Salam, Pak!” Aku menangkupkan tangan sambil tersenyum. “Jadi kamu yang telah merebut Erika dari anak saya?" Pria itu mendekat sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku. “Tenanglah, Pak!” ucapku santai. “Apa maksudmu datang ke sini tiba-tiba begini? Belum puas kamu membawa penderitaan kepada anakku?” Senyum di bibirku luntur seketika. Aku bangkit berdiri di hadapan pria yang sudah membesarkan Rey hingga dia menjadi seberengsek itu. “Penderitaan katamu, wahai Tuan CEO yang terhormat?” Kupandang wajahnya yang berkerut. Sesaat kemudian, aku beralih pandang ke Rey yang berdiri di depan meja kerja mewah ayahnya.
Sesaat kemudian, Tante turun membawa dokumen yang kuminta. Dia mengeluarkan seluruh isinya di hadapanku. “Kamu hanya perlu dokumen pailit, jadi Tante akan memberikan itu saja. Sisanya, Tante akan menyimpannya untukmu nanti.” Tante memasukan dokumen yang kuperlukan ke dalam amplop kemudian merapikan sisanya. “Ini.” Tante mengulurkan benda pipih cokelat itu kepadaku. Aku mengambilnya kemudian menyimpan di kantong bagian dalam jasku. “Sebenarnya Tante mengkhawatirkanmu. Maafkan, Tante atas tamparan itu. Kamu sudah seperti putraku sendiri, Nak.” Tante mulai terisak. Aku berjongkok di hadapan tante, meletakkan kepalaku di pahanya. “Tante, aku mencintaimu. Cuma Tante yang bisa gantiin sosok Mama dan orang tua untukku. Aku minta maaf karena lancang dan merepotkan selama ini. Terima kasih.” Aku kembali merasakan kehangat seorang ibu ketika tangan tante mengelus lembut kepalaku. A