Langit utara pagi ini agak mendung, ikut berkabung dalam kedukaan yang kami rasakan. Orang-orang yang datang ke rumah duka semua mengenakan pakaian serba hitam. Rekan bisnis papa, keluarga dan teman-temanku juga ikut merasakan kedukaan di hati ini. Yus dan Dita juga datang. Katanya, mereka menutup kedai khusus untuk hari ini.
Aku dan mama, berdiri di balai, memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang. Mendoakan yang terbaik untuk roh ayah kandungku itu. Sejak kemarin, mama tidak bisa berhenti menangis. Kantung matanya terbentuk karena tidak bisa tidur dengan tenang. Sementara, meskipun aku ingin menangis aku tetap menahannya. Membiarkannya keluar di dalam hati saja meski dadaku ini jadi sesak. Kalau aku ikut menangis, mama akan lebih lemah. Jadi, kata-kata yang keluar dari mulutku untuk menguatkan mama hanyalah. “Ikhlaskan saja. Papa s
Seminggu setelah kematian papa, aku tinggal di rumah orang tua untuk menemani mama. Mama bangkit dari keterpurukan pasca ditinggal papa dengan cepat meskipun tatapan matanya masih kosong sesekali waktu mengenang suami tercinta. Akhir-akhir ini pun aku harus pulang lebih awal dari kantor Erika dan hanya singgah ke kedai saat makan siang. Membiarkan mama sendirian dan kesepian untuk waktu yang lama rasanya masih sulit pasca kematian papa. Hari ini pun begitu, aku meminta ijin Erika untuk pulang lebih cepat di ruangannya.“Maaf, hari ini saya harus pulang lebih cepat lagi. Apa masih boleh?” tanyaku pada Erika yang sedang sibuk di meja kerjanya. Erika tidak l
Pernikahan yang dipercepat membuatku jadi memikirkan banyak hal. Memikirkan kehidupan rumah tangga dengan wanita yang usianya lima tahun lebih tua, masalah keuangan dan yang paling membebaniku adalah cara untuk menyelamatkan kedai yang sudah diambang kebangkrutan itu. Siang ini, saat jam istirahat aku dan Erika duduk di kedai. Membicarakan kehidupan masa depan kami. Dua es kopi sudah tersuguh di meja sebagai pendingin kepala jikalau nanti pembicaraannya jadi memanas. Dua mangkuk mie ayam di hadapanku yang sudah dingin mulai mendingin. "Mulai sekarang kehidupan kita sudah diatur oleh para orang tua." Erika memulai percakapan. "Yah, aku juga tidak menduganya." Aku menyesap kopiku. Erika mengeluarkan dua lebar kertas dari dalam tas bermerek dengan huruf L dan V yang didesain menyatu."Silakan dibaca!" perintahnya. Dia mengulurkan kedua benda putih ringan itu kepadaku. Pada bagian atas kertas tertulis "Perjanjia
Akhir-akhir ini rasanya hari berlalu dengan cepat, tahu-tahu sudah tiga hari jelang pernikahanku dengan Erika. Ya, dua minggu itu terlalu cepat untuk menikmati sisa masa lajangku yang akan berakhir dalam waktu dua hari. Hari ini aku jadi bangun lebih pagi untuk mempersiapkan pernikahan dengan Erika, wanita dingin yang sama sekali tidak kucintai. Agenda hari ini adalah menyebar undangan dan fitting dress. Hanya itu saja tugas kami karena sisa persiapan seperti dekorasi hingga gedung untuk resepsi sudah diurus semua oleh Om Jayanta, kami sebagai calon mempelai jadi tidak banyak memakan energi terlalu banyak. Namun, tetap saja aku merasa was-was setelah mendengar pendapat Bu Dewi tentang pernikahan.***
Mataku menantang tatapan Rey. Tidak terima dengan perlakuannya terhadap calin istriku itu.Bug! Bogem mentah dari tanganku mengahantam pipi pria berwajah oriental itu hingga dia terhempas ke lantai.“Itu untuk Erika!” Aku merangsek masuk, menarik tangan Erika keluar dari ruang kerja. Beberapa karyawan berdiri di depan ruangan, membuat suasana jadi sedikit riuh. Tanpa memperdulikan Rey, kami berjalan meninggalkan kekasih Erika. Erika
