Clara ingat terakhir kali ia tersentak adalah beberapa jam lalu ketika William membentaknya dengan suara yang lantang. Namun kali ini tidak sama seperti sebelumnya. Ia tersentak lantaran keinginan William yang lagi-lagi membuat napasnya megap-megap.Bulan depan?Yang benar saja.Clara sangat yakin jika keluarga Anderson memang seratus tiga puluh persen pelawak—bukan tapi pemain sirkus—ah entahlah apa pun itu dirinya tak peduli. Saat ini yang menjadi fokusnya ialah keterkejutan akan permintaan kekasihnya yang terdengar konyol.Bulan depan?Astaga, Clara tak bisa berhenti mengucapkan kalimat itu secara berulang.Posisinya juga terlihat menguntungkan meski tidak untuk William. Lelaki itu berulang kali menaik-turunkan jakunnya ketika mata karamelnya terlempar ke paha Clara."Bulan depan?" ulang Clara bersuara langsung."Minggu depan jika kau merasa itu terlalu lama.""Apa?" Clara semakin merapatkan posisinya di area paha William, "Minggu depan?! Kau bercanda?"William memegang pinggul Cla
Sisa malam itu di habiskan William dan Clara dengan berbagi. Hembusan angin yang menerpa kulit masing-masing seolah tak di rasakannya lantaran sentuhan hangat yang bersarang. Clara dengan jari lentiknya menggoda dada bidang William hingga geraman tertahan terdengar dari tenggorokan lelaki itu. Saraf sensitifnya merespon dengan baik guna menggugah gairahnya."Awalnya," jeda William mencoba menemukan suaranya. "Aku tak pernah punya sosok seorang ayah untuk aku tiru. Jadi aku meniru apa pun yang Austin lakukan. Lucu, kan?" Clara ikut terkekeh menyumbang suara William yang mencicit. "Aku melakukan semua hal yang Austin lakukan. Mulai dari membantu mama mengaduk adonan roti, mengangkat roti dan melayani pelanggan. Aku benar-benar mencontoh apa yang Austin lakukan. Kita kembar tapi aku lebih bebal darinya.""Dan aku begitu senang ketika Austin tertarik pada Alaina. Aku takut jika Austin mengabaikanku. Tapi ternyata tidak. Alaina bukan wanita yang mempengaruhi orang lain. Dia tahu aku kaku n
Sepanjang perjalanan menuju rumah Austin, William hanya terdiam dengan jari yang terkait di jari lentik Clara. Satu tangannya memegang kendali setir. Matanya terfokus menatap ke arah depan. Tapi kegugupan dan kegusaran jelas terlihat di wajahnya yang tampan.Sesekali jari itu meremas jari lentik milik Clara yang hanya di balas ringisan tertahan oleh gadis itu. Ingin ia melemparkan semburan amarah yang di tahannya, namun melihat raut gelisah yang tercetak jelas di sana buru-buru Clara mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih diam dan menikmati rasa sakit akibat remasan itu yang membuat tangannya memerah seketika.Sedang William, meski diam, pikirannya melayang bersama kenangan lalu yang membuatnya kian meremas hatinya. Dulu, ia selalu bersemangat setiap kali pulang ke rumah Austin. Meski ia tidak tinggal bersama di rumah itu, menginap di akhir pekan atau berkunjung di jam-jam tertentu di antara kesibukan jam kerjanya, menghabiskan waktu bersama Mikaela, mengajari bocah kecil itu belajar,
"Halo Tuan Anderson," sapa Stella. "Maaf, semalam belum bisa menyapamu."William mengangguk samar dan berjalan melewati Stella begitu saja. Ia merasa harus mendengus sekeras-kerasnya lantaran ancaman yang Alaina lontarkan membuat dirinya berada di ruangan ini. Berada di antara ketiga orang yang sedang menunggunya bicara. Gerakan tangan William meraih gelas dan menuang air untuk dirinya sendiri. Beberapa saat ia merasakan tenggorokannya kering hingga sulit mengeluarkan suaranya."Jadi apa alasannya?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Sekedar sapaan pun tidak.Dan Austin yang paling tahu akan itu. Ia tahu bagaimana William bertindak dan seperti apa caranya menyikapi. Hanya saja konyol jika kekakuan itu di terapkan di tengah-tengah keluarganya sendiri. Ini tampak seperti sesi introgasi."Tidak ada. Aku serius mencintai Stella. Ini hanya tidak sengaja dan aku tidak ingin lari dari tanggung jawab." Lucas menjawab mantap dengan sorot mata yang sama seperti miliknya dengan kebahagiaan yang mengge
Ketika pagi menyapa dan sebuah kecupan yang tersemat di tengkuknya membuat Clara mengernyit dalam tidurnya. Ia mengerjapkan mata guna memproses sekitar. Kemudian menyipitkan mata ketika mendapati cahaya yang berhamburan memasuki kamarnya.Suara lenguhan terdengar di belakang Clara mengalihkan pandangan ke balik punggungnya di mana seseorang sedang sibuk menggerayangi tubuhnya. Siapa lagi jika bukan William?Clara menggeliat pelan dan membalik badannya. Melihat lelaki itu yang memejamkan matanya—namun Clara tidak yakin jika kekasihnya itu sedang tidur. Tidur macam apa yang masih menyematkan ciuman-ciuman ke sekujur tubuhnya dengan tangan yang berkeliaran kemana-mana.Tetapi demikian, Clara tak mengeluh sama sekali. Ia justru tersenyum seraya menikmati ciuman-ciuman mesra yang membuat pagi harinya terasa semakin baik. Ia membiarkan dirinya kian merapat dan hanyut ke dalam pelukan William."Apa yang kau lakukan di sini?" bisik Clara, "Kamarmu di sebelah."William tertawa pelan dan membuk
Ini terlalu cepat, seperti yang Clara perkirakan. Satu minggu adalah waktu ekstrem yang William gunakan untuk mempersiapkan pernikahan. Clara pikir, kekasihnya itu bercanda ketika mengatakan minggu depan. Tapi tidak—serius—kini Clara tahu jika lelaki itu tak pernah main-main mengenai ucapannya.Rasanya seperti mengolah kue-kue kering yang biasa Clara buat untuk camilan William —tapi konyol saja jika persiapan pernikahannya disamakan layaknya membuat kue. Tidak ada persiapan yang serius. Mereka hanya melakukan sakral penting di gereja dan dilanjutkan dengan temu keluarga.Seingat Clara ada pernikahan super cepat yang pernah disaksikannya. Yaitu Lucas dan Stella. Namun ternyata miliknya jauh lebih kilat. Tentu jika dipadankan akan menemui satu jawaban yang sama. Sama-sama melakukan pengucapan sakral di gereja dan dihadiri oleh keluarga saja.Bahkan William tak mau mengundang beberapa kliennya karena menurutnya itu tak penting. Baginya, menyiapkan pesta, mencetak undangan, mengundang kol
18+Clara bangun dengan keadaan tersentak. Ia tak tahu apa yang baru saja dialaminya. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tapi, sungguh, yang baru saja dialaminya itu bukan mimpi. Jelas-jelas ia ingat soal pernikahannya yang terbilang cepat dan waktu yang lama lantaran perayaan bersama keluarga Anderson.Tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya ketika ingatan itu memaksa masuk. Tubuhnya luar biasa kebas seolah baru saja memikul beban berat. Satu-satunya yang Clara lakukan setelah menyadari dirinya berada di sebuah ruangan—kamarnya sendiri—ia yakin itu, adalah mengerang seraya mengenyakkan kembali tubuhnya ke ranjang.Ia sama sekali tidak ingat apa yang telah dilakukannya semalam. Tapi kenapa tubuhnya bisa lelah seperti ini?Pertanyaan itu terjawab lewat dengkuran halus dan hembusan napas keras yang berada di sampingnya. Mau tidak mau kepala Clara yang pegal teralih ke samping di mana seorang lelaki tertidur pulas—tengkurap—dengan satu tangan yang menindih perut kecilnya. Oh pan
William tahu, seks adalah sebuah kata yang dielu-elukan. Beberapa orang bahkan memuja seks. Dan dirinya tidak menampik pernah menjadi satu di antaranya. Hanya saja, semuanya terasa berbeda dua tahun belakangan. Ia merasakan kehambaran di sebuah hubungan dan bosan. Setiap model yang William rekrut tidak luput ikut serta menghangatkan ranjangnya. Sampai di situ, William tidak ingin berurusan lagi soal seks hingga bertemu dengan Clara. Baginya, Clara mampu menembus seluruh fantasinya tentang seks.Sekali dalam seumur hidup ia pernah melihat Clara telanjang. Itu masuk dalam daftar kesalahan terbesarnya di mana dirinya diliputi rasa kalut dan emosi. Tak ada gairah yang mendesaknya saat itu. Tak ada cinta. Hanya amarah yang ingin ia lampiaskan pada siapa saja.Terlepas dari itu semua, ketika pagi pertamanya—setelah pernikahan dan melewatkan malam pertamanya—bola matanya enggan berkedip barang sedetik pun. Tubuhnya bersandar di ambang pintu menunggu bak berendamnya penuh. Namun, tubuh yang t