Ketika pagi menyapa dan sebuah kecupan yang tersemat di tengkuknya membuat Clara mengernyit dalam tidurnya. Ia mengerjapkan mata guna memproses sekitar. Kemudian menyipitkan mata ketika mendapati cahaya yang berhamburan memasuki kamarnya.Suara lenguhan terdengar di belakang Clara mengalihkan pandangan ke balik punggungnya di mana seseorang sedang sibuk menggerayangi tubuhnya. Siapa lagi jika bukan William?Clara menggeliat pelan dan membalik badannya. Melihat lelaki itu yang memejamkan matanya—namun Clara tidak yakin jika kekasihnya itu sedang tidur. Tidur macam apa yang masih menyematkan ciuman-ciuman ke sekujur tubuhnya dengan tangan yang berkeliaran kemana-mana.Tetapi demikian, Clara tak mengeluh sama sekali. Ia justru tersenyum seraya menikmati ciuman-ciuman mesra yang membuat pagi harinya terasa semakin baik. Ia membiarkan dirinya kian merapat dan hanyut ke dalam pelukan William."Apa yang kau lakukan di sini?" bisik Clara, "Kamarmu di sebelah."William tertawa pelan dan membuk
Ini terlalu cepat, seperti yang Clara perkirakan. Satu minggu adalah waktu ekstrem yang William gunakan untuk mempersiapkan pernikahan. Clara pikir, kekasihnya itu bercanda ketika mengatakan minggu depan. Tapi tidak—serius—kini Clara tahu jika lelaki itu tak pernah main-main mengenai ucapannya.Rasanya seperti mengolah kue-kue kering yang biasa Clara buat untuk camilan William —tapi konyol saja jika persiapan pernikahannya disamakan layaknya membuat kue. Tidak ada persiapan yang serius. Mereka hanya melakukan sakral penting di gereja dan dilanjutkan dengan temu keluarga.Seingat Clara ada pernikahan super cepat yang pernah disaksikannya. Yaitu Lucas dan Stella. Namun ternyata miliknya jauh lebih kilat. Tentu jika dipadankan akan menemui satu jawaban yang sama. Sama-sama melakukan pengucapan sakral di gereja dan dihadiri oleh keluarga saja.Bahkan William tak mau mengundang beberapa kliennya karena menurutnya itu tak penting. Baginya, menyiapkan pesta, mencetak undangan, mengundang kol
18+Clara bangun dengan keadaan tersentak. Ia tak tahu apa yang baru saja dialaminya. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tapi, sungguh, yang baru saja dialaminya itu bukan mimpi. Jelas-jelas ia ingat soal pernikahannya yang terbilang cepat dan waktu yang lama lantaran perayaan bersama keluarga Anderson.Tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya ketika ingatan itu memaksa masuk. Tubuhnya luar biasa kebas seolah baru saja memikul beban berat. Satu-satunya yang Clara lakukan setelah menyadari dirinya berada di sebuah ruangan—kamarnya sendiri—ia yakin itu, adalah mengerang seraya mengenyakkan kembali tubuhnya ke ranjang.Ia sama sekali tidak ingat apa yang telah dilakukannya semalam. Tapi kenapa tubuhnya bisa lelah seperti ini?Pertanyaan itu terjawab lewat dengkuran halus dan hembusan napas keras yang berada di sampingnya. Mau tidak mau kepala Clara yang pegal teralih ke samping di mana seorang lelaki tertidur pulas—tengkurap—dengan satu tangan yang menindih perut kecilnya. Oh pan
William tahu, seks adalah sebuah kata yang dielu-elukan. Beberapa orang bahkan memuja seks. Dan dirinya tidak menampik pernah menjadi satu di antaranya. Hanya saja, semuanya terasa berbeda dua tahun belakangan. Ia merasakan kehambaran di sebuah hubungan dan bosan. Setiap model yang William rekrut tidak luput ikut serta menghangatkan ranjangnya. Sampai di situ, William tidak ingin berurusan lagi soal seks hingga bertemu dengan Clara. Baginya, Clara mampu menembus seluruh fantasinya tentang seks.Sekali dalam seumur hidup ia pernah melihat Clara telanjang. Itu masuk dalam daftar kesalahan terbesarnya di mana dirinya diliputi rasa kalut dan emosi. Tak ada gairah yang mendesaknya saat itu. Tak ada cinta. Hanya amarah yang ingin ia lampiaskan pada siapa saja.Terlepas dari itu semua, ketika pagi pertamanya—setelah pernikahan dan melewatkan malam pertamanya—bola matanya enggan berkedip barang sedetik pun. Tubuhnya bersandar di ambang pintu menunggu bak berendamnya penuh. Namun, tubuh yang t
18+William tergesa-gesa ketika menaiki anak tangga menuju kamarnya. Tanpa mempedulikan sapaan pelayan yang juga menunduk hormat padanya, langkahan kakinya menerjang pintu berwarna coklat mahoni dengan brutal. Astaga, ini mulai menggelikan. Ia mulai berkelakuan seperti Austin. Mencemaskan istrinya setengah mati padahal ia sedang berada di tengah pekerjaannya yang menggunung.Namun kunjungan Austin ke kantor agensinya—yang William anggap bukan hal biasa—menarik minatnya untuk berbincang sedikit bersama saudara kembarnya itu. Bukan tanpa alasan tentunya. Pasalnya, Austin selalu menahan diri jika ingin membicarakan bisnis bersamanya dan memilih rumah sebagai tempat teraman. Lain halnya dengan hari ini yang meningkatkan sinyal ketidakberesan melihat sosok Austin muncul begitu saja.Biasanya William akan terusik mengenai kemunculan Austin di kantor agensinya. Entah suasana yang mendukung atau hati William yang dikehendaki sehingga tak mempermasalahkan kunjungannya.Di tengah perbincangan s
Telepon di meja kerja William berdering keras ketika ia sedang sibuk mempelajari laporan di laptopnya. Jalur pertama menyala dan William tahu bahwa itu panggilan dari asistennya. William mengangkat panggilan itu dan menyalakan pengeras suara masih dengan mata yang menari-nari di atas laptop, "Ya, Damian.""Nyonya Anderson di sini, Tuan."Dahi William mengernyit. Matanya teralihkan dan tangannya yang mencatat materi detail terhenti seketika, "Clara?""Bradley Anderson," koreksi Damian, "Dia datang bersama pengacara. Mereka dalam perjalanan ke sini."William menghela napas dan tidak tahu apa yang diinginkan ibu tirinya itu, "Baiklah.""Ya, Tuan," kemudian panggilan itu terputus.William membereskan seluruh pekerjaannya dan menanti kehadiran Bradley. Meski kehadiran Bradley sama sekali tak William harapkan, ia tidak bisa mencegahnya. Bradley—bagaimana pun—masih istri sah Anderson yang membangun gedung ini. Dan semua orang segan padanya sama halnya mereka segan pada William dan Austin.Te
Tidak bisa dipungkiri, Clara merasa gelisah meski senang karena hari ini William membawanya ke dokter kandungan. Alaina merekomendasikan dokter yang juga membantunya mengurus persalinan Mikaela dulu. Austin ikut membenarkan bahwa dokter Evi akan menjadi dokter yang terbaik."Bayangkan jika dokter itu menyingkap rok Clara," ujar Austin pada William.William jelas bergidik seketika. Dirinya mendukung saran Austin untuk mempengaruhi pikirannya supaya memilih dokter wanita. Ia menerima saran saudara kembarnya itu meski terkadang keduanya saling mengumpat. Sebenarnya, William benci berada di sini, di rumah sakit. Ia benci bau obat-obatan. Ia juga benci perasaan cemasnya padahal ini hanya kunjungan biasa.William dan Clara duduk di ruang tunggu. Menunggu bersama para ibu hamil lainnya dengan perut membesar."Jangan merecokiku!" kecam William pada teleponnya. Sejak kedua kakinya melangkah masuk ke dalam rumah sakit, William begitu sibuk dengan ponselnya. Clara sempat berpikir jika jadwal tem
William memarkir mobilnya di depan rumah Austin. Jazzy berlari menghampiri ketika melihat mobil William memasuki teras."William!" seru Jazzy. Wajahnya tercoreng tanah, begitupun dengan bajunya, "Aku menanam mawar. Itu tugas sekolah, tapi aku menjadikan taman ini penuh dengan mawar. Tebak aku menanam warna apa?" tanyanya sembari memperlihatkan satu tanaman dalam pot yang di bawanya.William terlihat berpikir dan melirik Clara sejenak seperti sama antusiasnya untuk menebak, "Merah," jawab William ragu."Payah!" cecar Jazzy."Itu pink," tunjuk Clara, "Perempuan suka pink. Ya, kan?" Clara mendengus menatap William dan bertanya pada Jazzy soal pemikirannya.Jazzy mengangguk setuju mendengar jawaban Clara, "Semua perempuan suka pink, William," Jazzy terlihat gusar pada William yang tidak bisa menebak. Bocah sepuluh tahun itu tidak memeluk dirinya seperti biasanya dan justru berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan jejak tanah yang tercecer."Apa?" tukas William. Ia merasa bahwa Clara memu