(18+)Clara perlu beberapa detik untuk mencerna permintaan William. "A-apa?""Buka bajumu Clara. Telanjang untukku."Clara tersentak akan permintaan William. Sejauh hubungannya bersama William, lelaki itu tak pernah sekali pun memaksakan hasratnya. William yang Clara kenal—keras kepala, dan selalu memaksakan kehendak, memegang kendali—selalu teguh akan komitmennya untuk tidak menyentuh dirinya. William selalu menghormatinya. Sulit baginya untuk percaya ketika kata-kata itu keluar dari mulut William."Tunggu apalagi Clara? Kau bilang kau bersedia melakukan apapun untukku."Clara merasakan lehernya kram untuk menggeleng. Ia tak yakin apakah menginginkan ini untuk memuaskan William, atau ia harus melindungi dirinya—dari calon suaminya. Tangan Clara terkepal di samping tubuhnya. Ia tak percaya William melakukan ini padanya—menyuruhnya telanjang. Clara tak tahu apakah ini efek emosi yang William perlihatkan atau memang lelaki itu menginginkannya. Tapi nada perintah dalam suara William bena
Clara ingat terakhir kali ia tersentak adalah beberapa jam lalu ketika William membentaknya dengan suara yang lantang. Namun kali ini tidak sama seperti sebelumnya. Ia tersentak lantaran keinginan William yang lagi-lagi membuat napasnya megap-megap.Bulan depan?Yang benar saja.Clara sangat yakin jika keluarga Anderson memang seratus tiga puluh persen pelawak—bukan tapi pemain sirkus—ah entahlah apa pun itu dirinya tak peduli. Saat ini yang menjadi fokusnya ialah keterkejutan akan permintaan kekasihnya yang terdengar konyol.Bulan depan?Astaga, Clara tak bisa berhenti mengucapkan kalimat itu secara berulang.Posisinya juga terlihat menguntungkan meski tidak untuk William. Lelaki itu berulang kali menaik-turunkan jakunnya ketika mata karamelnya terlempar ke paha Clara."Bulan depan?" ulang Clara bersuara langsung."Minggu depan jika kau merasa itu terlalu lama.""Apa?" Clara semakin merapatkan posisinya di area paha William, "Minggu depan?! Kau bercanda?"William memegang pinggul Cla
Sisa malam itu di habiskan William dan Clara dengan berbagi. Hembusan angin yang menerpa kulit masing-masing seolah tak di rasakannya lantaran sentuhan hangat yang bersarang. Clara dengan jari lentiknya menggoda dada bidang William hingga geraman tertahan terdengar dari tenggorokan lelaki itu. Saraf sensitifnya merespon dengan baik guna menggugah gairahnya."Awalnya," jeda William mencoba menemukan suaranya. "Aku tak pernah punya sosok seorang ayah untuk aku tiru. Jadi aku meniru apa pun yang Austin lakukan. Lucu, kan?" Clara ikut terkekeh menyumbang suara William yang mencicit. "Aku melakukan semua hal yang Austin lakukan. Mulai dari membantu mama mengaduk adonan roti, mengangkat roti dan melayani pelanggan. Aku benar-benar mencontoh apa yang Austin lakukan. Kita kembar tapi aku lebih bebal darinya.""Dan aku begitu senang ketika Austin tertarik pada Alaina. Aku takut jika Austin mengabaikanku. Tapi ternyata tidak. Alaina bukan wanita yang mempengaruhi orang lain. Dia tahu aku kaku n
Sepanjang perjalanan menuju rumah Austin, William hanya terdiam dengan jari yang terkait di jari lentik Clara. Satu tangannya memegang kendali setir. Matanya terfokus menatap ke arah depan. Tapi kegugupan dan kegusaran jelas terlihat di wajahnya yang tampan.Sesekali jari itu meremas jari lentik milik Clara yang hanya di balas ringisan tertahan oleh gadis itu. Ingin ia melemparkan semburan amarah yang di tahannya, namun melihat raut gelisah yang tercetak jelas di sana buru-buru Clara mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih diam dan menikmati rasa sakit akibat remasan itu yang membuat tangannya memerah seketika.Sedang William, meski diam, pikirannya melayang bersama kenangan lalu yang membuatnya kian meremas hatinya. Dulu, ia selalu bersemangat setiap kali pulang ke rumah Austin. Meski ia tidak tinggal bersama di rumah itu, menginap di akhir pekan atau berkunjung di jam-jam tertentu di antara kesibukan jam kerjanya, menghabiskan waktu bersama Mikaela, mengajari bocah kecil itu belajar,
"Halo Tuan Anderson," sapa Stella. "Maaf, semalam belum bisa menyapamu."William mengangguk samar dan berjalan melewati Stella begitu saja. Ia merasa harus mendengus sekeras-kerasnya lantaran ancaman yang Alaina lontarkan membuat dirinya berada di ruangan ini. Berada di antara ketiga orang yang sedang menunggunya bicara. Gerakan tangan William meraih gelas dan menuang air untuk dirinya sendiri. Beberapa saat ia merasakan tenggorokannya kering hingga sulit mengeluarkan suaranya."Jadi apa alasannya?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Sekedar sapaan pun tidak.Dan Austin yang paling tahu akan itu. Ia tahu bagaimana William bertindak dan seperti apa caranya menyikapi. Hanya saja konyol jika kekakuan itu di terapkan di tengah-tengah keluarganya sendiri. Ini tampak seperti sesi introgasi."Tidak ada. Aku serius mencintai Stella. Ini hanya tidak sengaja dan aku tidak ingin lari dari tanggung jawab." Lucas menjawab mantap dengan sorot mata yang sama seperti miliknya dengan kebahagiaan yang mengge
Ketika pagi menyapa dan sebuah kecupan yang tersemat di tengkuknya membuat Clara mengernyit dalam tidurnya. Ia mengerjapkan mata guna memproses sekitar. Kemudian menyipitkan mata ketika mendapati cahaya yang berhamburan memasuki kamarnya.Suara lenguhan terdengar di belakang Clara mengalihkan pandangan ke balik punggungnya di mana seseorang sedang sibuk menggerayangi tubuhnya. Siapa lagi jika bukan William?Clara menggeliat pelan dan membalik badannya. Melihat lelaki itu yang memejamkan matanya—namun Clara tidak yakin jika kekasihnya itu sedang tidur. Tidur macam apa yang masih menyematkan ciuman-ciuman ke sekujur tubuhnya dengan tangan yang berkeliaran kemana-mana.Tetapi demikian, Clara tak mengeluh sama sekali. Ia justru tersenyum seraya menikmati ciuman-ciuman mesra yang membuat pagi harinya terasa semakin baik. Ia membiarkan dirinya kian merapat dan hanyut ke dalam pelukan William."Apa yang kau lakukan di sini?" bisik Clara, "Kamarmu di sebelah."William tertawa pelan dan membuk
Ini terlalu cepat, seperti yang Clara perkirakan. Satu minggu adalah waktu ekstrem yang William gunakan untuk mempersiapkan pernikahan. Clara pikir, kekasihnya itu bercanda ketika mengatakan minggu depan. Tapi tidak—serius—kini Clara tahu jika lelaki itu tak pernah main-main mengenai ucapannya.Rasanya seperti mengolah kue-kue kering yang biasa Clara buat untuk camilan William —tapi konyol saja jika persiapan pernikahannya disamakan layaknya membuat kue. Tidak ada persiapan yang serius. Mereka hanya melakukan sakral penting di gereja dan dilanjutkan dengan temu keluarga.Seingat Clara ada pernikahan super cepat yang pernah disaksikannya. Yaitu Lucas dan Stella. Namun ternyata miliknya jauh lebih kilat. Tentu jika dipadankan akan menemui satu jawaban yang sama. Sama-sama melakukan pengucapan sakral di gereja dan dihadiri oleh keluarga saja.Bahkan William tak mau mengundang beberapa kliennya karena menurutnya itu tak penting. Baginya, menyiapkan pesta, mencetak undangan, mengundang kol
18+Clara bangun dengan keadaan tersentak. Ia tak tahu apa yang baru saja dialaminya. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tapi, sungguh, yang baru saja dialaminya itu bukan mimpi. Jelas-jelas ia ingat soal pernikahannya yang terbilang cepat dan waktu yang lama lantaran perayaan bersama keluarga Anderson.Tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya ketika ingatan itu memaksa masuk. Tubuhnya luar biasa kebas seolah baru saja memikul beban berat. Satu-satunya yang Clara lakukan setelah menyadari dirinya berada di sebuah ruangan—kamarnya sendiri—ia yakin itu, adalah mengerang seraya mengenyakkan kembali tubuhnya ke ranjang.Ia sama sekali tidak ingat apa yang telah dilakukannya semalam. Tapi kenapa tubuhnya bisa lelah seperti ini?Pertanyaan itu terjawab lewat dengkuran halus dan hembusan napas keras yang berada di sampingnya. Mau tidak mau kepala Clara yang pegal teralih ke samping di mana seorang lelaki tertidur pulas—tengkurap—dengan satu tangan yang menindih perut kecilnya. Oh pan
Clara merasa jika loncatan dalam hidupnya terjadi begitu cepat. Sekarang siapa yang menyangka jika pada akhirnya Clara berada di sini, di sisi William Anderson yang arogan dan konvensional tapi tidak dipungkiri jika Clara pun mencintai pria kaku ini. Clara tidak akan menjadi munafik sekadar mengakui jika dirinya memang takut kehilangan William. Setelah kesepian seorang diri dan ditemukan dengan William, pelangi yang tidak pernah Clara lihat nyatanya memang seindah itu."Memikirkan apa?"Malam adalah waktu yang tepat bagi Clara dan William menghabiskan waktu bersama. Sudah sejak dulu kala pillowtalk menjadi pilihan keduanya untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain dan apa-apa saja yang sudah dilalui hari ini. Bersama mau pun tidak, dekat atau jauh mereka berdua akan selalu terhubung satu sama lain. Bahkan semesta seperti memberi dukungan untuk keduanya melakukan hal itu."Keringkan rambutmu dengan benar."William baru selesai dengan urusan mandinya. Hari ini William pulang agak laru
"Sejak dulu mereka selalu penurut. Kamu membuatku iri melihat bagaimana mereka tumbuh dengan baik." Alaina datang dari arah pintu garasi yang membuat Clara terpekik kaget sekaligus senang. "Kapan datang? Kamu tidak memberi kabar akan datang." Clara memanyunkan bibir persis seperti bocah tidak diberi permen keinginannya. "Bagaimana kabarmu?" Clara bertanya karena melihat lingkaran hitam di bawah mata Alaina kentara terlihat. "Berhenti mengomeliku!" Alaina duduk di kursi dekat Clara dan tersenyum tipis. "Aku sedang iri dengan caramu mendidik mereka. Tahukah kamu bahwa Kaela bukan lagi Kaela yang aku kenal? Dan ya aku baik. Aku ini orang paling handal dalam menjadi diri." Clara tidak punya daya untuk membela atau membenarkan kisah hidup yang Alaina alami dengan segala keputusan yang menurut orang dewasa matang tapi bagi Kaela itu tidak adil. Menjadi dewasa memang memusingkan sejak dulu kala dan Clara membenarkan hal itu. Dan apa pun yang Alaina katakan semuanya terasa sangat menyesa
Pancake buatan Clara selalu menjadi favorit William. William bahkan bersumpah jika seumur hidupnya dia mau menikmati pancake buatan Clara setiap harinya. Namun berbanding terbalik dengan kedua putranya yang memandangi pancake itu diikuti hidung mengkerut tanda tidak sukanya."Kenapa?" William menyeruput kopi hitamnya setelah menelan pancakenya. "Kalian akan protes tentang masakan mama dan apa yang sudah papa beri? Kalian tidak mau mensyukuri itu?" William bukan tipe orang tua keras yang akan langsung menghakimi tindakan anaknya. William hanya bersikap tegas untuk membuat anak-anaknya merasa ditegasi."Aku merasa kenyang papa." Alex mengutarakan yang dirasakannya. "Pancake buatan mama bukannya tidak enak tapi bukan termasuk favoritku.""Lalu, apa makanan favoritmu?" tanya William santai dan memasukan lagi potongan pancakenya. "Ah, kamu menyukai makanan cepat saji seperti sampah yang akan membuatmu tidak hidup sehat, begitu?""Bukan begitu papa." Kali ini Axel membuka suaranya yang leb
Sudah memutuskan menikah, artinya sudah memperkirakan apa saja yang akan terjadi. Bukan hal aneh jika sekarang banyak yang melakukan perjanjian pranikah sebelum akhirnya berhadapan dengan pendeta dan Tuhannya. Itu juga yang Clara pikirkan melihat kondisi dewasa saat ini. Meski pernikahannya bersama William terbilang singkat, jelas, dan padat bukab berarti tidak ada masalah yang menerpa kehidupan rumah tangga mereka. Perjalanan mereka terbilang penuh liku. Bukannya tidak mensyukuri sudah diberi bahagia sampai sejauh ini. Clara hanya ingin berbagi cerita, kisah dan mungkin sedikit nasihat. Bahwa sebelum meyakinkan diri untuk terikat dalam sebuah komitmen yang panjang maka pikirkanlah matang-matang. Menikah tidak sekadar memiliki ikatan dan merubah status namun juga menyatukan dua kepala dalam satu pemikiran. Agar tidak timbul ego untuk menang sendiri dan merasa paling benar."Apa yang kamu pikirkan?"William selesai dengan mandinya. Hari ini William pulang lebih awal karena tidak ada p
Kehidupan Clara dan William yang sesungguhnya baru dimulai. Ketiga anaknya telah beranjak dewasa dan William punya kesibukan yang selalu tak terduga. Clara merasa kesepian tapi selalu ditepisnya. Beruntungnya ada Valerie dan Stella yang bisa menjadi temannya."Kalian sudah berkenalan?" Clara sedikit terkejut saat Valerie dan Stella jauh lebih akrab dari bayangannya. "Aku senang mendengarnya. Jadi Stella, ada kue apalagi di tokomu?""William memberiku resep.""William?" Clara terperangah tidak percaya. "Manusia es itu berubah jadi baik dan memberimu resep?""Yang tidak pernah aku duga-duga. Manusia itu bukan lagi sedingin kutub, dia mulai hangat.""Aku tidak percaya ini.""Aku juga. Tapi ini kenyataan yang terjadi. Dia sungguh memberiku resep kue dan setelah aku sajikan di etalase semua pelanggan menyukainya.""Kamu harus membaginya padaku. Aku juga ingin tahu rasanya. Sebaik apa resep kue dari William sampai-sampai dia sangat pelit." Clara menyesap kopi panasnya sambil membayangkan ra
Kata berakhir tidak benar-benar selalu berakhir. Buktinya Clara dan William menemukan sebuah kehidupan sulit meski bukan dari dirinya langsung. Adalah Valeria yang terpuruk karena Justin, kekasihnya, yang bimbang ingin membersamai siapa. Belum lagi dengan fakta di mana Valeria menyembunyikan kehamilannya.Valerie hanya diam mematung menatap langit sore yang mulai kekuningan. Sunyi di rumah Clara adalah yang biasa karena anak-anaknya belum kembali dari tempat les. Tapi bagi Valerie itu sebuah penyiksaan. Dan dengan sabarnya, Clara ikut diam duduk di kursi santai.Jika melepas adalah ungkapan kata yang selaras dengan tindakan, bisa jelaskan padaku adakah rasa sakit? Jika ada, bisakah berhenti dan biarkan genggaman tangan ini tetap bertaut. Aku tak bisa—walau aku sudah memaksa. Genggaman tangan ini, kau tahu? Meski ini erat, kehangatan yang tersalur bahkan tak mampu memberi ketenangan, sedikit pun.Kau tahu soal sakit tapi tak berdarah? Sepertinya inilah definisi rasa sakit tapi tak meng
“Karena semuanya sudah berakhir …” Bradley mengembuskan napasnya. Wanita paruh baya itu ada di kediaman Clara dan William. Sedang bersama dengan Axel, Alex, Alexa, dan Michael. Menunggu Alaina yang baru saja tiba. “Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Aku juga tidak tahu ingin mengatakan ini sebagai apa. Tapi setidaknya kau lebih beruntung mengambil keputusan. Tidak apa, mungkin ini yang terbaik. Kau punya rencana?”Alaina menggeleng sebentar dan berpikir. Wajahnya terlampau tenang dan baik-baik saja padahal baru mengambil keputusan besar. Clara sampai terheran-heran di buatnya.“Ah, aku punya satu tempat di ruang terbuka. Di pinggiran kota yang lumayan banyak lalu-lalang pelancong. Mungkin, aku bisa membuka toko kue di sana. Menjajakan kue-kue buatanku.”Semuanya terdiam. Alaina juga terdiam bahkan William yang menjadi pria satu-satunya di sana juga terdiam. Lalu berdeham setelah melirikkan kedua matanya ke kanan dan ke kiri.“Kau bilang ingin kembali ke Ontario.”
Karena tidak semua kisah harus berakhir dengan bahagia. Meski permulaan selalu membahagiakan. Tapi sudah konsekuensi dari setiap pertemuan selalu ada perpisahan.Alaina memaknai perjalanan hidupnya seperti itu. Toh itu sudah di catat sejak dulu kala. Sudah menjadi hukum alam bahwa kehidupan yang kita jalani akan ada pengakhiran.Sama halnya dengan selembar kertas yang sudah Alaina bubuhkan tanda tangannya. Pada akhirnya, pertemuan manisnya dengan Austin dan perjalanan susah senang yang dilaluinya harus ada di titik ini: berpisah.Alaina sudah memaafkan, andai itu dijadikan pertanyaan mengapa bisa ada perpisahan.Mengenai Austin yang berselingkuh, Alaina menutup bukunya rapat-rapat. Ada banyak pertanyaan yang ingin Alaina ajukan. Termasuk; apa kurangnya Alaina. Bukan itu saja, Alaina juga ingin menanyakan perihal apa maunya Austin sehingga bisa berbuat seperti ini. Tapi alih-alih mengucapkannya, Alaina justru menemukan dua fakta yang lebih berguna. Pertama, Alaina merasa happy dan bers
Sesi pillowtalk milik Clara dan William setiap malam selalu terjadi. Sesibuk apa pun William, akan ada waktu penting seperti ini untuk ketiga anaknya dan Clara. William hanya menyadari sesusah apa untuk mempertahankan setelah mendapatkan dan enggan untuk bermain-main dengan sesuka hati. William hanya menjaga dan diimbangi oleh Clara.“Apa lagunya?” tanya William dengan melingkarkan tangan kekarnya di perut Clara. Yang masih ramping dan seksi meski sudah melahirkan tiga anak sekaligus.“Pillowtalk. Sesuai dengan hobi kita.” Clara ciumi telapak tangan besar William. Telapak tangan yang sudah sangat bekerja keras untuk keluarga ini dan menjaga Clara serta ketiga anaknya.“Out Of Love, bagaimana?” William ingin mendengarkan lagu itu. Yang terdengar lembut dan ingin segera memejamkan kedua kelopak matanya dalam dekapan Clara. “Hari ini melelahkan,” ucapnya.Clara memutar lagu sesuai yang William mau dan mengelusi tangannya yang melingkar di perutnya.“Sesuatu yang buruk?”Komunikasi antara