Di dalam sebuah kamar yang cukup luas, seorang gadis menatap sendu pantulan dirinya di depan cermin. Kemudian pandangannya beralih pada pakaian yang dikenakannya saat kumpul keluarga malam ini.
Gamis berwarna putih dipadukan dengan pashmina putih masih melekat apik di tubuhnya. Terlintas dalam benaknya kejadian beberapa jam yang lalu, dimana seseorang dengan gagah mengucap janji suci di hadapan sang ayah, penghulu serta seluruh tamu undangan yang hadir.
Mengingat itu, membuat dia semakin sesak entah karena apa. Air matanya pun menetes tanpa diminta, mengalir deras membasahi kedua pipi.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu dari luar membuat gadis itu cepat-cepat menghapus air matanya. Tak lama, muncullah seseorang yang menjadi pemeran utama dalam perubahan hidupnya mulai sekarang.
Aufal Abrisam Ar-Rasyid.
Nama lengkap seseorang yang kini menjadi suaminya. Suami? Rasanya sangat aneh menyebut Aufal sebagai suami. Laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya.
Azwa hanya mengenal sekilas lewat ta'aruf singkat sebelum lamaran resmi atau tunangan, itu pun terkesan ogah-ogahan. Dan sekarang sudah resmi menjadi suami-istri.
Ya Allah, secepat itukah statusnya berubah? Hey! Dia masih sembilan belas tahun, usia yang menurutnya terlalu muda untuk membina rumah tangga. Lebih parahnya lagi, dia baru tahu nama lengkap suaminya saat akad tadi.
Aufal berdiri di ambang pintu menatap Azwa lewat pantulan kaca. Untuk beberapa saat pandangan keduanya bertemu.
Laki-laki yang mengenakan baju koko putih itu melangkahkan kakinya mendekati sang istri. Namun, beberapa langkah sebelum sampai, Azwa melengos pergi mengambil baju ganti yang dibawakan bundanya.
"Mau kemana?" tanya Aufal.
"Ganti baju." Azwa menjawab dengan dingin lantas berlalu menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar ini dengan susah payah karena gamis itu terlalu panjang untuk ukuran badannya yang kecil.
"Butuh bantuan?"
Tanpa menghentikan langkahnya Azwa menjawab, "nggak usah.”
Aufal menatap pintu kamar mandi yang tertutup itu dengan sendu. Dia tidak buta untuk mengetahui kalau istrinya belum bisa menerima pernikahan ini. Hatinya berdenyut nyeri melihat sikap Azwa yang dingin dan cuek terhadapnya.
Aufal menghembuskan napas pelan sebelum memutuskan untuk ganti baju juga. Dalam hati, dia berjanji akan meluluhkan hati Azwa bagaimanapun caranya.
Sementara itu, Azwa yang berada di kamar mandi merasa sangat bersalah. Sungguh, dia tidak bermaksud bersikap seperti itu pada Aufal. Hanya saja hatinya masih belum bisa menerima kehadiran Aufal dalam hidupnya, apalagi sebagai suami.
Ya Allah, beri Azwa keikhlasan untuk menerima pernikahan ini. Lapangkan hati Azwa, Ya Allah. Azwa nggak ingin menyakiti Mas Aufal dengan sikap Azwa. Azwa mohon, Ya Allah, bantu Azwa, doanya dalam hati.
Setelah mengganti gamisnya dengan piyama panjang serta hijab instan, Azwa pun keluar dari kamar mandi. Dia melihat Aufal tengah duduk bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponsel.
"Udah wudhu, Dek? Kita sholat sunnah dulu, yuk," ajak Aufal.
"Azwa masih halangan," jawab Azwa setelah menggantung gamis beserta hijabnya, kemudian mengambil satu bantal karena berencana untuk tidur di sofa.
“Kamu mau kemana, Dek? Kenapa bawa bantal?” tanya Aufal melihat Azwa yang akan membawa bantal itu pergi.
“Tidur di sofa.”
“Tidur di sini aja. Tempat tidur ini terlalu luas untuk Mas tempati sendirian. Kamu berhak menempatinya, Dek, karena sekarang udah jadi milikmu juga.”
Aufal tersenyum lantas menepuk tempat kosong di sampingnya. “Sini, ada yang ingin Mas bicarain sama kamu.”
Azwa memilih patuh dan mengurungkan niatnya. Gadis itu duduk di samping suaminya dengan tatapan lurus ke depan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Aufal.
Hening beberapa saat. Baik Aufal maupun Azwa, sama-sama bungkam. Azwa masih menunggu apa yang akan dibicarakan oleh suaminya, sedangkan Aufal sendiri bingung harus memulai dari mana.
