"Pak, saya mohon jangan bawa suami saya," kata Bunda Nawa dengan memelas kepada dua orang berbadan kekar yang menyeret suaminya. Air matanya mengalir deras berharap mereka memiliki belas kasih.
"Nggak bisa! Suamimu tetap kami bawa!" balas salah satu dari mereka yang berambut gondrong.
"Tolong, Pak. Setidaknya tunggu anak-anak saya pulang."
"Nggak ada menunggu lagi! Selama ini kami udah cukup sabar menghadapi kalian. Kali ini nggak ada toleransi lagi!" ujar temannya yang memakai kaos hitam pendek hingga memperlihatkan tato di lengannya.
"Emang anakmu kemana? Jangan-jangan kabur lagi. Udahlah! Kami nggak punya banyak waktu. Bawa aja dia."
Kedua orang itu membawa Ayah Abyaz keluar rumah. Banyak tetangga yang menonton kejadian ini. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak menolong karena tidak ingin ikut campur lebih jauh.
Bunda menahan lengan pria berambut gondrong itu. "Jangan bawa suami saya, Pak."
Pria itu menarik tangannya kasar hingga membuat Bunda Nawa sedikit oleng. "Kami udah ngasih waktu seminggu buat berpikir, tapi nyatanya? Kalian nggak memberikan keputusan apapun. Jadi, sesuai perjanjian suamimu harus terima konsekuensinya! Ini perintah dari Bos."
"Lagian udah dikasih tawaran enak malah sok-sokan nggak mau. Tinggal terima apa susahnya sih. Kan enak bisa besanan sama orang kaya," timpal pria bertato.
Ayah Abyaz sudah pasrah diseret oleh mereka, tapi beliau tak tega melihat istrinya yang memohon seperti itu. Mata sayunya menatap sendu sang istri.
“Nggak papa, Mas dibawa. Mas ikhlas. Kebahagiaan anak-anak paling penting, terutama untuk Adek. Kamu jaga mereka baik-baik, ya,” tuturnya.
"Mas…." Bunda Nawa menggelengkan kepalanya kehabisan kata-kata.
"Halah, banyak drama! Buang-buang waktu aja! Ayo!" Dua pria itu kembali berjalan tak menghiraukan tangisan pilu seorang istri yang suaminya dibawa secara paksa.
"Berhenti!"
Semua orang menoleh ke arah sumber suara. Di sana Diaz baru saja turun dari motornya bersama sang adik.
Dia menghampiri dua orang itu dan berdiri di hadapan mereka dengan tatapan tajam. "Berapa sisa utang keluarga saya? Biar saya yang melunasinya."
"Tiga puluh lima juta. Itu udah sama bunganya," jawab pria berambut gondrong.
"Baik, sebutkan nomor rekeningnya." Diaz membuka ponsel bersiap mencatat.
"Jangan lakukan itu, Diaz! Uang tabunganmu buat masa depanmu sendiri juga buat bekalmu saat menikah nanti," sela Ayah Abyaz yang tak ingin melibatkan anaknya dalam masalah ini.
Beliau tahu, Diaz pasti akan menggunakan uang tabungan yang dikumpulkannya selama beberapa tahun bekerja.
Diaz beralih menatap sang ayah sambil tersenyum menenangkan. "Nggak papa, Ayah. Tabungan Diaz cukup kok buat bayar utang. Nggak papa habis, yang penting kita terbebas dari utang. Uang bisa dicari, kebahagiaan nggak bisa dibeli."
Laki-laki itu kembali mengutak-atik ponselnya. "Sebutkan nomor rekeningnya. Sekarang juga biar saya transfer."
Dua orang pria itu saling berpandangan seolah memberi kode. Salah satu dari mereka juga ikut membuka ponsel, kemudian menyebutkan deretan angka nomor rekening yang langsung dicatat oleh Diaz.
"Tunggu! Jangan, Mas Diaz!" seru Azwa yang sedari tadi hanya menyaksikan. Dia sangat terkejut begitu sampai rumah sudah dipenuhi kerumunan tetangga apalagi melihat ayahnya yang diapit oleh dua orang itu.
Di belakang sana, ibunya tengah menangis tersedu-sedu membuat hatinya teriris. Mereka, keluarganya, sudah berkorban demi dirinya, demi kebahagiaannya. Sangat egois bila dia hanya mementingkan perasaannya sendiri.
Gadis itu melangkah mendekati mereka dan berdiri di samping Diaz. "Saya memutuskan menerima lamaran anak bos kalian."
"Adek!" Anggota keluarganya berseru spontan. Mereka tak ingin Azwa mengambil keputusan yang salah.
"Apa? Coba ulangi lagi apa yang kamu katakan barusan," ucap pria bertato usai tersadar dari keterkejutannya.
"Saya menerima lamaran anak bos kalian dan bersedia menikah dengannya." Azwa mengulangi ucapannya dengan tegas dan mantap.
Dua pria itu langsung melepaskan Ayah Abyaz. Salah satunya berkata, "oke, kami akan mengabari Bos tentang ini. Gitu kek dari kemarin, susah amat."
"Sok-sokan kabur segala tapi ujungnya diterima juga. Huh! Buang-buang waktu kami aja," sambung orang satunya dengan sinis sambil melirik tas di punggung Azwa. "Dah lah, yok, cabut!"
Dua orang berbadan kekar itu meninggalkan pekarangan rumah. Begitu pula dengan para tetangga yang satu-persatu mulai bubar hingga tersisa hanya keluarga Azwa.
Diaz membawa keluarganya masuk rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Mereka berkumpul di ruang tamu.
Azwa langsung bersimpuh di kaki sang bunda setelah meletakkan tasnya. Dia menangis dan mengunggamkan kata maaf berkali-kali karena sudah membuat bundanya kesulitan.
“Bunda, Adek minta maaf udah berbuat nekat dan bikin Bunda khawatir. Adek minta maaf, Bun, Adek minta maaf," ungkapnya.
Bunda Nawa menangkup wajah Azwa dan menghapus air mata putrinya. "Adek yakin dengan keputusan Adek, hm?"
Azwa mengangguk dengan sesenggukan. "Yakin."
"Padahal Mas bisa loh melunasi utang itu tanpa harus menerima lamaran. Tabungan Mas lebih dari cukup buat melunasinya bahkan masih ada sisa," timpal Diaz.
"Nggak, Mas. Ayah benar, tabungan Mas buat masa depan Mas sendiri. Mas juga bakal menikah yang tentunya butuh banyak modal.”
“Adek nggak papa menikah dengannya. Anggap aja ini sebagai balasan dari Adek yang selalu merepotkan kalian," balas Azwa setelah berhasil menguasai diri.
Ayah Abyaz dibuat terharu dan tak mampu berkata-kata oleh pengorbanan kedua anaknya. Jujur, beliau merasa bersalah dan malu karena harus melibatkan mereka dalam masalah ini.
"Ayah minta maaf, Dek, harus mengorbankan kebahagiaan Adek," batinnya seraya menatap Azwa dengan sendu.
—o0o—
Seorang pemuda sedang melakukan jogging pagi di sebuah perkampungan yang tak jauh dari kompleks perumahannya. Itu sudah menjadi rutinitasnya ketika pulang dari Jakarta apalagi waktu weekend.
Selain dekat, dia memilih perkampungan ini karena merupakan tempat tinggal sang gadis pujaan hati. Senyum tak pernah luntur dari wajah rupawannya di sepanjang jalan saat mendapatkan kabar dari sang ayah bahwa lamarannya minggu lalu diterima.
“Nggak nyangka, ya, Mas Aby punya banyak utang sama rentenir.”
“Baru sisanya aja udah sebanyak itu apalagi total keseluruhannya. Bisa buat bangun rumah kali, ya.”
“Lha yo, wes denger duwe utang akeh, sok-sokan nguliah no anak-anak e.” (Nah iya, udah tau punya utang banyak, sok-sokan menguliahkan anak-anaknya)
"Ngonoku mendingan dienggo ngelunasi utang sek no." (Kayak gitu seharusnya digunakan buat melunasi utang dulu aja dong)
Gosipan itu terdengar ketika dia melewati jalanan sekitar rumah milik gadis yang akan menjadi calon istrinya. Terlihat sekumpulan ibu-ibu berada di salah satu teras rumah warga sedang bergosip.
Pemuda itu tak menghiraukannya dan tetap melanjutkan perjalanan sebab sudah biasa. Namun, saat satu nama yang sangat dikenalnya disebut, dia langsung berhenti.
“Saake Azwa, kuliah durung bar wes dikongkon rabi. Kayak e kêpêksa kuwi wong arep minggat ngono.”
(Kasihan Azwa, kuliah belum selesai udah disuruh nikah. Kayaknya terpaksa itu, orang mau kabur gitu)
“Lho iyo, ta, sampek arep minggat barang?” (Emang iya, sampai mau kabur segala?) tanya salah salah satu dari mereka terkejut.
“Iyo, tenan cah. Azwa mau gawa tas seng biasane digawa moro Suroboyo. Arep nang ndi maneh nek ora arep minggat? Tapi ora sido merga diparani mas e.”
(Iya, beneran. Azwa tadi bawa tas yang biasanya dibawa ke Surabaya. Mau kemana lagi kalau bukan kabur? Tapi nggak jadi karena dijemput kakaknya)
"Azwa seng bocahe nurutan ae iso kaya kuwi. Nemen… nemen…." (Azwa yang anaknya penurut aja bisa seperti itu. Bener-bener keterlaluan….)
"Wajarlah! Sapa sih sing gelem rabi karo anake rentenir. Ora ono! Anakku lah yo tak penging senajan wong sugih lah."
(Wajarlah! Siapa sih yang mau menikah sama anaknya rentenir. Nggak ada! Anakku pun nggak tak izinin meskipun orang kaya sekalipun)
Cukup! Dia sudah tidak tahan lagi mendengar gosipan tetangga julid. Laki-laki yang mengenakan kaos putih itu segera menghampiri perkumpulan ibu-ibu untuk meminta konfirmasi dari perkataannya. Mereka pun menceritakan kejadian heboh beberapa saat lalu dengan menggebu-gebu.
Seketika, raut wajahnya berubah mendengar kenyataan yang sangat jauh dari ekspektasi. Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan, dia berlalu pergi dengan membawa amarah dan emosi yang menguasai hatinya.
Entah benar atau tidak gosip itu, yang jelas dirinya harus mendengar penjelasan dari sang ayah.
"Loh, Fal, udah pulang? Katanya mau mampir ke rumah teman?" "Nggak jadi. Papa mana, Ma?" "Di ruang kerja seperti biasa." Tanpa banyak kata, pemuda yang disapa 'Fal' itu berlalu dari hadapan ibunya yang tengah bersantai di ruang keluarga. Dia melangkah cepat ke ruang kerja ayahnya sambil mengepalkan tangan kuat menahan emosi. Brak! Suara pintu yang dibuka keras membuat sang penghuni ruangan terkejut. Begitu tahu siapa pelakunya, orang itu tersenyum. "Ada apa gerangan yang membuat seorang Aufal mau mendatangi ruang kerja ayahnya?" "Papa bohong soal lamaran itu." Pemuda yang bernama Aufal itu berdiri di hadapan ayahnya dengan tatapan menyorot tajam dan dingin. "Bohong gimana? Kan bener, lamaranmu diterima." "Dengan cara dipaksa?" "Yang penting diterima kan? Sesuai keinginanmu." Pria paruh baya itu membalas dengan santai tanpa merasa terintimidasi sedikitpun. "Ya, tapi nggak dengan dipaksa juga, Pa!" "Terus maumu apa? Diterima dengan sukarela gitu?" tanya Papa Wirya, ayahnya Au
Hari yang paling dihindari oleh Azwa akhirnya tiba. Hari dimana statusnya akan berubah menjadi istri orang. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya akan menikah secepat ini apalagi dengan anak rentenir. Citra buruk rentenir di masyarakat umum membuat dia harus menjauhi segala sesuatu yang berhubungan dengan rentenir. Namun kini, dia harus terjebak dalam pernikahan yang sama sekali tidak diinginkannya. Di dalam sebuah kamar, Azwa sudah siap dengan kebaya warna putih serta kerudung menutupi dada. Dia tengah duduk sendirian di tepi ranjang menanti ijab-qabul terucap. Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong. Kecantikan make up yang pengantin menghiasi wajah tak mampu menutupi raut kesedihannya. Gadis itu tak tahu apa yang tengah dirasakannya saat ini, terlalu abstrak untuk digambarkan. Yang jelas tak ada rasa bahagia yang tertanam dalam hatinya. Entahlah, rasanya campur aduk hingga membuat dadanya seakan-akan terhimpit oleh sesuatu yang besar dan berat. Sungguh Azw
Di dalam sebuah kamar yang cukup luas, seorang gadis menatap sendu pantulan dirinya di depan cermin. Kemudian pandangannya beralih pada pakaian yang dikenakannya saat kumpul keluarga malam ini. Gamis berwarna putih dipadukan dengan pashmina putih masih melekat apik di tubuhnya. Terlintas dalam benaknya kejadian beberapa jam yang lalu, dimana seseorang dengan gagah mengucap janji suci di hadapan sang ayah, penghulu serta seluruh tamu undangan yang hadir. Mengingat itu, membuat dia semakin sesak entah karena apa. Air matanya pun menetes tanpa diminta, mengalir deras membasahi kedua pipi. Tok tok tok Suara ketukan pintu dari luar membuat gadis itu cepat-cepat menghapus air matanya. Tak lama, muncullah seseorang yang menjadi pemeran utama dalam perubahan hidupnya mulai sekarang. Aufal Abrisam Ar-Rasyid. Nama lengkap seseorang yang kini menjadi suaminya. Suami? Rasanya sangat aneh menyebut Aufal sebagai suami. Laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Azwa hanya mengenal sekila
“Mas sebenarnya juga nggak pengen kita nikah cepat-cepat kayak gini. Mas ingin mengenalmu lebih dalam sebelum menikah. Mas juga sanggup jika harus menunggumu sampai lulus, tapi Papa memaksa Mas untuk menikahimu secepatnya paling lambat satu bulan setelah lamaran.” “Kalau nggak, Papa akan menjodohkan Mas dengan anak sahabat Papa dan memberikan ancaman lain yang membuat Mas sama sekali nggak bisa berkutik.” “Papa nggak pernah main-main sama ucapannya. Jadi, Mas memilih menikahimu secepatnya,” jelas Aufal panjang lebar dengan tenang tanpa ada kemarahan. “Kenapa Mas nggak pilih dijodohkan aja? Kan biar sama-sama sepadan, dibandingkan dengan Azwa yang nggak punya apa-apa.” “Karena yang Mas inginkan itu kamu. Mas sangat ingin menjadikanmu istri dan ibu dari anak-anak Mas. Bukan yang lain.” Jeda sejenak sebelum Aufal kembali melanjutkan perkataannya. “Mas menolak perjodohan itu karena Mas takut nggak bisa bahagiakan dia dan ujung-ujungnya malah saling menyakiti karena Mas sama sekali ng
Aufal Abrisam Ar-Rasyid, laki-laki berusia 24 tahun itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Razan yang bekerja sebagai ASN yang ditugaskan di luar pulau dan menetap di sana. Sementara itu, adiknya bernama Syamil saat ini tengah menempuh pendidikan SMA kelas 12 di salah satu pesantren terkenal di Jawa Timur. Aufal sendiri sebelumnya bekerja di Jakarta tepatnya di perusahaan milik keluarga Kahfi, sahabat waktu kuliah, dengan jabatan terakhir sebagai kepala divisi IT. Karirnya akan semakin cemerlang ketika dia menjadi salah satu kandidat dalam promosi jabatan di level manajer, jika saja tidak menuruti perintah sang ayah untuk resign dan kembali ke perusahaan keluarganya. Kurang lebih seperti itu sedikit gambaran tentang Aufal. Kini, Azwa sedang membantu ibu mertua, kakak ipar, dan bibi membereskan meja makan usai sarapan. “Ada di rumah mertua itu harus tau diri. Bukannya malah enak-enakan di kamar. Mentang-mentang pengantin baru,” sindir Reana, istri Razan,
Azwa senantiasa menatap lantai sambil memainkan jemarinya yang berkeringat dingin. Jantungnya berdetak kencang tanpa bisa dikendalikan. Dia menahan rasa takut berhadapan langsung dengan ayah mertuanya. “Kamu takut sama Papa, Azwa?” tanya Papa Wirya tiba-tiba membuat Azwa tersentak kaget. Beliau terkekeh kecil melihat menantunya yang sangat gugup. “Tanpa kamu menjawab pun Papa udah tau jawabannya.” Pria yang usianya memasuki setengah abad itu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “nggak banyak yang ingin Papa sampaikan ke kamu. Papa cuma mau bilang, tolong terima Aufal sebagai suamimu, ya. Dia sangat mencintaimu dengan tulus.” “Papa nggak pernah melihat Aufal jatuh cinta sedalam ini kecuali denganmu. Kamu lihat sendiri kan tadi? Aufal sangat protektif terhadapmu bahkan sama ayahnya sendiri. Padahal kan Papa niatnya cuma bicara berdua sama kamu,” jelasnya. Azwa diam berusaha mencerna ucapan Papa Wirya. Jadi, Aufal beneran mencintainya? Bukan hanya obsesi semata? Sudah dua orang
“Apa maksudmu, Diaz?” tanya Ayah Abyaz lantas bangkit dari duduknya diikuti oleh Aufal. “Diaz nggak setuju Adek dibawa pergi sama Aufal ke Jakarta,” jawab Diaz datar. “Kenapa memangnya? Aufal berhak membawa Adek kemanapun dia pergi.” “Diaz tetep nggak setuju!” Ayah Abyaz mengajak Diaz dan Aufal ke halaman rumah terlebih dahulu agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh istri dan putrinya. Beliau merasa akan ada perdebatan diantara keduanya. “Setuju ndak setuju, kita harus menghargai keputusannya, Diaz. Mungkin mereka butuh privasi berdua yang ndak melibatkan keluarga di dalamnya. Ayah percaya Aufal bisa menjaga dan membahagiakan Adek,” ucapnya. “Segampang itu Ayah percaya?” Diaz terkekeh sinis. Matanya menatap tajam ke arah Aufal. “Bagaimana bisa Ayah mempercayakan Adek pada orang asing macam dia?” “Aufal bukan orang asing, Diaz. Dia kini udah jadi suami Adek. Kita memang belum saling mengenal sepenuhnya, tapi Ayah yakin Aufal ndak akan menyakiti Azwa. Ayah juga melihat Aufal
Aufal dan Azwa tengah bersantai di ruang tengah untuk melepas penat. Hari ini sungguh melelahkan. Sehabis perjalanan jauh, keduanya langsung diberikan kejutan oleh teman-teman Aufal yang berasal dari kontrakan lama. Mereka semua, laki-laki yang berjumlah sembilan orang itu, berkumpul menyambut kedatangan Aufal dengan suka cita karena sudah menganggap layaknya keluarga sendiri. Aufal pun tidak menyangka mereka menyempatkan hadir dengan formasi lengkap ditengah-tengah kesibukan, bahkan ada yang rela menunda jadwal pulang kampungnya. Ini benar-benar di luar rencana. Dia tidak tahu apapun tentang kejutan itu. “Anggaplah buat menggantikan kami yang nggak bisa hadir di pernikahan kalian,” jawab salah satu dari mereka ketika ditanya oleh Aufal. “Semua ini idenya Bang Andra. Kita, mah, cuma ngikut doang.” Tidak banyak acara yang mereka adakan. Hanya makan-makan bersama, lalu dilanjutkan sesi perkenalan dengan Azwa. Mereka juga mengucapkan selamat serta memberikan kado pernikahan kepada
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup