"Bagaimana bisa seperti ini?!"Baik Alex maupun Damian hanya bisa menunduk dalam-dalam. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk menyela amarah William ketika melihat hasil laporan rapat beberapa minggu yang lalu.William membolak-balikkan halaman dan terlihat gusar melihat hasil laporan yang telah di setujui dan berjalan tanpa mempertahankan ijin darinya. Meski di dokumen itu tercetak jelas bahwa Bradley yang bertanggung jawab, tapi mengambil langkah sepihak seperti ini jelas salah. Wanita tua itu sudah keterlaluan dan menguji ambang kesabarannya untuk menghadapinya."Kalian berdua bekerja padaku!" bentak William, "Aku yang menggaji kalian. Secara teknis, aku menggaji semua orang di gedung ini. Tapi tak ada satupun orang yang memberitahuku soal ini. Sudah berjalan berminggu-minggu dan sialnya aku memergokinya dengan membaca laporan yang harus kutelusuri sendiri. Aku tidak mengerti mengapa kalian tak memiliki loyalitas untuk ini.""Maaf, Tuan," cicit Damian, "Nyonya Anderson ya
Clara menatap punggung William hingga pintu ruangan tertutup dan melenyapkan sosoknya. Mendadak ruangan ini terasa sangat sepi dan entah bagaimana Clara baru menyadarinya. Ia juga tak mengerti mengapa William membuat satu lantai penuh hanya untuk ruangannya. Meja Alex dan Damian yang bersisihan kosong dan Clara menebak jika kedua lelaki yang selalu sopan padanya itu sedang mengikuti William.Clara mulai meletakkan kotak-kotak makanan di atas meja, lalu menjauh dari aroma menggiurkan itu. Tangannya mulai gatal untuk segera mencomot apapun yang ada di dalam kotak itu karena makan mulai menjadi kebiasaannya sejak hamil. Terkadang ia mulai lapar tanpa tahu waktu dan membuat matanya terjaga sekedar mencari-cari makanan di dapur. Beruntungnya, stoples kue selalu memenuhi meja dan Clara tidak pernah menolak macam-macam makanan.Hanya kali ini saja Clara ingin menahan diri. Ia menunggu William dengan setia meski aroma didalam sana memanggilnya. Ia telah memasak ini dan spesial untuk William.
Selama dua puluh empat tahun perjalanan hidupnya, baru kali ini William memaknai arti rumah yang sesungguhnya. Dan baru kali ini juga dirinya sangat ingin kembali ke rumah Austin.Rumah, baginya memiliki kesan mengolok ketika kehidupan di masa lalunya bersama ibunya berjuang susah payah. Sedang pagar pembatas seperti sangkar emas memberinya jarak. Rumah, juga memberi kesan sempurna di mana William berada.Tapi sekarang ini, yang William butuhkan adalah pulang. Ia membutuhkan Austin dan tidak bisa meninggalkan Clara untuk kedua kalinya.Clara mengerjap begitu merasakan tubuhnya melayang dan turun dari mobil. Punggung tangannya mengusap air mata yang membasahi pipinya sejak turun dari gedung. Sedikitnya perasaan tenang mulai melingkupi meski suaranya parau, "Kenapa kita ke sini?"William tersenyum dan menenggelamkan wajah Clara di dadanya seraya menyusuri halaman rumah DO. "Pertama-tama, istri dan bayi-bayiku butuh makan siang."Clara menarik napas."Kedua, dalam waktu dekat ini, aku in
William mendapati dirinya berada di ruangan gelap. Telinganya berdengung seolah tempat ini adalah lorong sempit yang menggemakan suara. Sedikit menggerakkan kakinya pun ia tidak bisa, namun masih bisa menutup telinga dengan tangan karena dengungannya semakin menyakitkan. Kemudian, dalam keremangan itu ia bisa mengenali sosok di hadapannya. Clara sedang memeluk seorang anak—anak-anak kecil lebih tepatnya. Tatapannya menjurus pada William penuh harap dengan kaki yang duduk bersimpuh."Tolong lepaskan." Suara Clara merintih.William hampir merangsek maju, namun sial, lagi-lagi kakinya tidak dapat di gerakkan. Suaranya tak bisa keluar dengan lidah kelu membuatnya kian ketakutan. Clara menangis tersedu-sedu bersama anak-anak kecil itu dan William tidak melakukan apa-apa.***William tersentak dari tidurnya. Napasnya terengah-engah dan keringatnya mengucur. Ia mencoba mengatur napas. Paru-parunya butuh udara secepatnya. Matanya memproses keadaan sekitar dan kelegaan serasa melingkupinya.Bu
Aroma sup jamurnya menguar memenuhi udara. Clara menyajikan sup itu di mangkuk dan memberi taburan bawang goreng di atasnya. Semuanya telah siap dan Clara tinggal menyuruh Nancy yang sedari tadi hanya menonton—itu termasuk permintaannya untuk tidak ikut serta membantu menyajikannya di atas meja. Clara masih patuh akan peringatan William untuk jangan membawa barang berat. Meski Clara sangat ingin keras kepala menentang tapi tidak juga ia lakukan."Mau mencicipi, Nancy?" tawar Clara.Wanita empat puluhan itu menggeleng, "Sudah, Nyonya," jawabnya sambil tersenyum.Clara terkikik, "Kudengar taco buatanmu adalah favorit William.""Bukankah taco kegemaran Tuan William sudah berganti?"Clara merona. Ia tidak tahu dari siapa Nancy mendengarnya atau memang sedang menggodanya. Tapi mengingat wajah William yang selalu lahap makan, membuat Clara merindukan lelaki itu.Astaga, apa yang terjadi padanya? Saat ini ia ingin sekali melihat William makan."Aku ingin William segera memakan sup ini," guma
Kediaman keluarga Anderson sangat riuh pagi ini. Jazzy dan Mikaela sedang berebut game di ruang keluarga. Sementara Alaina berteriak dari dapur ketika mendengar putrinya mengumpat. Dan Jazzy membalas sama halnya dengan apa yang Mikaela lontarkan."Apa yang kukatakan soal umpatan, Jazzy?!" hardik Alaina.Clara yang memperhatikan pemandangan semeriah ini hanya tertawa. Sesekali ia melirik Alaina dan kembali fokus pada William yang terlihat tidak bersemangat. Pun demikian, Clara tetap menatap serius suaminya itu. Ia mengabaikan keriuhan keluarga Anderson yang amat jauh berbeda dari rumah William."Aku seperti mengurus dua bayi yang baru belajar mengoceh." Alaina menggelengkan kepalanya karena kesal. Ia menjewer telinga Jazzy dan Mikaela supaya menghentikan permainan gamenya, namun tetap saja hal itu sia-sia."Mama!" Jazzy dan Mikaela bersuara bersamaan. "Sial, aku hampir meraih kemenangan keduaku!"Alaina melotot pada Mikaela. "Berhenti mengumpat, Kaela!"Mikaela mengerang kesal. "Menyeb
Darah di mana-mana.Mengotori baju William, jok mobil belakangnya—yang lebih mengerikan dari itu semua adalah baju putih yang Clara kenakan telah bersimbah darah.William ketakutan sekarang.Tak pernah ia merasa setakut ini dalam hidupnya."Clara!" teriak William.Namun Clara telah menutup mata sejak William membawanya ke dalam mobil.Austin yang biasa menyetir dengan ugal-ugalan tapi di saat segenting ini justru menyedot seluruh kesabaran William, "Lebih cepat, Austin!"Austin melirik spion—mengabaikan teriakan William dan mengumpat. "Apakah itu polisi? Brengsek!""Lebih cepat, Austin!" Lagi dan Austin mulai merasakan muak sehingga membalasnya dengan memutar mata malas. "Clara, kumohon. Bertahanlah, Sayang," William bisa merasakan napas putus-putus Clara."Aku telah memecahkan lebih dari tiga kaca spion mobil lain. Aku yakin itu." Austin berujar dengan menukik tajam dan menginjak pedal gas lebih dalam. "Sial! Polisi brengsek itu mengejar kita.""William!""Itu dia! Aku dapat." Willia
Siang berganti malam. Hari berganti hari.William masih setia berada di samping Clara. Ia mulai melakukan beberapa hal yang bisa dilakukannya di kamar Clara. Termasuk membawa serta pekerjaan kantor yang Alex dan Damian kirimkan.Tidak seperti minggu pertama saat menunggu Clara, hanya terpaku dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia mulai menjalankan bisnisnya meski peran Austin dan Lucas cukup membantu.William masih ingin berada di samping Clara saat istrinya itu membuka mata. Ia ingin Clara melihatnya saat pertama kali membuka mata—sama seperti ketika mereka bangun di pagi hari.Sesekali baik Alaina atau Stella selalu berkunjung. Hanya beberapa jam supaya William tetap terjaga pada kewarasannya. Ia makan jika makanan di antar dan mandi seperlunya.Seminggu menjadi sepuluh hari. Lalu dua minggu.Dua puluh hari.Tiga puluh hari.Dan ini sudah hari ke lima puluh tapi Clara masih tertidur dengan tenang.Clara terlihat semakin kurus dan tirus. William bisa merasakan tubuh Clara yang menyu