Sinar matahari yang turun menghangatkan pesta yang akan kami gelar di hari suci ini. Suasana serba putih namun tidak mengilangkan nuansa hijau kental dengan bunga indah yang menyempurnakan. Kain karpet putih terbentang sepanjang jala menuju altar, dimana samping kanan-kiri bertabur kelopak bunga mawar. Bunga-bunga segar juga menghias indah, berdiri di samping kanan- kiri, dimana penyangga tersebut terbalut kain berwarna putih juga. Terlihat simple dan putih. Konsep pernikahan outdoor ini disiapkan oleh Om Jayanta, katanya dipilih atas ide Dwi. Waktu mengalir begitu lembut sampai-sampai aku tidak sadar kalau hari ini tiba dengan cepat, datang begitu saja. Hari yang akan merubah status hubunganku dengan Erika dari bertunangan menjadi menikah. Taman ini jadi saksi bisu dengan puluhan pasang mata yang dudu
Teriakan yang tiba-tiba itu mendapat perhatian dari para tamu. Puluhan pasang mata itu memandang ke sosok pria berwajah oriental berdiri di ujung altar putih dengan pakaian semi formal. "Siapa dia?""Apa katanya?" Begitulah pertanyaan para undangan yang terheran-heran dengan kemunculan sosok Rey yang tiba-tiba. Dia berlari di altar, mendekat ke arah kami yang duduk di gazebo pernikahan sembari berteriak, "Kamu gak akan bahagia hidup dengannya, Erika. Pria ini hanya ingin mengambil hartamu!" Dua orang security kemudian berlari, mengkuti Rey. Rey semakin mendekat, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku blazzer warna hitam, sebilah besi tipis dan tajam yang bertangkai, berkilau di bawah sinar matahari. Melihat sesuati yang berpotensi berbahaya ini, aku mendorong Erika yang entah sejak kapan sudah berdiri tanpa kusadari. Aku menendang kursi ya
Sontak, aku bangkit dari tempatku, berlari ke arah dokter. "Bagaimana keadaan mama saya, dokter?" tanyaku. Dokter diam untuk sesaat, melihat alas papan lalu mengela napas."Pendarahan hebat. Sekarang masih dalam keadaan kritis.""Apa bisa selamat?""Tunggu sampai pasien melewati masa kritisnya. Setelah itu, semoga keadaannya berangsur membaik.""Boleh saya lihat keadaannya?""Maaf, belum boleh. Kalau begitu, saya permisi!" Dokter kemudian melenggang lalu menghilang di ujung lorong. Kutatap pintu ruangan tempat mama dirawat. Rasanya aku ingin menerobos masuk, menggenggam tangan mama erat-erat. Akan tetapi, rasa sakit di dadaku ini mengujam bersamaan dengan mataku yang terasa perih namun hangat. Seperti terserang de javu,aku membeku. Memoriku kembali memanggil tubuh kaku papa di brankar dengan tangan menjuntai ke bawah. Efek psikomatis menyerang kakiku, gemetar de
“Pak, bangun, jangan tidur di sini. Kami mau buka.” ucapnya. Suara itu membuat mataku samar-samar melihat bayangan seseorang dengan pakaian putih. Sontak, aku bangun dari posisi terlentang. Begitu aku sepenuhnya tersadar, aku bertanya kepada perawat yang membangunkanku. “Jam berapa ini, Mbak Suster?” tanyaku. Dia melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya. “Jam delapan,” jawabnya. Aku mengambil posisi duduk, mengumpulkan nyawa yang seolah baru saja kembali dari kelananya.“Maaf, saya ketiduran.” Aku tersenyum tanpa rasa bersalah karena sudah menggunakan fasilitas umum untuk keperluanku sendiri. Perawat itu hanya menggelengkan wajahnya, heran kemudian berdecap dan berlalu setelahnya sembari memeluk papan alas di dada. Semalam, rasa lapar dan lelahku dikalahkan oleh rasa kantuk. Aku berjalan dari atap ke ruang tunggu di depan loket pendaftaran. Aku menyibak rambut, menging