Waktu yang dijanjikan oleh Kevin. Yang katanya akan pulang di bulan depan, nyatanya harus diundur menjadi hampir dua bulan.Jasmine yang terus menggerutu kesal lantaran Kevin masih sibuk dengan pekerjaan di Malang. Banyaknya pesanan dan produk yang baru akan diluncurkan di malam ini.Launching parfum kedua akan dilaksakan di malam terakhir Kevin dan Jasmine berada di Malang. Walaupun lega, tapi tetap saja membuat Jasmine kesal pada suaminya itu.“Mala mini, langsung pulang. Ada pesawat yang berangkat dari Malang ke Bandara Soekarno-Hatta di jam sebelas malam ini. Kita langsung pulang, okay?”Kevin tengah membujuk Jasmine agar jangan terus menerus menggerutu kesal padanya. Matanya menatap nyalang wajah Kevin, kemudian membuang muka.“Sayang. Kita pulang malam ini,” ucap Kevin dengan lembut.“Beneran kan, gak pake diundur-undur lagi?”Kevin mengangguk antusias. “Iya, Sayang. Besok pagi, kita harus menyaksikan siding putusan Gemma juga.”“Sidang? Baru disidang, Mas? Kok lama?”Kevin meng
Kevin berdecak kesal kala melihat pesan yang dikirim oleh seseorang yang diduga dari Justin. Kemudian menyimpan ponsel itu kembali di atas nakas.“Pesan dari siapa, Mas?” tanya Jasmine sembari menarik selimut, untuk menutupi tubuhnya.Kevin menoleh ke belakang. “Dari Justin, maybe. Tidak ada namanya.”Jasmine mengerutkan keningnya. “Perasaan nomor yang baru juga sudah diblokir,” gumamnya dengan pelan.“Apa kamu bilang?” Kevin mendengar ucapan Jasmine.Perempuan itu menoleh dengan cepat ke arah Kevin.“Justin ada kirim pesan lagi sama kamu?” tanya Kevin kembali.Jasmine mengangguk pelan. “Tapi, sudah saya blokir. Mungkin pakai nomor baru lagi.”Kevin tak menjawab ucapan Jasmine. Pria itu memilih untuk menghubungi nomor tersebut, yang diyakini adalah Justin.Dalam dering pertama, orang tersebut sudah menerima panggilannya.“Lagi apa?” tanyanya di seberang sana. “Sudah malam. Kenapa belum tidur? Baru pulang dari Malang, pasti capek.”Kevin menghela napasnya dengan pelan. ‘Pantes, berani
“Mas! Kamu pasti sudah tahu, kalau aku sudah bercerai dengan Mas Gemma,” ucapnya to the point.“Lalu? Aku harus mencarikanmu jodoh, begitu? Cari sendiri, Desi. Kamu bukan perawan tua yang harus aku carikan jodoh!” sengal Kevin kemudian.“Aku tidak punya waktu. Jangan ganggu aku lagi!” Kevin menarik tangan Jasmine, melangkahkan kakinya menjauh dari Desi.“Mas! Dengarkan aku dulu! Kalau aku tidak bisa menjadi istri satu-satunya kamu, aku siap jadi istri kedua kamu,” teriaknya tanpa dosa. Tanpa ada rasa malu sedikit pun.Jasmine kembali menganga kala mendengarnya. ‘Gilak! Sampe segitunya Mbak Desi pengen balik lagi sama Mas Kevin.’ Jasmine geleng-geleng kepala sembari masuk ke dalam mobil.“Jangan didengerin. Dia memang stress. Saya tidak akan pernah mau menjadikan dia istri kedua. Untuk apa,” kata Kevin kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.Meninggalkan Desi yang sedari tadi berteriak seperti orang gila.“Mas. Kenapa Mbak Desi jadi seperti itu?” tanya Jasmine kemudian.Kev
Arshi menganggukkan kepalanya. "Mau banget, Ma. Dari dulu juga sebenarnya Arshi pengen tinggal sama Papa. Tapi, nggak dibolehin sama Mama." Anak kecil itu berkata jujur kembali.Kevin menganggukkan kepalanya. "Iya, Sayang. Papa sudah tahu. Sekarang, jangan takut lagi sama Mama, yaa. Arshi akan dirawat dengan baik oleh Mama Jasmine."Arshi mengangguk. "Mama Jasmine kan, sayang sama Arshi. Iya kan, Ma?" Arshi menatap Jasmine dengan tatapan yang sangat menggemaskan.Jasmine mengulas senyumnya sembari menganggukkan kepalanya. "Iya, Sayang. Mama sangat menyayangi Arshi. Nanti kan, Mama Jasmine akan segera punya dedek bayi. Kalau Arshi tinggal sama Papa, Arshi bisa melihat dedek bayi setiap hari."Jasmine membujuk Arshi agar anak kecil itu semakin mau, tinggal dengan papanya. Lantaran ia tidak tega mendengar penuturan Arshi, jika anak kecil itu diberi makan seadanya oleh Desi. Mengurangi makanan lezat yang biasa Arshi makan setiap hari.Arshi lantas mengangguk dengan antusias. "Iya, Mama. A
Di pagi hari. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Jasmine bangun dari tidurnya. Masih dalam keadaan polos karena pergulatan semalam yang memakan waktu yang cukup lama.Tiba-tiba perutnya kram. Ia pun meringis kesakitan sambil memegangi perutnya."Sstt! Kenapa perutku kram sekali," lirihnya sembari memegangi perut buncitnya itu.Kevin lantas terbangun kala mendengar rintihan Jasmine. Pria itu segera bangun dari tidurnya. Menatap Jasmine dengan rasa panik yang tidak karuan."Kamu kenapa, Jasmine?" tanyanya sembari memegangi perut Jasmine."Tiba-tiba perut saya kram, Mas. Sakit banget."Mendengar rintihan Jasmine, Kevin bergegas mengenakan pakaian. Juga Jasmine, ia kenakan daster seadanya.Membawa perempuan itu ke dalam mobil, menuju rumah sakit."Tidak ada darah keluar, kan?" tanya Kevin sembari mengusapi rambut istrinya itu.Jasmine menggeleng pelan. Tangannya memegang erat kaus yang dikenakan Kevin. Rasa sakit itu kian terasa di perutnya."Sejak kapan rasa sakit itu datang, heum?"
