“Itu tidak benar!” jawabnya.
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, menahan emosi di dalam dada yang meluap. Gertakan gigiku begitu teras hingga ke pelipis. Ingin sekali aku menghajar pengkhianat ini. Jelas-jelas waktu itu dia memperlakukan tubuhku seperti sebuah samsak tinju secara bergantian.
“Sudah jelas, Yang Mulia.” Pengacara itu menegakkan badannya.
“Jika memang dijerat dengan kasus penganiayaan, satu-satunya bukti terkuat saat ini adalah sidik jari Saudara Yus. Saudara Rey tidak bisa dijerat dengan pasal tersebut karena tidak ada bukti yang mengarah kepadanya. Jadi, orang yang seharusnya terkena pasal penganiayaan adalah Saudara Yus.”
Mataku membeliak, kupandangi wajah Yus dari samping yang memucat. Dia tersudut karena kuasa hukum yang seharusnya membelanya itu malah terkesan mengkambing hitamkan dirinya. Sedari Yus hanya menjawab pertanyaan dengan kebohongan. Lain halnya dengan Rey, dia hanya duduk sambil menyeringai bahkan saat
Bertentangan dengan kebiasaanku yang suka melipir jika mumet sudah menyerang, hari ini aku tidak bermaksud singgah kemanapun untuk memberi ruang ketenangan di balik tempurung kepala, aku hanya ingin pulang saja. “Aku pulang!” ucapku pada penghuni rumah yang mungkin sedang tidak di rumah.’”Selamat datang!” Suara parau Erika menyambut dari ruang tamu. Erika yang mengenakan piama duduk bersila di atas sofa berwarna hijau. Menarik perhatianku. “Sejak kapan benda ini ada di sini?” tanyaku sembari berjalan ke ruang tamu. Erika tidak menjawab, dia malah menekan tombol remote dan mengganti saluran ke saluran internasional. “Kamu juga memasang TV berbayar dengan saluran internasional?” “Habisnya, rumah ini membosankan. Gak ada hiburan selain playstation.” Aku tidak menyadari keberadaan Dwi yang menjawab pertanyaan untuk Erika dari balik konter dapur. Bisa-bisany
Sentuhan hasrat yang membuatku melayang sesaat kemudian menjatuhkanku dengan cepat karena bisikan Bu Manajer. Kalimat Erika itu sama sekali tidak bisa kumengerti. Saat kebingungan seperti ini, Erika memutar matanya kemudian tersenyum lembut. “Aku bilang Rey bukan pria yang mudah dikalahkan. Dia punya kekayaan dan kekuasaan.” Aku mengubah posisi, melipat kedua kaki. “Jadi, kenapa kamu tidak menikah saja dengannya?” tanyaku. “Justru pernikahan kita menghalangiku untuk menyelidiki Rey!” umpatnya kesal. “Ma … maksudnya?” Erika melipat tangan di dada. “Ayah Rey adalah pemegang saham Jayanta Tambang. Tidak hanya itu, dia juga memiliki relasi dengan Yakuza di Jepang sebagai tameng. Kalau kamu macam-macam, kamu akan mati konyol!” ucapnya. “Kenapa kamu menyelidikinya?” “Karena perusahaan papa diambang kebangkrutan waktu itu jadi, aku menerima dia sebagai pacarnya. Maka
“Coba aku periksa.” Aku mengedip nakal. Menyentuh pelan tombol kebanggan kaum hawa milik Erika.“Katanya, yang kiri dan kanan ukurannya berbeda.” Aku mengintip ke dalam bra berwarna krim. “Tetapi, punya Kakak sama.” Erika memukul lembut pundakku.“Sebenarnya kamu suka yang kecil, kan?” Erika mengerucutkan bibir. Tanpa menjawab Erika, aku hanya tertawa kecil. Namun, Erika tampak kesal, mendorong tubuhku ke belakang.“Dasar cowok gak peka!” ucap Erika sembari menutup kembali kancing piyama.“Kenapa?”“Moodku jadi buruk!” umpatnya. Erika berdiri dari ranjang, berjalan ke arah pintu, membuka kunci kemudian menutup pintu dengan membantingnya. Meninggalkanku sendirian. Erika yang menggoda tapi Erika juga yang menghentikan permainan ini hanya karena mood yang berubah dra
Memasak tidak memerlukan waktu yang lama untukku. Aku menata makanan di atas meja makan. Nasi, ayam sayur dan beberapa udang sudah siap untuk di makan. Aromanya pun menguar sedap. “Wah, aku gak sabar makan ini,” seru Dwi. “Kamu juga makan, Ka- … Sayang!” pintaku pada Erika. Terakihr aku menyiapkan tiga gelas berisi air putih. Meletakkannya di samping jajaran menu yang tersaji. Duduk di hadapan Dwi yang sudah tidak sabaran menyantap makanan. Erika pun kemudian mengambil tempat di sebelah adik perempuannya. “Ambil sendiri-sendiri nasinya,” ucapku. Diawali Erika, dia yang pertama menyendok nasi, namun nasi itu tidak dituang ke atas piringnya melainkan istriku itu mengisi piring adiknya lebih dulu. “Makasih,” ucap Dwi senang. Dwi mulai menyendok sayur, meletakkan ke atas piring miliknya. Dia benar-benar tidak sabar untuk makan. Setelah Erika mengisi p
Aku menjulurkan kaki, merebahkan badan di atas sofa, bermalas-malasan setelah memuaskan perut di sore yang mulai memerah. Bermain smartphone pun jadi hiburan sendiri. Membuka Postugram, Waktuchat dan aplikasi lainnya meski tidak ada pesan masuk dari siapapun. Puas seperti itu untuk beberapa menit, aku menggunakan tanganku sebagai alas kepala, memandnag langit-langit yang meredup seiring dengan datangnya sandikala. Lampu belum dinyalakan, tapi entah kenapa posisi seperti ini sangat nyaman sekali. Pikiranku terbawa suasana tenang di dalam rumah untuk pertama kalinya. Tidak ada suara pintu dibanting, tidak ada pertengkaran kaka-adik pokoknya, sangat nyaman sampai-sampai aku tenggelam dalam pikiranku sendiri tentang permasalahan yang terjadi tanpa penyelesaian pasti. Sejak menikah dengan Erika, hari-hariku yang datar jadi berantakan. Masalahku yang sebatas memikirkan keuangan kedai meluas jadi perkara meja hijau. Bagaimana ya aku m
Bathtube yang dangkal terisi penuh. Aku melepas pakaian kemudian mencelupkan badan ke dalam air hangat. Menenggelamkan wajah setinggi bibir. Membuat gelembung dari napas yang kuembuskan. Puas bermain seperti itu, aku, menyandarkan punggung. Membiarkan air hangat merelaksasikan seluruh otot tubuh yang tegang.“Huft!” aku mengembuskan napas. Rasanya ada yang janggal dengan ini. Bebasnya Rey sebelum vonis begitu mencurigakan apalagi, dia bebas sendiri tanpa Yus. Hukum di negeri ini bermain dengan uang itu menjadi suatu kewajaran. Di saat sidang pun kuasa hukum Rey sangat kentara mengkambing hitamkan Yus. Siapa yang harus kupercayai sekarang? Bahkan Rahayu, tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Dia kalah telak.*** Merasa cukup untuk melancarkan peredaran darah di dalam bathtube, aku keluar dari genangan itu. Mengeringkan badan dengan handuk, memakai dalaman. Bagian baw
Tubuhku bergetar, mataku perlahan terasa perih. Semakin dadaku bergejolak, semakin aku menggenggam erat-erat smartphone.Aku bergeming saat istriku yang keluar dari kamar mandi dengan dengan piyama baru warna abu-abu motif bunga berhenti tepat di hadapanku. Dia berhenti tepat di hadapanku sembari mengeringkan rambut dengan handuk.“Kamu kenapa?” Erika memiringkan kepala, melanjutkan mengeringkan ujung rambut. Entah bagaimana warna bola mataku yang sedang beradu dengan tatapan Erika, bergeming di depan istri seperti ini sembari menahan kalimat kasar di ujung lidah karena tidak mampu membendung perasaan. Aku benar-benar ingin berteriak, membentak dan menendang sesuatu.“Sial! Gara-gara menikah denganmu, hidupku jadi berantakan.” Kalimat itu akhirnya hanya terucap dalam hati saja.“Kamu kenapa, sih?” Erika mendekat. Aku masih terdiam, mem
Panas matahari pagi menyengat kulit tangan yang kugunakan sebagai bantalan di atas setir mobil. Sontak aku terbangun, mengucek mata dan menyadari aku di dalam mobil. Semalam aku memutuskan untuk masuk ke dalam mobil karena tidak tahan akan dinginnya udara danau yang menyaksikan betapa frustasinya diriku ini. Aku merogoh kantung smartphone, melihat jam digital di dalam layar yang sudah menampilkan angka sembilan lewat lima belas menit. Di tampilan atas layar, pesan dari aplikasi Waktuchat masuk dari Erika. ‘Kamu dimana? Udah waktunya kerja atau aku pecat saja karyawan yang gak disiplin sepertimu!’ Pesan dari Erika diakhiri dengan emoji wajah merah. Pekerjaan … Aku tidak membutuhkannya lagi saat ini. Tidak ada alasan untuk bekerja karena kedaiku benar-benar sudah hangus. Kuputar kunci lalu menyalakan mesin, memanaskannya sebentar sambil membuat keputusan untuk pulang