"Waalaikumsalam. Kamu apa kabar, Ra?" "Aku baik, Bu. Ibu sendiri gimana kabarnya? Maaf, ya, kemarin Raya enggak sempat angkat telepon Ibu. Rayyan jatuh, pas Raya mau angkat telepon," kataku menjelaskan. Ibu tidak mempermasalahkan persoalan aku tidak mengangkat teleponnya. Justru Ibu malah mengkhawatirkan Rayyan, cucunya. "Terus gimana keadaan cucu Ibu sekarang, Ra?" tanya Ibu kemudian. "Sudah membaik, Bu. Sekarang Rayyan sedang dibawa main sama Mama.""Oh, syukurlah kalau baik-baik saja. Gak apa-apa, anak jatuh itu biasa. Mau bisa lari dia. Kamunya jangan lengah, ya? Terus awasi Rayyan ke manapun anak itu berjalan. Celaka gak ada yang tahu, Ra. Hal kecil yang menurut kita biasa, sewaktu-waktu bisa membahayakan anak."Aku diam mendengarkan nasihat Ibu. Ah, jika sudah bertelepon dengan Ibu, rasa rindu selalu datang dengan tiba-tiba. Nasihatnya tak pernah salah, Ibu juga tidak sama sekali menyalahkan aku saat tahu cucunya terluka. "Raffi, gak marah sama kamu, kan waktu tahu Rayyan
116Aku tercengang seraya memegangi dada saat Mbak Lani mengambil bingkisan itu dariku, lalu melemparnya kasar ke jalan. Lidahku terasa kelu sulit untuk berucap. Hanya pandangan kaget yang kualihkan dari jalan, ke arah wajah Mbak Lani yang mendelik tajam. "Aku tidak butuh makanan darimu!" ujar Mbak Lani dengan telunjuk mengarah padaku. "Mbak, itu bukan dariku, tapi dari—""Aku gak butuh!" sergahnya lagi. "Dari siapa pun makanan itu, aku enggak peduli. Kamu sengaja datang ke sini, pasti untuk menghina putraku, kan? Kamu senang, kan karena anakku seperti suamimu yang jelek itu?"Kugelengkan kepala menanggapi sikap dan ucapan Mbak Lani yang sama sekali tidak benar. Sejak melahirkan bayi yang memiliki tanda lahir hitam di dagunya, Mbak Lani selalu mengurung diri. Dia juga selalu beranggapan jika apa yang terjadi pada anaknya, itu gara-gara suamiku yang menularkan tanda hitam di wajah putranya. Padahal, itu sama sekali tidak benar. Buktinya, Rayyan tidak seperti ayahnya. Jikapun benar
"Saya tidak tahu beliau ada di sini atau tidak, tapi baru saja owner kami memberitahukan jika Pak Raffi sudah membayar satu set perhiasan untuk mertuanya."Lagi. Aku terkejut bukan main dengan penuturan karyawan toko ini. Bukan hanya aku yang kaget, tapi tiga orang yang ada di sampingku juga. Terlebih Bu Rahmi. Mulutnya sampai menganga saking tak percayanya jika suamiku membelikan perhiasan untuk Ibu. "Oh, benarkah untuk Ibu saya? Kalau boleh tahu, harganya berapa, Kak?" tanyaku kemudian. Sengaja aku bicara seperti itu agar wanita tua yang ada di sampingku semakin kepanasan. "Delapan puluh juta, Kak.""Delapan puluh juta?" tutur Bu Rahmi, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sebenarnya aku juga terkejut dengan nominal yang Mas Raffi keluarkan untuk ibuku. Namun, kusembunyikan rasa itu demi menikmati suguhan di depan mata. "Ya Allah ... Mas Raffi baik banget. Ibu pasti senang punya perhiasan mahal," kataku kemudian. Meskipun pelan dan berbisik, masih kudengar Bu Rahmi mengu
118"Ngurusin usaha Mama?" Ibu mertuaku mengangguk. "Mama, kan punya beberapa usaha yang sekarang Mama percayakan pada orang lain demi bisa terus dengan cucu di rumah. Nah, dari pada diurus orang, gimana kalau kamu aja yang nerusin? Sekalian belajar usaha juga, biar nggak monoton jadi ibu rumah tangga."Aku meneguk ludah seraya menegakkan tubuh. Rasanya tidak percaya dengan kemampuan sendiri untuk bisa menjalankan usahanya Mama.Yang aku tahu, usaha Mama itu sudah sukses dan menghasilkan uang. Takutnya, keberadaanku di salah satu sumber penghasilan Mama, malah bangkrut nantinya. "Gimana, Ra? Kamu tinggal pilih saja mau yang mana. Ada restoran, ada toko pakaian, dan .... Yayasan," ujar Mama lagi. Tangan wanita paruh baya itu mengambil mainan Rayyan, lalu memberikannya kepada putraku. "Aku takut, Mah.""Takut apa?" "Takut gak bisa jalaninnya. Kalau malah bangkrut, gimana?" tanyaku, mengatakan kekhawatiran. "Eh, kalau bicara suka ngasal. Jangan takut sebelum mencoba. Nanti Mama aja