Kevin tersenyum mendengarnya. “Tidak ada perempuan seksi di sini, Sayang. Hanya bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah tua.”“Baguslah. Ya sudah. Saya mau lanjut makan lagi, yaa.”“Iya, Sayang.”Kevin menutup panggilan tersebut. Pikirannya terus melayang pada ucapan Jasmine yang seketika mengingatkan dirinya agar jaga diri.‘Perasaanku memang sudah tidak enak sedari tadi. Mungkin batin Jasmine juga merasakannya. Tapi, apa yang aku khawatirkan di sini? Sedangkan di sini, tidak ada yang membuatku curiga,’ ucapnya dalam hati.“Kevin?” Seseorang memanggil nama pria itu.‘Perasaanku memang sudah tidak enak sedari tadi. Mungkin batin Jasmine juga merasakannya. Tapi, apa yang aku khawatirkan di sini? Sedangkan di sini, tidak ada yang membuatku curiga,’ ucapnya dalam hati.“Kevin?” Seseorang memanggil nama pria itu.Kevin menoleh dengan pelan ke arah sumber suara. Menghela napasnya dengan pelan, kemudian membuang muka kembali.“Ngapain lo di sini?” tanya Kevin datar.Pria itu yang tak lain adalah
"Sekarang kan udah nggak. Kan gue mau nikah, sama Desi. Gimana sih, lo! Si Desi sama Gemma udah cerai, kan?"Kevin menganggukkan kepalanya. "Iyaa. Undang gue, kalau mau nikah sama dia. Jangan lupa, bahagiain dia. Supaya nggak ganggu gue lagi.""Pasti!! Gue akan bahagiakan Desi."Justin tertawa sambil melahap kacang almond. 'Udah mabuk beneran ini anak. Mana mau, gue nikah sama cewek asal masuk goa kayak dia! Mending nyari yang gadis, kalau gak bisa dapetin Jasmine,' ucapnya dalam hati.Kevin mendongakan wajahnya. Kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar. "Sayang ... kok kamu ada di sini? Mau jemput aku pulang, yaa?"Justin menarik tangan Kevin. "Bawa pulang! Dan lakukan apa yang sudah kita rencanakan!"“Jangan ngomong doang! Elo juga harus ikut. Siapa yang akan rekam semuanya, kalau elo nggak ikut! Gimana sih!” sengal perempuan itu kepada Justin.Pria itu lantas mengacak rambutnya. “Tapi, gue nggak mau sampai ketahuan Jasmine. Kalau ketahuan, dia nggak akan mau sama gue!”Perempuan
Hampir lima belas menit lamanya, Desi melakukan permainan sendirian. Dengan Kevin yang meracau jika dirinya tidak bisa melakukannya lantaran menganggap jika Desi adalah Jasmine.Tidak bisa melakukannya karena perintah dokter. Untuk libur dulu, agar kandungan Jasmine kembali pulih.“Sayang, stop. Nanti perutmu sakit lagi. Saya tidak ingin menyakiti anak kita,” lirih Kevin dengan pelan.Desi menghentikan aksinya. ‘Anak kita? Berarti … Jasmine sedang hamil?’ ucapnya dalam hati.Desi menggelengkan kepalanya. Masa bodoh dengan kondisi Jasmine yang sedang mengandung itu.“Sayang … kamu jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja. Hanya sebentar saja. Tidak akan melukai siapa pun,” ucap Desi dengan manis.“Ouuhh!” Kevin yang berada di bawah itu hanya menikmati hujaman yang dilakukan oleh mantan istrinya itu.Seandainya dia tahu, dia pasti akan segera keluar dari kamar itu. Tidak sudi, tidur dengan orang yang sudah menanam penyakit dalam dirinya.Hanya saja, kondisi Kevin sedang mabuk. Bahkan, i
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa