PoV Abang
“Ayu ikut ya, Bang?” Ayu memegang lengan bajuku. Dia tampak sangat cemas. Kubelai pipinya dengan lembut.
“Jangan, Sayang ... Ayu tunggu di rumah aja. Tunggu Abang pulang.”
“Ayu takut Abang ditahan ....” Kedua matanya mulai berembun. Meski tak tahu ada masalah apa, tapi aku tidak mau kalau Ayu kenapa-napa. Apalagi sampai mengeluarkan air mata.
“Gak mungkin ... kalau Abang punya salah atau ada yang melaporkan, pasti polisi dateng ke rumah langsung bukan lewat telepon.” Istriku mengerjapkan mata, jurus kemudian bibirnya mengembangkan senyum.
“Iya juga sih, Bang. Terus kira-kira masalah apa ya?” Aku menghela napas. Berpikir sesaat, lalu secara tiba-tiba terpikirkan soal Ratih Herlina.
“Mungkin masalah Herlina.” Kedua bola mata Ayu membulat sempurna. Raut wajahnya berub
PoV Abang“Aneh. Ruangan dingin kok kepanasan? Apa jangan-jangan ... Bapak ya yang membantu Ratih kabur dari penjara?”Sipir tersebut langsung salah tingkah. Aku semakin yakin kalau orang yang bernama Trisno ini ikut andil atas hilangnya Ratih Herlina dari penjara.“Jangan nuduh sembarangan! Saya gak mungkin melakukan itu!!” Suara Sipir Trisno terdengar lantang, ia berdiri dengan napas memburu. Pak Heru ikut berdiri, menenangkan Pak Trisno. Sipir berkulit hitam itu menatapku nyalang, kubalas dengan tersenyum sinis.“Tenang, Pak Trisno, tenang.” Pak Heru berusaha menenangkan.“Lo, Den! Ngomong sekata-kata.” Dion menyenggol lenganku. Aku sendiri tetap santai. Reaksi Pak Trisno sudah kuduga sebelumnya.“Jujur saja, saya tidak percaya kalau seorang Ratih Herlina pembunuh berdarah dingin mengalami penyiksaan di
PoV Ratih HerlinaDengan penampilan seperti ini, aku pastikan tidak akan ada yang dapat mengenaliku. Sebelum ke rumah si anak dungu, aku akan menjual handphone Trisno. Uangnya lumayan untuk tambahan ongkos. Dari dalam dompet sipir b*doh itu hanya terselip uang tiga ratus ribu. Hah dasar sipir miskin!!Setelah menjual handphone, aku bergegas menaiki taksi kembali menuju kediamanku yang sekarang ditempati Firman. Aku sudah sangat rindu sekali, mandi di bawah guyuran air shower, berendam di dalam bathtub, dan tidur pulas di atas ranjang yang empuk. Membayangkannya saja membuatku ingin segera sampai rumah.Tiba di depan rumah peninggalan alamarhum Pras, taksi berhenti. Aku membayar ongkos taksi dengan uang lebih.“Kembaliannya buat Mas aja.”“Oh iya, makasih, Bu.” Keluar dari dalam taksi, aku melangkahkan kaki menuju depan gerbang. Sambil berjing
PoV AbangMelipat kembali secarik kertas pemberian Lara. Setelah membaca tulisan itu, aku semakin yakin, kalau kemungkinan besar, Sipir Trisno memang ikut andil dalam hilangnya Herlina.Kalau bukti itu sudah kudapatkan, aku meminta pihak kepolisian memberi hukuman yang berat untuk sipir berkumis tebal itu. Dan besok aku akan kembali ke kantor polisi. Menyelidiki gudang tersebut.Melajukan kembali mobil, pulang.Tiba di rumah, Ayu menyambutku dengan senyum terukir. Manis, sangat manis. Ia menyalami, kukecup keningnya.“Abang, mau mandi air dingin atau air hangat?” Ayu merangkul pinggangku berjalan masuk ke rumah.“Air dingin aja. Tapi mau dimandiin sama Ayu,” pintaku menjawil dagunya. Kami masuk kamar beriringan. Cekatan Ayu membuka kancing kemeja satu persatu dan penutup aurat lainnya, Kemudian menarikku masuk ke bilik toilet. Di sana
PoV AbangHari ini, aku akan kembali ke kantor polisi. Menyelidiki info yang diberikan oleh salah satu tahanan yang satu kamar dengan Herlina. Sejujurnya, sejak mengetahui Herlina menghilang dari penjara, aku selalu diliputi kecemasan. Cemas akan keselamatan Ibu, Dion, Ayu dan juga diriku sendiri.“Sayang, Abang berangkat sekarang ya? Semoga saja, segera menemukan titik terang supaya Herlina cepat tertangkap lagi,” ucapku setelah selesai menyantap sarapan.“Iya, Sayang, aamiin. Ayu juga berharap demikian.” Aku mengelus perut Ayu yang sudah mulai terlihat buncit.“Nak, jagain Mama ya? Papa sayang kalian.” Kemudian mencium perut Ayu dengan lembut.Ya Allah, terima kasih atas kebahagiaan yang Kau anugerahkan pada kami.Ayu meraih telapak tanganku, menciumnya.“Hati-hati ya, Bang. Banyak-banyak baca doa.”
PoV AyuKabar yang Abang ceritakan semalam, membuatku khawatir tentang keadaan Ibu, Silvi dan Bang Dion. Benar kata Abang, Herlina pasti akan menuntut balas. Semoga saja urusan Abang di kantor polisi segera selesai. Cepat diketahui siapa yang membantu Herlina kabur dari penjara dan Herlina segera tertangkap, masuk bui lagi.Handphone di saku gamis berdering, mengeluarkannya, melihat nama yang tertera di atas layar benda android. Silvi.“Ayuuuuuuu ....” Astaghfirullah, sudah menikah, masih saja suka teriak-teriak.“Berisik Silviii ... lo gak bisa apah manggilnya b aja? Gak usah teriak-teriak gitu?!” Berjalan masuk kamar, rebahan di atas tempat tidur.“Gue punya berita gembira!!” Masih dengan intonasi tinggi. Untung saja Silvi adalah sahabat sekaligus kakak ipar aku kalau bukan ... hm aku semprot habis-habisan.“B
Pov AyuTeleponku tak juga diangkat. Apa mungkin Abang sedang sibuk? Sudahlah, nanti saja aku telepon lagi. Sekarang aku harus menyuruh Bang Parto membawa ibu dan Silvi untuk tinggal di sini sementara waktu. Abang pasti memberi ijin.Setengah berlari keluar kamar, mencari keberadaan Bang Parto.“Bi ... Bibi ....” Tergopoh-gopoh Bi Sumi datang menghampiri.“Ada apa, Mbak?”“Bang Parto mana?”“Ada di belakang. Ada apa ya, Mbak?”Dengan napas memburu, aku menjawab. “Tolong suruh Bang Parto ke rumah Ibu sekarang. Cepetan!!”Tanpa bertanya, Bi Sumi mengiyakan perintahku. Aku duduk di sofa ruang tamu. Mengatur napas sambil sesekali melihat handphone. Berharap Abang telepon balik. Oh iya, Bang Dion. Aku harus telepon dia. Satu kali panggilan Bang Dion langsung mengangkat teleponku.&nbs
PoV AbangTernyata dugaanku benar. Kalau Sipir Trisno ada sangkut pautnya dengan kehilangan Ratih Herlina. Bagaimana bisa, Sipir itu tidak menyadari ada CCTV di gudang?“Saya harus memanggil Sipir Trisno Pak Dendi.” Tanpa menunggu jawabanku Pak Heru keluar ruangan. Hanya beberapa menit, polisi yang menangani kasus Maminya Firman kembali.“Ini tidak boleh dibiarkan, harus diberi sanksi yang tegas!!” Pak Heru geram, merasa kecolongan dengan tingkah penjaga tahanan yang melakukan tindakan tak bermoral.“Harus, Pak. Demi menjaga nama baik kepolisian. Kalau kabar atau rekaman CCTV tersebar luas, masyarakat kemungkinan besar tidak mempercayai kinerja para aparat Negara lagi.” Pak Heru menarik napas panjang. Memijat pelipis. Kentara sekali kalau ia sedang pusing sebab dipermalukan oleh anak buahnya.“Saya juga khawatir kalau atasan tahu tentang
PoV Ayu“Kamu bilang apa, Nak? Ratih Herlina kabur dari penjara?” tanya Bunda menyentuh bahuku. Memang sewaktu Abang menelepon, aku tak sempat menjauh dari Bunda hingga wanita yang telah melahirkan suamiku mendengar apa yang aku sampaikan pada Abang.“Iya, Bunda.”Bunda mengubah posisi duduk, lebih menghadapku.“Terus, tadi apa kata Ayu. Rumah Ibu Eva diteror sama Ratih?” Cecar Bunda menatapku lekat. Sebenarnya risih dipandang seperti itu.“Iya, Bun. Makanya Ayu nyuruh Ibu dan Silvi tinggal di sini untuk sementara waktu.” Raut wajah Bunda berubah tak suka.“Kamu ini ceroboh amat, Nak. Kalau Eva dan anaknya tinggal di sini, keselamatan kamu dan Dendi jadi ikut terancam,” ujar Bunda.“Bunda jadi aneh, semenjak kenal sama Eva, kalian selalu saja kena masalah. Heran.” Gumaman Bunda kud