Erika mengembarakan mata dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Berdecak kesal.
“Kenapa warna outfitmu mesti sama, sih?” keluhnya.
Aku baru ingat kalau dia mengenakan pakaian warna biru langit. Karena tadi di tempat tidur aku tidak memerhatikannya.
“Gak sengaja,” jawabku.
“Ya udah. Yuk, ah!”
Mobilku melaju dengan kecepatan konstan, berhenti di bawah lampu merah bersama mobil-mobil lainnya. Erika yang sedari tadi sibuk dengan smartphone kemudian mengalihkan pandangan ke kemacetan di depan kami. Tidak ada suara darinya.
“Gimana produknya?” tanyaku.
“Sudah dimulai beberapa waktu lalu. Kuserahkan kepada Bu Dewi sebagai koordinator pengawas.”
“Jadi, beliau sudah tidak menguji siklamat lagi?” tanyaku sembari memelankan injakan pada pedal gas.
“Sudah ada orang lain yang menangani itu. Kamu bantu dia saja!”
“Oke.”
Lampu hijau men
“Ketemu, gak?” Bu Dewi mendekat, buru-buru aku mengklik tombol tanda silang di pojok bagian kanan atas sehingga semua tampilan jendela tertutup. “Eng … Enggak ketemu,” jawabku gugup. Bu Dewi mengambil alih tetikus, tangannya lihai mengklik folder dimana hanya dia yang tahu tempatnya. “Nah, terbuka,” seru Bu Dewi. Muncul tampilan data di komputer. “Tolong dilanjutkan dari sini.” Bu Dewi membuka buku folio, menyodorkannya padaku. Tanganku tertahan pada buku itu. Kutatap Bu Dewi lekat-lekat. Aku ingin menanyakan kenapa bukti penting persidangan ada di dalam laptop kerja milik Bu Dewi. Seharusnya aku melontarkan kata tanya akan tetapi, otakku mendadak beku. “Pak Pras … Pak Pras!” Suara Bu Dewi membuyarku. Tanganku masih memegang erat buku itu. “Maaf, saya melamun,” ucapku. “Tolong ya, Pak Pras.” Aku mengangguk. B
Dentingan sendok dan garpu beradu di atas piring. Erika menyantap makanannya dengan lahap. Sekarang dia bisa merasakan kenikmatan setelah indera perasanya kembali seperti semula. “Makanlah pelan-pelan!” ucapku. “Kamu makan terlalu pelan!” ucap Erika. Mulutnya penuh dengan makanan. Aku mengelupas kulit ayam goreng, mencocol di atas saus tomat kemudian menyantapnya. Nafsu makanku berkurang secara tiba-tiba hari ini jadi, aku hanya pesan ayam goreng dan minuman soda. “Dua hari lagi sidang lanjutan. Aku akan bolos lagi,” ucapku sambil mengunyah kulit ayam goreng. “Lagi? Kamu resign saja kalau gitu,” ucap Erika ketus. Sepotong kentang goreng dimasukannya ke mulut. “Mau bagaimana, aku harus datang ke persidangan.” “Ya sudah. Aku juga gak bisa nahan kamu, Pras. Lagipula itu urusanmu sekarang.” Padahal dia yang menjadikan urusanku tambah rumit dengan melaporkan kasus itu.
Kembali ke ruang riset. Bu Dewi dan dua karyawan lainnya sudah duluan mengambil pekerjaan pasca makan siang. Aku pun melanjutkan tugas yang diberikan Bu Dewi. Sekali lagi, hasratku untuk membuka folder berjudul “Kasus Kedai Mi Ayam” tidak terbendung lagi. Segera setelah mengamati kemungkinan Bu Dewi tidak menghampiriku, aku mengklik folder itu. Foto pun terbuka, semakin aku melihat foto, semakin dadaku terbakar oleh sesuatu. Pertanyaan di tempurung kepalaku pun berubah, dugaanku tentang Bu Dewi yang terlibat dengan kasus ini malah membuatku jadi mempresepsikan kalau dia juga terlibat dengan kasus ini. Buktinya sudah jelas dengan folder ini ada di dalam laptop kerjanya. Bukti penting yang kuperlukan untuk menjebloskan kedua pengkhianat itu ke dalam penjara. Bu Dewi … Wanita itu sepertinya sekarang sedang mengkhianatiku juga. Akan tetapi, tidak ada alasan kuat untuk menyerangku dari belakang. Dia sudah mendapatkan posisi field coordinator un
Aku dan Erika pulang ke rumah saat langit sudah mulai gelap. Membawa sebungkus makanan cepat saji untuk Tuan Putri Dwi. Erika segera melenggang ke kamar tanpa berkata apa-apa. Sementara Dwi, masih kudapati di kamar dengan bukunya. Sang Tuan Putri, entah kenapa begitu betah menghabiskan waktu di kamarnya. Sejak kehamilannya diketahui, dia tidak pergi kuliah. Pasti mentalnya akan jatuh kalau teman-temannya tahu dia sedang mengandung. Dirundung dan ditertawakan lalu, hilang semua keceriaannya. Saat ini, tinggal di rumah adalah pilihan yang tepat untuk menghindari hal seperti itu di kampus sampai anak yang dikandungnya lahir ke dunia. “Dwi, makan dulu. Dibeliin ayam goreng Kakek Sanders nih sama Erika!” perintahku sambil mendongak ke kamar dari pintu. Namun, sambutan tidak kudapatkan, sepertinya kekesalannya kemarin masih mengendap di dasar hatinya. Dia membalik badan, enggan menoleh ke arahku. “Ya sudah
Dua hari itu, cepat sekali datangnya. Hari yang dijadwalkan untuk kelanjutan sidang pun tiba. Aku tiba di pengadilan lebih awal, duduk di mobil sambil menunggu Rahayu. Semalam kami berjanji untuk bertemu di halaman parkir pengadilan. Tetapi, janji wanita untuk tepat waktu sepertinya memang tidak bisa dipegang teguh. Hampir tiga puluh menit sejak mobilku diparkir di sini pengacara itu belum datang juga. Entah sudah keberapa kali aku melirik jam tangan sambil bermain candy swipe di smartphone untuk meghilangkan rasa bosan. Tok … Tok … Tok! Ketukan di jendela wagon yang terbuka seperempat sontak membuatku memalingkan wajah. “Turun!” perintah wanita berambut bob yang sedari tadi kunantikan kedatangannya. Aku melepas sabuk pengaman, bergegas keluar dari dalam mobil. “Lama banget, sih!” protesku. “Maaf, jalanan macet. Ayo!” kelit Rahayu. &nbs
“Keberatan, Yang Mulia!” sanggah pengacara kedua terdakwa. “Keberatan ditolak!” jawab Sang Pengadil. “Jika hanya meminjam, kenapa Saudara Rey mengenakan apron milik kedai?” Rahayu kembali melontarkan pertanyaan. “Itu-,” Yus menunduk sebelum menyelesaikan kalimatnya. “Keberatan, Yang Mulia!” Sekali lagi, pengacara itu mencari celah menyanggah. “Keberatan ditolak! Silakan lanjutkan, Saudari Rahayu!” perintah Hakim. “Jika hanya meminjam, alasannya tidak logis. Terlebih lagi, apron milik kedai tidak boleh digunakan untuk bermain-main. Ada yang janggal di sini.” Rahayu menekan sebuah tombol keyboard. Dalam sekejap, gambar dalam proyektor berubah. Menampilkan gambar dua orang masuk ke kedai lewat pintu belakang. “Akan wajar jika pelanggan masuk lewat pintu depan kedai untuk nangkring. Akan tetapi, masuk lewat belakang seperti ini bersama dengan pegawai menimbulkan kejanggalan dan mengarah pada kecurigaan,” terang Rahayu.
“Itu tidak benar!” jawabnya. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, menahan emosi di dalam dada yang meluap. Gertakan gigiku begitu teras hingga ke pelipis. Ingin sekali aku menghajar pengkhianat ini. Jelas-jelas waktu itu dia memperlakukan tubuhku seperti sebuah samsak tinju secara bergantian. “Sudah jelas, Yang Mulia.” Pengacara itu menegakkan badannya. “Jika memang dijerat dengan kasus penganiayaan, satu-satunya bukti terkuat saat ini adalah sidik jari Saudara Yus. Saudara Rey tidak bisa dijerat dengan pasal tersebut karena tidak ada bukti yang mengarah kepadanya. Jadi, orang yang seharusnya terkena pasal penganiayaan adalah Saudara Yus.” Mataku membeliak, kupandangi wajah Yus dari samping yang memucat. Dia tersudut karena kuasa hukum yang seharusnya membelanya itu malah terkesan mengkambing hitamkan dirinya. Sedari Yus hanya menjawab pertanyaan dengan kebohongan. Lain halnya dengan Rey, dia hanya duduk sambil menyeringai bahkan saat
Bertentangan dengan kebiasaanku yang suka melipir jika mumet sudah menyerang, hari ini aku tidak bermaksud singgah kemanapun untuk memberi ruang ketenangan di balik tempurung kepala, aku hanya ingin pulang saja. “Aku pulang!” ucapku pada penghuni rumah yang mungkin sedang tidak di rumah.’”Selamat datang!” Suara parau Erika menyambut dari ruang tamu. Erika yang mengenakan piama duduk bersila di atas sofa berwarna hijau. Menarik perhatianku. “Sejak kapan benda ini ada di sini?” tanyaku sembari berjalan ke ruang tamu. Erika tidak menjawab, dia malah menekan tombol remote dan mengganti saluran ke saluran internasional. “Kamu juga memasang TV berbayar dengan saluran internasional?” “Habisnya, rumah ini membosankan. Gak ada hiburan selain playstation.” Aku tidak menyadari keberadaan Dwi yang menjawab pertanyaan untuk Erika dari balik konter dapur. Bisa-bisany