"Dek, Mas mau tanya, tapi kamu harus jawab jujur, ya." Aufal menarik napasnya dalam-dalam. "Apa kamu… bahagia nikah sama Mas?"
Azwa menoleh. "Kenapa Mas nanya gitu?" tanyanya berusaha tidak cuek.
Aufal menatap lekat mata Azwa. "Mas tau, kamu belum menerima pernikahan ini. Mata kamu mengatakan seperti itu."
“Kalau udah tau, ngapain tanya?” balas Azwa datar.
“Mas ingin mendengarnya langsung dari kamu sekaligus memastikan. Mungkin aja dugaan Mas yang salah.”
Azwa melengos pelan, tak kuasa membalas ucapan suaminya yang malah semakin melukai hati Aufal.
“Jawab, Dek. Mas nggak akan marah. Apapun jawabanmu, Mas siap menerimanya," kata Aufal lembut.
Azwa masih bungkam, tidak ingin bahas itu sekarang. Dia sangat lelah, ingin istirahat, bukan malah membahas masalah ini.
"Dek."
Desakan Aufal membuat emosi Azwa memuncak. Dia memang sulit mengontrol emosinya, apalagi disaat haid seperti ini, ditambah dengan rasa lelah yang menyerangnya.
"Kalau iya, kenapa? Yang penting kan sekarang Mas berhasil menikahi Azwa, menjadikan Azwa istri Mas, udah cukup kan? Bahagia nggak bahagia itu urusan Azwa, bukan urusan Mas," marahnya.
"Tentu saja itu urusan Mas, Dek. Kebahagiaanmu udah jadi tanggung jawab Mas.”
Azwa tersenyum sinis. “Oh ya? Kalau kebahagiaan Azwa dengan pernikahan ini berakhir dan pisah sama Mas, apa Mas akan memenuhinya?” tanyanya seraya menatap Aufal serius.
Aufal menggelengkan kepalanya. “Nggak, Dek. Apapun permintaanmu akan Mas penuhi, tapi jangan pernah minta untuk berpisah. Mas nggak akan pernah mengabulkannya.”
“Yaudah, Mas yang minta pernikahan ini, jadi terima aja resikonya. Suka nggak suka seperti inilah Azwa.”
“Nggak papa. Semua yang ada dalam dirimu, Mas sanggup menerimanya.” Aufal tersenyum meski hatinya teriris. Dia juga baru tahu sisi lain dari istrinya.
“Jujur, Azwa capek harus berpura-pura bahagia di hadapan semua orang. Azwa nggak bisa lanjutin sandiwara itu lagi. Azwa lelah, Mas, dan sekarang Mas malah ingin bahas ini,” lanjut Azwa menyampaikan keluh kesahnya.
“Mas kan cuma pengen tau gimana perasaan istri Mas agar bisa menentukan langkah kedepannya seperti apa.”
“Pengen tau? Oke! Jangan salahkan Azwa bila Mas akan tersakiti mendengar semua pengakuan Azwa. Azwa nggak pengen sebenarnya, tapi Mas terus memaksa.”
Azwa mengubah posisi menghadap Aufal sepenuhnya dengan tatapan mata yang mengarah tepat di kedua bola mata Aufal. “Azwa sama sekali nggak bahagia nikah sama Mas. Itu yang Azwa rasakan.”
Gadis itu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Mas tau gimana rasanya jadi Azwa? Lagi fokus kuliah tiba-tiba disuruh pulang, lalu diminta menikah sama Mas demi melunasi utang.”
“Belum selesai masalah keluarga, kini harus ditambah jadi istri orang. Azwa stres, Mas, mikirin semua itu,” ungkapnya.
Aufal diam membiarkan Azwa mengeluarkan semua unek-unek yang dipendamnya.
“Semua ini terlalu tiba-tiba buat Azwa, Mas. Oke, kalau memang Azwa ditakdirkan harus nikah sama Mas, Azwa akan terima. Tapi kenapa nggak nunggu Azwa lulus dulu sih, Mas? Kenapa harus secepat ini?”
