Imam terjaga dari tidur mendengar suara rintihan Salsa. Bergegas beranjak dari sofa, melihat istrinya di kamar. Gadis itu menggigil, bibirnya bergetar, wajahnya meringis dan sangat gelisah. Imam menyentuh keningnya. "Astagfirullah ...." Kulit Salsa panas. Gadis itu terus mendesis merasakan hawa tidak enak di sekujur tubuh. "Kamu demam, Sa. Minum obat, ya?" Salsa tidak merespon. Matanya terus memejam meski sebenarnya tidak bisa tidur. Imam menjauh dari ranjang. Melihat jam dinding di ruang depan sudah pukul sebelas malam lewat. Motor di samping sofa dikeluarkan. Lelaki itu pergi untuk mencari obat pereda panas di apotek 24 jam. Imam buru-buru pergi dari apotek setelah mendapat obat. Kembali berkendara di jalan dan sampai rumah. Motor langsung dimasukkan lagi ke dalam lalu mengunci pintu. "Aa udah beliin obat, kamu minum obatnya, ya." Plastik berisi obat itu ditaruh di dekat Salsa. Imam ke dapur sebentar mengambilkan air minum hangat. Dia menyingkirkan sedikit selimut Salsa membant
Salsa beranjak dari duduk saat Albyan datang membawakan minum. "Mau ke mana, Sa?" "Aku mau pulang." "Masa baru datang mau pulang? Minum dulu." Albyan menaruh gelas minum itu di meja lalu duduk. "Kemari, Sa, ngobrol sebentar sama aku." "Aku pulang aja, Kak Al." Gadis itu tidak menghiraukan, tetap ingin pergi. "Tunggu, Sa." Albyan beranjak lagi dari sofa mencegah Salsa yang hendak keluar. "Kamu pulang sama siapa?" "Mau naik ojek.""Aku anter aja, ya?""Ngga usah.""Yaudah, aku pesenin ojeknya dulu, kalo gitu." Albyan mengeluarkan ponsel dari saku celana levisnya. "Kamu duduk dulu, tunggu sebentar sampai ojek itu kemari. Gak lama kok."Melihat Albyan yang tampak serius mengotak-atik ponselnya, Salsa duduk kembali. Tidak jadi melangkah. "Minum dulu, Sa." Gadis itu menatap gelas di hadapannya. Albyan melirik sedikit tegang menanti. Dia tersenyum saat akhirnya Salsa menggapai gelas itu. Meneguk pelan air minum, hingga sisa setengah. Jari-jari Albyan memencet asal ponsel. Memesan oj
Lelaki itu bingung. Antara sakit hati atas apa yang terjadi dan rasa ingin tahu sang Ibu yang mendesaknya. Haruskah dia membeberkan semua? Menceritakan pernikahan mereka yang masih seperti pacaran. Juga hal yang sudah menimpa Salsa atas kelalayannya. "Kamu bilang Salsa hampir diperkosa. Oleh teman lelakinya itu?" Imam mendongak sedikit melebarkan mata. "Ibu denger semua, Mam. Kamu tinggal jujur sama Ibu." Imam menghela napas berat. Hatinya kembali tersayat-sayat diingatkan apa yang sudah dilihatnya. "Ada apa, Mam? Kenapa dengan Salsa sebenarnya?" "Sebenarnya ...." "Katakan, jangan ragu. Masalahmu sudah bukan hal kecil. Kamu tampak tersiksa, Nak. Ibu bisa lihat itu. Jangan terus dipendam sendiri." Sekali lagi Imam menarik napas dalam, mempersiapkan diri untuk menguak apa yang selama ini diselimuti dalam pernikahannya. Entah apa yang dilakukannya salah atau tidak. Imam merasa semakin ke sini harinya dirasa semakin berat. Ditambah sang Ibu sudah mengetahui, dia hanya tinggal mengko
"Kenapa?""Denger sendiri kan, Ibu Aa benci aku? Aa juga marah sama aku ... aku ini istri yang buruk." Gadis itu menuju kamar, mengemasi baju-baju ke tas. Dia tidak betah hidup dilingkungan mertua tapi dimusuhi. Salsa merasa sendiri, semua orang di sini tidak menyukainya. Termasuk Imam, jadi bersikap dingin. "Sekarang sudah malam." Imam mencegah tangan Salsa yang hendak mengambil baju lagi di lemari. "Aku mau pulang ... Ibu Aa nggak suka sama aku. Dia bahkan nyuruh kita--" Ucapan Salsa tidak tuntas, Imam menaruh telunjuk di bibirnya. "Kamu boleh pulang. Tapi, besok. Jangan sekarang." Salsa terdiam sejenak lalu mengangguk. Imam menghapus air matanya yang masih bercucuran. "Sudah, jangan nangis." Setelahnya dia meninggalkan istrinya itu keluar. Imam tidak sehangat biasanya sejak kemarin dan cenderung menatap datar. Sentuhannya kaku. Bukannya berhenti, tangis sedih Salsa mengalir lagi. "Ibu ...." Dia sebut nama itu. Merindukan sosoknya. Imam duduk di pembatas depan mengeluarkan seba
"Bapak sakit?" Imam duduk bersama Ma'ruf, melihat macam-macam obat di meja yang sudah diminumnya. Dia tidak jadi langsung ke bengkel. Dititipkan dulu pada Wawan. Menemani sejenak bapak mertua yang sedang kurang sehat. Tubuh Ma'ruf tidak segagah terakhir bertemu, cenderung ringkih dan tampak payah. Diam di rumah tidak pergi ke toko kayunya. "Bapak cuma sesak napas." "Maafin Imam, Pak. Jarang ke sini. Jadi gak tau kondisi Bapak." "Harusnya Bapak yang minta maaf sama kamu. Tolong maafin semua kesalahan Salsa, Mam." Mata tua Ma'ruf melirik menantunya. "Bapak memang sudah memaksa Salsa menikah sama kamu. Karna Bapak percaya kamu laki-laki baik dan tepat untuknya." Imam tersenyum tipis. Sebenarnya dia tidak sebaik itu. Banyak aib dan tidak sempurna. Terbukti masa lalunya bisa menyakiti hati Salsa. Dia yang terpaksa jadi merana, lalu mencari hiburan lain yang sayangnya malah membuat citranya sendiri menjadi buruk. "Maafin Imam, Pak. Semua terjadi karna kesalahan Imam juga." "Tapi, kam
"Kalo nyetir mobil hati-hati, dong!" Albyan menggedor kaca mobil sedan silver yang sudah bertabrakan dengan Salsa. Kaca mobilnya terbuka."Maaf, Kak, a-aku emang lagi belajar bawa mobil." Gadis muda seumuran Salsa nampak ketakutan ditatap garang Albyan dan panik. Bicaranya tergagap. "Tanggung jawab! Bawa korban ke rumah sakit.""I-iyya, Kak. Iya." Albyan kembali menembus orang yang mengerumuni Salsa. Mengangkat tubuh terkapar gadis itu hendak memasukkan ke mobil. Si penabrak membukakan pintu. Salsa disandarkan di dalam. "Masuk, biar gue yang nyetir." "Ya, Kak." Si pemilik mobil masuk menemani Salsa. Albyan menempati kursi kemudi. Orang-orang sekitar menepikan motor Salsa dari jalan dan memberikan barang-barangnya di masukkan ke mobil. Motor Albyan sendiri dititipkan ke salah satu warga dekat lokasi kejadian."Bukain helemnya." Gadis sipenabrak langsung menuruti Albyan mencopot helem Salsa. Hidung Salsa mengeluarkan darah, tapi kepalanya tidak kenapa-napa. "Aku nggak sengaja ...."
Teman-teman sefakultas Salsa berpamitan setelah melihat kondisinya. Dua orang perempuan dan dua laki-laki ke luar ruangan lebih dulu. Hanya Liana yang masih di dalam bersama ibu dosen pembimbing mereka. "Saya pulang dulu. Salsa semoga lekas sehat ya, dan bisa masuk kampus lagi." Ibu dosen ikut pamitan, setelah mahasiswa lain pergi. "Iya, Bu. Terimakasih sudah datang ke sini." Salsa menyalami tangan ibu dosen yang diulurkan padanya. Bu dosen juga bersalaman pada Masitah. "Terimakasih banyak atas waktunya sudah mau membesuk Salsa anak saya." "Sama-sama." Dia melirik pada Liana. "Ayo, Li, mau pulang bareng Ibu?""Iya, Bu. Sa, aku pergi, ya. Moga cepet sembuh.""Aamiin. Makasi, Li."Dua orang itu keluar setelah mengucap salam. "Ternyata temen-temen kamu perhatian, juga, ya." Salsa tersenyum. Hati gadis itu senang sudah dibesuk teman kelasnya. "Iya, Bu." Dia jadi rindu kampus, beberapa hari tidak masuk setelah kecelakaan. Belum lama pintu ruangan tertutup datang lagi yang membesuk. "
"Alhamdulillah ...." Masitah sangat gembira melihat Ma'ruf sudah membuka mata. Dia seorang yang diperkenankan masuk ke dalam ruangan. Diawasi para perawat yang berjaga di ICU. Anak-anaknya menunggu di luar. Rambut memutih suaminya diusap. "Bu ...." "Ya, Pak. Ini Ibu." "Salsa mana?" Suara Ma'ruf seperti tenggelam dan kurang jelas dengan sorot mata sayu. "Ada, Pak." "Bapak mau ketemu ... mau minta maaf sekaligus berterimakasih." "Kenapa memangnya, Pak?""Bapak sudah maksa nikah. Sudah batesin masa mudanya." "Bapak tidak perlu memikirkan itu." "Anak itu sudah menuruti Bapak ... lega bisa menjadi wali di saat masih sehat, akhirnya Bapak sudah menyaksikan semua anak-anak Bapak menikah." "Ya, Pak. Alhamdulillah.""Tapi, Bapak belum bisa lihat cucu dari Salsa." "Bapak bisa melihatnya kalo sembuh." "Rasanya nggak mungkin." "Bapak jangan bicara seperti itu." Tiba-tiba Masitah sedih. Suaminya terlihat tidak semangat. Susah payah mengatakan itu semua. Gerak mulutnya terbatas masih te