"Wah ... ini kayak kita yang punya kebun, Mam. Ra! Raya ini ibumu gak rugi, hasil panennya dikirim ke kita sebanyak ini?"Papa yang baru saja pulang dari rumah sakit, langsung berseru kaget saat banyak sekali bawaan yang Pak Tarmin turunkan dari bagasi mobil. Seperti yang Ibu bilang, ia memberikan banyak hasil panen untukku dan keluarga di sini. Melihat bawaan Pak Tarmin yang beragam, Papa sampai menggelengkan kepala seraya mata tak lepas dari dua karung besar kacang tanah dan jagung. "Enggak, Pah," kataku seraya berdiri di samping Papa. "Kata Ibu, apa yang dia bagi ke sini, itu lebihnya. Alhamdulillah, Ibu sudah punya untung, juga modal yang tertutupi. Jadi, Ibu gak rugi ngasih ini ke kita.""Alhamdulillah .... Coba sini, telepon ibumu. Papa mau bicara dengan dia." Papa mengulurkan tangan, meminta ponselku. Aku pun menghubungi Ibu, lalu memberikan benda pipih di tanganku kepada Papa setelah Ibu mengangkat telepon dariku. "Assalamualaikum, Ibu!" ucap Papa langsung. Aku kembali m
Usai maghrib, anak-anak Mama datang beserta keluarga kecilnya. Keempat saudara Mas Raffi tengah duduk melingkar seraya menikmati kacang serta jagung rebus yang tadi dimasak Bibi. Aku yang baru saja menyelesaikan salat maghrib, langsung saja bergabung bersama mereka setelah menyapa semua kakak iparku. "Aku kira ini semua bawa kamu, Ra. Baru saja mau protes, kenapa enggak bawa kelomang lagi dari sana? Eh, Mama bilang kalau jagung manis ini Pak Tarmin yang bawa dari kampung," ujar Mas Raffa, seraya mengunyah jagung rebus yang ada di tangannya. "Enggak, Mas. Kalau aku yang pulang kampung, bisa lama di sana. Satu hari enggak cukup buat bernostalgia di kampung halaman." Aku menjawab dengan diakhiri dengan kekehan pelan. "Nostalgia? Kok, jadi inget Dokter Arga, ya? Canda, Ra ...," ujar Mbak Kinanti, yang langsung aku balas dengan bibir yang mengerucut. Suasana semakin hangat karena mereka membicarakan mantan pacarku, yang kini jadi teman sejawat mereka. Bukan Arga yang jadi pembahasan
"Oh, sorry. Aku ganggu, ya?" Rupanya Mbak Kinara. Dia terlihat kikuk saat melihatku dan Mas Raffi seperti yang akan berpelukan. "Enggak, Mbak. Enggak ganggu, kok. Ada apa?" Aku balik bertanya seraya bersikap biasa. "Itu, disuruh Papa untuk turun. Ini masih siang, udah mau mesra-mesraan aja kalian ini. Mentang-mentang anaknya enggak rewel dan lebih deket sama Mama dibanding ibunya," cetus Mbak Kinara lagi. Aku tersenyum hambar menanggapi ucapan kakak iparku yang diakhir kalimatnya terkekeh geli. Aku tahu dia becanda, tapi rasanya tak biasa. Seperti menyindirku karena tidak sedekat Mama dengan Rayyan. Tanpa bicara lagi, aku mengekor di belakang Mbak Kinara. Satu per satu anak tangga aku lewati tanpa bersua dengan kakak suamiku itu. Entah kenapa, dia seperti memberi jarak denganku. Terlebih, setelah pesan yang pernah dia kirim mengenai kecemburuannya pada putraku. "Raffi mana?" tanya Mama saat kami sampai di ruang tengah. Ternyata Mama menyuruh kami turun untuk makan. Terlihat ba
"Gimana pertemuan kalian dengan Reyhan tadi?" tanya Mama saat aku dan Mas Raffi baru saja menghenyakkan bokong di sofa ruang tamu. Kebetulan, Mama dan Rayyan sedang bermain di sana. "Lancar, Mah. Tadi, sih kita ngobrol santai aja sambil dikit-dikit bahas tentang restoran. Kalau langsung menjelaskan dengan sangat serius pada Raya, kasihan. Pelan-pelan saja, biar nggak berat di pikirannya." Mas Raffi menjawab dengan bijak pertanyaan Mama. Aku membalas senyum suamiku yang tersungging seraya menoleh. Bismillah, ini akan menjadi awal yang baik untukku ke depannya. Jika tidak bisa membanggakan keluarga Mas Raffi, setidaknya aku tidak menjadi benalu yang hanya numpang hidup di sini. Ngurus anak kadang-kadang, tapi makan tiap hari. Kan aku merasa gak enak hati meskipun sebenarnya itu wajar, karena aku memang tanggungan Mas Raffi. "Benar. Pelan-pelan saja, nanti pun akan bisa dan paham kalau sudah berjalan. Terus, apa ada rencana buat tambah menu baru?" Mama kembali bertanya. "Nah, kala