“Mas sebenarnya juga nggak pengen kita nikah cepat-cepat kayak gini. Mas ingin mengenalmu lebih dalam sebelum menikah. Mas juga sanggup jika harus menunggumu sampai lulus, tapi Papa memaksa Mas untuk menikahimu secepatnya paling lambat satu bulan setelah lamaran.” “Kalau nggak, Papa akan menjodohkan Mas dengan anak sahabat Papa dan memberikan ancaman lain yang membuat Mas sama sekali nggak bisa berkutik.” “Papa nggak pernah main-main sama ucapannya. Jadi, Mas memilih menikahimu secepatnya,” jelas Aufal panjang lebar dengan tenang tanpa ada kemarahan. “Kenapa Mas nggak pilih dijodohkan aja? Kan biar sama-sama sepadan, dibandingkan dengan Azwa yang nggak punya apa-apa.” “Karena yang Mas inginkan itu kamu. Mas sangat ingin menjadikanmu istri dan ibu dari anak-anak Mas. Bukan yang lain.” Jeda sejenak sebelum Aufal kembali melanjutkan perkataannya. “Mas menolak perjodohan itu karena Mas takut nggak bisa bahagiakan dia dan ujung-ujungnya malah saling menyakiti karena Mas sama sekali ng
Aufal Abrisam Ar-Rasyid, laki-laki berusia 24 tahun itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Razan yang bekerja sebagai ASN yang ditugaskan di luar pulau dan menetap di sana. Sementara itu, adiknya bernama Syamil saat ini tengah menempuh pendidikan SMA kelas 12 di salah satu pesantren terkenal di Jawa Timur. Aufal sendiri sebelumnya bekerja di Jakarta tepatnya di perusahaan milik keluarga Kahfi, sahabat waktu kuliah, dengan jabatan terakhir sebagai kepala divisi IT. Karirnya akan semakin cemerlang ketika dia menjadi salah satu kandidat dalam promosi jabatan di level manajer, jika saja tidak menuruti perintah sang ayah untuk resign dan kembali ke perusahaan keluarganya. Kurang lebih seperti itu sedikit gambaran tentang Aufal. Kini, Azwa sedang membantu ibu mertua, kakak ipar, dan bibi membereskan meja makan usai sarapan. “Ada di rumah mertua itu harus tau diri. Bukannya malah enak-enakan di kamar. Mentang-mentang pengantin baru,” sindir Reana, istri Razan,
Azwa senantiasa menatap lantai sambil memainkan jemarinya yang berkeringat dingin. Jantungnya berdetak kencang tanpa bisa dikendalikan. Dia menahan rasa takut berhadapan langsung dengan ayah mertuanya. “Kamu takut sama Papa, Azwa?” tanya Papa Wirya tiba-tiba membuat Azwa tersentak kaget. Beliau terkekeh kecil melihat menantunya yang sangat gugup. “Tanpa kamu menjawab pun Papa udah tau jawabannya.” Pria yang usianya memasuki setengah abad itu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “nggak banyak yang ingin Papa sampaikan ke kamu. Papa cuma mau bilang, tolong terima Aufal sebagai suamimu, ya. Dia sangat mencintaimu dengan tulus.” “Papa nggak pernah melihat Aufal jatuh cinta sedalam ini kecuali denganmu. Kamu lihat sendiri kan tadi? Aufal sangat protektif terhadapmu bahkan sama ayahnya sendiri. Padahal kan Papa niatnya cuma bicara berdua sama kamu,” jelasnya. Azwa diam berusaha mencerna ucapan Papa Wirya. Jadi, Aufal beneran mencintainya? Bukan hanya obsesi semata? Sudah dua orang
“Apa maksudmu, Diaz?” tanya Ayah Abyaz lantas bangkit dari duduknya diikuti oleh Aufal. “Diaz nggak setuju Adek dibawa pergi sama Aufal ke Jakarta,” jawab Diaz datar. “Kenapa memangnya? Aufal berhak membawa Adek kemanapun dia pergi.” “Diaz tetep nggak setuju!” Ayah Abyaz mengajak Diaz dan Aufal ke halaman rumah terlebih dahulu agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh istri dan putrinya. Beliau merasa akan ada perdebatan diantara keduanya. “Setuju ndak setuju, kita harus menghargai keputusannya, Diaz. Mungkin mereka butuh privasi berdua yang ndak melibatkan keluarga di dalamnya. Ayah percaya Aufal bisa menjaga dan membahagiakan Adek,” ucapnya. “Segampang itu Ayah percaya?” Diaz terkekeh sinis. Matanya menatap tajam ke arah Aufal. “Bagaimana bisa Ayah mempercayakan Adek pada orang asing macam dia?” “Aufal bukan orang asing, Diaz. Dia kini udah jadi suami Adek. Kita memang belum saling mengenal sepenuhnya, tapi Ayah yakin Aufal ndak akan menyakiti Azwa. Ayah juga melihat Aufal
Aufal dan Azwa tengah bersantai di ruang tengah untuk melepas penat. Hari ini sungguh melelahkan. Sehabis perjalanan jauh, keduanya langsung diberikan kejutan oleh teman-teman Aufal yang berasal dari kontrakan lama. Mereka semua, laki-laki yang berjumlah sembilan orang itu, berkumpul menyambut kedatangan Aufal dengan suka cita karena sudah menganggap layaknya keluarga sendiri. Aufal pun tidak menyangka mereka menyempatkan hadir dengan formasi lengkap ditengah-tengah kesibukan, bahkan ada yang rela menunda jadwal pulang kampungnya. Ini benar-benar di luar rencana. Dia tidak tahu apapun tentang kejutan itu. “Anggaplah buat menggantikan kami yang nggak bisa hadir di pernikahan kalian,” jawab salah satu dari mereka ketika ditanya oleh Aufal. “Semua ini idenya Bang Andra. Kita, mah, cuma ngikut doang.” Tidak banyak acara yang mereka adakan. Hanya makan-makan bersama, lalu dilanjutkan sesi perkenalan dengan Azwa. Mereka juga mengucapkan selamat serta memberikan kado pernikahan kepada
Azwa tampak serius memainkan ponselnya untuk membalas pesan dari ibu dan kakaknya. Kemudian berlanjut membuka grup kelas. Ada lebih dari seratus pesan yang membahas tentang keluarnya nilai di semester ini, kalender akademik, surat edaran dari kampus, dan sisanya obrolan random mereka. Dia berdoa semoga nilainya naik atau paling tidak sama seperti semester kemarin. Yang terpenting lebih dari tiga agar beasiswanya tidak dicabut.Keluar dari room chat grup kelas, gadis itu lantas membuka grup bersama ketiga teman dekatnya yang diberi nama ‘Cecan Sukses Aamiin😍’. Wow! Cukup banyak, hampir menandingi pesan di grup kelas. Entah apa saja yang mereka bahas. Azwa pun membaca satu-persatu obrolan random dan absurd mereka sambil terkekeh kecil karena lucu. Hingga tibalah pada pesan yang dikirim dua hari lalu.Almeyra : [Breaking News! Azwa Aila Putri Adiba dikabarkan telah menikah dengan seorang laki-laki misterius pada tanggal 16 Januari kemarin. Tampaknya acara tersebut digelar di kediaman sa
“Aku kurang tau cerita lengkapnya seperti apa. Intinya papaku tuh punya sahabat yang ada di Semarang, terus mereka sepakat buat menjalin kerjasama dengan mendirikan sebuah perusahaan yang dikelola bersama. Dan jadilah perusahaan ini. Papa bilang, mulai pergantian tahun ini aku harus ikut membantu mengelola, nggak mungkin lepas tangan terus,” jelas gadis cantik itu panjang lebar. Aufal sangat terkejut. Jadi ini seseorang selain Danang yang kata ayahnya akan membantunya mengelola perusahaan? Dia sudah tahu bahwa perusahaan ini bukan sepenuhnya milik keluarganya melainkan atas hasil kerjasama antara sang ayah dengan sahabatnya. Dengan kata lain, gadis mengesalkan ini adalah anak dari sahabat ayahnya? “Aku kesini karena diminta Papa buat melakukan pengecekan bulanan. Katanya hari ini kedatangan pemimpin baru anak sahabatnya Papa. Sayang banget, aku nggak sempat ketemu. Aku tadi datang pas habis jam istirahat makan siang, jadi nggak ikut rapat besar. Waktu sampai sini, dia udah pergi yan
Aufal tersenyum lantas memperbaiki duduknya agar lebih nyaman. “Karena di mata Mas kamu itu istimewa, Dek. Mas memilihmu karena akhlak dan agamamu.” “Mas yakin kamu orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidup serta melengkapi kekurangan Mas yang sangat jauh dari kata sholeh ini.” “Kamu memang bukan berasal dari keluarga kaya maupun terpandang, tapi hati dan akhlakmu jauh lebih kaya yang menjadikanmu perempuan terhormat,” jelasnya. Azwa tertegun, tidak menyangka Aufal memandang dirinya seperti itu. “Tapi, Mas. Azwa nggak sebaik yang Mas kira. Azwa belum sesholehah itu.” “Mas tau sendiri kan sikap Azwa ke Mas seperti apa? Apalagi saat malam pertama waktu itu. Azwa marah sama Mas, Azwa bahkan meninggikan suara dihadapan Mas.” “Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, begitupun denganmu, Dek. Saat Mas mengucapkan janji suci, disitulah Mas berkomitmen untuk menerima semua yang ada dalam dirimu, baik kelebihan maupun kekurangan.” “Jujur, Mas juga kaget banget melihat sikapmu
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup