Telepon di meja kerja William berdering keras ketika ia sedang sibuk mempelajari laporan di laptopnya. Jalur pertama menyala dan William tahu bahwa itu panggilan dari asistennya. William mengangkat panggilan itu dan menyalakan pengeras suara masih dengan mata yang menari-nari di atas laptop, "Ya, Damian.""Nyonya Anderson di sini, Tuan."Dahi William mengernyit. Matanya teralihkan dan tangannya yang mencatat materi detail terhenti seketika, "Clara?""Bradley Anderson," koreksi Damian, "Dia datang bersama pengacara. Mereka dalam perjalanan ke sini."William menghela napas dan tidak tahu apa yang diinginkan ibu tirinya itu, "Baiklah.""Ya, Tuan," kemudian panggilan itu terputus.William membereskan seluruh pekerjaannya dan menanti kehadiran Bradley. Meski kehadiran Bradley sama sekali tak William harapkan, ia tidak bisa mencegahnya. Bradley—bagaimana pun—masih istri sah Anderson yang membangun gedung ini. Dan semua orang segan padanya sama halnya mereka segan pada William dan Austin.Te
Tidak bisa dipungkiri, Clara merasa gelisah meski senang karena hari ini William membawanya ke dokter kandungan. Alaina merekomendasikan dokter yang juga membantunya mengurus persalinan Mikaela dulu. Austin ikut membenarkan bahwa dokter Evi akan menjadi dokter yang terbaik."Bayangkan jika dokter itu menyingkap rok Clara," ujar Austin pada William.William jelas bergidik seketika. Dirinya mendukung saran Austin untuk mempengaruhi pikirannya supaya memilih dokter wanita. Ia menerima saran saudara kembarnya itu meski terkadang keduanya saling mengumpat. Sebenarnya, William benci berada di sini, di rumah sakit. Ia benci bau obat-obatan. Ia juga benci perasaan cemasnya padahal ini hanya kunjungan biasa.William dan Clara duduk di ruang tunggu. Menunggu bersama para ibu hamil lainnya dengan perut membesar."Jangan merecokiku!" kecam William pada teleponnya. Sejak kedua kakinya melangkah masuk ke dalam rumah sakit, William begitu sibuk dengan ponselnya. Clara sempat berpikir jika jadwal tem
William memarkir mobilnya di depan rumah Austin. Jazzy berlari menghampiri ketika melihat mobil William memasuki teras."William!" seru Jazzy. Wajahnya tercoreng tanah, begitupun dengan bajunya, "Aku menanam mawar. Itu tugas sekolah, tapi aku menjadikan taman ini penuh dengan mawar. Tebak aku menanam warna apa?" tanyanya sembari memperlihatkan satu tanaman dalam pot yang di bawanya.William terlihat berpikir dan melirik Clara sejenak seperti sama antusiasnya untuk menebak, "Merah," jawab William ragu."Payah!" cecar Jazzy."Itu pink," tunjuk Clara, "Perempuan suka pink. Ya, kan?" Clara mendengus menatap William dan bertanya pada Jazzy soal pemikirannya.Jazzy mengangguk setuju mendengar jawaban Clara, "Semua perempuan suka pink, William," Jazzy terlihat gusar pada William yang tidak bisa menebak. Bocah sepuluh tahun itu tidak memeluk dirinya seperti biasanya dan justru berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan jejak tanah yang tercecer."Apa?" tukas William. Ia merasa bahwa Clara memu
"Bagaimana bisa seperti ini?!"Baik Alex maupun Damian hanya bisa menunduk dalam-dalam. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk menyela amarah William ketika melihat hasil laporan rapat beberapa minggu yang lalu.William membolak-balikkan halaman dan terlihat gusar melihat hasil laporan yang telah di setujui dan berjalan tanpa mempertahankan ijin darinya. Meski di dokumen itu tercetak jelas bahwa Bradley yang bertanggung jawab, tapi mengambil langkah sepihak seperti ini jelas salah. Wanita tua itu sudah keterlaluan dan menguji ambang kesabarannya untuk menghadapinya."Kalian berdua bekerja padaku!" bentak William, "Aku yang menggaji kalian. Secara teknis, aku menggaji semua orang di gedung ini. Tapi tak ada satupun orang yang memberitahuku soal ini. Sudah berjalan berminggu-minggu dan sialnya aku memergokinya dengan membaca laporan yang harus kutelusuri sendiri. Aku tidak mengerti mengapa kalian tak memiliki loyalitas untuk ini.""Maaf, Tuan," cicit Damian, "Nyonya Anderson ya
Clara menatap punggung William hingga pintu ruangan tertutup dan melenyapkan sosoknya. Mendadak ruangan ini terasa sangat sepi dan entah bagaimana Clara baru menyadarinya. Ia juga tak mengerti mengapa William membuat satu lantai penuh hanya untuk ruangannya. Meja Alex dan Damian yang bersisihan kosong dan Clara menebak jika kedua lelaki yang selalu sopan padanya itu sedang mengikuti William.Clara mulai meletakkan kotak-kotak makanan di atas meja, lalu menjauh dari aroma menggiurkan itu. Tangannya mulai gatal untuk segera mencomot apapun yang ada di dalam kotak itu karena makan mulai menjadi kebiasaannya sejak hamil. Terkadang ia mulai lapar tanpa tahu waktu dan membuat matanya terjaga sekedar mencari-cari makanan di dapur. Beruntungnya, stoples kue selalu memenuhi meja dan Clara tidak pernah menolak macam-macam makanan.Hanya kali ini saja Clara ingin menahan diri. Ia menunggu William dengan setia meski aroma didalam sana memanggilnya. Ia telah memasak ini dan spesial untuk William.
Selama dua puluh empat tahun perjalanan hidupnya, baru kali ini William memaknai arti rumah yang sesungguhnya. Dan baru kali ini juga dirinya sangat ingin kembali ke rumah Austin.Rumah, baginya memiliki kesan mengolok ketika kehidupan di masa lalunya bersama ibunya berjuang susah payah. Sedang pagar pembatas seperti sangkar emas memberinya jarak. Rumah, juga memberi kesan sempurna di mana William berada.Tapi sekarang ini, yang William butuhkan adalah pulang. Ia membutuhkan Austin dan tidak bisa meninggalkan Clara untuk kedua kalinya.Clara mengerjap begitu merasakan tubuhnya melayang dan turun dari mobil. Punggung tangannya mengusap air mata yang membasahi pipinya sejak turun dari gedung. Sedikitnya perasaan tenang mulai melingkupi meski suaranya parau, "Kenapa kita ke sini?"William tersenyum dan menenggelamkan wajah Clara di dadanya seraya menyusuri halaman rumah DO. "Pertama-tama, istri dan bayi-bayiku butuh makan siang."Clara menarik napas."Kedua, dalam waktu dekat ini, aku in
William mendapati dirinya berada di ruangan gelap. Telinganya berdengung seolah tempat ini adalah lorong sempit yang menggemakan suara. Sedikit menggerakkan kakinya pun ia tidak bisa, namun masih bisa menutup telinga dengan tangan karena dengungannya semakin menyakitkan. Kemudian, dalam keremangan itu ia bisa mengenali sosok di hadapannya. Clara sedang memeluk seorang anak—anak-anak kecil lebih tepatnya. Tatapannya menjurus pada William penuh harap dengan kaki yang duduk bersimpuh."Tolong lepaskan." Suara Clara merintih.William hampir merangsek maju, namun sial, lagi-lagi kakinya tidak dapat di gerakkan. Suaranya tak bisa keluar dengan lidah kelu membuatnya kian ketakutan. Clara menangis tersedu-sedu bersama anak-anak kecil itu dan William tidak melakukan apa-apa.***William tersentak dari tidurnya. Napasnya terengah-engah dan keringatnya mengucur. Ia mencoba mengatur napas. Paru-parunya butuh udara secepatnya. Matanya memproses keadaan sekitar dan kelegaan serasa melingkupinya.Bu
Aroma sup jamurnya menguar memenuhi udara. Clara menyajikan sup itu di mangkuk dan memberi taburan bawang goreng di atasnya. Semuanya telah siap dan Clara tinggal menyuruh Nancy yang sedari tadi hanya menonton—itu termasuk permintaannya untuk tidak ikut serta membantu menyajikannya di atas meja. Clara masih patuh akan peringatan William untuk jangan membawa barang berat. Meski Clara sangat ingin keras kepala menentang tapi tidak juga ia lakukan."Mau mencicipi, Nancy?" tawar Clara.Wanita empat puluhan itu menggeleng, "Sudah, Nyonya," jawabnya sambil tersenyum.Clara terkikik, "Kudengar taco buatanmu adalah favorit William.""Bukankah taco kegemaran Tuan William sudah berganti?"Clara merona. Ia tidak tahu dari siapa Nancy mendengarnya atau memang sedang menggodanya. Tapi mengingat wajah William yang selalu lahap makan, membuat Clara merindukan lelaki itu.Astaga, apa yang terjadi padanya? Saat ini ia ingin sekali melihat William makan."Aku ingin William segera memakan sup ini," guma
Clara merasa jika loncatan dalam hidupnya terjadi begitu cepat. Sekarang siapa yang menyangka jika pada akhirnya Clara berada di sini, di sisi William Anderson yang arogan dan konvensional tapi tidak dipungkiri jika Clara pun mencintai pria kaku ini. Clara tidak akan menjadi munafik sekadar mengakui jika dirinya memang takut kehilangan William. Setelah kesepian seorang diri dan ditemukan dengan William, pelangi yang tidak pernah Clara lihat nyatanya memang seindah itu."Memikirkan apa?"Malam adalah waktu yang tepat bagi Clara dan William menghabiskan waktu bersama. Sudah sejak dulu kala pillowtalk menjadi pilihan keduanya untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain dan apa-apa saja yang sudah dilalui hari ini. Bersama mau pun tidak, dekat atau jauh mereka berdua akan selalu terhubung satu sama lain. Bahkan semesta seperti memberi dukungan untuk keduanya melakukan hal itu."Keringkan rambutmu dengan benar."William baru selesai dengan urusan mandinya. Hari ini William pulang agak laru
"Sejak dulu mereka selalu penurut. Kamu membuatku iri melihat bagaimana mereka tumbuh dengan baik." Alaina datang dari arah pintu garasi yang membuat Clara terpekik kaget sekaligus senang. "Kapan datang? Kamu tidak memberi kabar akan datang." Clara memanyunkan bibir persis seperti bocah tidak diberi permen keinginannya. "Bagaimana kabarmu?" Clara bertanya karena melihat lingkaran hitam di bawah mata Alaina kentara terlihat. "Berhenti mengomeliku!" Alaina duduk di kursi dekat Clara dan tersenyum tipis. "Aku sedang iri dengan caramu mendidik mereka. Tahukah kamu bahwa Kaela bukan lagi Kaela yang aku kenal? Dan ya aku baik. Aku ini orang paling handal dalam menjadi diri." Clara tidak punya daya untuk membela atau membenarkan kisah hidup yang Alaina alami dengan segala keputusan yang menurut orang dewasa matang tapi bagi Kaela itu tidak adil. Menjadi dewasa memang memusingkan sejak dulu kala dan Clara membenarkan hal itu. Dan apa pun yang Alaina katakan semuanya terasa sangat menyesa
Pancake buatan Clara selalu menjadi favorit William. William bahkan bersumpah jika seumur hidupnya dia mau menikmati pancake buatan Clara setiap harinya. Namun berbanding terbalik dengan kedua putranya yang memandangi pancake itu diikuti hidung mengkerut tanda tidak sukanya."Kenapa?" William menyeruput kopi hitamnya setelah menelan pancakenya. "Kalian akan protes tentang masakan mama dan apa yang sudah papa beri? Kalian tidak mau mensyukuri itu?" William bukan tipe orang tua keras yang akan langsung menghakimi tindakan anaknya. William hanya bersikap tegas untuk membuat anak-anaknya merasa ditegasi."Aku merasa kenyang papa." Alex mengutarakan yang dirasakannya. "Pancake buatan mama bukannya tidak enak tapi bukan termasuk favoritku.""Lalu, apa makanan favoritmu?" tanya William santai dan memasukan lagi potongan pancakenya. "Ah, kamu menyukai makanan cepat saji seperti sampah yang akan membuatmu tidak hidup sehat, begitu?""Bukan begitu papa." Kali ini Axel membuka suaranya yang leb
Sudah memutuskan menikah, artinya sudah memperkirakan apa saja yang akan terjadi. Bukan hal aneh jika sekarang banyak yang melakukan perjanjian pranikah sebelum akhirnya berhadapan dengan pendeta dan Tuhannya. Itu juga yang Clara pikirkan melihat kondisi dewasa saat ini. Meski pernikahannya bersama William terbilang singkat, jelas, dan padat bukab berarti tidak ada masalah yang menerpa kehidupan rumah tangga mereka. Perjalanan mereka terbilang penuh liku. Bukannya tidak mensyukuri sudah diberi bahagia sampai sejauh ini. Clara hanya ingin berbagi cerita, kisah dan mungkin sedikit nasihat. Bahwa sebelum meyakinkan diri untuk terikat dalam sebuah komitmen yang panjang maka pikirkanlah matang-matang. Menikah tidak sekadar memiliki ikatan dan merubah status namun juga menyatukan dua kepala dalam satu pemikiran. Agar tidak timbul ego untuk menang sendiri dan merasa paling benar."Apa yang kamu pikirkan?"William selesai dengan mandinya. Hari ini William pulang lebih awal karena tidak ada p
Kehidupan Clara dan William yang sesungguhnya baru dimulai. Ketiga anaknya telah beranjak dewasa dan William punya kesibukan yang selalu tak terduga. Clara merasa kesepian tapi selalu ditepisnya. Beruntungnya ada Valerie dan Stella yang bisa menjadi temannya."Kalian sudah berkenalan?" Clara sedikit terkejut saat Valerie dan Stella jauh lebih akrab dari bayangannya. "Aku senang mendengarnya. Jadi Stella, ada kue apalagi di tokomu?""William memberiku resep.""William?" Clara terperangah tidak percaya. "Manusia es itu berubah jadi baik dan memberimu resep?""Yang tidak pernah aku duga-duga. Manusia itu bukan lagi sedingin kutub, dia mulai hangat.""Aku tidak percaya ini.""Aku juga. Tapi ini kenyataan yang terjadi. Dia sungguh memberiku resep kue dan setelah aku sajikan di etalase semua pelanggan menyukainya.""Kamu harus membaginya padaku. Aku juga ingin tahu rasanya. Sebaik apa resep kue dari William sampai-sampai dia sangat pelit." Clara menyesap kopi panasnya sambil membayangkan ra
Kata berakhir tidak benar-benar selalu berakhir. Buktinya Clara dan William menemukan sebuah kehidupan sulit meski bukan dari dirinya langsung. Adalah Valeria yang terpuruk karena Justin, kekasihnya, yang bimbang ingin membersamai siapa. Belum lagi dengan fakta di mana Valeria menyembunyikan kehamilannya.Valerie hanya diam mematung menatap langit sore yang mulai kekuningan. Sunyi di rumah Clara adalah yang biasa karena anak-anaknya belum kembali dari tempat les. Tapi bagi Valerie itu sebuah penyiksaan. Dan dengan sabarnya, Clara ikut diam duduk di kursi santai.Jika melepas adalah ungkapan kata yang selaras dengan tindakan, bisa jelaskan padaku adakah rasa sakit? Jika ada, bisakah berhenti dan biarkan genggaman tangan ini tetap bertaut. Aku tak bisa—walau aku sudah memaksa. Genggaman tangan ini, kau tahu? Meski ini erat, kehangatan yang tersalur bahkan tak mampu memberi ketenangan, sedikit pun.Kau tahu soal sakit tapi tak berdarah? Sepertinya inilah definisi rasa sakit tapi tak meng
“Karena semuanya sudah berakhir …” Bradley mengembuskan napasnya. Wanita paruh baya itu ada di kediaman Clara dan William. Sedang bersama dengan Axel, Alex, Alexa, dan Michael. Menunggu Alaina yang baru saja tiba. “Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Aku juga tidak tahu ingin mengatakan ini sebagai apa. Tapi setidaknya kau lebih beruntung mengambil keputusan. Tidak apa, mungkin ini yang terbaik. Kau punya rencana?”Alaina menggeleng sebentar dan berpikir. Wajahnya terlampau tenang dan baik-baik saja padahal baru mengambil keputusan besar. Clara sampai terheran-heran di buatnya.“Ah, aku punya satu tempat di ruang terbuka. Di pinggiran kota yang lumayan banyak lalu-lalang pelancong. Mungkin, aku bisa membuka toko kue di sana. Menjajakan kue-kue buatanku.”Semuanya terdiam. Alaina juga terdiam bahkan William yang menjadi pria satu-satunya di sana juga terdiam. Lalu berdeham setelah melirikkan kedua matanya ke kanan dan ke kiri.“Kau bilang ingin kembali ke Ontario.”
Karena tidak semua kisah harus berakhir dengan bahagia. Meski permulaan selalu membahagiakan. Tapi sudah konsekuensi dari setiap pertemuan selalu ada perpisahan.Alaina memaknai perjalanan hidupnya seperti itu. Toh itu sudah di catat sejak dulu kala. Sudah menjadi hukum alam bahwa kehidupan yang kita jalani akan ada pengakhiran.Sama halnya dengan selembar kertas yang sudah Alaina bubuhkan tanda tangannya. Pada akhirnya, pertemuan manisnya dengan Austin dan perjalanan susah senang yang dilaluinya harus ada di titik ini: berpisah.Alaina sudah memaafkan, andai itu dijadikan pertanyaan mengapa bisa ada perpisahan.Mengenai Austin yang berselingkuh, Alaina menutup bukunya rapat-rapat. Ada banyak pertanyaan yang ingin Alaina ajukan. Termasuk; apa kurangnya Alaina. Bukan itu saja, Alaina juga ingin menanyakan perihal apa maunya Austin sehingga bisa berbuat seperti ini. Tapi alih-alih mengucapkannya, Alaina justru menemukan dua fakta yang lebih berguna. Pertama, Alaina merasa happy dan bers
Sesi pillowtalk milik Clara dan William setiap malam selalu terjadi. Sesibuk apa pun William, akan ada waktu penting seperti ini untuk ketiga anaknya dan Clara. William hanya menyadari sesusah apa untuk mempertahankan setelah mendapatkan dan enggan untuk bermain-main dengan sesuka hati. William hanya menjaga dan diimbangi oleh Clara.“Apa lagunya?” tanya William dengan melingkarkan tangan kekarnya di perut Clara. Yang masih ramping dan seksi meski sudah melahirkan tiga anak sekaligus.“Pillowtalk. Sesuai dengan hobi kita.” Clara ciumi telapak tangan besar William. Telapak tangan yang sudah sangat bekerja keras untuk keluarga ini dan menjaga Clara serta ketiga anaknya.“Out Of Love, bagaimana?” William ingin mendengarkan lagu itu. Yang terdengar lembut dan ingin segera memejamkan kedua kelopak matanya dalam dekapan Clara. “Hari ini melelahkan,” ucapnya.Clara memutar lagu sesuai yang William mau dan mengelusi tangannya yang melingkar di perutnya.“Sesuatu yang buruk?”Komunikasi antara