Salsabila Putri senang ketika pagi-pagi sudah berada di kampus. Artinya dia bisa melupakan persoalan rumah tangganya. Terlepas dari segala tugas, universitas ini bagai rumah kedua. Salsa betah dan menyukai setiap sudut tempat. Dia berjalan menikmati pemandangan sekitar. Melihat gedung fakultas dan taman yang luas. Menghirup udara segar sebelum jam pelajaran mulai. Salsa menyukai pemandangan mahasiswa yang sedang mengobrol seru dan tertawa. Lalu dia akan tersenyum sendiri karna ikut terhibur. Sungguh, seperti tanpa beban.Ada sepasang kaki lain yang tiba-tiba menemani langkahnya. Salsa menoleh. "Hai, Sa."Itu Albyan. "Ada apa Kak Al?" "Gak ada apa-apa." Jika sebelumnya Salsa langsung pamit undur diri saat di dekatinya, kali ini tidak. Terus berjalan, tidak peduli Albyan tetap bersama di sampingnya. Salsa memutuskan duduk di kursi panjang terdekat, Albyan mengikuti. Gadis itu diam. Albyan tersenyum Salsa tidak menjauhinya. Dia ingin sekali mengajak mengobrol. "Liana belum datang?
Area Time Zone di Plaza cukup ramai pengunjung. Tidak hanya anak-anak, diantaranya ada orang dewasa. Keceriaan dan rasa gemas dipertunjukkan mereka yang tengah bermain. "Kamu udah ijin kan, Sa?" Liana melemparkan bola basket ke ring tapi meleset. Dia melirik Salsa sekilas di samping. Gadis itu pun sama tengah bermain bola basket dan sedang melemparkan ke keranjang. "Udah." Salsa menjawab gemas, bola basketnya sama meleset. Pandangannya terus fokus ke depan. Dia mencobanya lagi memasukkan lebih cepat, Liana juga. Mereka berseru saat bola bisa masuk dan gemas saat meleset. Backsound yang terus mengalun di sekitar mampu membakar semangat dan menciptakan rasa bahagia tersendiri. "Gimana, seru kan, Sa?" Albyan sama sedang menikmati game basket di sisi Salsa satunya. Dia sudah banyak memasukkan bola dan dapat poin banyak. Salsa mengangguk seraya tersenyum lebar pada lelaki itu. Dialah dalang yang sudah mengajak pergi. Salsa dan Liana bisa main sepuasnya gratis. Albyan yang membelikan m
"Pacar kamu?""Iya. Gimana, cantik kan, Ma? Pake hijab juga sama seperti mama." "Iya ... mama suka liatnya." "Maaf tante, saya bukan--" Ucapan Salsa tidak dilanjut, Albyan menarik tangannya hingga dia sedikit mundur. "Tolong, jangan katakan apapun. Mamaku pengen banget aku punya pacar kaya kamu, Sa. Bekerja samalah denganku untuk bersandiwara sementara." Albyan mengatakan itu sangat pelan dan hati-hati. "Tapi--""Sa ... pliis, mamaku lagi sakit. Kamu sudah di sini, jangan buat mamaku sedih." "Kenapa?" Mereka menghadap perempuan sakit itu kembali saat mendengar suaranya. "Gak apa-apa kok, Ma." Albyan menggenggam tangan sang mama. "Siapa namanya tadi?" "Salsa, Ma." "Salsa ... cantik orangnya." Mama Albyan melirik Salsa. Tersenyum padanya, walau kelihatan lesu. "Nyari pasangan itu seperti ini, Alby ... Mama gak suka kamu sama gadis seksi. Mama mau kamu punya istri seperti Salsa." "Ya, Ma. "Mama bisa pergi dengan tenang kamu sudah mau menuruti mama ....""Jangan bilang gitu, Ma
Imam sudah berada di atas motor dan sedang memanaskan mesin. Salsa baru keluar dari dalam rumah. Dia memegang helem hendak dipakai. Rasidah sehabis dari warung menenteng plastik hitam berukuran sedang berhenti di dekat motor anaknya. "Sudah sarapan, Mam?" Imam yang sudah menutup kaca helem dibuka lagi melihat Ibunya. "Sudah." Salsa mendekati Ibu Mertuanya hendak cium tangan. "Bu, Salsa berangkat kuliah dulu." Dengan enggan Rasidah mengulurkan tangannya. "Selesai kuliah langsung pulang sama Imam, jangan kelayaban terus!" ketus, Rasidah mengatakan itu. Salsa tersentak. Ibu Mertua sangat jutek. Tidak mau melihat padanya, hanya perhatian pada Imam saja. "Ya, Bu."Perempuan itu pergi. Salsa menepis rasa ketidak nyamanan dan rasa jadi seperti orang asing diabaikan Ibu Mertua. Dia memakai helem dan menaiki motor. Suaminya tahu sikap tidak ramah Ibunya, tapi memilih diam. Sepanjang perjalanan mereka berdiaman hingga sampai di tempat yang dituju. Salsa turun, membuka helem menyerahkan pada
Imam terjaga dari tidur mendengar suara rintihan Salsa. Bergegas beranjak dari sofa, melihat istrinya di kamar. Gadis itu menggigil, bibirnya bergetar, wajahnya meringis dan sangat gelisah. Imam menyentuh keningnya. "Astagfirullah ...." Kulit Salsa panas. Gadis itu terus mendesis merasakan hawa tidak enak di sekujur tubuh. "Kamu demam, Sa. Minum obat, ya?" Salsa tidak merespon. Matanya terus memejam meski sebenarnya tidak bisa tidur. Imam menjauh dari ranjang. Melihat jam dinding di ruang depan sudah pukul sebelas malam lewat. Motor di samping sofa dikeluarkan. Lelaki itu pergi untuk mencari obat pereda panas di apotek 24 jam. Imam buru-buru pergi dari apotek setelah mendapat obat. Kembali berkendara di jalan dan sampai rumah. Motor langsung dimasukkan lagi ke dalam lalu mengunci pintu. "Aa udah beliin obat, kamu minum obatnya, ya." Plastik berisi obat itu ditaruh di dekat Salsa. Imam ke dapur sebentar mengambilkan air minum hangat. Dia menyingkirkan sedikit selimut Salsa membant
Salsa beranjak dari duduk saat Albyan datang membawakan minum. "Mau ke mana, Sa?" "Aku mau pulang." "Masa baru datang mau pulang? Minum dulu." Albyan menaruh gelas minum itu di meja lalu duduk. "Kemari, Sa, ngobrol sebentar sama aku." "Aku pulang aja, Kak Al." Gadis itu tidak menghiraukan, tetap ingin pergi. "Tunggu, Sa." Albyan beranjak lagi dari sofa mencegah Salsa yang hendak keluar. "Kamu pulang sama siapa?" "Mau naik ojek.""Aku anter aja, ya?""Ngga usah.""Yaudah, aku pesenin ojeknya dulu, kalo gitu." Albyan mengeluarkan ponsel dari saku celana levisnya. "Kamu duduk dulu, tunggu sebentar sampai ojek itu kemari. Gak lama kok."Melihat Albyan yang tampak serius mengotak-atik ponselnya, Salsa duduk kembali. Tidak jadi melangkah. "Minum dulu, Sa." Gadis itu menatap gelas di hadapannya. Albyan melirik sedikit tegang menanti. Dia tersenyum saat akhirnya Salsa menggapai gelas itu. Meneguk pelan air minum, hingga sisa setengah. Jari-jari Albyan memencet asal ponsel. Memesan oj
Lelaki itu bingung. Antara sakit hati atas apa yang terjadi dan rasa ingin tahu sang Ibu yang mendesaknya. Haruskah dia membeberkan semua? Menceritakan pernikahan mereka yang masih seperti pacaran. Juga hal yang sudah menimpa Salsa atas kelalayannya. "Kamu bilang Salsa hampir diperkosa. Oleh teman lelakinya itu?" Imam mendongak sedikit melebarkan mata. "Ibu denger semua, Mam. Kamu tinggal jujur sama Ibu." Imam menghela napas berat. Hatinya kembali tersayat-sayat diingatkan apa yang sudah dilihatnya. "Ada apa, Mam? Kenapa dengan Salsa sebenarnya?" "Sebenarnya ...." "Katakan, jangan ragu. Masalahmu sudah bukan hal kecil. Kamu tampak tersiksa, Nak. Ibu bisa lihat itu. Jangan terus dipendam sendiri." Sekali lagi Imam menarik napas dalam, mempersiapkan diri untuk menguak apa yang selama ini diselimuti dalam pernikahannya. Entah apa yang dilakukannya salah atau tidak. Imam merasa semakin ke sini harinya dirasa semakin berat. Ditambah sang Ibu sudah mengetahui, dia hanya tinggal mengko
"Kenapa?""Denger sendiri kan, Ibu Aa benci aku? Aa juga marah sama aku ... aku ini istri yang buruk." Gadis itu menuju kamar, mengemasi baju-baju ke tas. Dia tidak betah hidup dilingkungan mertua tapi dimusuhi. Salsa merasa sendiri, semua orang di sini tidak menyukainya. Termasuk Imam, jadi bersikap dingin. "Sekarang sudah malam." Imam mencegah tangan Salsa yang hendak mengambil baju lagi di lemari. "Aku mau pulang ... Ibu Aa nggak suka sama aku. Dia bahkan nyuruh kita--" Ucapan Salsa tidak tuntas, Imam menaruh telunjuk di bibirnya. "Kamu boleh pulang. Tapi, besok. Jangan sekarang." Salsa terdiam sejenak lalu mengangguk. Imam menghapus air matanya yang masih bercucuran. "Sudah, jangan nangis." Setelahnya dia meninggalkan istrinya itu keluar. Imam tidak sehangat biasanya sejak kemarin dan cenderung menatap datar. Sentuhannya kaku. Bukannya berhenti, tangis sedih Salsa mengalir lagi. "Ibu ...." Dia sebut nama itu. Merindukan sosoknya. Imam duduk di pembatas depan mengeluarkan seba
Perut rata Salsa sudah terlihat besar di usia kandungannya yang ke enam bulan. Mual, pusing, tidak terasa lagi. Kini, dia lahap makan apapun. Tidak melulu harus bubur atau sayur sup lagi. Membuat tubuhnya semakin berisi. "Widih, bumil kerjanya makan mulu sekarang." Faisal memasuki rumah mendapati Salsa tengah menyantap mie ayam. "Biarin." Salsa menimpali ketus dan hanya melihatnya sekilas. Terus melanjutkan makan. "Udah nggak cengeng lagi, ya." Ucapan Faisal tidak ditanggapi lagi. Lelaki itu melirik Imam di belakangnya. "Mam, siap-siap aja disuruh beli ini itu." Imam tersenyum. Memang benar, mie ayam itu pun dia yang belikan. Saat ingin sesuatu Salsa selalu meminta kepadanya. "Rese banget sih, Aa Isal. Nggak usah ngeledek aku." "Siapa yang ngeledek?" "Nggak usah ember itu mulutnya. Orang Aa Mpi sendiri nggak keberatan kok, ngebeliin sesuatu untuk aku. Iya, kan A?" Imam mengangguk. "Abisin mie ayamnya.""Iya, Aa, aku pasti abisin kok." Salsa menjawab tersenyum manis. Faisal p
"Aa perut aku nggak enak." Salsa merengek manja pagi-pagi buta. Imam baru selesai solat subuh melipat sarung. Menghampiri istrinya yang meringis merasakan mual sambil mengusap-usap perut sendiri. "Hoek!" Imam baru akan menyentuh tidak jadi, Salsa menepi dari ranjang mengeluarkan isi perutnya pada wadah ember kecil di bawah. Imam menyediakan itu biar tidak bolak-balik kamar mandi. Tengkuk Salsa dipijatnya pelan. Memberikan selembar tisu ketika berhenti muntah. Salsa mengelapi mulutnya sendiri diliputi kesal. "Nggak enak, Aa ...." "Ya ... gimana, Sa. Emang begitu kan hamil muda?" Imam sendiri bingung menanggapinya dan kasihan. Dia memang tidak merasakan apa yang Salsa alami. Semenderita apa tidak tahu, tapi dia mencoba terus memberikan perhatian terbaik untuknya. "Aa ambilin air anget, ya? Tunggu sebentar." Imam ke luar kamar.Di dapur dia menuangkan air panas dari termos, mencampurkan sedikit air dingin. Lalu membawa gelas minum tersebut untuk Salsa. Istrinya itu sudah kembali mer
Menghirup aroma masakan tiba-tiba Salsa mual, dalam perutnya mendorong rasa ingin keluar. Dia yang baru ke dapur buru-buru masuk kamar mandi. Muntah. Masitah menghentikkan gerakakkan tangan membolak-balik ayam kecap di wajan. Cepat menoleh ke arah kamar mandi dan mendengarkan suara Salsa. "Salsa kenapa, Bu?" Imam juga mendengar dan langsung ke dapur. "Ibu kurang tau, Mam. Tiba-tiba Salsa pergi ke kamar mandi dan muntah-muntah. Apa mungkin Salsa ... hamil?" "Hamil?" "Iya. Apa dia telat datang bulan?"Imam mengingat-ingat. Sudah satu bulan lebih Salsa tidak datang menstruasi. Hingga dia leluasa menggauli. Tanpa libur. "Benarkan, Salsa nggak dapat mens?" Imam mengangguk. "Mam, kalo begitu kamu bawa periksa Salsa ke bidan, ya?" Masitah mematikan kompor, berkata semringah. "Iya, Bu." Terdengar Salsa masih muntah, Imam lekas menghampiri. Mengetuk pelan pintu kamar mandi. Perasaannya campur aduk. Antara ingin tersenyum juga panik. "Sa? Buka pintunya." Terdengar guyuran air, tidak
"Bibir kamu manis, habis makan apa?" Imam menyudahi kegitan mencium Salsa yang belum lama disentuh bibirnya. "Habis makan buah manggis." Salsa menunjukkan satu buah manggis utuh di hadapan wajah suaminya. Diambil dari bawah sofa. "Pantes." "Hehe. Kenapa A?" "Cuma penasaran aja itu rasa apa." "Aa mau? Aku suapin." "Boleh, tapi suapinnya pake bibir kamu." Imam mengerling. "Aa mah ... nanti ketahuan Ibu. Barusan Aa main nyosor aja." "Ibunya juga lagi di luar." "Kalo Ibu tiba-tiba masuk gimana? Udah, Aa pergi lagi ke bengkel. Jangan kelamaan istirahatnya. Dari sini ke bengkel Aa kan lumayan jauh.""Cukup lima belas menit kalo bawa motornya cepet." "Aa jangan ngebut bawa motornya." "Iya, Sayang." Imam menjawil pipi Salsa gemas. Perempuan itu meringis kesakitan. "Aa tuh kebiasaan. Suka nyubit pipi aku." Bibir Salsa manyun sebal atas tindakkan suaminya. "Jangan dimanyunin gitu dong bibirnya. Nanti Aa nggak bisa jauh-jauh. Nanti Aa nyosor lagi." Salsa melemparkan bantal sofa pa
"Kamu beneran nggak mau nginep di sini, Sa?" "Nanti aja. Aku baru ninggalin Ibu lama.""Yaudah, kita pamit dulu sama Ibu Aa." "Aa ...." Imam menoleh, Salsa menahan ujung kaosnya yang hendak keluar kamar. "Kenapa?" "Aku malu sama Ibu Aa." Lelaki itu terdiam. Bukan hanya istrinya, dia sendiri pun merasakan itu. Dipergoki sedang berhubungan dalam keadaan setengah telanjang. Hampir hasratnya padam karna gangguan itu. Dia ceroboh tidak mengunci pintu dulu. Lupa saat istirahat siang ibunya selalu menyapa jika ada di kontrakan. Salsa tadinya ingin menyudahi. Tapi, Imam tahan dan mencoba cuek. Dikecup bibirnya, dimanjakan lagi Salsa demi membuatnya nyaman. Hingga keduanya bisa mereguk manisnya puncak bercinta. Itu adalah kegiatan pertama mereka berhubungan suami istri di rumah kontrakan. Imam tidak ingin menyia-nyiakan keberadaan Salsa di sana. Mengajak bermesraan meski siang-siang. Habis itu barulah mereka makan. Imam langsung ke bengkel tanpa ke rumah Rasidah dan Salsa kembali mengur
"Assalamualaikum!" Salsa mengetuk pintu rumah. Masitah memutar kunci dan menarik hendel. "Waalaikumsalam. Salsa, udah pulang?""Ya, Bu." Dia memeluk ibunya sekilas. "Masuk, Sa. Ajak suamimu ke dalam." Imam menyalaminya. Lalu masuk mengikuti dua perempuan itu. Salsa duduk bersandar di sofa. Menikmati lelah sehabis perjalanan. Imam menunda tas besar dan satu jinjingan berisi buah tangan di bawah. Lelaki itu duduk di samping istrinya. Menghela napas tenang sudah selamat sampai tujuan. "Kalian pasti lelah, Ibu ambilin minum, ya." Masitah bergegas ke dapur. Salsa sudah duduk tegap ingin menolak, tapi ibunya keburu pergi. Perempuan itu pun bersandar kembali di sofa. Menoleh saat merasakan sentuhan di pipi. Imam sedang ke arahnya. "Padahal, kita masih ada jatah dua hari, tapi kamu malah mau pulang." "Aku nggak enak Aa libur kelamaan dan ngabisin banyak duit Aa. Lima hari di luar aku udah cukup kok." Mereka hanya dua hari menginap di pantai dan tiga hari di villa. Pukul sembilan malam m
"Apaan sih, Aa. Aku mau solat?!" Salsa berusaha bangun. Imam menahan bahunya. Tubuh Salsa yang setengah terbangun dibaringkan lagi. Lelaki itu mengamati wajah terus turun ke bawah. "Seksii. Kamu sangat menggoda, Sa." "Aku baru abis mandi, Aa Mpi jangan apa-apain aku deh." "Kalo Aa pengen gimana?""Katanya capek, katanya nyuruh aku solat, malah ganggu sekarang." Salsa ingin menutupi tubuh polosnya. Tangannya meraih handuk, namun direbut Imam. "Aa!" Lelaki itu tersenyum menyeringai. Menyentuh dada Salsa menatapnya penuh damba. "Betah Aa liatnya." Dia cepat menunduk menikmatinya. "Aa stop." Salsa menarik rambut Imam menjauhkan. Rasanya memang selalu enak setiap diperlakukan begitu. Tapi, Salsa ingin beribadah solat tidak mau mandi lagi. "Masa Aa mimi sama kamu nggak boleh?""Aku mau solat Aa. Kan tadi Aa sendiri yang nyuruh. Aa tuh suka pura-pura, yah. Pura-pura tidur tadi, sekarang pura-pura lupa suruh aku solat." "Aa nggak lupa kok. Aa pengen aja seneng-seneng dulu sama kamu."
Pada uwaknya, Imam menyerahkan kunci villa sekaligus pamitan. Dia sengaja mendatangi kediamannya. Mengobrol sebentar di dalam rumah, lalu keluar hendak pergi lagi. "Padahal, bermalam saja dulu di sini, Mam. Salsa kan belum pernah menginap di rumah Uwak ini." Uwak perempuan menawarkan mereka untuk lebih lama lagi di kediamannya. "Iya, Mam. Kirain nggak bakal mau pergi cepet-cepet," timpal uwak laki-laki. "Nanti lain kali ke sini lagi. Terimakasih sebelumnya dan maaf kalo merepotkan. Villa masih agak berantakan." "Nggak apa-apa, Mam. Tamu emang nggak harus rapiin. Nanti sama Uwak dibersihin lagi." Uwak perempuan menjawabnya. "Kalo begitu, Imam pamit dulu." Imam cium tangan pada kedua uwaknya. Salsa juga menyalami mereka. "Nanti, ke sini lagi, ya, Sa." Uwak perempuan menyapa Salsa untuk terakhir kali sebelum pergi."Insya'allah, Uwak." "Ayo, Sa." "Iya, A." Kedua pasutri muda itu lekas ke motor yang terparkir di halaman. Masing-masing memakai helem dan membenarkan jaket, kemudian
"Besok kita pulang aja, A." "Loh, kenapa? Baru tiga hari." "Takut kelamaan libur dan ganggu usaha Aa." "Jatah libur kita paling sedikit seminggu. Ibu Aa dulu juga bilang begitu. Soalnya ini kan liburan pertama kita, Sa."Mereka tengah menikmati sarapan bubur ayam. Bubur di mangkuk Salsa masih banyak sedangkan punya Imam sudah tinggal sedikit. Lelaki itu memakan lebih cepat, tidak peduli meski masih agak panas. Istrinya menyendok satu suap saja mesti ditiup-tiup lama, baru dimasukkan mulut. Itu pun masih dikunyah pelan sebelum ditelan. "Nggak ganggu usaha Aa kok, Sa. Bengkel buka dijaga Wawan. Meski nggak full bisa ngerjain semua. Sebisanya dia." "Aku takut ngabisin uang Aa." "Aa punya tabungan. Aa udah bilang sebelumnya kan? Lagian, kita liburannya juga bukan ke luar negri atau luar pulau. Nggak ngabisin budget mahal." Imam sudah menandaskan bubur dan meneguk air minum di gelas. Mendorong mangkuk kosong bekas makan ke hadapannya sendiri. "Malah, Aa ditambahin juga sama Ibu Aa, Sa